“Bagaimana keadaan gadis itu?”
“Belum siuman karena masih kehilangan banyak darah Sir.”
“Laporkan keadaannya padaku langsung, tempatkan dua penjaga di depan ruangannya. Dia adalah saksi kunci kita, kita tak mau mengambil resiko kehilangannya.”
“Baik, Sir.”
Aku mendengar samar-samar percakapan dari luar masih dengan mata terpejam, kesadaranku berusaha mengetuk-ngetuk untuk ke permukaan tapi fisikku tak kuasa. Kegelapan seolah lebih mudah untuk digapai dibanding terang. Aku terseret pasrah pada tarikan kelelahanku lagi.
Disorientasi waktu, rasanya lelah. Entah sudah berapa lama rasanya aku berlari di dalam kabut tebal bertelanjang kaki. Rumput di bawah kakiku basah berlumpur, piyama rumah sakit yang kukenakan kotor tak karuan, sela-sela jarikupun mulai terasa gatal.
“Meha... Meha...!” Lagi-lagi aku mendengarkan suara teriakan Nina, untuk itulah aku tadi berlari, mencari-cari sumber suaranya.
Sumber cahaya satu-satunya di kejauhan layaknya mercusuar yang menjadi tujuan pelarianku. Menembus kabut samar-samar.
“Meha... Meha... Jangan!” kali ini teriakan Nina berubah.
“NINA...! Kamu dimana?! Tunggu aku!”
“Me... Meha... BANGUN!” Teriak Nina tiba-tiba muncul dihadapanku dengan mata melotot, membuatku terkejut dan terbangun di atas ranjang rumah sakitku yang hangat.
“SYUT... SYUT! BRUGH!” Keheningan terpecah oleh suara ganjil dari luar ruangan.
“Ceklek!” seseorang membuka pintu ruanganku dan berjalan dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara. Instingku mengatakan jika niat orang ini tak baik. Dengan hati-hati aku menyimpul tali infus dengan tangan kananku dan menggenggamnya erat. Masih dengan mata setengah terpejam.
Siluet asing itu mendekat, mengarahkan pistol berperedamnya pada pelipisku.
Mati. Sudutnya tak pas untukku melakukan serangan dadakan. Nekat, sekarang atau tidak ada kesempatan sama sekali.
Sepersekian detik kemudian, momentum pistol itu memuntahkan amunisinya, tangan kiriku sudah menggenggam larasnya, mengarahkan sudutnya melewati kepalaku.
“SYUT!” Amunisinya teredam busa kursi pengunjung.
Sebelum pembunuhku sempat bereaksi, aku sudah melilitkan selang infus itu di lehernya kuat-kuat dari belakang mengunci tubuhnya tak bergerak dengan kedua kakiku yang bebas, tangannya menggapai-gapai dan merenggut rambutku.
“AAARGH!!” teriakku saat kulit kepalaku panas seolah hendak terlepas, tarikanku pada selang infus di lehernya semakin kuat.
Tak kupedulikan rasa sakit di kepalaku itu, karena jika aku lengah sedikit maka situasi akan cepat mudah berbalik tak mendukungku.
Sadar jika posisinya tak menguntungkan, tangan yang tadinya merenggut rambutku digunakannya untuk menyikut pinggulku kuat-kuat, aku berteriak tanpa suara. Namun tetap teringat untuk tak melepaskan genggamanku pada selang infus itu.
Putus asa, sang penyerang kini menggunakan kedua tangannya untuk melonggarkan jerat infus pada lehernya dengan panik.
1... 2... 3... 4... detik kemudian saat asupan oksigen di kepala sang penyerang benar-benar hilang dan sudah tak kurasakan lagi perlawanan dari tubuhnya.
Kudorong kasar tubuh sang penyerang dari atas tubuhku hingga ia jatuh terjerembab di lantai. Aku melepas selang infus yang masih tertancap dari tanganku. Begitu juga dengan beberapa patch yang menempel pada dada dan keningku.
