Pergerakan tumpukan awan badai begitu acak, dan tampak tak merata di beberapa lokasi. Sebahagian terdeteksi meluas begitu cepat, namun ada juga terlihat pembentukan partikel-partikel uap air yang baru saja mengembang di dua titik.
Masih ada terlihat celah kosong di antara dua gumpalan awan badai cumulonimbus yang saling mendekat satu sama lain, sekitar 11 mil laut jaraknya dari pesawat. Jika pesawat berhasil melewati celah itu sebelum kedua awan bersatu, hal itu akan jauh lebih baik untuk menghindari sambaran.
“Belok sedikit ke kiri, perhatikan di sekitar sana ada celah arah jam ‘10’, pesawat tak terlalu jauh berbelok dan itu lebih aman.” Tunjuk Adam pada celah kosong yang terdeteksi di layar radar. “Kelihatannya mengambil rute itu jauh lebih baik, bagaimana Let.., ada masukan lain ke mana pesawat harus memutar?” Adam menyambung kalimatnya.
“Ya Kep, jalur itu saja, masih sebelas mil laut di depan pesawat.”
Pesawat Hercules Lockheed C-130 itu akhirnya berbelok beberapa derajat ke kiri memilih rute terbang di antara dua kumpulan awan badai cumulonimbus yang masih mempunyai celah kosong di antara keduanya.
*****
Beberapa saat setelah pesawat Hercules Lockheed C-130 itu berbelok ke kiri, halilintar mendadak datang menerjang. Sambaran kilat berliku-liku tampak berhamburan, tersembur berkali-kali dari gumpalan-gumpalan awan hitam yang menakutkan. Bunyi dentuman yang keras mendadak menggemparkan pendengaran. “Duaaaaaar….! duuummmm….!” Begitu kuatnya suara gelegar yang terdengar.
“Buseeeeeeeet….!” Sukhairi sontak terlonjak. Kedua bola matanya terbelalak. Jantungnya mencak-mencak tersentak.
Sambaran kilat kembali terlihat melejit sebegitu cepat tepat di depan pesawat. Lalu disambut oleh suara dentuman yang lebih dahsyat, bak roket kaliber 150 mm yang ditembakkan ke angkasa.
“Duaaar….! duuuummm…. braaaaaak.....!” Lagi-lagi gelegar suara dentuman terdengar memekakkan telinga, luar biasa getarannya terasa. Bayangkan...., jin dan kuntilanak yang lagi bobok siang saja ikut terperanjat kaget dibuatnya. Langsung deh mereka hengkang lari tunggang-langgang ngumpet di balik awan.
Si burung besi Hecules Lockheed C-130 itu terus saja menghadang. Adam dan Sukhairi tetap maju menerobos celah awan berbentuk terowongan setan.
“Air speed….?”
“250 knot.”
“Altitude….?”
“Drop….! sekarang di level 23.000 feet.”
“Get ready....!” Teriak Adam memberi aba-aba bersiap-siap menghadang badai dan goncangan.
“Siap Kapten, hura...! hura....! hura….! huuh....!” Pekik Sukhairi mengepalkan tangan menahan pucat dan keringat.
“Tahan guncangan, jangan dibelokkan….!”
“Di copy Kep.....!”
“It is getting close....!”
“Siap Kep....!”
*****
Burung besi itu semakin mendekati dua kumpulan awan hitam yang sangat besar, sekitar enam mil lagi jaraknya dari pesawat. Detik-detik menegangkan bagai dalam acara adu uji nyali di televisi kini terjadi.
Dapat di ibaratkan, seolah-olah pesawat itu tengah merayap memasuki celah hutan buas di malam nan gelap. Kemudian menyusup pelan menerobos jalan tikus yang membelah hutan buas itu menjadi dua bagian.
Sisi kiri dan kanan hutan bagai tempat nongkrong singa dan harimau yang tidur ngorok kelelahan. Namun jangan salah, apalagi sampai berbuat lengah, jika mereka tiba-tiba saja terjaga, seketika itu juga mereka akan menerkam. Seperti terkaman petir dan halilintar yang kapan saja mungkin akan menyembur dari salah satu celah gumpalan awan hitam.
Situasi memburuk memasuki celah awan. Sayap pesawat bergetar melambai-lambai bak lambaian tangan malaikat maut yang menjanjikan kematian. Sisa dua mesin baling-baling ‘turbo proppeler’ tertatih-tatih meraung kepayahan menantang angin kencang dari arah berlawanan. Pesawat terus merayap menembus celah gelap di antara dua kumpulan awan hitam yang tebal di atas lautan.
