Allen tidak berani mendongakkan kepalanya. Susah payah dia menelan saliva, kedua tangannya meremas ujung kaus yang dia kenakan.
Bukankah ini suara Agra? Suara bariton ini jelas miliknya. Dalam dan lembut. Bagaimana jika Agra melihat wajahnya ada di handphoneku? Aku harus bagaimana? batin Allen.
“Apa ponsel ini bukan milikmu?!” ucap Agra. Kali ini suaranya penuh penekanan.
Allen semakin takut. Sekarang dia tidak lebih baik dari seekor siput yang melarikan diri. Bersembunyi di dalam cangkang yang rapuh.
“I-iya, itu milikku.” Allen tetap menunduk, mengulurkan tangannya ke atas. Membuka telapak tangan selebar mungkin. Berharap Agra bersedia meletakkan ponsel di tangannya tanpa perlu keduanya bersitatap.
“Bukankah tidak sopan jika berbicara tanpa melihat wajah lawan bicaramu? Terlebih lagi aku yang menolongmu menemukan benda sialan ini!” Agra menggoyangkan ponsel tepat di wajah Allen.
“Maaf. A-aku ... Aku sedang sakit mata. Jika kita saling tatap, aku takut kamu akan tertular. Lebih baik begini. Tolong berikan ponselnya padaku."
Astaga. Sakit mata? Alasan macam apa itu, Allen? Tentu saja dia tidak akan percaya. Kenapa kamu bodoh sekali, Allen mengumpati dirinya sendiri di dalam hati.
“Hahaha ... sakit mata!” Agra terbahak. Suara tawanya melengking, berbaur dengan hiruk pikuk bandara.
Tiba-tiba Agra berjongkok di depan Allen. Allen berusaha mundur, tetapi gerakan tubuhnya kalah cepat dengan tangan Agra. Tangan kekar laki-laki itu sudah berada di kedua bahu Allen, mencengkeram kuat di sana.
“Bukankah mengambil gambar orang lain secara diam-diam adalah tindak kriminal?! Kurasa kamu memotret terlalu banyak. Coba kuhitung." Agra menggeser layar ponsel sembari menghitung. "Wah, luar biasa. Ada lebih dari dua puluh fotoku di ponsel-mu. Aku penasaran, bagaimana kamu akan menjelaskannya padaku?”
Buntu! Allen tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak mungkin tetap diam sementara Agra semakin serius mengutak-atik ponselnya. Sialnya ponsel milik Allen tidak dilengkapi sandi atau sidik jari. Tentu saja Agra bisa melihat semua isi di dalamnya dengan bebas.
"Aku masih menunggu penjelasanmu! Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menjawab pertanyaanku?"
"A-aku ...."
"Aku ... aku ... apa hanya itu yang bisa kamu katakan?!"
“A-anu ... i-itu. Aku tidak bermaksud memotret wajahmu. Mu-mungkin a-aku tidak sengaja melakukannya,” ucap Allen terbata dengan suara yang dia samarkan. Dari tadi dia berusaha agar suaranya tidak dikenali oleh Agra, tetapi tentu saja Agra tidak sebodoh itu.
“Tidak sengaja?! Kamu pikir aku bodoh? Hah?! Fokus kameramu ada di wajahku. Kamu bahkan memotong bagian orang tuaku. Apa itu yang dinamakan tidak sengaja?!” Agra menaikan volume suaranya. Membuat bulu halus di leher Allen berdiri.
“A-aku minta ma-maf,” ucap Allen masih dengan kepala menunduk. “Biar aku hapus saja. Sungguh aku tidak bermaksud merugikan Anda."
“Maaf?! Hanya itu yang bisa kamu katakan? Jelaskan padaku kenapa kamu mengambil gambarku?!” Tangannya sudah berada di topi yang dikenakan Allen. “Jika tidak, aku akan membuatmu malu ... Allen!”
Deg! Degup jantung Allen berpacu lebih cepat, berkali lipat dari biasanya. Allen mengigit bibir bawahnya, menutup kedua matanya dengan pasrah. Bersamaan dengan itu, bulir bening meluncur bebas, jatuh, dan berakhir di punggung tangannya yang gemetar.
"Masih mau menyangkal? Sampai kapan kamu terus menunduk?!"
"Aku ... minta maaf." Hanya itu yang bisa Allen katakan. Dia tahu bahwa Agra bukanlah orang bodoh, dengan bukti foto di ponsel Allen sudah bisa membuat Agra menarik kesimpulan tentang dirinya, tetapi sekali lagi Allen hanya mengikuti kata hatinya. Mengobati rindu yang kian menggebu.
