Share

Bab 5

Author: Miola Xaveria
last update Last Updated: 2024-11-27 19:12:57

Sepanjang jalan aku terus memikirkan perkataan Bu RT. Memang siapa pun akan berdiam diri di rumah ketika Magrib menjelang. Namun gestur tubuh Bu RT seperti menunjukkan sesuatu yang tidak biasa. Seperti ada yang sembunyikan oleh beliau. Ah mungkin itu hanya perasaanku saja. Kan memang kalau Magrib-magrib tidak boleh keluar rumah.

Sampai di rumah aku lihat di sekitaran pagar dan halaman sudah bersih dijabat oleh mereka. Jadi nanti aku tinggal mengumpulkan sampah-sampahnya saja. Rumah bercat putih itu semakin terlihat kemewahannya.

Taman yang ada di samping kiri rumah pun sudah bersih. Tampak kolam ikan yang kemarin tertutup rumput, tak luput dibersihkan oleh para pekerja.

Nati tinggal ada dan mas Halid mengaturnya saja, dipasang lampu taman, agar suasana rumah ini tidak lagi terlihat sanggup.

Sebelum masuk ke dalam rumah tadi, aku lihat para pekerja sudah istirahat untuk melepas dahaga. Aku pun langsung memberikan jajan pasar kepada mereka langsung dari plastik. Karena aku belum sempat membersihkan perabotan yang ada di dapur.

Es batu yang kubeli tadi aku seduh bersama minuman saset rasa buat di teko besar lalu aku berikan kepada Bapak-Bapak yang bekerja.

Semntara itu aku belum melihat Mas Halid dan Mas Budi yang tadi pamit untuk melihat perbatasan perkebunan.

Setelah memberikan jajanan, aku kembali ke rumah untuk membersihkan dapur. Namun sebelumnya aku bersihkan kulkas terlebih dahulu. Semalam aku colokan ke listrik dan masih berfungsi.

Jika melihat rumah ini beserta isinya, benar-benar sayang harus ditelantarkan begitu saja. Namun mungkin ada alasan tersendiri sampai rumah ini tidak terurus lagi, tapi apa? Apa ini ada hubungannya dengan hal-hal janggal yang aku lihat semalam. Mungkin saja aku semalam hanya mimpi.

Aku akan tetap berpikir positif paling tidak untuk tiga tahun ke depan. Kalau aku dan Mas Haid tidak terjebak hutang dan satu-satunya sertipikat kebun kami digadaikan, mungkin kami tidak akan terdampar di tengah-tengah perkebunan yang sangat jauh dari tempat tinggalku dulu.

Perjalan dari kota ke tempat terpencil ini pun memakan waktu delapan jam kurang lebih, karena berbeda provinsi.

Beberapa waktu yang lalu kami mendapatkan musibah. Mas Halid ditipu oleh rekan kerjanya sendiri. Entah bagaimana ceritanya Mas Halid harus mengembalikan uang sebesar 70 juta dalam waktu dua bulan saja.

Terpaksa kami gadaikan sertifikat tanah untuk membayar uang tersebut. Masalah selesai, tetapi timbul masalah baru. Angsuran sebesar dua juta perbulan harus dibayar selama tiga tahun. Sedangkan Mas Halid harus mundur dari pekerjaanya karena masalah dengan rekannya tersebut.

Di tengah-tengah kekalutan itu, Pak Hamdan–sahabat ayah Mas Halid menawarkan pekerjaan di tempat ini dengan gaji lima juta perbulan belum termasuk bonus penjualan kelapa sawit nantinya.

Tanpa pikir panjang lagi, kami langsung menerima tawaran itu. Tak apa tinggal di tengah kebun, asalkan hutang bisa terbayar, pikir kami waktu itu.

Aku sendiri tidak masalah tinggal di sini, untuk meminimalisir biaya hidup. Toh rumah ini sangat layak huni, meskipun sudah terbengkalai sepuluh tahun lamanya.

Selesai membersihkan dapur, aku langsung menyapu halaman dan mengumpulkan rumput hasil tebasan di luar pagar.

“Mbak, kami pulang dulu, nanti selepas dzuhur kami kembali lagi ke sini. Tadi juga sudah bilang sama Pak Halid. Soalnya kami nggak bawa bekal untuk makan siang,” kata salah seorang pekerja meminta izin.

Aku rogoh kantung celana untuk melihat jam, ternyata memang sudah jam dua belas, saatnya untuk istirahat.

“Oh iya, Pak.”

Mereka pun meletakkan alat pemotong rumput itu di halaman rumah dekat taman. Kemudian satu per satu mereka pulang, meninggalkanku seorang diri di rumah besar ini.

Aku buru-buru masuk dan mengunci pagar. Tengkukku meremang ketika tiba-tiba suasana berubah menjadi hening. karena sebentar adzan Dzuhur berkumandang, aku memutuskan untuk menunda pekerjaan sampai para pekerja itu datang kembali, atau setidaknya menunggu Mas Halid pulang.