Satu menit menerobos, kecemasan kembali menyergap. Kiri dan kanan jendela pesawat terlihat begitu gelap. Singa dan harimau yang tadi tidur di sisi kiri dan kanan pesawat kini terjaga. Sekonyong-konyong mereka langsung menyergap. Seperti sergapan halilintar yang terlihat berlompatan dari salah satu sisi gumpalan awan menuju gumpalan awan di sisi sebelahnya. Cloud – to - cloud lightning pun terjadi, menyembur di antara dua kubu tumpukan awan-awan yang begitu kelam.
Dua menit menerobos celah awan, Adam dan Sukhairi disuguhi suasana sunyi dibubuhi kengerian. Napas seolah-olah tertahan di kerongkongan. Kedua perwira muda itu membisu dalam penantian, bersiap-siap menunggu kejutan apakah akan ada serangan halilintar dan suara ledakan.
Tiga menit menerobos terasa semakin mencekam. Cahaya kilat bagai tembakan sporadis terlihat jelas meleset tepat di depan pesawat. Sedetik kemudian, disusul oleh suara gemuruh dahsyat seperti ledakan.
“Duaaaaarrrrr….! duuuuuummm....!” Suara dentuman menggemparkan ruangan kokpit kemudi pesawat. Bukan hanya sekali dua kali terjadi, tapi berkali-kali. Cahaya kilat bak peluru panas simpang siur melejit ke sana kemari mirip perang Timor timur era tahun tujuh puluhan di mana banyak tentara yang tewas.
“Bedebah….! Kapten....! Kapten....! lihat ada perang di depan….! kita tertembak.” Sukhairi terlonjak berteriak-teriak.
“Tak masalah Letnan, hanya induksi listrik ringan, all is under control, don’t worry.” Adam berusaha menenangkan.
“Benar Kep, tak ada terlihat indikasi kerusakan pada instrumen.”
“Ok, clear, semuanya aman.”
“Awannya makin tebal Kep!”
“Jangan khawatir, satu menit lagi pesawat akan keluar dari tumpukan awan, kita mendekati ujungnya sekarang.”
Empat menit susah payah menerobos, pesawat Hercules Lockheed C-130 akhirnya terbebas dari perangkap yang mematikan. Dua kubu tumpukan awan hitam di sisi kiri dan kanan pesawat berangsur tertinggal di belakang.
“Huuhh….!” Sukhairi mendengus lega, dia juga mengusap-usap dada. Kepalanya kemudian melongok kiri kanan menyaksikan awan-awan hitam yang perlahan berlalu dari pandangan mata.
*****
Kengerian ternyata tidaklah menghilang serta-merta. Kekagetan yang lebih garang bahkan kini menghadang mereka.
Lepas dari mulut harimau di seruduk tanduk kerbau, begitulah kata orang-orang. Begitu jugalah mungkin diibaratkan dengan nasib yang menimpa pesawat Hecules Lockheed C-130 itu. Di penghujung badai, dengan tak terduga pesawat itu di hadiahi sebuah serudukan ‘cross-wind’ berupa sapuan angin yang sekonyong-konyong datang menyerang. Pesawat mendadak terhuyung begitu kencang, lalu terpelesat ke kanan.
Pesawat seketika kehilangan daya angkat dari kedua sisi sayap. Lalu...., menukik dan terperosok begitu cepat nyaris terjerembab. Kemiringan pesawat secara berlebihan hingga melampaui ambang batas yang diizinkan telah memicu tak memadainya perbedaan kecepatan angin antara sisi bawah dan sisi atas sayap. Maka lenyaplah sudah kemampuan sayap untuk terangkat.
Altitude allert yang mengindikasikan ketinggian pesawat dalam bahaya merespon dengan cepat. Lampu warna seketika menyala, lalu berkedip-kedip diikuti suara peringatan ‘biib.... biib.... biib.... biib.... biib....’ berbunyi lama.
“Kapten, Kapten, Kapten....! celaka Kep, pesawat di seruduk setan....!” Sukhairi yang menyaksikan kedipan lampu bersorak kelabakan.
“Ada cross-wind Letnan...! kita terjebak” Adam ikut berteriak tak menduga pesawat akan kembali terjebak.
“Kapten, lihat altitude allert aktif….!” Sukhairi lagi-lagi bersorak.
”Angin menghantam dari sisi kiri arah jam sembilan....! pesawat bisa meledak....! pertahankan ketinggian....!” Pekik Adam dengan mata terbelalak. “Pertahankan terus ketinggian....!” Adam memperingatkan lagi masih dengan berteriak.
“Bedebah.....!” Sukhairi yang mendengarnya langsung terlonjak.
“Pull up....! pull up….! pull up....! pull up….!” Adam berteriak lagi berusaha menyeimbangkan posisi pesawat yang terus terperosok ke bawah. Semampu yang dia bisa, Perwira itu menarik stick kemudi ke arahnya berharap sirip-sirip elevator di belakang pesawat mampu bekerja maksimal untuk mempertahankan ketinggian pesawat agar jangan terjerembab semakin parah.