Sempat melirik jam dinding dan suasana di luar yang masih gelap. Tak membuang waktu, menyambar mantel yang dipakai oleh si penyerang dan bergegas keluar dari ruangan. Kulihat dua orang penjaga yang berpakaian polisi di depan ruanganku telah tewas, begitu juga dengan tiga orang perawat di counter depan, pembunuhku tak main-main.
Mengendap-endap aku melewati ruangan security rumah sakit yang terlentang di kursinya dengan pelipis bocor. Melihat layar monitor CCTV untuk memastikan tak ada serangan susulan.
Melalui tangga darurat, aku kabur dari rumah sakit tanpa alas kaki.
DONG DONG DONG
Suara lonceng katedral di kejauhan berbunyi sebanyak 6 kali.
Tepat ketika aku sudah sampai di bawah, fajar menyingsing dari ufuk timur, aku berbelok menghindari jalan besar, memasuki lorong-lorong sempit entah menuju kemana. Keputusan sesaatku adalah untuk menghindar sejauh-jauhnya secara acak. Aku tak tahu entah siapa lagi yang mengincar nyawaku.
Tiba di persimpangan, aku mendapati jika sedang berada di lingkungan perumahan suburban yang sepi. Mengapa mereka membawaku ke sini? Jauh dari kota? Dengan merapatkan jaket aku semakin mempercepat langkah. Saat tiba-tiba sebuah mobil van berhenti tepat di sampingku, bannya berdecit nyaring, belum juga aku bertindak, dua pasang tangan membekap mulutku dan meringkus tubuhku masuk ke dalam mobil van yang langsung tertutup dan melaju cepat.
“Hmmmph!” berontakku.
“Diam! Ouch!” teriak kesakitan pria yang membekap mulutku saat jarinya tergigit olehku.
“Meha! Meha! Kalem!” Perintah suara pria yang tak asing bagiku dari bangku depan.
“Daniel?! Apa-apaan?!”
“Nanti akan kujelaskan, sementara ini kami akan membawamu ke tempat aman. Tolong, percayalah pada kami.”
“Permintaanmu berlebihan mengingat bagaimana caramu membawaku.” Sinis aku melirik penyekapku yang tetap menahan tubuhku erat.
“Terpaksa Meha, cuma ini cara satu-satunya agar kau mau ikut dengan kami dalam waktu singkat.”
“Apa mau kalian! Turunkan aku sekarang!” aku memberontak sekuat tenaga.
“Meha! Meha! Tenang dulu. Kami berencana membawamu ke tempat aman. Percayalah.”
“Rencana apa?! Aku akan berontak jika kalian memaksakan kehendak, berkaca dari pengalaman, aku sudah belajar untuk tak lagi gampang percaya dengan orang.”
“Oke, oke. Dengar, kami akan membawamu ke stasiun TV kenalanku. Apa yang kau bongkar ini merupakan skandal nasional Meha. Banyak orang penting yang akan terseret. Jika informasi ini tak dilempar ke publik, aku takut akan tenggelam dan kau akan dibungkam paksa.”
“Kawan-kawan! Ada mobil hitam yang sedang mengikuti kita! Berpegangan! Aku akan menaikkan kecepatan!” teriak pengemudinya yang seorang perempuan, tanpa menunggu persetujuan kami ia langsung tancap gas membelah jalanan sepi pagi hari itu.
Hari baru saja dimulai saat orang-orang yang baru bangun menyaksikan dua mobil berplat nomor kota mengemudi dengan ugal-ugalan. Sumpah serapah terdengar di sepanjang jalan.
“Rene! Mereka sudah di samping!”
“Tsk! Menjengkelkan. Kawan, bersiap untuk benturan!” Rene membanting kemudi ke kiri. Tubuh kami saling berhimpitan di kursi penumpang karena benturan keras tadi.
Mobil penguntit itu melenceng ke pedestrian namun dengan cepat dapat dikendalikan dan kali ini mengincar mobil kami dengan kecepatan tinggi!
“Mereka mengeluarkan senjata!” teriak pria di samping kiriku lalu ikut-ikutan mengeluarkan senjatanya juga.
“Astaga. Jangan lagi!” aku mengernyit lelah ke samping.