Aku kunci semua pintu, termasuk pintu belakang. Sebelum mandi aku bersih-bersih ruangan lain yang kemarin belum terjamah olehku. Karena saking besarnya rumah ini, aku tidak mampu membersihkan dalam waktu singkat.

Saking sibuknya membersihkan dapur dan halaman, aku baru sadar belum melihat isi lantai dua, ada apa di sana. Mungkin saja dia atas letak kamar anak-anak yang dulu menempati rumah.

Satu demi satu anak tangga menuju lantai dua kutapaki. Sembari kusapu satu persatu. Tidak banyak debu yang mengotori tangga ini.

Sampai di anak tangga terakhir, aku bisa melihat keadaan di lantai dua. Di sana ada lorong memajang, yang kanan kiri terdapat dua kamar. Di sisi sebelah kiri tangga asa satu kamar besar. Sementara di ujung lorong sepertinya pintu menuju ke balkon.

Aku yang semakin penasaran dengan isi setiap kamar tersebut, kemudian melangkahkan kaki menuju kamar. Tak lupa satu renteng kunci, aku keluarkan dari dalam saku dan mulai membuka kamar utama yang terlihat besar. terbuka, tampaklah perabotan yang yang masih lengkap dan mewah. bahan ada satu lemari khusus untuk sepatu dan tas branded.

Aku menutup kamar pintu lalu menguncinya kembali. Aku tak berani memegang benda-benda bermerk itu, walaupun Pak Hamdan sudah bilang apa pun yang ada di rumah ini boleh kugunakan.

Aku lantas bergerak memasuki kamar-kamar lainnya, setelah kuperiksa kamar itu hanya kamar biasa, seperti kamar pada umumnya. Kemudian aku memasuki kamar ketika sisi kanan.

Ketika pintu dibuka, bau apek langsung menyambutku. Terlihat dari luar ada ranjang besi berukuran sedang di dalam sana, yang membuat aku penasaran di kepala ranjang, ada dua tali menggantung dan masih dalam keadaan terikat di dalam sana.

Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. “Kain apa ini?” Aku perhatikan tali itu seperti sobekan kain berwarna putih yang sudah berubah warna.

Aku amati kembali tali itu dengan seksama, di kain itu seperti ada noda darah yang sudah berubah menjadi kehitaman.

“ Astaghfirullah hal adzim, ini kain pa? Kenapa ada noda darah? Tempat apa ini?”

Aku bergidik membayangkan bayangan ada orang disiksa di atas ranjang itu.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 18

    Sepanjang jalan ke klinik hingga sampai pulang ke rumah, pikiranku masih berkecamuk mengenai penuturan Joko. Perkataan pemuda berkulit sawo matang itu sepertinya tidak diragukan. Walaupun apa yang dia tuturkan belum terlalu lengkap.“Pak Halid beneran tinggal sendirian di rumah ini?” Mimik wajah Joko berubah seketika saat melihat ke arah rumah mewah itu.“Iya, Jok, istri saya sedang pulang ke rumah ibunya dulu.”“Ng—nggak takut gitu, Pak?”“Takut itu manusiawi, Jok. Kalau saya tidak lawan rasa takut, keluarga saya nanti nggak makan Jok. Kasihan mereka.”Sebenarnya jika ngikutin ego, aku juga tidak mau tinggal di rumah ini. Namun karena hal penting, aku harus bisa bertahan di rumah ini. Apalagi jika aku bisa menguak, misteri apa yang ada di balik semua kemewahan rumah ini.“Iya, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu ya. Kalau ada perlu apa-apa, Bapak telpon saja. Siapa tahu saya bisa bantu.”“Memangnya kamu berani Jok, kalau misalnya saya telepon tengah malam, nyuruh kamu ke sini?”“Eh …

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 17 B

    “Paling tiga hari lagi selasai, Pak, tapi nanti ada yang mau terus ikut kerja di sini ada juga yang rombogan Pak Dayat itu nggak lanjut. Karena memang pekerjaan mereka borongan khusus membersikan lahan punya orang. Begitu, Pak.”“Oh begitu, nanti saya minta catatan siapa saja yang mau lanjut kerja dan siapa yang berhenti.”“Baik, Pak Halid, nanti saya akan data. Kalau misalnya ada yang mau ikut lagi, apa masih bisa?”“Masih Pak, justru saya mau minta bantuan Bapak jika ada warga lain yang mau kerja. Soalnya saya masih butuh banyak orang untuk manen dan pekerjaan lainnya. Sopir juga saya butuh sekitar empat orang, Pak.”“Baik, baik, Pak Halid, nanti saya samaikan sama teman-teman yang bisa nyopir.”“Kamu itu Jok, gimana sih, ini lho, kenapa malah pakai yang ini. Pak Halid tadi kan suruh yang itu.”Dari dapur terdengar Pak Didik dan Joko bergaduh, entah apa yang diperdebatkan mereka berdua. Hingga suara mereka terdengar sampai di ruang tamu.“Bentar ya, Pak Halid, saya lihat mereka ber

