Share

Bab 2

Author: Miola Xaveria
last update Last Updated: 2024-11-27 19:10:55

“Mas!” Aku keluar dari dapur berniat mengejarnya. Namun ketika baru beberapa langkah, aku tersadar, tidak mungkin itu Mas Halid, dia kan tidak bisa manjat selincah itu. Aku paham benar bagaimana cara Mas Halid manjat.

“Astaghfirullah hal adzim. Siapa dia? Apa ada orang lain di rumah ini?”

Aku bergegas masuk kembali ke dalam rumah yang sudah mulai gelap gulita, hanya ada cahaya yang memancar redup dari dalam kamar. Segera aku kunci pintu belakang dan berlari ke kamar.

Ketika melintas di ruang keluarga, sekilas aku melihat ada suatu benda mirip manusia tergeletak di lantai ditutup dengan kain hitam, tepat berada di bawah meja televisi.

Aku berhenti sejenak, memperhatikan benda tersebut. Perasaan semua barang-barang di ruangan ini sudah aku buka semua penutupnya. Kok ini masih ada yang kelewat.

Aku mendekati benda itu, lalu tanganku terulur. Kupegang ujung kain penutup benda itu, dengan napas memburu, perlahan aku buka kainnya.

Dorrr … dorrr… Tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu yang cukup kuat. “Dek buruan bukain pintu, Dek, Miska, cepat.” Suara Mas Halid terdengar seperti orang ketakutan, disertai suara gedoran pintu yang tak kunjung reda.

“Iya, Mas sebentar,” sahutku.

Aku berlari tergopoh-gopoh menuju ruang tamu yang berada di sebelah ruang tengah. Namun di antara ruang tengan dan ruang tamu, ada satu ruangan yang belum aku temukan kuncinya, Jadi aku belum tahu isinya apa.

Sampai di depan pintu, aku langsung memutar anak kunci dan membuka pintu dengan segera, sepertinya Mas Halid sedang buru-buru atau dikejar sesuatu.

“Dek, kamu nggak apa-apa?” Pria itu memeriksa tubuhku dengan seksama.

“Nggak apa-apa, Mas, ada apa? Kok Mas panik begitu?”

“Tadi ….” Mas Halid tidak melanjutkan perkataannya, dia justru berlari masuk ke dalam rumah.

“Mas ada apa?” aku mengekori Mas Halid sampai ruang tengah. Lalu dia masuk ke kamar yang tadi sempat aku nyalakan lilin.

Aku masih berhenti di ruang tengah ketika suamiku itu sudah masuk ke dalam kamar. Aku perhatikan di bawah meja TV, sudah tidak ada lagi benda yang tadi hendak kubuka.

“Loh, kok udah nggak ada.” Aku bergumam keheranan. “Perasaan tadi di situ.”

Aku lirik ke arah kamar, pria itu sudah keluar dari dalam bilik. Aku langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan.

“Mas, ada apa? Kok panik begitu? Mas jawab!”

Pria itu menggelang. Lalu celingukan ke sana ke mari.

"Nggak apa-apa, Dek, tadi kayak ada, ah kayaknya mas salah lihat."

"Mas ini bikin aku panik aja. Oh iya Mas tadi aku lihat di belakang rumah kayak ada orang, kirain kamu. Pas aku panggil, dia malah berlari melompati pagar kawat di belakang, menuju kebun sawit di belakang rumah ini, lho, Mas.”

“Hah, orang? Seperti apa orangnya, Dek?” Mas Halid yang kini mencecaku dengan banyak pertanyaan.

“Kalau perwakannya kayak kamu, Mas, cuma agak tinggi lagi orangnya. Pas aku panggil, dia malah lari, aku sadar kalau itu bukan kamu, jadi aku langsung masuk lagi."

"Berarti barusan ini kamu nggak di kamar kan?"

"Nggak, Mas. Aku di belakang agak lama, terus masuk, baru sampai ruang tengah ini. Kamu manggil-manggil."

"Huuf, syukurlah." Mas Halid menghela napas. Dia lantas ke dapur dan membuka pintu belakang.

Aku terus mengekori pria itu kemana dia beringsut, Jujur setelah aku melihat benda yang terbujur mirip mayat di depan meja TV, perasaanku makin tak enak.

“Di mana tadi, Dek?”

“Di sana, Mas dekat pojokan.” Aku menunjuk tempat orang tadi menaiki pagar.

“Gelap, Dek, aku coba hidupkan genset dulu ya, besok baru aku urus ke Kantor PLN, tadi aku udah tanya-tanya yang punya warung, ternyata dari ketua RT. Terus dikasih tahu prosedur untuk pemasangan ulang KWH listriknya.”

“Iya, Mas, di mana letak gensetnya?”

“Itu di sana, dekat gudang, ayo, kamu tolong senterin ya. Kita ambil dulu senter di tas.”

“Apa nggak sebaiknya kita shalat dulu, Mas, baru hidupkan genset, takutnya lama nanti.”