Adu tembak pun tak terelakkan. Kawan Daniel tertembak dan tewas, aku merunduk semakin dalam ke kursi penumpang.
DOR!
Tembakan sekali lagi dari arah samping tepat mengenai batang leher Rene.
“Dan- Dani... el.” Rene pun tak tertolong.
“Tidaaak! Rene!!” Daniel meraung sedih namun mengambil alih kemudi dengan tangannya yang bebas.
Mobil melambat tepat di tepi jembatan, mobil penguntit tadi menabrak mobil kami hingga menghantam pembatas. Mobil yang kami tumpangi terjun bebas ke arah air yang tampak tenang menyambut.
“Maaf, Meha...”
Hanya itu kata yang keluar dari Daniel saat mata kami bersitatap sebelum benturan keras dengan muka air terjadi, tak lama mobil sudah terisi air. Tampak leher Daniel yang terkulai canggung, kuduga akibat benturan dengan airbag yang menggelembung tiba-tiba, tatapan matanya padaku sudah tak bernyawa.
Hatiku menjerit kehilangan temanku satu persatu. Namun kini aku harus segera menyelamatkan diri, air sudah hampir penuh. Dengan satu tarikan napas panjang aku menyelam mencari jalan ke luar.
Pintunya tak bisa dibuka, terkunci otomatis. Satu-satunya jalan adalah keluar lewat jendela yang terbuka dan terhalang mayat teman Daniel, kusingkirkan mayat itu cepat sebelum aku kehabisan udara.
Mobil sudah tenggelam ke dasar dan terseret arus, aku keluar dari arah arus datang menghindari diri dari terperangkap dalam bodi mobil lagi. Dadaku sudah sangat sesak meronta meminta udara.
Dengan sisa tenaga aku berenang ke permukaan. Sekelebat ingatan menyeruak mengingat tentang cahaya dari mercusuar dalam mimpiku tadi malam.
Rasanya tinggal sedepa lagi, tapi paru-paruku sudah tak kuat. Saat aku hampir menyerah mengikuti arus, sebuah tangan menyambarku naik.
Aku ditarik naik ke sebuah sekoci dan terkapar di lambungnya terbatuk-batuk mencari udara saat sebuah wajah muncul di atasku dengan seringai palsu.
“Well, hello Meha.”
Si jalang Mrs Leah Thompson-Bortolomov.
“Ikat dia sebelum kabur! Sumpal mulutnya juga!”‘Sial! Keberuntungan belum juga dipihakku. Ditangkap oleh ular licik ini.’“Cih. Tutupi mukanya juga, aku tak tahan!” dengan bergidik ia menatapku yang memandangnya dengan dendam berkilat-kilat.Aku berontak saat orang suruhannya memegangi tubuhku, namun staminaku yang telah terkuras kalah tanpa perjuangan berarti.Suara sirine terdengar mendekat dari arah jalan raya, rasa bahagiaku terbit namun segera dipadamkan oleh jalang itu dengan menampar pipiku begitu kuat dan membuatku pingsan. Sayup-sayup aku mendengar, kaki tangan si jalang memintanya untuk bersembunyi menutup kepala dan menambatkan sekoci di bawah jembatan agar tak terlihat.Kembali ke masa dimana masalah paling berat yang kuhadapi hanya seputar tugas dan laporan bulanan.Sir Langdon con artist itu, adalah magnet kuat popularitas, siapapun yang berhasil masuk dalam lingkarannya akan terciprat kepopulerannya itu. Dan ia senang mengundang segelintir mahasiswa yang menarik minatn