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 17 A

    “Mayat? Di mana ada mayat Jok?” tanya yang lainnya.Banyak mata memandang aneh ke arahku. Apa mereka mengira aku menyembunyikan mayat? Atau apa mereka mengira aku membunuh seseorang dan menyimpan mayatnya disimpan di dalam rumah? Kenapa pandangan mereka seolah aku melakukan sesuatu? Atau hanya perasaanku saja.“Di ruang tengah, Pak, di depan TV, tadi pas aku masuk ke dapur, ada apa-apa di sana, tapi saat aku keluar bawa air minum, aku lihat ada mayat terbujur di depan TV, ditutup kain jarik,” terang Joko dengan suara bergetar. Sepertinya dia sangat syok dengan apa dia lihat.Ternyata tak hanya aku dan Miska yang mendapatkan teror. Bahkan Joko saja yang hanya lewat di ruang tengah harus melihat penampakan yang mengerikan. “Ah masa? Ayo coba lihat Jok!” Pak Didik terlihat tidak percaya dengan penuturan Joko.Joko menggeleng cepat. “Nggak mau, Pak, ngeri.” Joko menolak. Beberapa orang yang penasaran langsung menyeruak masuk ke dalam rumah. sementara itu, Joko diberi minum oleh rekan ke

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 16

    Aku menatap kepergian dua karyawan Toko Anugrah Makmur dengan perasaan kesal. Belum juga aku mendapatkan informasi yang lengkap mengenai rumah ini, tetapi mereka harus buru-buru pergi karena pekerjaan.Aku periksa kembali barang-barang yang tadi aku beli di gudang penyimpanan. Semuanya lengkap, takada yang tertinggal maupun tercecer. Pasalnya tadi aku lihat, tali yang mengikat barang-barang itu sedikit kendur.Aku tutup kembali, lalu aku kunci pintu gudang, setelah semuanya aman. Aku lantas beranjak menuju rumah untuk beristirahat sejenak sebelum beraktivitas memeriksa pekerjaan para pekerja di bagian utara.Aku duduk di teras sambil menikmati semilirnya angin menjelang siang ini, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi menjerit-jerit di dalam tas kecilku. Ada nama “My Wife” di layar ponsel pintarku. “Ya, Dek,” jawabku.“Mas, aku ….”Suara Miska terjeda, entah apa yang hendak dia katakan, padahal dari notifikasi di jendela ponsel, banyak panggilan tak terjawab dari wanitaku itu. Seper

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 15 B

    Mreneo, Le!” (Kesini, Le) Nenek itu melambaikan tangan, seperti isyarat untuk mengikutinya.Aku pun menurut, mengikuti nenek itu duduk di teras ruko, tempat Miska dan dirinya berbincang kemarin.“Ketemu, Mas?” tanya tukang parkir tadi.“Iya, Mas. Oh iya, Masnya bisa bahasa Jawa nggak ya? Kalau bisa bantuin saya artikan kata-kata Nenek, soalnya saya nggak paham, tapi saya butuh informasi dari beliau.”“Wah jelas bisa, Mas, walaupun saya bukan orang Jawa, tapi lingkungan tempat tinggal saya orang Jawa semua.”“Wah, bagus itu, tolongin saya, ya. daripada saya buka googl3 translate.”“Boleh, Mas. dengan senang hati.” tukang parkir itu tersenyum.Kami pun duduk di teras bertiga, Nenek itu membuka dagangannya terlebih dahulu.“Kawanen aku, Le.”“Apa dia bilang, Mas?”“katanya kesingangan, Mas.”“Oh, memangnya Nenek tinggal di mana?”“Manggon neng omah gedongan kae kudu kuat. Tembang iku, biso ngelilakno sopo wae sing ngrungokne, opo meneh cah wedok, iso digowo karo Nyai, dadi budak e Nyai.

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 15A

    Aku masih mencerna kata-kata yang dilontarkan tukang parkir itu. Apa benar nenek itu stress? Tapi jika dilihat dari penampilannya, terawat, tidak seperti orang dalam gangguan jiwa lainnya. Bagaimana dengan peristiwa kebakaran pasar? Apa itu hanya kebetulan?“Kalau begitu saya ke toko pertanian dulu, Mas, nanti ke sini lagi. Siapa tahu neneknya sudah datang.”“Memangnya sangat penting ya, Mas?” tanya tukang parkir itu ingin tahu.“Ya begitulah, saya permisi, Mas.” Aku ulurkan uang receh untuk membayar parkir. Tukang parkir itu lantas mengambilnya seraya mengucapkan terima kasih.Aku pun menarik tuas gas menuju toko alat pertanian yang berada tak jauh dari Pasar Pal Tiga. Banyak sekali alat perkebunan yang harus aku beli, diantaranya; fiber untuk memanen sawit, alat semprot, pupuk dan juga pestisida untuk membunuh gulma.Semua barang-barang itu aku beli dalam jumlah banyak, yang nantinya akan digunakan para pekerja untuk merawat dan memanen sawit. Sebelum aku membeli, aku kirim terleb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status