“Kenapa kamu datang?!” seru Agra sembari membuka paksa topi Allen dan melempar begitu saja. Teronggok tak berharga. Bahkan sesekali terinjak orang yang lalu lalang. Namun, sepertinya Agra belum puas hanya bermain dengan topi. Kali ini tangannya sudah berada di ujung kacamata yang dikenakan Allen. “Bukankah kamu tahu jika aku tidak ingin melihat wajahmu?! Sudah kuperingatkan untuk menjauh dariku!" Dan kali ini dia melempar kacamata yang Allen pakai.
Tamat sudah. Tanpa topi dan kacamata, apa jadinya Allen? Mata yang basah dengan lelehan kristal di kedua pipinya tidak akan membuat Agra iba. Percayalah, laki-laki bernama Agra itu tidak punya sedikitpun belas kasih untuk Allen.
“Buka maskermu! Jelaskan padaku kenapa kamu selalu menghantui hidupku?! Kenapa?! Apa membuatku berpisah dari wanita yang kucintai masih belum cukup untukmu?!" seruan Agra berhasil membuat beberapa orang menghentikan langkah dan memperhatikan mereka. Melayangkan tatapan penuh cemooh seolah Allen adalah orang yang terhina.
Allen mangusap lemah kedua matanya. Dengan sangat terpaksa dia melepaskan masker yang menjadi pertahanan terakhirnya. Dia tersenyum getir, perlahan dia mendongakkan kepala. Bertautlah kedua manik hitam mereka.
Jika tatapan mata Allen dipenuhi perasaan takut dan menyesal, kenapa dia harus datang ketika Neneknya sudah memberi peringatan. Maka, berbeda dengan Agra yang kedua sorot matanya dipenuhi amarah dan kebencian. Sorot itu tertuju pada Allen. Agra bahkan menaikan sudut bibirnya sembari tersenyum sarkas.
“Jadi ini benar-benar dirimu, Allen?!” Agra mendekatkan bibirnya ke telinga Allen dan berbisik, “Bukankah sudah kubilang, jangan datang dihidupku lagi! Jangan menampakan wajahmu di depan mataku?! Aku muak melihatmu! Jangan jadi wanita murahan! Sekeras apa pun usahamu, kamu tidak akan mendapat apa pun dariku."
Allen terisak. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya, tangan kirinya bertumpu di lantai untuk menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Sementara tangan kanannya memegang dada yang terasa semakin sesak. Tarikan napasnya mulai tidak teratur. Sungguh, niatnya hanya ingin melihat wajah Agra, setelah itu dia akan pergi dan tidak akan pernah datang lagi.
Agra bangun. Allen bisa melihat ujung pantofel hitam itu bergerak mundur. Agra melempar ponsel Allen ke lantai sampai mengenai ujung tangan Allen yang mengepal. “Jangan bermimpi untuk memilikiku! Kamu tahu siapa yang ada di hatiku, selalu dia dan tidak akan pernah terganti. Apa lagi oleh wanita sepertimu!”
Allen meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Tidak ada lagi gambar Agra yang dia ambil diam-diam. Semuanya sudah dihapus oleh pemilik wajah itu sendiri. Allen menegakkan kepalanya, melihat punggung laki-laki yang berjalan menjauh.
Tiba-tiba pandangannya mulai kabur. Semua gelap. Sepatu pantofel berwarna hitam itu menjadi pemandangan terakhir yang bisa dia lihat dari sosok Agra Grissham. Dan tubuhnya ambruk di atas lantai.
TBC ........
Allen terbangun dengan rasa nyeri yang menjalar di sekitar punggung tangannya. Dia mengangkat tangannya dan mendapati jarum infus yang sudah tertancap di sana. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya lalu menatap langit-langit.Plafon putih dengan lampu di empat sisinya sudah bisa menjelaskan sedang ada di mana dirinya. Ranjang yang dia tiduri jelas sekali bukan ranjang miliknya. Dia harus tahu bagaimana dirinya berakhir di sebuah kamar di rumah sakit.Allen memutar kepalanya. Dia melihat seseorang sedang mengupas apel dengan wajah lelah. Rambut panjangnya yang tergerai dengan kacamata bulat yang duduk manis di pangkal hidungnya menampakan kecantikan alami dari seorang Alisa. Sahabat baiknya.“A-Alisa,” ucap Allen terbata. Masih dengan suara lemah. Dia berusaha menggeser tubuhnya, tatapi sepertinya masih terasa lemas.“Allen ... astaga! Akhirnya kau bangun.” Alisa bergegas bangun.
