"Eh Dek, ngapain kamu tidur di situ?” Guncangan tangan Mas Halid membuatku terjaga.
Mataku mengerjap. Suara adzan dari desa terdengar sayup. Kuurut kepalaku yang berdenyut. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hingga bisa tidur di depan pintu. “Dek, kok malah bengong, kamu tidur sambil jalan? Perasaan nggak pernah kamu tidur sambil jalan.” “A–anu, Mas, semalam aku kebangun, terus dengan ada suara orang baca Yasin, aku bangunin kamu, tapi kamu nggak bangun, bangun. Terus aku turun dari ran—” Belum aku selesai cerita, tiba-tiba suara genset di samping rumah tersendat-sendat. Lampu di ruang tengah pun berkedip-kedip. “Kayaknya habis bahan bakar, Dek, mas matikan dulu ya. Senternya ada di dekat tas.” “Iya, Mas.” Sebelum lampu benar-benar mati, aku perhatikan ruangan tengah ini. Kosong, tidak ada apa pun di sini, hanya ada sofa, lemari hias, meja TV dan ada karpet yang digulung dan disandarkan di sudut ruangan. Tak berapa lama, lampu benar-benar mati. Hanya kegelapan tersisa di setiap sudut ruangan. Mataku sudah mulai terbiasa dengan ruangan yang gelap. Kuhidupkan senter, lalu menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Terdengar suara Mas Halid berdeham, dia pun masuk lalu mengunci kembali pintu depan. Sepertinya dia langsung ke kamar mandi. Aku tunaikan shalat subuh pertamaku di rumah asing yang seperti menyimpan banyak misteri. Baru semalam di sini aku sudah merasakan hal-hal janggal di rumah ini. Sepertinya aku harus mengundang tetangga untuk melakukan pengajian di rumah ini. Pasalnya ini rumah sudah sepuluh tahun terbengkalai, dulu kata Pak Hamdan, awal-awal ditinggal oleh pemiliknya, masih sempat dibersihkan oleh kerabatnya. Namun seiring berjalannya waktu, takada lagi yang membersihkan rumah mewah ini. Jam tujuh pagi, sekitar lima orang pekerja sudah datang, mereka membawa masing-masing satu mesin terbas. Mereka semua berasal dari desa tetangga yang berjarak kurang lebih lima kilometer dari perkebunan ini. "Pasarnya nggak jauh kok, Mbak, di dekat balai desa itu. Nah kebetulan hari ini hari pasaran. Soalnya satu minggu cuma dua kali, Senin sama Kamis. Kalau mau setiap hari, bisa ke pasar induk ada di kecamatan sebelah," kata salah seorang pekerja bernama Mas Budi, setelah aku tanya di mana letak pasar. Pria itu terlihat paling muda dibandingkan yang lain. Mungkin umurnya sekitar 30-an tahun. Sementara yang lain sudah cukup berumur. "Jadi kalau di pasar sini adanya sayur-sayuran sama sembako ya, Mas." "Iya Mbak." "Terima kasih, Mas." Aku kembali kedalam untuk bersiap ke pasar, membeli kebutuhan dapur dan kamar mandi, serta makanan ringan untuk para pekerja. Untuk makan siang, mereka membawa bekal masing-masing, tetapi aku dan Mas Halid harus menyiapkan makanan ringan dan kopi ketika mereka istirahat. "Dek, mas mau lihat batas kebun dulu sama Mas Budi, baru nanti mas mau ngurus listrik ke kantor PLN." "Jadi aku pergi ke pasarnya sendirian, Mas? Atau nunggu Mas?" "Kalau sendirian berani nggak Dek? Itu lho nggak jauh dari kita berhenti kemarin, kan dekat situ ada Balai Desa, nah cari aja, pasti rame-rame di sana, kalau nunggu mas takutnya lama. Batas ujung selatan aja bisa sampai 30 menit bolak-balik." "Eeemmm, iya deh, Mas. Aku ke pasar sendirian aja, tapi mereka bersihkan sekitar rumah kita dulu kan, Mas? Udah singgup gitu soalnya." "Iya, Dek. Kan kalau yang jauh, mas belum bisa ngawasin jadi mulai kerja dari sekitar sini dulu." "Ya sudah kalau gitu, aku pergi dulu, Mas. Eh tapi kalau motornya aku bawa, Mas Halid pake motor siapa?" "Nanti kan bisa pinjam motor Mas Budi atau yang lainnya." Aku pun bergegas mengambil tas kecil, HP dan juga kunci motor, lalu menjalankan motor menuju desa di mana pasar yang dikatakan Mas Budi berads. Rumah ini benar-benar di tengah perkebunan sawit yang luas. Bahkan untuk mencapai batas desa, aku harus berkendara kurang lebih satu kilometer perjalanan. Sampai di Balai Desa, aku segera memarkirkan motor di tempat parkir. Takada tukang parkir di tempat ini, tetapi mereka parkir