*****
Tiga menit lamanya berjibaku, pesawat mulai terarah, kemiringan tak lagi terlalu parah. Namun malang, di saat mereka masih sengit-sengitnya berjuang, badai yang lebih garang tiba-tiba saja kembali menghadang. Belum sempat jantung Sukhairi yang mencak-mencak itu adem, dia menyaksikan lagi sebuah penampakan aneh yang muncul di tengah-tengah lautan luas. “No way man…!” .....edan....! mana mungkin.....!” Sukhairi bergumam heran.
Mengerikan..., sebuah pulau misterius tiba-tiba saja muncul di atas permukaan laut dalam keadaan gelap tertutup kumpulan kabut hitam. Lebih menyerupai sekumpulan asap hitam yang bergumpal-gumpal tebal.
“Kapten lihat, ada badai lagi di depan sana....!” Sukhairi bersorak terbelalak. “Ada sebuah pulau hantu Kep, lihat itu....!” Sukhairi lagi-lagi bersorak mencak-mencak.
Tak kalah halnya dengan Sukhairi, Adam juga ikut terbelalak diserang kekagetan menyaksikan suatu pemandangan yang tak pernah dia lihat sebelumnya.
“Aztaghfirullah.” Perwira itu menyebut nama Sang Pencipta. Pemandangan yang tersuguh di depan pesawat itu benar-benar menyeramkan. Selama menjadi seorang pilot di angkatan udara, baru kali ini Adam menyaksikan adanya awan-awan cumulonimbus yang berkeluyuran menyerupai gasing raksasa yang berputar-putar.
Penglihatan Adam kemudian mengarah pada layar radar. Kedua bola mata perwira itu seketika tersengat melihat, kulit jidat ikut berlipat-lipat, sesuatu yang tak beres terpantau di radar pesawat.
“Oh Tuhan, it is impossible!” Gumam Adam, lalu diikuti dengan gelengan kepala. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, badai yang sebegitu luas di depan mata ternyata tidak terpantau oleh radar cuaca.
“Letnan.! putar pesawat ke kanan sekarang.....!” Teriak Adam seketika. Kedua orang perwira itu dengan sigap membelokkan pesawat agar terhindar dari jebakan badai berbentuk siluman. Namun apa yang terjadi kemudian begitu menggemparkan.
“Ya Allah, it is stuck....!” Adam berteriak lagi.
“Kampret, apa yang terjadi ini Kapten....!” Sukhairi terperanjat lagi.
“Aztaghfirullahallazim....! Allahuakbar....!” Lagi-lagi Adam mengucap.
“Kiamat kita Kapten....!” Lagi-lagi Sukhairi mengumpat.
*****
Mendung kesedihan begitu gelapnya menimpa Ingrid, hingga meluluh lantahkan semua impian yang cukup lama terpendam. Dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca, gadis itu hanya mampu menatap pilu dinding kaca yang membatasi ruangan perawatan, begitu berharapnya dia sesosok pemuda menyerupai Adam itu muncul di sana kembali menampakkan senyumannya. Namun sayang...., sebegitu lamanya dia menatap ke sana tapi pemuda yang dia impi-impikan itu tak kunjung terlihat jua dalam pandangannya. Pupuslah sudah kini setetes harapan yang masih tersisa, hingga membuat dirinya tak mampu lagi menahan tetesan air mata. Mata yang memerah kini tak bisa lagi dia pejamkan, penglihatan gadis itu kemudian berserakan tak menentu mencoba mengurai kegelisahan yang melanda perasaan. Kedua bola matanya kemudian berputar ke sudut-sudut ruangan perawatan. Dipandanginya dinding-dinding kaca yang membentang yang membatasi ruangan, juga ditatapinya langit-langit kamar dengan sederetan lampu yang bercahaya tera
Lima hari setelah kecelakaan penerbangan XZ-1949 Lima hari sudah Ingrid terbaring lemah di salah satu ruang isolasi perawatan khusus sebuah rumah sakit ternama. Cidera yang dialami oleh gadis itu dalam musibah kecelakaan pesawat Airbus A320 lima hari yang lalu ternyata cukup parah. Dari hasil analisa tim dokter yang menangani kesehatannya, Ingrid baru akan bisa pulang ke negara asalnya paling cepat dalam waktu tiga minggu lagi. Setelah selamat dari musibah kecelakaan pesawat Airbus A320, gadis cantik bermata biru yang berkecimpung dalam dunia astrofisika itu tak lagi seceria seperti dulu. Mendung kedukaan begitu membelenggu perasaannya mengetahui Adam belum juga ditemukan hingga di hari ke lima itu. Hari-hari dirawat di rumah sakit, Ingrid hanya bisa menunggu perkembangan berita melalui media masa dan televisi. Di manakah sebenarnya keberadaan Adam kini...? apakah pemuda yang telah menyelamatkan hidupnya itu berhasil ditemukan...? Namun sayang..., apa yang ditunggu-tung
