Share

Ketahuan

Author: RoseeLily
last update Last Updated: 2021-06-01 20:30:01

Allen tidak berani mendongakkan kepalanya. Susah payah dia menelan saliva, kedua tangannya meremas ujung kaus yang dia kenakan.

Bukankah ini suara Agra? Suara bariton ini jelas miliknya. Dalam dan lembut. Bagaimana jika Agra melihat wajahnya ada di handphoneku? Aku harus bagaimana? batin Allen.

“Apa ponsel ini bukan milikmu?!” ucap Agra. Kali ini suaranya penuh penekanan.

Allen semakin takut. Sekarang dia tidak lebih baik dari seekor siput yang melarikan diri. Bersembunyi di dalam cangkang yang rapuh.

“I-iya, itu milikku.” Allen tetap menunduk, mengulurkan tangannya ke atas. Membuka telapak tangan selebar mungkin. Berharap Agra bersedia meletakkan ponsel di tangannya tanpa perlu keduanya bersitatap.

“Bukankah tidak sopan jika berbicara tanpa melihat wajah lawan bicaramu? Terlebih lagi aku yang menolongmu menemukan benda sialan ini!” Agra menggoyangkan ponsel tepat di wajah Allen.

“Maaf. A-aku ... Aku sedang sakit mata. Jika kita saling tatap, aku takut kamu akan tertular. Lebih baik begini. Tolong berikan ponselnya padaku."

Astaga. Sakit mata? Alasan macam apa itu, Allen? Tentu saja dia tidak akan percaya. Kenapa kamu bodoh sekali, Allen mengumpati dirinya sendiri di dalam hati.

“Hahaha ... sakit mata!” Agra terbahak. Suara tawanya melengking, berbaur dengan hiruk pikuk bandara.

Tiba-tiba Agra berjongkok di depan Allen. Allen berusaha mundur, tetapi gerakan tubuhnya kalah cepat dengan tangan Agra. Tangan kekar laki-laki itu sudah berada di kedua bahu Allen, mencengkeram kuat di sana.

“Bukankah mengambil gambar orang lain secara diam-diam adalah tindak kriminal?! Kurasa kamu memotret terlalu banyak. Coba kuhitung." Agra menggeser layar ponsel sembari menghitung. "Wah, luar biasa. Ada lebih dari dua puluh fotoku di ponsel-mu. Aku penasaran, bagaimana kamu akan menjelaskannya padaku?”

Buntu! Allen tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak mungkin tetap diam sementara Agra semakin serius mengutak-atik ponselnya. Sialnya ponsel milik Allen tidak dilengkapi sandi atau sidik jari. Tentu saja Agra bisa melihat semua isi di dalamnya dengan bebas.

"Aku masih menunggu penjelasanmu! Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menjawab pertanyaanku?"

"A-aku ...."

"Aku ... aku ... apa hanya itu yang bisa kamu katakan?!"

“A-anu ... i-itu. Aku tidak bermaksud memotret wajahmu. Mu-mungkin a-aku tidak sengaja melakukannya,” ucap Allen terbata dengan suara yang dia samarkan. Dari tadi dia berusaha agar suaranya tidak dikenali oleh Agra, tetapi tentu saja Agra tidak sebodoh itu.

“Tidak sengaja?! Kamu pikir aku bodoh? Hah?! Fokus kameramu ada di wajahku. Kamu bahkan memotong bagian orang tuaku. Apa itu yang dinamakan tidak sengaja?!” Agra menaikan volume suaranya. Membuat bulu halus di leher Allen berdiri.

“A-aku minta ma-maf,” ucap Allen masih dengan kepala menunduk. “Biar aku hapus saja. Sungguh aku tidak bermaksud merugikan Anda."

“Maaf?! Hanya itu yang bisa kamu katakan? Jelaskan padaku kenapa kamu mengambil gambarku?!” Tangannya sudah berada di topi yang dikenakan Allen. “Jika tidak, aku akan membuatmu malu ... Allen!”