“SIAL!” umpat Remi. Tak kupedulikan lagi karena aku sudah berlari dari ruangan itu, terlalu malu menjadi saksi skandal sebuah keluarga. Orang-orang kaya ini terlalu bosan dengan hidupnya sehingga mencari percikan dari hubungan terlarang. Hatiku memanas karena itu tadi Remi! Merasa bodoh pernah membuka diri pada pria bejat sepertinya, amoral pula! Tiba di ruangan yang jadi tujuanku sebenarnya, saat tanganku hendak membuka handlenya, urung. Berbalik menuju pintu depan, bodoh sekali aku sempat merasa bangga menjadi bagian dari mereka. Semu. Aku tak cocok menjadi penjilat. Lagipula topeng mereka telah terbuka, mereka bukan orang-orang suci tanpa cela yang diagung-agungkan berita. Tak lagi memedulikan pesta, dengan tekad bulat aku melangkahkan kaki keluar. Sebuah tangan besar menarik lenganku, tubuhku di paksa masuk ke cloakroom yang penuh dengan mantel milik para tamu. “Apa-apaan?!” “Meha, gadis nakal. Kau sudah memergoki perbuatan terlarang dan sekarang hendak kabur? Mau kau jual k
DOR!Raymond rebah ke tanah diikuti teriakanku yang menggema ke segala arah. Rahang Remi mengeras menahan emosinya tumpah. Siapa sangka, orang yang paling ia percaya berkhianat. Jika itu orang lain, atau bahkan papanya sekalipun ia maklum, tapi ini Raymond?“Ray? Bagaimana bisa?” “Kamu tak papa? Love?” tanya Remi padaku yang masih ternganga, aku menggeleng sebagai jawaban.Ia merengkuhku ke dalam pelukannya dengan posesif, menyiratkan kekhawatirannya padaku. Ku balas dengan melingkarkan lenganku lembut di lehernya. Oh, betapa rindunya aku pada lelaki ini.Menangkup wajahnya dengan kedua tanganku, aku memberinya kecupan-kecupan kecil. Yang berhasil membuatnya menggeram.“Kucing kecil....” suara dalam dan menggetarkan Remi memanggilku dengan julukan kesayangannya di telingaku, membuat kulitku meremang akan gairah. Ia bagai dewa Eros bagiku, memancing hasrat seksual yang tak pernah sadar kumiliki.Dihirupnya bau tubuhku kuat-kuat, awalnya pelan, lembut, hingga gairahnya menguasai dan m
“Hey, kau baik-baik saja?” Remi bertanya padaku yang sedang terpaku di mobil polisi yang membawa kami ke markas mereka.“Itu...., itu NINA!! NINAAAA!!” histeris kala memutar kembali peristiwa tadi di dalam otakku. Remi memelukku erat, aku tersedu sedan di pelukannya. Sera yang duduk di sampingku termenung menatap ke luar jendela.Aku terlalu mengenal Nina hingga bagaimanapun mengerikannya kondisi mayat tadi aku masih mengenalinya.Nina, Nina-ku, mati. Dengan cara keji yang tak dapat kubayangkan.Apakah aku sedang bermimpi? Siapa yang bisa melakukan kekejaman ini pada Nina? Padahal dia adalah manusia paling lembut dan baik hati yang kukenal.Tanganku terkepal, rasa marah menguasaiku. Siapapun yang melakukan ini pada Nina, akan kupastikan mendapatkan balasan yang jauh lebih kejam.“Hey, hey. Tenanglah.” Remi mengelus punggungku membuatku memejam.“Gila, sangat mengerikan. Aku tak yakin bisa hidup normal setelah ini. Mata itu, mata itu.” lirih Sera seperti bergumam sendiri.Apa yang dika
Aku menjauh dari dekapan Remi, tahu sekali jika pertahananku lemah jika sudah menyangkut dada bidang dan aroma tubuh Remi yang menghipnotis. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berpikir macam-macam.Remi memandangku yang menelan ludah dengan susah payah. Sisi positif dari rasa gugup ini adalah, aku tak lagi menggigil kedinginan karena jantung memompa darah lebih cepat dari biasanya, mengalirkan hangat ke seluruh tubuhku.“Meha, aku rasa kamu harus berhati-hati mulai sekarang. Jika mereka sampai mengirim detektif untuk membuntutimu artinya ini bukan kasus kecil.”“ITU, atau aku dicurigai sebagai pembunuh Nina.”“Apakah kau pelakunya?”“Apakah semudah itu ditebaknya?” aku bertanya dengan nada sarkas sambil memutar bola mata.“Hanya untuk memastikan.”“No. Dan keinginanku untuk mengungkap pembunuh Nina mungkin lebih besar dibandingkan polisi-polisi itu.”“Kau mencurigai seseorang?”“Ya. David Brown, dia pacar Nina, hubungan mereka tak sehat, ia sangat kasar.”Aku dan Remi bertukar pand