Waktu terus berjalan. Jarum jam berputar hingga dua kali keliling lingkaran. Malam pun sudah lama terlewatkan. Siang kini kembali datang. Langit biru terbentang luas tanpa awan. Matahari kembali bersinar terang. Panas yang terasa begitu garang. Ingrid setelah sehari semalam terkatung-katung di tengah-tengah lautan kini kembali siuman. Hawa panas dia rasakan menimpa seluruh anggota badannya. Mata terasa perih bagai terkena noda. Ingrid perlahan terjaga. Cahaya kuning kemerah-merahan dia rasakan menempel di balik kedua kelopak mata. Gadis itu kemudian mencoba membuka kedua matanya, namun apa daya dia tak bisa. Untuk sejenak, gadis itu berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada. Beberapa saat kemudian, dia coba menggerakkan kedua tangannya, namun juga masih tak bisa. Seluruh tubuh terasa kaku bagai mati rasa. Jangankan mengangkat tangan, untuk menggerakkan kelopak matanya saja dia masih tak berdaya. Ingrid akhirnya menyerah kalah kembali tak ingat apa-apa. Ada ses
Segelintir manusia memakai baju pelampung terlihat terapung-apung di atas lautan buas. Pelampung itu menyebar tercerai berai terpisah satu sama lain menuju ke sebuah pulau hantu tak berpenghuni. Merekalah itulah para penumpang pesawat Airbus A320 dengan nomor penerbangan XZ 1949 yang berhasil selamat dari maut. Segelintir memang...., tapi itulah yang terjadi. Sebagian besar penumpang tenggelam sudah ke dasar lautan. Mereka kini hidup terkatung-katung di antara alam nyata dan alam gaib, puluhan orang jumlahnya. Mereka berada di alam lain dan kini hidup dalam kutukan. Merekalah....., para manusia yang selama hidup di dunia bergelimpangan dosa dan pesta-pora. Mereka para pembuat maksiat dan perusak yang tak pernah tobat. Penipu-penipu elit terselubung yang hidup mewah namun merajalela dalam kemunafikan. Semuanya itu kini tak ada lagi guna. Arwah-arwah mereka kini bergentayangan di dunia, disiksa oleh dosa-dosa yang tak berhingga. Mereka kini menjadi penghuni sebuah pulau
Terik matahari pagi di tengah-tengah lautan semakin ganas membakar. Namun sayang, Ingrid yang berada dalam keadaan cidera masih belum juga sepenuhnya sadar. Baju pelampung yang sedari tadi dikejar juga hanyut semakin menjauh. Keletihan yang luar biasa tak membuat Adam menyerah dengan begitu saja. Pemuda itu kembali berenang dan mengejar pelampung yang semakin hanyut. Tubuh Ingrid kembali dia seret dengan paksa. Gadis cantik itu merasakan tubuhnya menghempas di atas air ketika diseret Adam. Sakit dia rasakan di sekujur tubuhnya, hal itu merangsang sistem syarafnya untuk kembali terjaga. Kelopak matanya kemudian kembali terbuka, mulut bergerak komat-kamit seakan ingin berkata. Nyaris saja baju pelampung berhasil dicapai, namun Adam mendadak menghenti ayunan kakinya mendengar Ingrid mengerang kesakitan. Dilihatnya kelopak mata gadis itu kembali terbuka. “Ingrid, it is me Adam..., can you hear me...?” .......Ingrid, ini aku Adam, apakah kamu bisa mendengarkan aku......
Tenaga Adam terkuras habis, oksigen yang tersisa dalam dada juga semakin menipis, napas yang tersisa kini semakin kritis. Udara yang tadi terperangkap dalam ruang kokpit kini tak terlihat lagi, semuanya telah habis. Ada satu hal yang membuat Adam bertekad untuk tetap bertahan hidup, janji yang telah terlanjur dia ucapkan pada gadis itu untuk menyelamatkan nyawanya. Tak ingin Adam mati sebelum janji itu dia penuhi. Begitulah ikrar seorang tentara, pantang menyerah, pantang kalah. Nyawa Ingrid yang sekarat berada dalam dalam pelukannya harus dia selamatkan terlebih dahulu. Baju pelampung yang telah terpasang di badan Adam yang menghalangi pergerakannya dengan rela dia lepas agar bisa bergerak lebih bebas. Darah pemuda itu menggelegar di ujung napasnya yang terakhir, Adam bertahan di pintu kokpit beberapa detik. Tubuh Ingrid yang berada dalam pelukannya dia lepas sesaat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, tubuh gadis itu dia dorong ke bawah keluar melalui pint