Deg! Degup jantung Allen berpacu lebih cepat, berkali lipat dari biasanya. Allen mengigit bibir bawahnya, menutup kedua matanya dengan pasrah. Bersamaan dengan itu, bulir bening meluncur bebas, jatuh, dan berakhir di punggung tangannya yang gemetar.

"Masih mau menyangkal? Sampai kapan kamu terus menunduk?!"

"Aku ... minta maaf." Hanya itu yang bisa Allen katakan. Dia tahu bahwa Agra bukanlah orang bodoh, dengan bukti foto di ponsel Allen sudah bisa membuat Agra menarik kesimpulan tentang dirinya, tetapi sekali lagi Allen hanya mengikuti kata hatinya. Mengobati rindu yang kian menggebu.

“Kenapa kamu datang?!” seru Agra sembari membuka paksa topi Allen dan melempar begitu saja. Teronggok tak berharga. Bahkan sesekali terinjak orang yang lalu lalang. Namun, sepertinya Agra belum puas hanya bermain dengan topi. Kali ini tangannya sudah berada di ujung kacamata yang dikenakan Allen. “Bukankah kamu tahu jika aku tidak ingin melihat wajahmu?! Sudah kuperingatkan untuk menjauh dariku!" Dan kali ini dia melempar kacamata yang Allen pakai.

Tamat sudah. Tanpa topi dan kacamata, apa jadinya Allen? Mata yang basah dengan lelehan kristal di kedua pipinya tidak akan membuat Agra iba. Percayalah, laki-laki bernama Agra itu tidak punya sedikitpun belas kasih untuk Allen.

“Buka maskermu! Jelaskan padaku kenapa kamu selalu menghantui hidupku?! Kenapa?! Apa membuatku berpisah dari wanita yang kucintai masih belum cukup untukmu?!" seruan Agra berhasil membuat beberapa orang menghentikan langkah dan memperhatikan mereka. Melayangkan tatapan penuh cemooh seolah Allen adalah orang yang terhina.

Allen mangusap lemah kedua matanya. Dengan sangat terpaksa dia melepaskan masker yang menjadi pertahanan terakhirnya. Dia tersenyum getir, perlahan dia mendongakkan kepala. Bertautlah kedua manik hitam mereka.

Jika tatapan mata Allen dipenuhi perasaan takut dan menyesal, kenapa dia harus datang ketika Neneknya sudah memberi peringatan. Maka, berbeda dengan Agra yang kedua sorot matanya dipenuhi amarah dan kebencian. Sorot itu tertuju pada Allen. Agra bahkan menaikan sudut bibirnya sembari tersenyum sarkas.

“Jadi ini benar-benar dirimu, Allen?!” Agra mendekatkan bibirnya ke telinga Allen dan berbisik, “Bukankah sudah kubilang, jangan datang dihidupku lagi! Jangan menampakan wajahmu di depan mataku?! Aku muak melihatmu! Jangan jadi wanita murahan! Sekeras apa pun usahamu, kamu tidak akan mendapat apa pun dariku."

Allen terisak. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya, tangan kirinya bertumpu di lantai untuk menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Sementara tangan kanannya memegang dada yang terasa semakin sesak. Tarikan napasnya mulai tidak teratur. Sungguh, niatnya hanya ingin melihat wajah Agra, setelah itu dia akan pergi dan tidak akan pernah datang lagi.

Agra bangun. Allen bisa melihat ujung pantofel hitam itu bergerak mundur. Agra melempar ponsel Allen ke lantai sampai mengenai ujung tangan Allen yang mengepal. “Jangan bermimpi untuk memilikiku! Kamu tahu siapa yang ada di hatiku, selalu dia dan tidak akan pernah terganti. Apa lagi oleh wanita sepertimu!”

Allen meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Tidak ada lagi gambar Agra yang dia ambil diam-diam. Semuanya sudah dihapus oleh pemilik wajah itu sendiri. Allen menegakkan kepalanya, melihat punggung laki-laki yang berjalan menjauh.

Tiba-tiba pandangannya mulai kabur. Semua gelap. Sepatu pantofel berwarna hitam itu menjadi pemandangan terakhir yang bisa dia lihat dari sosok Agra Grissham. Dan tubuhnya ambruk di atas lantai.

TBC ........

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Susanti Elly Up
like... likeeee....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • More than Marriage   Drama Sarapan

    Terkadang manusia tidak bisa membedakan antara marah dan kecemburuan. Kedua perasaan itu berbaur seperti udara dan debu. Sulit disentuh, tetapi bisa dirasakan.***Meja makan persegi panjang dengan tiga kursi di sisi kiri dan kanan meja. Di tiap ujung meja ada satu kursi yang saling berhadapan. Di atas meja tertata berbagai macam makanan, dari makanan pembuka, makanan utama, sampai makanan penutup. Lihatlah ada berapa banyak jenis minuman di atas meja. Jus jeruk, jus apel, susu segar. Ah, apakah seperti ini gambaran meja makan orang kaya?Sesaat Allen lupa kalau dirinya juga pernah ada diposisi Agra, hidup dalam kemewahan sebelum dia diusir dari rumah. Dan dia menyesali setiap tindakkan pemborosan yang dilakukan orang tuanya. Toh, pada akhirnya makanan dan minuman itu akan berakhir di tempat sampah. Memangnya sebesar apa ukuran lambung manusia? Baru diisi satu gelas air dan sepiring nasi goreng juga sudah kenyang.“Kau tidak suka menu makanannya?” tanya Agra sembari meneguk jus jeruk.

  • More than Marriage   Lemah dan Menyedihkan

    Allen duduk di lantai. Bersandar di tembok pantri dengan kedua kaki di tekuk. Mendaratkan kepalanya di tempurung kaki. Di meja ada tujuh cangkir yang berisi kopi hitam. Dan tiga cangkir lagi masih kosong. Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Sesekali Allen meremas kepalanya frustrasi.“Sudah kopi ke berapa?”Allen mendongakkan kepala. Anita berdiri di mesin pembuat kopi sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.“Bangunlah. Sebentar lagi jam istirahat. Kamu mau karyawan lain tahu keadaanmu yang menyedihkan?” Anita tertawa ringan. Allen pun ikut tertawa.“Apa aku terlihat menyedihkan?”Anita tidak menjawab. Dia hanya memiringkan kepala sambil tersenyum.“Harus aku kemanakan cangkir-cangkir ini?”“Satu, dua, tiga ....” Anita menghitung jumlah cangkir. “Tujuh cangkir kopi dan kamu belum berhasil? Memang apa yang kurang?”“Aku tidak tahu. Pak Agra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya bilang kalau kopi buatanku rasanya aneh, berantakkan, dan buruk.”“Mau kubantu?” Anita menawarkan bantu

  • More than Marriage   Tontonan Tak Bermoral

    “Kenapa, kau malu?”“Tidak juga, tapi ‘kan tidak enak dilihatin begitu.” Wanita itu tertawa. Tiap tawanya yang menyapu gendang telinga Allen hanya menambah sakit di hatinya. Beruntung hati Allen sekuat baja. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai macam masalah. Sampai detik ini dia masih bisa menahan semuanya. Berusaha untuk tidak menangis melihat suaminya bermain gila dengan wanita lain.“Memangnya kau tidak malu?” tanya wanita itu.“Biasa saja, dia hanya sekertaris baruku.”Benar. Aku hanya sekertarismu di kantor dan istri kontrak ketika di rumah. Kau sungguh ingin memberikan tontonan gratis padaku? Wah, seharusnya aku beli popcorn sebelum masuk ke ruanganmu, Allen membatin.Allen mendongakkan kepala sembari tersenyum dia berucap, “Apa lain kali saya perlu pakai kacamata, Pak?”Allen tertawa, “Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, anggap saja di ruangan ini hanya ada kalian berdua.”Wanita itu tersipu malu mendengar ucapan Allen, sementara Agra menahan perasaan marah karena Allen terlihat b