mandiri dengan rapi. Pasar di sini tidak terlalu ramai jika dibandingkan dengan pasar di kota tempatku tinggal sebelumnya. Namun untuk untuk desa yang letaknya paling ujung, sudah bisa dikatakan ramai. Satu hal yang aku suka dari pasar ini, yaitu murah. Apalagi jajanan pasar, setelah melihat-lihat terlebih dahulu aku langsung membeli bahan-bahan makanan, bumbu-bumbu dapur, sabun cuci, gula kopi, teh dan beberapa peralatan yang aku butuh di rumah. Tak lupa aku membeli roti kering, roti empuk jajan pasar dan makanan ringan lainnya. Setelah selesai belanja aku membeli es batu di salah satu warung yang berada di Desa Weringin–desa tempat tinggalku sekarang. Kata Mas Halid, perkebunan itu masih masuk Desa Wringin. "Oh, Mbak Miska ini istrinya Halid yang kerja di perkebunan sawit itu?" "Iya, Bu, baru semalam kami sampai." "Iya Mbak, Mas Halid semalam beli bensin untuk isi genset. Cukup lama Mas Halid ngobrol sama suami saya." "Iya, Bu, KWH-nya kayaknya dicabut sama PLN." "Iya, Mbak, memang, anaknya pemilik yang dulu memang sengaja cabut meteran, biar bayarnya nggak bengkak katanya." "Oh, begitu ya, Bu." Aku mengangguk-angguk. "Berani benar ya, Mbak sama Halid tinggal di sana." "Eehhmm, memangnya kenapa ya, Bu." "Ah nggak apa-apa, Mbak, oh iya di RT sini ada grup pengajian rutin setiap hari Jum'at, kalau ada waktu, Mbak Miska bisa ikutan. Nanti bergiliran, Mbak, bisa ke rumah Mbak Miska juga." "Baik, Bu, boleh, setiap hari Jum'at.ya." "Iya. Mbak, saya minta nomor HP-nya biar enak kalau mau kasih tahu tentang pengajiannya." "Oh iya, Bu." Aku menyebutkan 12 angkaa nomor telponku, Setelah berbincang sebentar, aku pun pamit pulang. "Hati-hati, Mbak, usahakan jangan keluar kalau udah Magrib." "Kenapa Bu?" tanyaku penasaran. "Eh Mbak, ada yang belanja." Ibu RT itu terlihat gugu dan enggan mengatakan alasan kenapa tidak boleh keluar setelah Magrib. Mungkin karena karena berada di tengah-tengah kebun itu, jadi bahaya. Aku mencoba berpikir positif, walaupun sebenarnya aku rasa ada hal janggal dengan rumah itu. ***Sepanjang jalan ke klinik hingga sampai pulang ke rumah, pikiranku masih berkecamuk mengenai penuturan Joko. Perkataan pemuda berkulit sawo matang itu sepertinya tidak diragukan. Walaupun apa yang dia tuturkan belum terlalu lengkap.“Pak Halid beneran tinggal sendirian di rumah ini?” Mimik wajah Joko berubah seketika saat melihat ke arah rumah mewah itu.“Iya, Jok, istri saya sedang pulang ke rumah ibunya dulu.”“Ng—nggak takut gitu, Pak?”“Takut itu manusiawi, Jok. Kalau saya tidak lawan rasa takut, keluarga saya nanti nggak makan Jok. Kasihan mereka.”Sebenarnya jika ngikutin ego, aku juga tidak mau tinggal di rumah ini. Namun karena hal penting, aku harus bisa bertahan di rumah ini. Apalagi jika aku bisa menguak, misteri apa yang ada di balik semua kemewahan rumah ini.“Iya, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu ya. Kalau ada perlu apa-apa, Bapak telpon saja. Siapa tahu saya bisa bantu.”“Memangnya kamu berani Jok, kalau misalnya saya telepon tengah malam, nyuruh kamu ke sini?”“Eh …
“Paling tiga hari lagi selasai, Pak, tapi nanti ada yang mau terus ikut kerja di sini ada juga yang rombogan Pak Dayat itu nggak lanjut. Karena memang pekerjaan mereka borongan khusus membersikan lahan punya orang. Begitu, Pak.”“Oh begitu, nanti saya minta catatan siapa saja yang mau lanjut kerja dan siapa yang berhenti.”“Baik, Pak Halid, nanti saya akan data. Kalau misalnya ada yang mau ikut lagi, apa masih bisa?”“Masih Pak, justru saya mau minta bantuan Bapak jika ada warga lain yang mau kerja. Soalnya saya masih butuh banyak orang untuk manen dan pekerjaan lainnya. Sopir juga saya butuh sekitar empat orang, Pak.”“Baik, baik, Pak Halid, nanti saya samaikan sama teman-teman yang bisa nyopir.”“Kamu itu Jok, gimana sih, ini lho, kenapa malah pakai yang ini. Pak Halid tadi kan suruh yang itu.”Dari dapur terdengar Pak Didik dan Joko bergaduh, entah apa yang diperdebatkan mereka berdua. Hingga suara mereka terdengar sampai di ruang tamu.“Bentar ya, Pak Halid, saya lihat mereka ber
“Mayat? Di mana ada mayat Jok?” tanya yang lainnya.Banyak mata memandang aneh ke arahku. Apa mereka mengira aku menyembunyikan mayat? Atau apa mereka mengira aku membunuh seseorang dan menyimpan mayatnya disimpan di dalam rumah? Kenapa pandangan mereka seolah aku melakukan sesuatu? Atau hanya perasaanku saja.“Di ruang tengah, Pak, di depan TV, tadi pas aku masuk ke dapur, ada apa-apa di sana, tapi saat aku keluar bawa air minum, aku lihat ada mayat terbujur di depan TV, ditutup kain jarik,” terang Joko dengan suara bergetar. Sepertinya dia sangat syok dengan apa dia lihat.Ternyata tak hanya aku dan Miska yang mendapatkan teror. Bahkan Joko saja yang hanya lewat di ruang tengah harus melihat penampakan yang mengerikan. “Ah masa? Ayo coba lihat Jok!” Pak Didik terlihat tidak percaya dengan penuturan Joko.Joko menggeleng cepat. “Nggak mau, Pak, ngeri.” Joko menolak. Beberapa orang yang penasaran langsung menyeruak masuk ke dalam rumah. sementara itu, Joko diberi minum oleh rekan ke
Aku menatap kepergian dua karyawan Toko Anugrah Makmur dengan perasaan kesal. Belum juga aku mendapatkan informasi yang lengkap mengenai rumah ini, tetapi mereka harus buru-buru pergi karena pekerjaan.Aku periksa kembali barang-barang yang tadi aku beli di gudang penyimpanan. Semuanya lengkap, takada yang tertinggal maupun tercecer. Pasalnya tadi aku lihat, tali yang mengikat barang-barang itu sedikit kendur.Aku tutup kembali, lalu aku kunci pintu gudang, setelah semuanya aman. Aku lantas beranjak menuju rumah untuk beristirahat sejenak sebelum beraktivitas memeriksa pekerjaan para pekerja di bagian utara.Aku duduk di teras sambil menikmati semilirnya angin menjelang siang ini, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi menjerit-jerit di dalam tas kecilku. Ada nama “My Wife” di layar ponsel pintarku. “Ya, Dek,” jawabku.“Mas, aku ….”Suara Miska terjeda, entah apa yang hendak dia katakan, padahal dari notifikasi di jendela ponsel, banyak panggilan tak terjawab dari wanitaku itu. Seper
Mreneo, Le!” (Kesini, Le) Nenek itu melambaikan tangan, seperti isyarat untuk mengikutinya.Aku pun menurut, mengikuti nenek itu duduk di teras ruko, tempat Miska dan dirinya berbincang kemarin.“Ketemu, Mas?” tanya tukang parkir tadi.“Iya, Mas. Oh iya, Masnya bisa bahasa Jawa nggak ya? Kalau bisa bantuin saya artikan kata-kata Nenek, soalnya saya nggak paham, tapi saya butuh informasi dari beliau.”“Wah jelas bisa, Mas, walaupun saya bukan orang Jawa, tapi lingkungan tempat tinggal saya orang Jawa semua.”“Wah, bagus itu, tolongin saya, ya. daripada saya buka googl3 translate.”“Boleh, Mas. dengan senang hati.” tukang parkir itu tersenyum.Kami pun duduk di teras bertiga, Nenek itu membuka dagangannya terlebih dahulu.“Kawanen aku, Le.”“Apa dia bilang, Mas?”“katanya kesingangan, Mas.”“Oh, memangnya Nenek tinggal di mana?”“Manggon neng omah gedongan kae kudu kuat. Tembang iku, biso ngelilakno sopo wae sing ngrungokne, opo meneh cah wedok, iso digowo karo Nyai, dadi budak e Nyai.
Aku masih mencerna kata-kata yang dilontarkan tukang parkir itu. Apa benar nenek itu stress? Tapi jika dilihat dari penampilannya, terawat, tidak seperti orang dalam gangguan jiwa lainnya. Bagaimana dengan peristiwa kebakaran pasar? Apa itu hanya kebetulan?“Kalau begitu saya ke toko pertanian dulu, Mas, nanti ke sini lagi. Siapa tahu neneknya sudah datang.”“Memangnya sangat penting ya, Mas?” tanya tukang parkir itu ingin tahu.“Ya begitulah, saya permisi, Mas.” Aku ulurkan uang receh untuk membayar parkir. Tukang parkir itu lantas mengambilnya seraya mengucapkan terima kasih.Aku pun menarik tuas gas menuju toko alat pertanian yang berada tak jauh dari Pasar Pal Tiga. Banyak sekali alat perkebunan yang harus aku beli, diantaranya; fiber untuk memanen sawit, alat semprot, pupuk dan juga pestisida untuk membunuh gulma.Semua barang-barang itu aku beli dalam jumlah banyak, yang nantinya akan digunakan para pekerja untuk merawat dan memanen sawit. Sebelum aku membeli, aku kirim terleb