Aku berlari sempoyongan menuju arah pintu keluar, dengan panik memencet tombol turun. Pintu lift segera membuka, aku menghambur masuk, melihat Remi yang menyusulku dan ikut masuk. Dengan segera aku memencet tombol tutup dan mengarahkan lift kembali ke basement.“Kenapa? Kau membuatku terkejut Meha. Kau mengenal itu siapa? Karena dari bentuk kakinya, aku bisa pastikan itu bukan milik laki-laki.”“Alice, itu Alice. Alice Garcia.”“Siapa?”“Dia ... Mahasiswa penelitian di labku.”“Oh Meha, situasi ini semakin buruk saja untukmu.”Jari jemariku bergetar, ada apa ini? Mengapa dua orang yang kukenal tew4s dalam keadaan mengerikan dan tak wajar?“Remi, apa yang harus kita lakukan?”“Melaporkannya pada polisi?”Aku menatap Remi tak percaya, bagaimana mungkin ide itu muncul di kepalanya. Apa dia tak ingat jika posisiku di ujung tanduk?“Look Meha, sidik jari kita sudah menempel di mana-mana, akan lebih mencurigakan jika kita memilih diam. Lift ini bahkan sudah merekam wajah kita berdua!”Ding!
“Bagaimana ini Remi? Itu Sera! Sera menghilang!”“Tenang, Meha. Bisa saja ia hanya memutar dan petugas itu selip memperhatikan Sera.”“Oh, Remi. Kali ini aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Firasatku buruk mengenai ini Remi.”Polisi tua penguntit kami tadi melompat ke ruang kemudi dan membunyikan sirine menuju alamat terakhir Sera terlihat, bergabung dengan petugas yang menunggu di sana.“Hey, kita berputar sebentar ya. Teman kalian hilang dari radar.”“Pak! Apa tadi maksudnya teman saya – Sera Ramirez hilang dari pantauan? Apakah kalian mengamatinya?”“Ya, tidak hanya dia. Kami memang mendapat tugas untuk memantau satu-satu dari kalian. Aku seharusnya memantaumu juga. Lihatlah apa yang terjadi saat kau menghilang! Satu lagi pembunuhan terungkap! Sangat ganjil untuk dibilang kebetulan. Apakah kau kena kutukan, atau kau adalah pelakunya?” lirik tajam sang detektif tua padaku yang mengintip dari jeruji yang memisahkan kami.“Sepertinya aku hanya berada di waktu dan tempat yang s
Aku berlari ke luar dari ruangan berpendingin itu menahan rasa shock, rasa menggigil di badan akibat suhu ruangan yang ekstrem tak terasa lagi.“Meha. Bagaimana? Tak ada?”Dengan mata berkaca-kaca aku menatap Remi, tanganku menunjuk dengan gemetar ruangan tersebut. “Sera... Sera di sana, dalam plastik hitam...”Remi gantian masuk dengan berlari, langsung membuka plastik hitam yang kumaksud. Sama sepertiku, ia keluar dengan wajah pias kehabisan kata-kata. Kami duduk termenung berdua di depan ruangan berpendingin itu hingga suara petugas berlarian mencari kami.“KALIAN!! Menyusahkan sekali!!” petugas tua yang belakangan kutahu bernama Sir George itu berang menatap kami.Aku dan Remi tak mengindahkan amarah detektif tersebut.“Great! Sekarang kalian bertingkah seperti patung. Ayo kembali ke mobil sebelum masa pensiunku ditangguhkan gara-gara kalian.”“Kami menemukan Sera.”Petugas itu menatapku sangsi dan bertanya dengan kalimat menyepelekan. “Sekarang kalian ingat menaruh mayatnya di ma