“Ayolah, Mas mending kamu jujur aja mau sampai kapan kamu hidup seperti ini dihantui rasa bersalah. Aku tahu ada hal yang kamu rahasiakan,” desak Asih. Karto hanya diam mendengar ocehan Asih. Memang benar apa yang dikatakan Asih Karto sudah bosan hidup seperti ini, setiap hari selalu di kejar ketakutan. Apalagi ia merasa Mayla selalu menghantuinya. Andai dulu aku tak mengikuti kemauan Dirga tentu semua tak akan seperti ini. Batin Karto. “Siapa yang menyuruhmu sebenarnya?” tanya Karto perlahan. “Mas Karto enggak usah banyak tanya, intinya Mas mau enggak bantu aku dan menjelaskan tentang rumah kosong itu.”Karto menghembuskan nafas dengan kasar. “Aku tak tahu dimana Pak Dirga, karena aku juga sedang mencarinya. Kalau tentang Mayla.” Karto terdiam tak melanjutkan perkataannya matanya menyapu semua sudut rumahnya. “Pak Dirga adalah orang yang di percaya Mayla untuk menjaga rumahnya termasuk istrinya, tapi entah setan apa yang merasuki Pak Dirga saat i
Saka pun segera menghubungi Arunika setelah mendengar kabar dari Asih. Arun pun segera mengirim pesan kepada Bagas agar segera menyusulnya ke rumah Saka. “Mau kemana kamu malam –malam begini?” tanya Bu Erika yang melihat Arunika membawa tasnya. “Arun ada urusan Mama nanti kalau sudah saatnya Mama juga akan tahu,” jawabnya dan bergegas meninggalkan Mamanya. “Ini anak semakin hari semakin aneh pasti dia pergi sama Bagas,” gerutu Mamanya. “Sabar, Bu. Mungkin Mbak Arun memang ada kepentingan mendadak,” sahut Bu Ijah yang berusaha menenangkan Bu Erika. “Kita lanjutin aja buat kuenya, Bu nanti keburu malam dan enggak selesai. Pesanannya kan di ambil pagi.”Bu Erika pun menuruti kata Bu Ijah, ia pun kembalkhiri ke dapur melanjutkan kerjaannya yang belum selesai. “Cepat sedikit, Pak,” ucap Arun pada sopir taksi. “Enggak berani Mbak ini jalannya ramai.” Arun nampak gelisah berkali-kali ia mengecek ponselnya. Semoga aja
Akhirnya Saka menemukan rumah kontrakan yang sesuai keinginanya. Rumah minimalis modern yang letaknya di sebuah perumahan yang tak cukup padat. Akses ke jalan raya pun sangat mudah apalagi di sekitar perumahan ada sebuah supermarket yang menjual kebutuhan sehari-hari. Setelah melunasi pembayaran rumah Saka pun mengangkut barang-barangnya dari tempat tinggal lamanya yang letaknya cukup jauh dari tempat barunya. Disini Saka ingin membuka lembaran baru dan melupakan masa lalunya yang tak mengenakan. Saka mengangkat kedua tangannya meregangkan otot-otonya yang terasa lelah karena seharian sibuk berkemas.“Udah mau di tempatin ini, Mas?” sapa seorang laki-laki berseragam yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.“Iya, Pak,” jawab Saka sambil mendongakkan melihat ke arah seseorang yang menyapanya.“Oh iya ngomong-ngomong Bapak sibuk enggak? kalau boleh bisa bantu saya beres-beres. Soal ongkos Bapak tenang aja,” ucap Saka tanpa basa-basi pada seorang laki-laki yang baru di temuinya.“Boleh, Mas.
