"Buat apa Bobi menyimpan pembalut berbagai merk ini?" Aku meraih satu bungkus yang sudah terbuka. Memperhatikan isinya, kalau dihitung sepertinya baru digunakan dua biji.
Selanjutnya, aku mengecek lagi bungkus pembalut lainnya. Kebanyakan memang sudah terpakai tapi hanya sebiji dua biji saja. Bobi, adik dari suamiku meninggal seminggu lalu. Itulah mengapa ibu meminta kami berdua pulang. Dan kini aku berinisiatif untuk membersihkan kamar Bobi. Terlihat masih banyak sekali barang milik Bobi yang belum dibereskan karena keadaan keluarga yang masih berduka. "Apaan Nil?" Tanya Robi yang baru saja pulang dari masjid. "Liat deh Rob, Adikmu menyimpan banyak sekali pembalut disini." Kembali ku buka laci yang tersembunyi di dalam lemari pakaiannya. Robi memicingkan matanya. Lalu mengecek kedalam dan memperhatikan semuanya. "Kok aneh ya?" "Apa dia sering bawa pulang pacarnya ya?" "Emang Bobi punya pacar?" Kami berdua terdiam sejenak. Benar juga yang dibilang Robi, selama ini kami tak pernah tau tentang Bobi yang memiliki kekasih. "Namanya juga anak muda. Siapa tau dia backstreet dari ibu." "Rob, Nil...!" Suara keras panggilan dari ibu membuat kami berdua refleks menutup lemari Bobi. "Makan siang!" Hanya dengan isyarat dari lirikan mata Robi, kami berdua pun lantas segera keluar dan turun ke dapur. Ibu terlihat biasa saja. Bahkan tak ada sirat kesedihan di matanya. Memang sejak meninggalnya Bobi, ibu sangat terlihat tegar. Dia bahkan tak merasa seperti orang tua yang meratapi kepergian putranya. "Bu, masak segini banyaknya?" Ibu tersenyum sumringah padaku yang terlihat antusias sekali dengan masakannya. Memang mertuaku ini sangat pandai memasak. Jadi makanan apapun yang disajikannya pasti akan ku lahap habis. "Besok pengen dimasakin apa Nil?" "Yaellah bu, ini aja belum habis." Ibu menimpali dengan tertawa. Sedang Robi justru memandangku dengan tatapan yang aneh. Tapi aku berusaha mengabaikannya saja, tidak ada yang bisa mengalihkan kenikmatan makanan dihadapan ku ini. Termasuk suamiku sendiri. "Bu, gak minta orang buat beresin kamar Bobi?" Robi mulai membuka percakapan. Nampak ibu memaku sebentar lalu mengangguk. "Apa yang dibereskan Rob?" "Baju misalnya, kan dia termasuk anak muda fashionable. Bisalah diberikan ke temannya." Ibu tersentak. Baru saja menyuapkan sesendok nasi kedalam mulutnya. "Minum dulu bu!" Ku tuangkan air pada gelas agar ibu meminumnya. "Nanti biar ibu yang bereskan barang-barang Bobi. Kalian jangan pegang apapun dikamarnya ya!" * Entah kenapa cuaca malam ini terasa sangat panas sekali. Bahkan pendingin di kamar ini tak terasa sama sekali. Berniat untuk meminum air tapi nyatanya botol yang biasa kusiapkan sudah kosong. Kebiasaan Robi memang yang sangat malas mengisinya kembali tapi selalu menjadi orang yang menghabiskannya. Dengan sangat malas, akupun bangkit dan segera berjalan menuju dapur untuk mengisi kembali air di botol. Tiba-tiba langkahku terhenti saat baru saja kakiku akan menuruni tangga. Suara berisik dari kamar Bobi membuatku penasaran. "Lampunya menyala?" gumamku lirih seraya melihat bahwa kamar tersebut memang terbuka sedikit. Bulu kudukku meremang. Tapi ketakutan itu tetap kalah dengan rasa penasaran untuk mengintip dari celah pintu yang terbuka tersebut. Benar saja, itu ibu. Jelas aku terkejut hingga menutup mulutku agar tak mengeluarkan suara apapun. Ibu tengah terlihat memasukkan seluruh pembalut yang ku lihat tadi ke dalam sebuah karung goni. Aku memang tak bisa melihat ekspresi ibu saat ini karena letak lemari tersebut membuat posisi ibu membelakangi pintu. Tapi dari gerakan tangannya, aku bisa melihat bahwa ibu memakai sarung tangan. "Nil!" Suara Robi terdengar memanggil membuat kelabakan. Benar saja, aku segera berlari