Share

More than Marriage
More than Marriage
Author: RoseeLily

Melepas Rindu

Langit terlihat lebih gelap dari biasanya. Ramalan cuaca memang menyebutkan jika hari ini akan turun hujan lebat. Di atas sana bahkan sudah terlihat kilatan-kilatan yang saling menyambar. Sepertinya benar, sebentar lagi langit akan menurunkan tetes-tetes air hujan.

Allen menggenggam secarik kertas di tangannya. Duduk dengan kaki yang gemetar. Selama perjalanan menuju bandara hatinya dipenuhi perasaan takut, sedih, dan rindu yang sudah menggebu. Semua perasaan itu silih berganti. Bercampur menjadi satu. Membuat wajah cantiknya dilingkupi kegelisahan.

Seharusnya dia tidak mengambil langkah ini karena hatinya merasakan takut, tetapi ketakutan itu terkalahkan oleh keinginan untuk berjumpa dengan seseorang. Sekadar melihat wajah lelaki yang teramat dia rindukan lima tahun belakangan. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamanya.

Bandara Sukarno Hatta.

“Sudah sampai, Mbak,” ucap supir taksi sembari menghentikan laju mobilnya tepat di depan pintu masuk bandara.

“Sebentar, Pak.” Allen mengusap kasar wajahnya. Rambut panjang yang sebelumnya dikuncir ekor kuda itu dia biarkan tergerai. Jatuh ke bagian depan membingkai wajahnya yang sedih. Allen memasang masker kain di wajahnya, menggunakan kacamata hitam, dan topi beanie atau yang lebih dikenal dengan topi kupluk sebagai langkah akhir untuk penyamarannya.

Semoga dengan begini tidak ada yang bisa mengenali Allen. Tidak seorang pun. Termasuk laki-laki itu. Laki-laki yang menjadi alasan Allen ada di bandara.

“Berapa, Pak?”

Setelah semua persiapannya selesai. Allen segera membayar ongkos taksi dan bergegas memacu langkahnya. Dia membuka secarik kertas yang sudah lusuh. Nyaris robek. Beruntung tulisan tangannya masih bisa dibaca. Dadanya berdebar, dia menarik napas dalam sebelum membaca deretan kata dan angka di kertas itu. Memastikan kapan waktu kedatangan pesawat dari Prancis.

Allen mengangkat pergelangan tangannya. Melihat sudah pukul berapa sekarang. Dia takut telat. “Seharusnya sebentar lagi," gumamnya di sela-sela langkahnya yang memburu. Berpacu dengan waktu

Allen menggigit bibir bawahnya. Kedua jemarinya saling meremas begitu melihat dua orang yang sedang berdiri menampakan bagian punggung. Meskipun dari kejauhan, tetapi Allen bisa memastikan jika dua orang itu adalah orang tua dari laki-laki yang sedang dia tunggu.

“Om, Tante ... maaf aku tidak bisa bergabung dengan kalian, tetapi aku di sini. Aku juga datang untuk menyambut kedatangannya. Terima kasih karena kalian masih peduli padaku.” Allen bergumam dari kejauhan. Semoga niat tulusnya berterima kasih tetap sampai meskipun tidak dia ucapkan langsung.

Tidak berlebihan jika Allen sangat berterima kasih pada mereka. Di tengah kondisinya yang bukan lagi seorang putri dari keluarga kaya, kedua orang itu masih menyempatkan diri untuk menghubunginya. Memberi tahu tentang jadwal kedatangan putra mereka ke tanah air.

Sepuluh menit berlalu.

Allen masih berdiri dikejauhan. Bibir merah Allen mengembang begitu melihat seorang laki-laki berjalan dengan setelan tiga potong yang pas di tubuhnya. Sorot mata tajam, hidung mancung, garis wajah tegas, bibir bervolume, dan rambut yang berpomade itu selalu berhasil membuat Allen terpesona.