Mobil Saka melaju dengan cepat melintasi jalan yang tak begitu ramai menuju tempat kerjanya. Hari ini Saka mulai masuk kerja di tempat yang baru. Perusahaannya memindahkannya dari tempat kerja lamanya, dengan alasan cabang baru butuh Saka untuk mengelolanya.Saka duduk di ruang meeting, menunggu karyawan lain yang belum datang. Tak ada yang salah kenapa Saka harus menunggu, karena memang belum jam masuk kantor. Saka belum hapal jalan menuju tempat kerjanya yang baru. Saka sengaja berangkat lebih awal dari rumahnya. Saka tak menyangka kalau ternyata jalan yang harus dilaluinya tak seperti di tempat kerjanya yang dulu. Pagi, Pak,” sapa seorang perempuan cantik padanya.“Pagi,” jawab Saka tanpa melihat ke arah yang menyapanya. Saka masih saja asik menatap laptopnya.“Apa benar ini Pak Saka?” tanya perempuan itu ragu.Seketika Saka menghentikan pekerjaanya. Matanya pun langsung melihat ke arah suara yang menyapanya. “Kamu siapa?” tanyanya dingin. “Saya Ayu, saya admin di sini,” sambil me
Saka memang bukan orang yang suka mengurusi hal yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya. Namun jika ia merasa ada sesuatu yang janggal menurutnya, ia akan mencari tahu apa jawabannya. Begitu pun dengan aturan yang berlaku di komplek perumahan tempat tinggalnya. Bagi Saka larangan untuk tidak datang ke rumah nomor tiga belas sangat tak masuk akal. Apalagi selama ia menempati perumahan itu tak ada kejadian apapun yang di alaminya. Kebetulan hari ini hari libur, Saka juga tak ada janji dengan siapapun. Untuk mengisi waktunya ia memilih lari pagi mengitari komplek perumahannya. Setelah bersiap dengan style olah raganya, Saka pun berjalan perlahan berkeliling lingkungan sekitarnya. Langkahnya pun terhenti tepat di depan rumah kosong di ujung jalan. Pandangannya tertuju pada sosok seorang perempuan yang sedang menyirami tanaman di depan rumah. Perempuan itu pun melihat ke arah Saka, dia pun tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Dengan ragu Saka membalas senyuman perempuan itu. Belu
“Saya perhatikan akhir-akhir ini Mas Saka murung. Memang ada masalah ya di kantor?” celetuk Pak Senin. “Enggak ada, Pak. Semua berjalan lancar sesuai harapan saya,” jawab Saka tanpa melihat ke arah Pak Senin yang mengajak bicara.Pak Senin pun diam tak berani bertanya lebih jauh lagi pada Saka. Hanya terdengar deru nafas mereka berdua. Bahkan kopi di cangkir saka pun sudah mulai dingin. “Pak, saya tahu Bapak orang baik. Makanya saya percaya.”Mendengar perkataan Saka, Pak Senin pun sontak menengok ke arahnya. “Syukurlah kalau Mas Saka menilai saya seperti itu. Tapi tumben enggak ada angin enggak ada hujan kenapa Mas Saka muji saya?” Saka tak begitu mempedulikan perkataan Pak Senin barusan. “Pak, waktu saya lewat di depan rumah yang katanya tak boleh di kunjungi, saya melihat seorang perempuan.”Mata Pak Senin seketika langsung terbelalak, wajahnya pun langsung pucat dan dia beringsut dari tempat duduknya. “E--- Mas Saka salah lihat kali,” sanggah Pak Senin mendengar perkataan S
Di sebuah taman Saka menghabiskan akhir pekannya kali ini. Sesekali ia menatap beberapa anak kecil yang berlarian bermain bersama. “Ini nomor siapa ya? tiba-tiba aja tanya kabar. Arunika. Enggak mungkin. Tapi kenapa tiba-tiba aku ingat dia.” Saka masih penasaran dengan nomor yang mengirim chat padanya. Ngapain Arun chat lagi? Dia kan udah pergi tanpa pamit.”“Arun cuma nitip pesan sama Tante supaya kamu melupakan dia. Katanya dia mau fokus sama kerjaannya.”“Tapi kenapa mendadak begini, kemarin waktu kita ketemu dia enggak ngebahas apapun.”“Maafkan Tante, Ka. Untuk kali ini Tante enggak bisa bantu kamu. Sebelum dia berangkat Tante juga udah ngomong supaya nemuin kamu dulu, tapi katanya enggak usah.”Saka terduduk lemas. Saat ini ia benar-benar tak bisa berpikir jernih. Separuh jiwanya pergi begitu saja. Hubungannya dengan Arunika selama ini ternyata sia-sia.“Ini ada titipan dari Arun,” ucap Tante Sarah sambil menyerahkan sebuah bingkisan kepada Saka.“Buuuk.” Sebuah bola mengenai Sa
Rumah Baru Arunika.Setoples gula kacang menemani Arunika menikmati waktu senggangnya hari ini. “Mau kamu habiskan gula kacang sebanyak itu?” tegur Mama yang melihat Arunika tak berhenti mengunyah sedar tadi.Arunika hanya melirik Mamanya, tanpa mempedulikan ucapannya, karena dia terus asik menikmati gula kacang yang masih tersisa di tangannya. “Ma, kenapa hidup kita enggak semanis gula kacang?” tanya Arunika sambil mengambil gula kacang di toples yang masih dipegangnya. “Maksud kamu bicara seperti itu apa? Tiba-tiba mengumpamakan hidup dengan gula kacang,” ucap Mama menanggapi pertanyaan Arunika. Lagian enggak biasanya kamu seperti ini,” tanya Mama heran karena mendengar pertanyaan Arunika. “Iya, dari pada enggak ada bahan omongan. Tapi benar kan Ma dengan apa yang aku katakan. Buktinya dari kecil aku sama Mama selalu susah. Coba Mama bayangkan kalau hidup itu seperti gula kacang dari awal sampai akhir selalu manis enggak a