mendekat kembali dengan kamar agar seolah terlihat baru saja keluar dari kamar. "Ngapain sih?" Robi menepuk pundakku. Aku langsung memberinya perintah untuk diam dengan mengatupkan tulunjuk pada bibirnya. "Mau ambil air!" Aku menjawab dengan sengaja menaikkan volume suaraku. Benar saja, tak lama setelahnya ibu terlihat keluar dari kamar Bobi. "Loh bu kok belum tidur?" Aku bertanya dengan basa-basi. "Ibu kangen Bobi ya? Sampai tidur di kamarnya?" Robi mendekat kearah ibu. Sedang ibu hanya menbalas dengan sebuah senyuman. "Kalian kenapa malam-malam berisik?" "Aku kebangun tapi Nilna gak ada. Ternyata mau ambil minum." Dia meringis menahan tawa. Melihat mereka berdua yang masih saling membalas senyum membuatku segera pergi untuk ke dapur saja. "Ya udah tidur sana! Ibu mau kembali ke kamar." Ibu segera berjalan dibelakangku dan kemudian berbelok ke arah kamarnya. Aku memantaunya dari ekor mataku agar bisa melihatnya. "Nil, matikan lampu nya ya!" Aku mengangguk saja. Setelah botol terisi penuh, aku segera berlari ke atas dan tak lupa mematikan dulu lampu yang menerangi lantai bawah. "Kayak lihat hantu aja sih." Rupanya Robi tak langsung kembali tidur. Dia tengah memainkan ponselnya. "Heh Rob, ibu ternyata tau kalau Bobi nyimpen pembalut lho." Bobi menoleh kearahku. "Apa iya?" "Aku gak sengaja lihat ibu masukin semua pembalut Bobi ke dalam karung. Mau dikemanain ya?" Robi terlihat tengah berfikir. Lalu sejurus kemudian bangkit berjalan menuju lemari. Tak lama setelah itu Robi menyerahkan sebuah ponsel kepadaku. "Ponsel barumu? Kamu punya dua ponsel? Mau dibuat selingkuh ya?" "Ngawur aja!" Robi lantas melempar ponsel tersebut ke pangkuanku karena aku tak kunjung menerimanya. "Aku nemuin ponsel itu di dalam jok motor Bobi." "Lah bukannya kata ibu setelah kecelakaan itu, polisi kan nyerahin ponsel Bobi yang hancur." "Aku belum lihat isinya. Apakah ini beneran milik Bobi apa bukan. Tapi setahuku Bobi tak memakai merk ponsel ini." Aku mengangguk saja mendengar Robi bercerita. Tanganku bergerak untuk menyalakan tombol power ponsel tersebut. Baru saja melihat layarnya membuatku terkejut "Astaga Rob!" Dengan refleks langsung melempar ponsel tersebut keatas ranjang. Membuat Robi penasaran dan meraihnya. "Lebai banget sih jadi orang." Robi mengambil ponsel tersebut dan langsung mengeceknya. Sedang aku masih menutup mulutku seolah tak mempercayai apa yang barusan ku lihat. "Apaan sih?" Dia mendekatkan layar ponsel tersebut mendekat pada wajahku. "Buka dulu kuncinya bloon!" Dengan geram aku mengumpat padanya. Dan benar saja, baru saja dia membuka kunci layar Robi langsung menutup mulutnya. (Gambar apa yang sebenarnya mereka lihat?)"Memangnya dulu ketemu di mana?" Senyumku mengembang, sepertinya saat ini akan menjadi hari nostalgia tentang kenanganku bersama Robi. "Saya sama Robi itu satu kelas waktu kuliah Pak, makanya kenapa risih dan malu kalau harus memanggil dia dengan sebutan Mas begitu sebaliknya,karena dari dulu kita biasa ejek-ejekan dan bertengkar." Aku tertawa sendiri mengingat bagaimana dulu sangat kesal jika Robi sudah mulai mengangguku saat di kelas. "Robi itu iseng banget pak. Saya sampe kesel banget sama Robi, tapi kok mau ya dinikahin?" Pak Parman justru tertawa makin keras. Aku menengok kearah jam yang melingkar ditanganku. Sudah mendekati waktu makan siang. Setelah menyelesaikan pembayaran 2 mangkok bakso Khusus untuk pak Parman dan juga 2 gelas es teh yang langsung ditengguk habis olehnya Kemudian aku pun berpamitan untuk mengantar makan siang ke ruko. Baru saja akan membuka gerbang, seorang pria yang turun dari mobil berwana merah menyala menghampir