lima tahun yang lalu. Ketika semuanya bermula. Kisah pilu yang membuat Allen sering mimpi buruk.Allen adalah gadis yang begitu sombong dan arogan. Saat itu dia baru berusia dua puluh satu tahun. Usia dewasa seharusnya, tetapi perlakuan manja orang tuanya membuat Allen sering kali bertindak sesuka hati. Dia memang memiliki segalanya, uang dan kekuasaan dari orang tuanya.Sebagai anak dari keluarga Caitlin rasanya pantas jika Allen menjadi dambaan setiap lelaki. Parasnya yang cantik dengan gelar pewaris aset keluarga Caitlin membuat banyak laki-laki bersedia menjadi pendamping hidupnya, tetapi seorang Allen hanya mencintai satu laki-laki yaitu Agra Grissham. Cinta pertamanya ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.Sebagai wanita modern dia tidak malu untuk menyatakan cinta lebih dulu, tetapi hati agra tetap tidak bisa dia miliki. Di hati Agra hanya ada satu nama. Wanita yang teramat dia cintai.Sam
Setelah pertemuan keduanya, mereka sepakat untuk membatalkan pertunangan.Agra pikir setelah pertunangannya dengan Allen batal. Dia bisa kembali ke sisi Kinara. Kekasih yang sangat dia cintai. Ternyata tidak! Kinara tetap pada pendiriannya. Memilih melepas Agra.Sejak saat itu Agra menempatkan Allen sebagai orang yang paling dia benci. Jangankan bertegur sapa, melihat wajah Allen pun Agra tidak sudi.***Batalnya pertunangan mereka berakibat juga pada gagalnya penyatuan dua perusahaan raksasa.Allen pikir semuanya sudah berakhir. Ternyata dia salah. Kenyataan yang lebih pahit harus dia rasakan.Allen kembali ke rumah mewahnya dengan perasaan hancur. Langkahnya tertatih. Wajah putih bersih itu terlihat semakin pucat karena terus menerus menangis. Bahkan ujung hidungnya memerah.Begitu masuk ke ruang keluarga.
Suara ketukkan di pintu membuyarkan lamunan Allen tentang masa lalunya yang pahit. Dia harus kembali dengan hidupnya yang sekarang. Melupakan kejadian lima tahun silam.Pintu terbuka. Dokter dan perawat masuk untuk memeriksa kondisi Allen. Setelah semua rangkaian pemeriksaan dilakukan, akhirnya dokter memutuskan bahwa Allen sudah boleh pulang. Dia hanya kelelahan dan harus lebih memerhatikan pola makan.“Kamu sudah boleh pulang, tetapi ingat jaga pola makan dan jangan terlalu banyak pikiran,” ucap dokter itu sambil tersenyum, "Kalau ada gejala pusing dan lainnya, kamu bisa kembali ke sini untuk melakukan pemeriksaan lebih serius. Apa perlu kuberikan nomorku?"Kening Allen mengkerut. Sang dokter dengan santainya tersenyum sembari memasukkan kedua tangannya di kantung jas putih. Jas kebesaran tenaga medis. "Emmm ... terima kasih, Dok. Saya akan mengingat pesan Anda," balas Allen diikuti anggukkan kepala.Sang dokter m
Nathan bergerak random di depan ruangan Agra. Beberapa hari ini Agra memberinya tugas yang tak biasa. Berkaitan dengan perasaan. Tentu saja Nathan si manusia batu tidak akan suka pekerjaan yang menguras emosi. Dia lebih suka bergelut dengan angka dan kurva, menghitung keuntungan perusahaan Bosnya.Telepon di meja Sekretaris berdering. Nathan menoleh. Sepertinya dia tahu telepon dari siapa."Baik, Tuan.” Leni menutup panggilan telepon. Berjalan mendekati Nathan. “Tuan Nathan, Tuan Agra sudah menunggu Anda.”Kenapa Anda malah mondar mandir di depan pintu?Nathan mengibaskan tangan. Leni mengerti dan pamit undur diri.“Tuan.” Nathan masuk ke dalam ruangan Agra setelah mengetuk pintu. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas. Meletakkan kertas-kertas itu di atas meja dengan sangat hati-hati. Terakhir membubuhkan sebuah kunci di atasnya.
Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe
Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar
Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan