Aku langsung berlari ke kamar, memeriksa siapa yang berada di kamar tadi. Aku takut ada orang yang diam-diam masuk ke rumah saat kami di belakang tadi. Pasalnya aku pintu depan tadi tidak aku kunci.
Lilin di kamar tadi sudah tak berbekas, hanya kepulan asapnya yang masih terlihat mengepulkan asap putih. Aku cari di mana orang itu, tetapi tidak kutemukan ada sesiapa pun di dalam kamar. "Dek. Hidup nggak?" teriak Mas Halid dari luar rumah. "Bentar, Mas, lilin udah mati, jadi gelap di dalam sini, Mas.” “Buruan, Dek,” teriak Mas Mas Halid lagi. “Iya, Mas.” Di dalam sini aku cukup kesulitan mencari saklar lampu. Biasanya berada di dekat pintu dan tingginya sekitar satu meter. Namun sudah aku raba tidak juga aku temukan. Aku kembali meraba dinding sebelah kanan, di sana baru aku temukan saklar lampu. Langsung aku tekan saklar itu, tetapi tidak mau menyala. “Di kamar kayaknya mati, Mas. Coba aku cari di ruang tengah,” pekikku. Aku buru-buru keluar kamar dan mencari saklar lampu. Semoga saja di ruang tengah bisa hidup. “ Astaghfirullah halaazim, Mas. Kamu kok hobi banget ngagetin aku.” Tiba-tiba Mas Halid sudah ada di depan pintu kamar dengan wajah pucat. Ada apa dengan Mas Halid? “Kamu lama banget,” jawabnya singkat. “Mas kenapa mukanya pucet gitu?” Mas Halid hanya menggeleng. Dasar, ditanya malah hanya menggeleng “Mana senternya, Mas, coba cari saklarnya di dekat pintu.” Pria di depanku itu menyerahkan senter yang sedari tadi dia pegang. Namun anehnya, benda sumber cahaya itu tidak dihidupkan. Padahal dari belakang rumah sampai ke sini keadaanya gelap. Terlebih aku sedang mencari tombol lampu. Aku yang msih keheranan melihat tingkah suamiku itu langsung mengambil senter dari tangannya. Pria itu bergeming, tak berinisiatif membantu mencari saklar, padahal aku sudah sesah bernapas dalam kegelapan. Aku cari di dekat meja televisi, feeling-ku di sana, karena aku lihat tadi sebelum gelap, ada stop kontak untuk menyalakan TV. Aku arahkan cahaya senter ke tempat itu, dan ternyata benar, di sanalah saklar lampu yang kucari. Aku begegas menekan tombol itu. Namun saat kakiku mendekati meja TV, tak sengaja ada benda yang tersenggol olehku. Seperti kaki manusia. Buru-buru aku tekan tombol itu dan lampu pun nyala seketika. Alhamdulillah akhir nya nyala” pekik Mas Halid terdengar kecil, karena tersamar dengan bunyi genset. Aku lntas berbalik badan, mencari suamiku yang tadi masih berdiri tak bergerak di depan pintu kamar. “Lho, kok Mas Halid nggak ada. Secepat itukah dia keluar rumah?” gumamku. “Dek, nyala?” teriaknya. “Iya, Mas, alhamdulillah.” Aku masih penasaran dengan benda yang aku senggol tadi, tetapi di bawah kakiku tidak ada apa-apa, hanya lantai yang sedikit berdebu karena belum sempat aku bersihkan. Aku beralih ke rumah tamu, menghidupkan lampu di sana dan lampu teras. Alhamdulillah masih berfungsi semua. Tak berapa lama, Mas Halid pun muncul. Wajahnya penuh keringat. “Lho, senternya kamu bawa toh, Dek? Pantesan tak cari-cari nggak ada.” “Kan tadi Mas yang ke sini, nyusulin aku, bawa senter ini.” “Ah nggak kok, aku dari tadi di ruangan genset, belum ada masuk rumah. Baru inilah,” kilahnya. “Jadi siapa yang tadi ke sini,” gumamku. “Ah sudahlah, aku mau periksa kamar mandi, Mas. Kamu coba periksa kamar itu, lampunya mungkin yang putus.” “Iya, Dek, Mas juga udah gerah, pengen mandi terus shalat, terus tidur, udah capek banget. Besok pagi-pagi ada pekerja yang mau bersihkan lahan.” “Iya, Mas.” Aku lantas ke kamar mandi belakang, yang berada di dekat dapur. memeriksa kran air. Ternyata airnya mati. Aku pun beranjak ke dapur, kulihat di samping kulkas, ada beberapa stop kontak, ku coba satu per satu. Siapa thu salah satunya ada colokan untuk menghidupkan air. Ketika mencoba colokan ke tiga. Benar saja, ketika kucolokan, lampu sedikit berkedip, dan terdengar msin air di bawah meja kompor berbunyi. "Alhamdulillah, bisa mandi," gumamku. Tak berapa lama, air di kamar mandi mengucur dengan deras. Aku pun membersihkan kamar mandi