Aku berlari turun dari lantai dua tanpa mengunci kembali pintu kamar yang terakhir aku masuki. Penampakan tali seperti potongan kain kafan bernoda darah itu sukses membuat tubuhku bergetar hebat.
Sampai di bawah, aku langsung keluar dari rumah, duduk di teras sambil memeluk lutut. Menunggu Mas Halid yang tak kunjung pulang. Ke mana sebenarnya suamiku itu. Kenapa selama ini kalau hanya melihat batas perkebunan? Ingin rasanya aku menyerah tinggal di sini, baru sehari saja aku sudah diteror dengan hal-hal janggal di rumah ini; bayangan hitam di dalam kamar, pria yang menyerupai Mas Halid, sosok benda seperti mayat yang terbaring di ruang tengah dan ini terakhir tali bernoda darah, seperti bekas digunakan untuk menyiksa seseorang di dalam kamar itu. Apa penghuni rumah ini dulu memiliki kelainan s3ksual menyimpang yang mengharuskan pasangannya ditali di atas ranjang? Atau apa? "Astaghfirullah hal adzim." Buru-buru aku beristighfar untuk menetralkan degup jantung yang tak kunjung reda. Hatiku semakin gelisah, sudah setengah jam aku duduk di teras. Bahkan Adzan Dzuhur pun sudah berkumandang. Namun Mas Halid tak kunjung datang. "Ah iya, kenapa nggak aku telepon saja," gumamku. Saking gemetaran badanku tadi hingga tak kepikiran untuk menghubungi Mas Halid melalui sambungan telepon. "Tapi di mana ponselku? Perasaan tadi aku kantongi. Jangan-jangan jatuh di atas?” Aku bermonolog. Ah, mungkin di dapur atau di tempat lain, tadi setelah menyimpan nomor Bu RT … ah iya di kantong motor. Aku berlari ke samping rumah, tempat garasi berada. Sebenarnya tidak cocok motor kami berada di garasi itu. Garasi itu sangat besar, muat untuk tiga mobil berukuran besar sekaligus. Ketika aku sampai di parkiran, terdengar ponselku bergetar. Itu pasti Mas Halid yang menelpon. Aku langsung mengambil gawai dari kantong motor dan menggeser tombol hijau. “Yaa Allah, Dek. Kamu kemana? Mas cemas dari tadi nelponin kamu, tapi nggak diangkat.” “Maaf, Mas, HP-ku ketinggalan di kantong motor, lupa aku tinggal bersih-bersih rumah. Mas di mana? Kenapa belum pulang?” “Mas di puskesmas Dek, nganterin Mas Budi, tadi digigit ular pas ngecek batas perkebunan.” “Yaa Allah, Mas, terus gimana sekarang?” “Alhamdulillah, nggak apa-apa, Dek, tadi langsung disuntik serum anti bisa. Ini sekarang mas mau antar Mas Budi pulang ke rumahnya dulu, uda itu langsung pulang. Ke kantor PLN-nya besok aja, ini nanti mas beli bensin lagi untuk isi genset. Sebenarnya di dalam tangki masih ada setengah lagi, ini untuk jaga-jaga aja.” “Iya, Mas, buruan ya, aku di rumah sendiri. Para pekerja udah pada pulang. Hari ini katya nggak bawa bekal, jadi mereka pulang. Habis Dzuhur ini mau balik lagi.” “Iya, Dek, ya udah, mas tutup dulu telponnya ya.” “Iya, Mas, aku tunggu di rumah.” Aku lupa belum mengambil teko bekas para pekerja itu minum, nanti istirahat sore sebelum pulang mau aku buatkan kopi. Kubuka gerbang depan lalu aku berlari ke bawah pohon sawit tempat mereka tadi beristirahat. Sebelum kembali ke rumah, aku perhatikan keadaan sekitar yang sudah bersih. Tampaklah pohon-pohon sawit yang sudah berukuran besar. dahan-dahan menjuntai karena sudah terlalu lama tidak dipruning. Tampak juga buah-buah sawit dengan ukuran tak seragam yang sudah berguguran. Saat mata ini mengedarkan pandangan, tampak di arah utara aku lihat ada bangunan yang tidak berdinding. Hanya ada tiang-tiang yang menopang bagian atapnya. “Bangunan apa itu ya, perasaan nggak ada bangunan ini kemarin. Apa mungkin karena tertutup semak belukar, jadi nggak kelihatan?” Karena penasaran, aku melangkahkan kaki menuju bangunna itu. Aku letakkan kembali teko dan gelas-gelas tadi di tempat semula. Semakin dekat, semakin tampak pula bentuk bangunan itu. Tang tadi kulihat hanya tiang penyangga atap, ternyata ada sebuah toilet dan satu buah ruangan yang depannya tak berdinding, lalu ada meja dan kursi yang sudah lapuk. Di sisi sebelah kanan depan toilet, ada tali tambang besar yang tergantung. Aku rasa bangunan ini untuk tempat penimbangan buah sawit yang sudah dipanen. Jadi yang di belakang rumah itu untuk apa? tadi aku lihat juga ada tempat seperti ini, lengkap dengan tempat penimbangan sawit. bangunannya sedikit jauh dari rumah. Namun masih dalam satu pagar yang sama. Deru suara motor terdengar dari kejauhan. Itu pasti Mas Halid. Aku bergegas pulang ke rumah untuk menyambut suamiku. Semakin dekat, terlihat Mas Halid mengerutkan dahinya. “Dari mana, Dek, kok lari-lari?” Mas Halid menghentikan motornya tepat di depanku. “Lihat bangunan itu, Mas. Penasaran apa isinya.” “Oh itu, itu tempat nimbang sawit, Dek, nanti di sana adminnya, sama yang di belakang rumah juga. Jadi setelah dibersihkan, aku belikan dulu peralatan untuk admin, Nanti beberapa hari sebelum sawit mulai panen, para admin datang ke sini untuk persiap pendataan. Jadi yang sebelah sana, yang kamu kiat itu untuk timbangan hasil panen sebelah selatan, dan yang di belakang rumah untuk hasil panen sawit dari sebelah Utara.” “Oh, baguslah, Mas, jadi aku nggak sendirian di rumah ini.” “Iya, Dek, nanti ramai kalau udah mulai beroperasi normal, kamu nggak akan kesepian. Sekarang aja keadaan sepi, yang pertama karena belum dibersihkan, yang kedua karena memang belum beroperasi secara normal.” “Aku kira cuma kita berdua aja yang kerja di sini, Mas. Aku sempat pengen nyerah tadi. Nggak kuat kalau hari-hari sepi begini, di tengah kebun pula.” “Maafin mas, ya, Dek. Tolong betah-betahin di sini. Paling tidak setelah angsuran kita lunas. Soalnya kamu tahu sendiri, gimana gaji mas kalau kerja di tempat kita. Hanya cukup untuk bayar kontrakan dan makan. Di sini Alhamdulillah, bisa bayar angsuran. Bahkan rumah dan peralatannya disediakan, gaji besar, uang makan pun juga ada.” “Iya, Mas, bismillah, kita hadapi bersama-sama, Mas. Nggak ada yang perlu dimaafkan. Namanya juga ujian rumah tangga. Siapa tahu di sini kita bisa diberi rezeki berupa anak, Mas.” “Aamiin, kalau gitu ayo kita buat.” “Sssst, ah, Mas ini.” “Anggap aja rumah itu hotel buat kita. Ntar kita gunakan salah satu kamar di atas untuk bulan madu kita, Cari yang jendelanya arah ke kebun belakang, biar syahdu.” “Oh, iya, Mas, Aku tadi di kamar atas ada nemuin hal janggal, Mas.” “Hal janggal apa, Dek?” Aku lantas ceritakan penemuanku di lantai atas tadi. “Ah kamu, itu namanya fantasi, kamu mau coba?” Mata Mas Halid mengerling nakal. “Ogah!” Aku ambil teko dan gelas tadi, lalu berlari masuk ke dalam rumah. ** Pukul setengah lima sore, aku hendak antarkan satu teko kopi panas dan roti kering yang kubeli tadi pagi. Ketika langkah kaki keluar dari pintu gerbang, aku dengar para pekerja sedang berbincang. “Lah iya, itu ibu sama anak mat1 serempak juga nggak ada yang tahu penyebabnya apa. Mayatnya digeletakin gitu aja di depan TV. Kalau anaknya sih diduga stres.” “Hah? Apa yang mereka bicarakan?” Hampir saja aku menjatuhkan teko karena terkejut mendengar obrolan mereka. ***Sepanjang jalan ke klinik hingga sampai pulang ke rumah, pikiranku masih berkecamuk mengenai penuturan Joko. Perkataan pemuda berkulit sawo matang itu sepertinya tidak diragukan. Walaupun apa yang dia tuturkan belum terlalu lengkap.“Pak Halid beneran tinggal sendirian di rumah ini?” Mimik wajah Joko berubah seketika saat melihat ke arah rumah mewah itu.“Iya, Jok, istri saya sedang pulang ke rumah ibunya dulu.”“Ng—nggak takut gitu, Pak?”“Takut itu manusiawi, Jok. Kalau saya tidak lawan rasa takut, keluarga saya nanti nggak makan Jok. Kasihan mereka.”Sebenarnya jika ngikutin ego, aku juga tidak mau tinggal di rumah ini. Namun karena hal penting, aku harus bisa bertahan di rumah ini. Apalagi jika aku bisa menguak, misteri apa yang ada di balik semua kemewahan rumah ini.“Iya, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu ya. Kalau ada perlu apa-apa, Bapak telpon saja. Siapa tahu saya bisa bantu.”“Memangnya kamu berani Jok, kalau misalnya saya telepon tengah malam, nyuruh kamu ke sini?”“Eh …
“Paling tiga hari lagi selasai, Pak, tapi nanti ada yang mau terus ikut kerja di sini ada juga yang rombogan Pak Dayat itu nggak lanjut. Karena memang pekerjaan mereka borongan khusus membersikan lahan punya orang. Begitu, Pak.”“Oh begitu, nanti saya minta catatan siapa saja yang mau lanjut kerja dan siapa yang berhenti.”“Baik, Pak Halid, nanti saya akan data. Kalau misalnya ada yang mau ikut lagi, apa masih bisa?”“Masih Pak, justru saya mau minta bantuan Bapak jika ada warga lain yang mau kerja. Soalnya saya masih butuh banyak orang untuk manen dan pekerjaan lainnya. Sopir juga saya butuh sekitar empat orang, Pak.”“Baik, baik, Pak Halid, nanti saya samaikan sama teman-teman yang bisa nyopir.”“Kamu itu Jok, gimana sih, ini lho, kenapa malah pakai yang ini. Pak Halid tadi kan suruh yang itu.”Dari dapur terdengar Pak Didik dan Joko bergaduh, entah apa yang diperdebatkan mereka berdua. Hingga suara mereka terdengar sampai di ruang tamu.“Bentar ya, Pak Halid, saya lihat mereka ber
“Mayat? Di mana ada mayat Jok?” tanya yang lainnya.Banyak mata memandang aneh ke arahku. Apa mereka mengira aku menyembunyikan mayat? Atau apa mereka mengira aku membunuh seseorang dan menyimpan mayatnya disimpan di dalam rumah? Kenapa pandangan mereka seolah aku melakukan sesuatu? Atau hanya perasaanku saja.“Di ruang tengah, Pak, di depan TV, tadi pas aku masuk ke dapur, ada apa-apa di sana, tapi saat aku keluar bawa air minum, aku lihat ada mayat terbujur di depan TV, ditutup kain jarik,” terang Joko dengan suara bergetar. Sepertinya dia sangat syok dengan apa dia lihat.Ternyata tak hanya aku dan Miska yang mendapatkan teror. Bahkan Joko saja yang hanya lewat di ruang tengah harus melihat penampakan yang mengerikan. “Ah masa? Ayo coba lihat Jok!” Pak Didik terlihat tidak percaya dengan penuturan Joko.Joko menggeleng cepat. “Nggak mau, Pak, ngeri.” Joko menolak. Beberapa orang yang penasaran langsung menyeruak masuk ke dalam rumah. sementara itu, Joko diberi minum oleh rekan ke
Aku menatap kepergian dua karyawan Toko Anugrah Makmur dengan perasaan kesal. Belum juga aku mendapatkan informasi yang lengkap mengenai rumah ini, tetapi mereka harus buru-buru pergi karena pekerjaan.Aku periksa kembali barang-barang yang tadi aku beli di gudang penyimpanan. Semuanya lengkap, takada yang tertinggal maupun tercecer. Pasalnya tadi aku lihat, tali yang mengikat barang-barang itu sedikit kendur.Aku tutup kembali, lalu aku kunci pintu gudang, setelah semuanya aman. Aku lantas beranjak menuju rumah untuk beristirahat sejenak sebelum beraktivitas memeriksa pekerjaan para pekerja di bagian utara.Aku duduk di teras sambil menikmati semilirnya angin menjelang siang ini, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi menjerit-jerit di dalam tas kecilku. Ada nama “My Wife” di layar ponsel pintarku. “Ya, Dek,” jawabku.“Mas, aku ….”Suara Miska terjeda, entah apa yang hendak dia katakan, padahal dari notifikasi di jendela ponsel, banyak panggilan tak terjawab dari wanitaku itu. Seper
Mreneo, Le!” (Kesini, Le) Nenek itu melambaikan tangan, seperti isyarat untuk mengikutinya.Aku pun menurut, mengikuti nenek itu duduk di teras ruko, tempat Miska dan dirinya berbincang kemarin.“Ketemu, Mas?” tanya tukang parkir tadi.“Iya, Mas. Oh iya, Masnya bisa bahasa Jawa nggak ya? Kalau bisa bantuin saya artikan kata-kata Nenek, soalnya saya nggak paham, tapi saya butuh informasi dari beliau.”“Wah jelas bisa, Mas, walaupun saya bukan orang Jawa, tapi lingkungan tempat tinggal saya orang Jawa semua.”“Wah, bagus itu, tolongin saya, ya. daripada saya buka googl3 translate.”“Boleh, Mas. dengan senang hati.” tukang parkir itu tersenyum.Kami pun duduk di teras bertiga, Nenek itu membuka dagangannya terlebih dahulu.“Kawanen aku, Le.”“Apa dia bilang, Mas?”“katanya kesingangan, Mas.”“Oh, memangnya Nenek tinggal di mana?”“Manggon neng omah gedongan kae kudu kuat. Tembang iku, biso ngelilakno sopo wae sing ngrungokne, opo meneh cah wedok, iso digowo karo Nyai, dadi budak e Nyai.
Aku masih mencerna kata-kata yang dilontarkan tukang parkir itu. Apa benar nenek itu stress? Tapi jika dilihat dari penampilannya, terawat, tidak seperti orang dalam gangguan jiwa lainnya. Bagaimana dengan peristiwa kebakaran pasar? Apa itu hanya kebetulan?“Kalau begitu saya ke toko pertanian dulu, Mas, nanti ke sini lagi. Siapa tahu neneknya sudah datang.”“Memangnya sangat penting ya, Mas?” tanya tukang parkir itu ingin tahu.“Ya begitulah, saya permisi, Mas.” Aku ulurkan uang receh untuk membayar parkir. Tukang parkir itu lantas mengambilnya seraya mengucapkan terima kasih.Aku pun menarik tuas gas menuju toko alat pertanian yang berada tak jauh dari Pasar Pal Tiga. Banyak sekali alat perkebunan yang harus aku beli, diantaranya; fiber untuk memanen sawit, alat semprot, pupuk dan juga pestisida untuk membunuh gulma.Semua barang-barang itu aku beli dalam jumlah banyak, yang nantinya akan digunakan para pekerja untuk merawat dan memanen sawit. Sebelum aku membeli, aku kirim terleb