  • More than Marriage   Yang Pertama

    “Buka matamu, Allen.”Agra membelai lembut pipi Allen. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh di pipinya. “Apa kau terpaksa melayaniku.” Memegang dagu Allen dan mendongakkan. Satu kecupan lagi jatuh di puncak hidung istrinya.Allen memberanikan diri membuka mata. Perlahan cahaya kekuningan menyeruak masuk ke retina matanya. Allen terkejut, sejak kapan Agra mematikan lampu utama? Dan mengganti dengan lampu tidur yang terletak di sudut kanan ranjang. Lampu yang bahkan tidak bisa menerangi semua sudut kamar.Degup jantung Allen berpacu lebih cepat. Dirinya yang berada di atas ranjang dengan lawan jenis, berpakaian serba tipis, dan sekarang cahaya redup yang membuat suasana semakin panas. Bahkan aroma kelopak bunga mawar mulai menguar. Dia ingat ketika pertama kali naik ke ranjang ada kelopak bunga yang sengaja ditebar.“Kau takut?”Allen mengangguk. Tentu saja dia takut. Ini yang pertama baginya. Pikiran Allen tidak fokus, jantungnya tidak berfungsi dengan baik, dan tubuhnya bahkan gemetar.

  • More than Marriage   Sentuhan Pertama

    “Ingat tugasmu hanya satu, Allen! Kau lupa?”“Tidak.”“Apa?”“Memuaskanmu di atas ranjang.”“Bagus. Jadi ... kau tidak perlu repot-repot menjadi istri yang baik. Aku tidak butuh kau pintar masak, mencuci piring dan bajuku. Melakukan apa pun yang tidak penting sama sekali. Kau hanya perlu memberiku pelayanan terbaik. Di sana _” Agra menunjuk ranjang besar di belakangnya. Tempat paling intim dari sebuah hubungan. “Di atas ranjang,” sambungnya. Agra tersenyum puas. Sekalipun Allen menutupi air matanya, Agra tentu tahu tubuh Allen sedang gemetar. Dan dia suka melihat wanita itu ketakutan. “Buka lemarinya, ambil kotak yang ada di dalam.”Allen menarik napas dan mengembuskan perlahan. Pelan sekali, takut terdengar oleh Agra. Betapa gusar napasnya. Sementara suaminya sudah merebahkan diri di kasur dengan kedua tangan terangkat ke belakang sebagai bantalan kepala. Kening Allen berkerut begitu melihat kotak berwarna merah tua dengan pita ungu muda di atasnya. Dia segera membawa kotak itu ke de

  • More than Marriage   Selepas Pernikahan

    Allen menatap wajahnya di depan cermin. Bingkai kesedihan tercetak jelas di sana. Riasan tipis, kalung dan anting berlian tersemat di kedua telinganya. Satu set perhiasan pemberian Agra. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli barang mewah seperti itu. Rambutnya terangkat ke atas dan hanya menyisakan anak rambut di sekitar pelipis. Leher jenjang sampai tulang selangkanya terekspos.Allen sudah melakukan relaksasi berkali-kali, dari bergerak kecil, menarik dan mengembuskan napas. Semuanya tidak berguna. Ada perasaan yang tak bisa diceritakan. Menyesal? Mungkin saja.“Haah ....” Lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Diremasnya gaun putih berpayet.Menikah dengan orang yang dicintai, siapa pun pasti bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Allen inginkan. Bagaimana dia bisa tersenyum. Dia hanya seorang diri di hari istimewanya. Tanpa siapa pun mendampingi.“Nona, aku mohon jangan menangis lagi.” Seorang penata rias memperingatkan. Dia sudah merias wajah Allen sebanyak tiga kal

  • More than Marriage   Perjanjian Pra Nikah

    Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan

  • More than Marriage   Utang Masa Lalu

    Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar

  • More than Marriage   Laki-laki Berhati Dingin

    Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status