seadanya, karena sikat pembersih kamar mandi ternyata patah. "Mas, mandilah dulu." Aku susul Mas Halid di kamar. Pria itu sedang menukar lampu bohlam. Sepertinya dia ambil dari ruang tamu. Karena lampu di sana mati. "Kayaknya saklar yang bermasalah, Dek. Besok aja ya benerinnya. Nanti pintunya nggak usah ditutup, biar ada cahaya dari ruang tengah." "Iya, Mas, yang penting kita bisa istirahat dulu." Aku pindai sekeliling kamar, ternyata di ruangan besar ini ada ruangan kecil yang memungkinkan itu kamar mandi. Aku periksa ruangan itu, dan ternyata benar, ada kamar mandi di dalam kamar ini. Lampunya pun menyala walaupun hanya remang. Syukurlah, jadi kalau kebelet, tidak perlu ke belakang. "Mas kamu mandi di belakang dulu ya. Kamar mandi sini biar kubersihkan dulu." "Iya, Dek, mana handuknya?" "Di tas cokelat itu, Mas, sabun, sampo juga ada di sana, di kantung kecil sampingnya." Pria itu berlalu setelah menemukan apa yang dia cari. Setelah mandi kami pun shalat berjamaah di ruang tengah. Setelah itu kami pun beranjak ke peraduan. Rasanya badan ini sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas lain kecuali tidur. "Mas, gensetnya nggak dimatikan?" "Besok aja, Dek, kita nggak ada penerangan lain soalnya." "Iya, Mas." Malam semakin sunyi, hanya terdengar deru suara mesin genset yang tak begitu kuat. Perlahan mata ini terpejam dengan lelap. ** "Yaa-Siiin." "Wal-Qur-aanil-Hakiim." Sayup aku dengar orang sedang membaca surat Yasin, dan diiringi dengan isak tangis. Seperti sedang ada kematian. Sontak aku pun bangun bngun dari tidur. "Mas, Mas bangun, kayaknya udah Subuh." "Hemmm." Mas Halid hanya menggeliat. Aku pun turun dari ranjang dan berjalan mengendap-endap menuju pintu. Aku intip dari dalam kamar keadaan ruangan tengah. Sontak kakiku seperti tak bertulang. Di ruang tengah itu ada beberapa orang berbaju hitam sedang duduk di depannya ada mayat yang tertutup kain jarik. Tak hanya satu, tapi ada tiga mayat sekaligus. "Astaghfirullah, mayat si–sipa itu?" ***Sepanjang jalan ke klinik hingga sampai pulang ke rumah, pikiranku masih berkecamuk mengenai penuturan Joko. Perkataan pemuda berkulit sawo matang itu sepertinya tidak diragukan. Walaupun apa yang dia tuturkan belum terlalu lengkap.“Pak Halid beneran tinggal sendirian di rumah ini?” Mimik wajah Joko berubah seketika saat melihat ke arah rumah mewah itu.“Iya, Jok, istri saya sedang pulang ke rumah ibunya dulu.”“Ng—nggak takut gitu, Pak?”“Takut itu manusiawi, Jok. Kalau saya tidak lawan rasa takut, keluarga saya nanti nggak makan Jok. Kasihan mereka.”Sebenarnya jika ngikutin ego, aku juga tidak mau tinggal di rumah ini. Namun karena hal penting, aku harus bisa bertahan di rumah ini. Apalagi jika aku bisa menguak, misteri apa yang ada di balik semua kemewahan rumah ini.“Iya, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu ya. Kalau ada perlu apa-apa, Bapak telpon saja. Siapa tahu saya bisa bantu.”“Memangnya kamu berani Jok, kalau misalnya saya telepon tengah malam, nyuruh kamu ke sini?”“Eh …
“Paling tiga hari lagi selasai, Pak, tapi nanti ada yang mau terus ikut kerja di sini ada juga yang rombogan Pak Dayat itu nggak lanjut. Karena memang pekerjaan mereka borongan khusus membersikan lahan punya orang. Begitu, Pak.”“Oh begitu, nanti saya minta catatan siapa saja yang mau lanjut kerja dan siapa yang berhenti.”“Baik, Pak Halid, nanti saya akan data. Kalau misalnya ada yang mau ikut lagi, apa masih bisa?”“Masih Pak, justru saya mau minta bantuan Bapak jika ada warga lain yang mau kerja. Soalnya saya masih butuh banyak orang untuk manen dan pekerjaan lainnya. Sopir juga saya butuh sekitar empat orang, Pak.”“Baik, baik, Pak Halid, nanti saya samaikan sama teman-teman yang bisa nyopir.”“Kamu itu Jok, gimana sih, ini lho, kenapa malah pakai yang ini. Pak Halid tadi kan suruh yang itu.”Dari dapur terdengar Pak Didik dan Joko bergaduh, entah apa yang diperdebatkan mereka berdua. Hingga suara mereka terdengar sampai di ruang tamu.“Bentar ya, Pak Halid, saya lihat mereka ber