Aku melirik dulu kearah pak Parman yang masih sibuk memindahkan barang-barang yang ku keluarkan tadi ke dalam api. Lalu dengan gerakan cepat mengambil flashdisk tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong. "Mbak, kenapa barang-barang bagus kok dibakar?" Aku masih terdiam karena bingung untuk menjawabnya. "Ini barang riject-an pak." Lalu pak Parman menoleh padaku, dan akupun hanya meringis kearahnya. "Pokoknya gitu deh. Pak Parman gak usah mikirin ini. Yang penting nanti saya traktir bakso di perempatan sana." Nampak senyumnya mengembang. Cukup lama berjibaku dengan panasnya api yang berkobar. Bahkan aku menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana semua barang milik Bobi berproses menjadi abu. Sesuai janjiku, akupun mengajak pak Parman untuk makan bakso di sebuah warung yang hanya terdiri dari tenda dan gerobak biasa. "Mbak Nilna jadi pindah ke sini kan?" Aku mengangguk, mengamati pak Parman yang lahap memakan baksonya. "Kasia
"Kamu karyawannya Ricard?" Dia mengangguk dengan ragu. Mulutku membulat untuk menunjukkan keterkejutanku. "Terus sekarang?" "Kebetulan hari ini aku bagian libur." "Bentar Cin, kamu udah lama kerja di sana?" Dia terlihat menatap ke atas, mungkin tengah mengingat sesuatu. "Baru beberapa bulan mbak, itupun dibantu sama mas Bobi." Dengan gerakan refleks langsung menggerbak meja membuatnya kaget. "Eh, maaf." Aku tertawa menyadari kebodohanku yang membuatnya terkejut. Tak menyangka bahwa hubungan mereka sangat istimewa, sampai Bobi bisa menjadi koneksi Cindy untuk bekerja disana. "Kamu ada kuliah gak?" Cindy mengangguk lagi. "Nanti sore." Kini giliranku yang mengangguk. Sebenarnya aku ingin langsung menanyainya banyak hal tapi rasanya terlalu gegabah kalau menginterogasi Cindy saat ini. "Mbak...." Dia memanggilku dengan ragu, lalu menoleh kesegala arah untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sini. "Kenapa? Katakan saj
Kali ini aku menemani Robi yang masih memaku di meja makan. Bahkan dia tidak menghabiskan makanan yang aku sediakan di piring seperti biasanya."Rob, mikirin apa lagi?" Aku mencoba bertanya dengan menyikut lengannya secara perlahan, lantas menoleh padaku. Dia hanya mengembangkan senyum sebentar lalu kembali untuk makan makanan yang telah kusiapkan dan dia diamkan saja sejak tadi. "Kalau memang tak nafsu makan, jangan dipaksa. Mungkin masakanku kali ini kurang enak." Aku mencoba bercanda, bukannya menjawab Robi justru kembali tersenyum dan seolah meyakinkan bahwa apapun yang aku masak pasti sangat enak untuk lidahnya.Dan benar saja setelah aku berkata demikian Robi pun menghabiskan tanpa sisa. Aku pun lantas membawa piring kotor Robi ke wastafel dan langsung mencucinya."Mau minum teh anget apa es jeruk?" tanyaku lagi berharap Robi mulai mencairkan suasana karena sejak tadi dia hanya diam saja. "Rob... Aku bertanya padamu, kamu pengen a
Dengan gerakan refleks, kututup mulutku yang membuka lebar. "Jangan katakan kalau ibu menyembunyikan penyimpangan yang Bobi perbuat?" Robi lantas menarik lengan ibu untuk duduk di kursi yang terletak di kamar ini. Kepalanya terus menunduk seolah takut untuk menatap kami berdua. Robi lalu duduk di ranjang yang lebih dekat dengan tempat ibu kini. "Sejak kapan, bu?" Bukannya menjawab, ibu justru menangis tersedu-sedu. Kedua telapak tangannya digunakan untuk menutup wajahnya. "Tega sekali ibu mendukung kebiadapan Bobi!" Robi menekankan suaranya. "Ibu tak pernah mendukungnya, Rob. Tapi apa yang bisa ibu perbuat?" Robi masih terpaku untuk menatap pada ibunya. Sedangkan aku kini berpindah tempat untuk mendekat pada ibu. "Sudah berapa lama, bu?" "Ibu baru mengetahuinya setahun terakhir, Nil. Jangan berfikir bahwa ibu tak berusaha mengobatinya. Ibu sudah membawanya ke psikolog dan psikiater tapi nyatanya sejak dia praktikum justru s
Mata Richard membulat seraya menatapku dengan tajam. Ya barusan itu adalah pertanyaan yang kulontarkan padanya. "Kami janji akan membantu menyembunyikan fakta ini. Tapi jelaskan dulu bagaimana bisa kalian menjalin hubungan yang menjijikkan tersebut?" Sekalipun Aku berbicara dengan nada menekan, tapi tetap saja tanganku masih menggenggam erat tangan Robi agar dia bisa meredakan amarahnya saat ini. "Ya, lalu apa lagi yang harus aku tutupi kalau nyatanya kalian sudah tau?" Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Bahkan sikap tenangnya yang seolah tanpa beban tersebut membuatku cukup muak. Robi terlihat tersenyum di ujung bibirnya. Mungkin ini salah satu cara untuk menutupi apa yang tengah dirasakannya. "Anda yang menyeret Bobi masuk kelingkaran ini?" Ricard menggeleng, dia tersenyum semakin lebar. "Aku harus jujur. Sejak kuliah di luar negeri kebiasaan yang kalian anggap menjijikkan ini bukanlah hal yang aneh. Tapi kalian harus tau, kami
"Nil, kamu sudah bilang ke Ricard kalau kita udah jalan kan?" Aku mengangguk, memang setelah pertemuan dengan Reza dan Doni tadi pagi, Robi segera mengajak Ricard bertemu. "Kamu yakin Rob? " Dia mengangguk dengan pandangan yang tetap fokus menatap depan. "Gak pengen ngasih tahu ibu dulu?" "Justru sepertinya ibu sudah lebih dulu tau soal ini dan menyembunyikannya dari kita." Kentara sekali bahwa Robi tengah menahan emosi. Akupun mewajari sikapnya kali ini, walaupun saat biasanya dia terlihat cuek dan acuh tapi tetap saja Robi sangat perhatian dengan adiknya. "Nih Ricard ngasih tau kalau dia udah disana." Aku lalu menunjukkan sekilas pesan pria maskulin tersebut. Gegas melajukan mobil dengan lebih cepat. Tujuannya agar kita tak pulang kemalaman. Karena ibu menunggu dirumah sendirian. Seharian ini, kami pergi tak memberi tahu alasan pastinya pada ibu. Robi berbohong bahwa malan ini kami akan pergi menonton dan ibu pun tak mempermasalahk
"Oh, ini abang dan kakak iparku. Kenapa?" jawab Reza dengan nada meninggi dan mata menatap tajam. Reza memberi interuksi tanpa suara agar kami berdua segera berjalan terlebih dahulu. Sesekali aku menengok ke belakang sampai memastikan bahwa dia benar-benar tak dalam masalah. "Kalau dia nutupi status kita, berarti emang ada masalah sama si Bobi." Robi menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Aku sengaja memperlambat langkah hingga Reza benar menyusul di belakang. Kafe ini tak terlalu ramai. Padahal suasana dan interiornya cukup photoable untuk kalangan mahasiswa. Tapi setelah melihat daftar menunya aku mulai paham kenapa sangat sepi. "Mbak udah lihat isi kreseknya, kan?" Aku mengangguk, lalu Robi pun ikut mengangguk. "Saya boleh cerita kejadian kurang menyenangkan gak?""Ceritakan semuanya, jangan ada yang ditutupi." Robi menekankan perkataannya. Sehingga Reza pun terlihat bersiap untuk memulai bercerita. "Setelah sa
Sigit Prawiro, dalam kartu nama tersebut sangat jelas bahwa profesi yang tercantum adalah seorang lawyer. "Makin aneh aja deh si ibu." Robi mengeluhkan sikap ibunya sendiri. "Apa kita ketemu sama Ricard dulu atau mencari informasi tentang apa yang ibu lakuin akhir-akhir ini?"Aku mengerutkan kening untuk memberi saran yang cocok untuk itu. Tapi tetap saja aku belum bisa menentukan aoa yang seharusnya kita lakukan setelah ini. "Enaknya gimana ya Rob? Apa kita selesaikan sendiri atau kita minta bantuan keluarga?" "Siapa? Om Pras dan tante Wanda?" Aku mengangguk pelan. Takut jika apa yang kuutarakan ini tak disetujuinya. "Masalahnya kan kita belum tau pasti tentang Bobi sebelum dia meninggal." Lalu aku pun mengingat sesuatu dan segera berbisik padanya. *Pagi ini Robi sudah lebih dulu meminta ibu untuk menjaga ruko sendirian dengan alasan akan pergi denganku. "Sekali-kali kencanlah buk. Ma