Tepat di belakangnya seorang Asisten Pribadi mengikuti sembari menarik sebuah koper besar. Terjadi pelukan rindu anatara anak dan orang tua, seperti pertemuan anak dan orang tua pada umumnya. Mengharu biru.

Allen yang berdiri dikejauhan hanya bisa menikmati wajah laki-laki yang selalu ada dihatinya tanpa bisa menyentuh dan bertegur sapa. Tak peduli jarak dan waktu yang sekian lama memisahkan mereka. Bagi Allen rasa cintanya pada laki-laki yang bernama Agra Grissham tidak pernah berkurang meski tergerus masa. Cinta yang dia jaga sejak usianya baru menginjak angka tiga belas tahun tidak pernah terganti oleh siapa pun.

“Selamat datang kembali, Agra. Semoga setelah ini, harimu selalu dipenuhi kebaikan. Maaf, aku tidak memiliki keberanian yang besar untuk menyapamu langsung, tapi percayalah aku selalu mendo’akan agar kau tetap dalam lindungan-Nya.”

Mata Allen mulai berkaca-kaca, dia melepaskan kacamata hitamnya untuk mengusap sudut matanya yang sudah berair.

Allen memutuskan untuk pergi, tetapi rindu di hatinya belum sepenuhnya terobati. Allen mengepalkan kedua tangannya lalu bergumam, “Sebentar lagi, Tuhan. Aku ingin melihat wajahnya dari dekat, sebentar saja.”

Allen menelan salivanya, mencoba menguatkan dirinya sendiri. Dia berjalan perlahan di antara kerumunan orang. Setelah jaraknya dan Agra cukup dekat, dia mengeluarkan ponsel, mematikan lampu kilat, dan mengarahkan kamera ke arah Agra. Jemari lentiknya mulai menekan layar pada benda persegi panjang itu untuk menangkap gambar. Dia bahagia, hanya karena beberapa potret wajah Agra yang berhasil dia abadikan di handphone-nya Sesederhana itu.

"Ok. Cukup!” seru Allen pada diri sendiri. Sebagai alarm bahwa dirinya harus bergegas pergi.

Kalau boleh jujur, Allen masih belum puas melihat wajah Agra, tetapi dia harus pulang. Sangat berbahaya jika penyamarannya terbongkar. Apalagi jaraknya berdiri dengan Agra cukup dekat. Dia tidak mau jika laki-laki itu melihatnya. Dia belum siap untuk bertemu langsung dengan Agra. Dan sepertinya tidak akan pernah siap.

Di tengah asiknya melepas rindu dengan orang tua. Nathan, yang merupakan Asisten Pribadinya berjalan mendekati Agra dan berbisik. Seketika Agra memutar kepalanya dan pandangan matanya langsung tertuju pada Allen.

Allen menundukkan kepalanya. “Apa aku ketahuan?” tanyanya pada diri sendiri. Allen menggenggam erat ponselnya sambil bergumam, “Aku harus pergi dari sini.” Ketika dia memutar tubuhnya, bersiap untuk melarikan diri seperti biasanya tiba-tiba dari arah berlawanan seseorang menabrak tubuh Allen.

“Maaf, Mbak, maaf. Saya jalannya kurang hati-hati, saya sedang buru-buru. Sekali lagi saya minta maaf, Mbak,” ucap ibu itu minta maaf sembari sedikit membungkukkan tubuhnya.

“Tidak apa-apa, Bu. Bukan sepenuhnya salah Ibu, kok, aku juga salah, tadi aku terlalu fokus dengan handphoneku,” ucap Allen sembari tersenyum.

Ibu itu bergegas bangun dan meninggalkan Allen yang masih terduduk di lantai, hal pertama yang harus dia lakukan adalah menemukan handphonenya.

Ke mana handphoneku? Batinnya sembari memutar kepala mencari keberadaan benda tipis persegi panjang miliknya.

“Kau mencari ini?” Seorang laki-laki menyodorkan handphone tepat di wajah Allen.

TBC ....

follow IG @roseeLily16

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Susanti Elly Up
baca lagi ngobatin kangen sama karyamu kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status