“Biar terang, Dek, mau mandi, ambil wudhu juga enak. Aku lihat tadi instalasi listriknya masih bagus kok.”

Aku mengiyakan usulannya.

Kami lantas menuju kamar untuk mencari senter yang Mas Halid bawa. Tadi aku sempat mencari, tetapi tidak ketemu. Karena memang Mas Halidlah yang memasukan ke dalam tas.

“Ketemu, Dek, ayo kita ke samping. Kita lewat depan saja.”

Genset yang dimaksud Mas Halid ternyata berukuran besar. Kuat untuk menghidupkan semua lampu di rumah ini dan juga alat elektronik lainya, karena berkapasitas besar.

Alat penghasil tenaga listrik itu ditempatkan di sebuah rumah kecil di samping gudang, tak jauh dari dapur. Asap pembakaran langsung diarahkan ke kebun sawit belakang, jadi tidak mengganggu polusi udara di sekitar rumah.

Aku arahkan senter ke mesin genset itu, lalu Mas Halid menuangkan satu jerigen bensin ke dalam tangkinya.

“Bismillah, semoga masih berfungsi.”

“Aamiin.”

Mas Halid pun mencoba menghidupkan mesin itu. Namun sudah berkali-kali dihidupkan, tidak juga hidup.

“Udah dicek aku, busi dan lainnya, Mas.”

“Udah tadi, Dek.”

“Ya sudah coba lagi, Mas.”

Hingga adzan Isya berkumandang, alat itu belum menyala juga.

“Kan, Mas, habis waktu Magribnya. Tadi aku ajak shalat dulu nggak mau."

"Kan bisa diqodho, Dek. Tadi kan kita habis jalan jauh."

"Mana bisa, Mas. Kan sampai sininya udah lama."

"Udahlah, nanti kita shalat isya, sekarang kita hidupkan dulu ini mesin, biar terang."

Entah percobaan ke berapa baru mesin genset bisa menyala, setelah Mas Halid bersihkan busi dan juga akinya.

"Coba hidupkan lampu dalam, Dek"

Aku tak menjawab, langsung beringsut masuk ke dalam rumah. Masih kesal dengan Mas Halid.

Sampai di dalam rumah, aku cari saklar lampu ruang tamu, tetapi sepertinya tidak mau menyala. Lalu aku pindah ke ruang tengan.

Ketika aku sedang mer4ba dinding untuk mencari. Sekilas aku melihat ada seseorang berbaju hitam di dalam kamar. Tak lama setelah itu, lilin di kamar pun padam.

"Siapa itu?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 18

    Sepanjang jalan ke klinik hingga sampai pulang ke rumah, pikiranku masih berkecamuk mengenai penuturan Joko. Perkataan pemuda berkulit sawo matang itu sepertinya tidak diragukan. Walaupun apa yang dia tuturkan belum terlalu lengkap.“Pak Halid beneran tinggal sendirian di rumah ini?” Mimik wajah Joko berubah seketika saat melihat ke arah rumah mewah itu.“Iya, Jok, istri saya sedang pulang ke rumah ibunya dulu.”“Ng—nggak takut gitu, Pak?”“Takut itu manusiawi, Jok. Kalau saya tidak lawan rasa takut, keluarga saya nanti nggak makan Jok. Kasihan mereka.”Sebenarnya jika ngikutin ego, aku juga tidak mau tinggal di rumah ini. Namun karena hal penting, aku harus bisa bertahan di rumah ini. Apalagi jika aku bisa menguak, misteri apa yang ada di balik semua kemewahan rumah ini.“Iya, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu ya. Kalau ada perlu apa-apa, Bapak telpon saja. Siapa tahu saya bisa bantu.”“Memangnya kamu berani Jok, kalau misalnya saya telepon tengah malam, nyuruh kamu ke sini?”“Eh …

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 17 B

    “Paling tiga hari lagi selasai, Pak, tapi nanti ada yang mau terus ikut kerja di sini ada juga yang rombogan Pak Dayat itu nggak lanjut. Karena memang pekerjaan mereka borongan khusus membersikan lahan punya orang. Begitu, Pak.”“Oh begitu, nanti saya minta catatan siapa saja yang mau lanjut kerja dan siapa yang berhenti.”“Baik, Pak Halid, nanti saya akan data. Kalau misalnya ada yang mau ikut lagi, apa masih bisa?”“Masih Pak, justru saya mau minta bantuan Bapak jika ada warga lain yang mau kerja. Soalnya saya masih butuh banyak orang untuk manen dan pekerjaan lainnya. Sopir juga saya butuh sekitar empat orang, Pak.”“Baik, baik, Pak Halid, nanti saya samaikan sama teman-teman yang bisa nyopir.”“Kamu itu Jok, gimana sih, ini lho, kenapa malah pakai yang ini. Pak Halid tadi kan suruh yang itu.”Dari dapur terdengar Pak Didik dan Joko bergaduh, entah apa yang diperdebatkan mereka berdua. Hingga suara mereka terdengar sampai di ruang tamu.“Bentar ya, Pak Halid, saya lihat mereka ber