“Mayat? Di mana ada mayat Jok?” tanya yang lainnya.Banyak mata memandang aneh ke arahku. Apa mereka mengira aku menyembunyikan mayat? Atau apa mereka mengira aku membunuh seseorang dan menyimpan mayatnya disimpan di dalam rumah? Kenapa pandangan mereka seolah aku melakukan sesuatu? Atau hanya perasaanku saja.“Di ruang tengah, Pak, di depan TV, tadi pas aku masuk ke dapur, ada apa-apa di sana, tapi saat aku keluar bawa air minum, aku lihat ada mayat terbujur di depan TV, ditutup kain jarik,” terang Joko dengan suara bergetar. Sepertinya dia sangat syok dengan apa dia lihat.Ternyata tak hanya aku dan Miska yang mendapatkan teror. Bahkan Joko saja yang hanya lewat di ruang tengah harus melihat penampakan yang mengerikan. “Ah masa? Ayo coba lihat Jok!” Pak Didik terlihat tidak percaya dengan penuturan Joko.Joko menggeleng cepat. “Nggak mau, Pak, ngeri.” Joko menolak. Beberapa orang yang penasaran langsung menyeruak masuk ke dalam rumah. sementara itu, Joko diberi minum oleh rekan ke
Aku menatap kepergian dua karyawan Toko Anugrah Makmur dengan perasaan kesal. Belum juga aku mendapatkan informasi yang lengkap mengenai rumah ini, tetapi mereka harus buru-buru pergi karena pekerjaan.Aku periksa kembali barang-barang yang tadi aku beli di gudang penyimpanan. Semuanya lengkap, takada yang tertinggal maupun tercecer. Pasalnya tadi aku lihat, tali yang mengikat barang-barang itu sedikit kendur.Aku tutup kembali, lalu aku kunci pintu gudang, setelah semuanya aman. Aku lantas beranjak menuju rumah untuk beristirahat sejenak sebelum beraktivitas memeriksa pekerjaan para pekerja di bagian utara.Aku duduk di teras sambil menikmati semilirnya angin menjelang siang ini, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi menjerit-jerit di dalam tas kecilku. Ada nama “My Wife” di layar ponsel pintarku. “Ya, Dek,” jawabku.“Mas, aku ….”Suara Miska terjeda, entah apa yang hendak dia katakan, padahal dari notifikasi di jendela ponsel, banyak panggilan tak terjawab dari wanitaku itu. Seper
Mreneo, Le!” (Kesini, Le) Nenek itu melambaikan tangan, seperti isyarat untuk mengikutinya.Aku pun menurut, mengikuti nenek itu duduk di teras ruko, tempat Miska dan dirinya berbincang kemarin.“Ketemu, Mas?” tanya tukang parkir tadi.“Iya, Mas. Oh iya, Masnya bisa bahasa Jawa nggak ya? Kalau bisa bantuin saya artikan kata-kata Nenek, soalnya saya nggak paham, tapi saya butuh informasi dari beliau.”“Wah jelas bisa, Mas, walaupun saya bukan orang Jawa, tapi lingkungan tempat tinggal saya orang Jawa semua.”“Wah, bagus itu, tolongin saya, ya. daripada saya buka googl3 translate.”“Boleh, Mas. dengan senang hati.” tukang parkir itu tersenyum.Kami pun duduk di teras bertiga, Nenek itu membuka dagangannya terlebih dahulu.“Kawanen aku, Le.”“Apa dia bilang, Mas?”“katanya kesingangan, Mas.”“Oh, memangnya Nenek tinggal di mana?”“Manggon neng omah gedongan kae kudu kuat. Tembang iku, biso ngelilakno sopo wae sing ngrungokne, opo meneh cah wedok, iso digowo karo Nyai, dadi budak e Nyai.
Aku masih mencerna kata-kata yang dilontarkan tukang parkir itu. Apa benar nenek itu stress? Tapi jika dilihat dari penampilannya, terawat, tidak seperti orang dalam gangguan jiwa lainnya. Bagaimana dengan peristiwa kebakaran pasar? Apa itu hanya kebetulan?“Kalau begitu saya ke toko pertanian dulu, Mas, nanti ke sini lagi. Siapa tahu neneknya sudah datang.”“Memangnya sangat penting ya, Mas?” tanya tukang parkir itu ingin tahu.“Ya begitulah, saya permisi, Mas.” Aku ulurkan uang receh untuk membayar parkir. Tukang parkir itu lantas mengambilnya seraya mengucapkan terima kasih.Aku pun menarik tuas gas menuju toko alat pertanian yang berada tak jauh dari Pasar Pal Tiga. Banyak sekali alat perkebunan yang harus aku beli, diantaranya; fiber untuk memanen sawit, alat semprot, pupuk dan juga pestisida untuk membunuh gulma.Semua barang-barang itu aku beli dalam jumlah banyak, yang nantinya akan digunakan para pekerja untuk merawat dan memanen sawit. Sebelum aku membeli, aku kirim terleb