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 17 A

    “Mayat? Di mana ada mayat Jok?” tanya yang lainnya.Banyak mata memandang aneh ke arahku. Apa mereka mengira aku menyembunyikan mayat? Atau apa mereka mengira aku membunuh seseorang dan menyimpan mayatnya disimpan di dalam rumah? Kenapa pandangan mereka seolah aku melakukan sesuatu? Atau hanya perasaanku saja.“Di ruang tengah, Pak, di depan TV, tadi pas aku masuk ke dapur, ada apa-apa di sana, tapi saat aku keluar bawa air minum, aku lihat ada mayat terbujur di depan TV, ditutup kain jarik,” terang Joko dengan suara bergetar. Sepertinya dia sangat syok dengan apa dia lihat.Ternyata tak hanya aku dan Miska yang mendapatkan teror. Bahkan Joko saja yang hanya lewat di ruang tengah harus melihat penampakan yang mengerikan. “Ah masa? Ayo coba lihat Jok!” Pak Didik terlihat tidak percaya dengan penuturan Joko.Joko menggeleng cepat. “Nggak mau, Pak, ngeri.” Joko menolak. Beberapa orang yang penasaran langsung menyeruak masuk ke dalam rumah. sementara itu, Joko diberi minum oleh rekan ke

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 16

    Aku menatap kepergian dua karyawan Toko Anugrah Makmur dengan perasaan kesal. Belum juga aku mendapatkan informasi yang lengkap mengenai rumah ini, tetapi mereka harus buru-buru pergi karena pekerjaan.Aku periksa kembali barang-barang yang tadi aku beli di gudang penyimpanan. Semuanya lengkap, takada yang tertinggal maupun tercecer. Pasalnya tadi aku lihat, tali yang mengikat barang-barang itu sedikit kendur.Aku tutup kembali, lalu aku kunci pintu gudang, setelah semuanya aman. Aku lantas beranjak menuju rumah untuk beristirahat sejenak sebelum beraktivitas memeriksa pekerjaan para pekerja di bagian utara.Aku duduk di teras sambil menikmati semilirnya angin menjelang siang ini, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi menjerit-jerit di dalam tas kecilku. Ada nama “My Wife” di layar ponsel pintarku. “Ya, Dek,” jawabku.“Mas, aku ….”Suara Miska terjeda, entah apa yang hendak dia katakan, padahal dari notifikasi di jendela ponsel, banyak panggilan tak terjawab dari wanitaku itu. Seper

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 15 B

    Mreneo, Le!” (Kesini, Le) Nenek itu melambaikan tangan, seperti isyarat untuk mengikutinya.Aku pun menurut, mengikuti nenek itu duduk di teras ruko, tempat Miska dan dirinya berbincang kemarin.“Ketemu, Mas?” tanya tukang parkir tadi.“Iya, Mas. Oh iya, Masnya bisa bahasa Jawa nggak ya? Kalau bisa bantuin saya artikan kata-kata Nenek, soalnya saya nggak paham, tapi saya butuh informasi dari beliau.”“Wah jelas bisa, Mas, walaupun saya bukan orang Jawa, tapi lingkungan tempat tinggal saya orang Jawa semua.”“Wah, bagus itu, tolongin saya, ya. daripada saya buka googl3 translate.”“Boleh, Mas. dengan senang hati.” tukang parkir itu tersenyum.Kami pun duduk di teras bertiga, Nenek itu membuka dagangannya terlebih dahulu.“Kawanen aku, Le.”“Apa dia bilang, Mas?”“katanya kesingangan, Mas.”“Oh, memangnya Nenek tinggal di mana?”“Manggon neng omah gedongan kae kudu kuat. Tembang iku, biso ngelilakno sopo wae sing ngrungokne, opo meneh cah wedok, iso digowo karo Nyai, dadi budak e Nyai.

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 15A

    Aku masih mencerna kata-kata yang dilontarkan tukang parkir itu. Apa benar nenek itu stress? Tapi jika dilihat dari penampilannya, terawat, tidak seperti orang dalam gangguan jiwa lainnya. Bagaimana dengan peristiwa kebakaran pasar? Apa itu hanya kebetulan?“Kalau begitu saya ke toko pertanian dulu, Mas, nanti ke sini lagi. Siapa tahu neneknya sudah datang.”“Memangnya sangat penting ya, Mas?” tanya tukang parkir itu ingin tahu.“Ya begitulah, saya permisi, Mas.” Aku ulurkan uang receh untuk membayar parkir. Tukang parkir itu lantas mengambilnya seraya mengucapkan terima kasih.Aku pun menarik tuas gas menuju toko alat pertanian yang berada tak jauh dari Pasar Pal Tiga. Banyak sekali alat perkebunan yang harus aku beli, diantaranya; fiber untuk memanen sawit, alat semprot, pupuk dan juga pestisida untuk membunuh gulma.Semua barang-barang itu aku beli dalam jumlah banyak, yang nantinya akan digunakan para pekerja untuk merawat dan memanen sawit. Sebelum aku membeli, aku kirim terleb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status