Share

Ranjang Rumah Sakit

Allen terbangun dengan rasa nyeri yang menjalar di sekitar punggung tangannya. Dia mengangkat tangannya dan mendapati jarum infus yang sudah tertancap di sana. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya lalu menatap langit-langit.

Plafon putih dengan lampu di empat sisinya sudah bisa menjelaskan sedang ada di mana dirinya. Ranjang yang dia tiduri jelas sekali bukan ranjang miliknya. Dia harus tahu bagaimana dirinya berakhir di sebuah kamar di rumah sakit.

Allen memutar kepalanya. Dia melihat seseorang sedang mengupas apel dengan wajah lelah. Rambut panjangnya yang tergerai dengan kacamata bulat yang duduk manis di pangkal hidungnya menampakan kecantikan alami dari seorang Alisa. Sahabat baiknya.

“A-Alisa,” ucap Allen terbata. Masih dengan suara lemah. Dia berusaha menggeser tubuhnya, tatapi sepertinya masih terasa lemas.

“Allen ... astaga! Akhirnya kau bangun.” Alisa bergegas bangun. Menarik kursi duduknya lebih dekat dengan ranjang. Meletakan apel yang baru dipotonng setengah di atas nakas. Rona bahagia terlihat jelas di wajahnya.

“Berapa lama aku tidak sadarkan diri?”

Alisa diam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Allen. Dia melirik jam tangan kulit di pergelangan tangannya. "Kurasa sekitar tiga jam. Kamu itu pingsan atau mati suri, sih?!”

Allen menarik napas panjang. Tubuhnya bergeser naik. Namun, bertumpu pada tangannya yang tertancap jarum infus membuatnya sedikit tidak nyaman. “Bisa tolong tinggikan ranjangnya? Setelah itu kamu boleh mengualihiku. Sesuka hatimu. Aku akan mendengarnya dengan baik."

Alisa bergerak. Mencari tuas di bawah ranjang dan memutarnya. “Sudah cukup?”

“Iya. Cukup.”

Alisa melakukan itu bukan untuk menguliahi apalagi memaki Allen. Dia memang peduli dengan sahabatnya.

“Jadi bagaimana ceritanya aku bisa berada di rumah sakit?!” tanya Allen. Alisa sudah duduk di sampingnya.

“Aku juga tidak tahu. Kamu yang tahu ceritanya. Aku masih di tempat kerja ketika dihubungi oleh pihak bandara, katanya kamu pingsan dan langsung di bawa ke rumah sakit. Kamu ini!” seru Alisa sembari menyentil pelan kening Allen. “Untung saja pihak bandara menghubungiku. Bagaimana jika mereka menghubungi Nenekmu?! Beliau bisa kena serangan jantung!”

"Jika terjadi sesuatu padaku, maka orang pertama yang akan dihubungi adalah kamu." Allen tersenyum. Wajah tanpa dosanya membuat Alisa menarik napas panjang.

Tentu saja itu benar. Kontak nama Alisa di handphone Allen ada di urutan pertama. Dan selalu menjadi nomor yang terakhir dihubungi. Jadi jika terjadi sesuatu pada Allen. Sudah bisa dipastikan Alisa adalah orang pertama yang tahu keadaannya.

"Aku sangat tersentuh untuk kebaikan hati Anda, Nyonya. Kamu harus menyiapkan pesangon untukku. Mulai hari ini aku mau berhenti menjadi walimu. Sungguh menguras emosi." Alisa mengerucutkan bibirnya sembari membetulkan posisi kacamata yang sedikit melorot.

Bukannya tersinggung, Allen malah tertawa keras mendengar ancaman Alisa. Membuat wanita berkacamata memukul lengannya. "Kamu pikir kita sedang ada di mana? Kecilkan suaramu tawamu! Seram!"

“Baiklah ... berahenti memukulku. Aku juga akan memberimu pesangon yang besar." Allen mengedipkan matanya membuat Alisa mengusap kedua lengannya karena bergidik. "Bagaimana jika aku memberimu ini." Allen memasukan tangannya ke kantung baju dan detik berikutnya keluar memperlihatkan simbol hati pada Alisa.

"Sebentar aku panggilkan dokter. Sepertinya kepalamu sedikit bermasalah."

Dan keduanya hanya tertawa.

"Baiklah. Aku sangat bersyukur untuk itu, tapi aku baru bangun dan aku harus mendengar ocehanmu. Bukankah setelah mendengar ceramahmu kondisiku akan memburuk?” Kali ini giliran Allen yang mengerucutkan bibir.

Alisa manggut-manggut. Dia mulai menyetel wajahnya dengan mode serius. "Jadi bagaimana ceritanya sampai kamu pingsan di bandara? Memangnya siapa yang kamu jemput? Seingatku kamu tidak punya teman atau keluarga di luar negeri ....” Alisa menghentikan kalimatnya. Bola matanya mulai berputar lalu menatap intens wajah Allen. “Kecuali manusia yang satu itu!” tebaknya dengan alis bertaut.

Allen memejamkan matanya. Menarik napas dalam lalu mengusap wajahnya dengan sisa tenaga. Sulit untuk bercerita semua kejadian di bandara pada Alisa. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia juga tidak ingin membuat Alisa khawatir, tapi sepertinya Alisa sudah bisa menebak alasannya berada di bandara.

“Aku ke bandara untuk bertemu Agra. Hari ini dia pulang. Akhirnya aku bisa melihat wajahnya setelah lima tahun dia tinggal di Prancis, tetapi dengan bodohnya aku mengambil jarak terlalu dekat dengan tempatnya berdiri. Dan dengan tidak tahu malu aku memotret wajahnya ... awalnya baik-baik saja sampai aku ketahuan,” ucap Allen terputus. Membuat gadis yang duduk di sampingnya tidak sabar untuk mendengar cerita lebih lengkapnya.

“Lalu?”

“Lalu aku pingsan. Memangnya apa lagi! Mungkin aku kurang darah. Seperti biasanya.” Allen menoleh ke arah Alisa dan tersenyum tipis. Berusaha meyakinkan Alisa jika itulah akhir ceritanya di bandara.

Tentu saja Alisa tidak percaya. Kedua alisnya bertaut semakin erat disertai tatapan mata tajam. Allen menghela napas panjang, dia tahu tidak akan bisa berbohong pada sahabatnya. Dan Allen memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Alisa. Tanpa terkecuali.

Setelah mendengar semua cerita Allen di bandara. Alisa hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Sudah terlalu sering dia memberi peringatan pada Allen agar berhenti mengharapkan Agra, laki-laki yang jelas tidak mencintainya, tetapi sampai berbusa pun Allen tidak akan pernah menanggapi peringatan Alisa.

“Apa kamu melupakan kejadian lima tahun lalu? Otakmu ini harus selalu diingatkan." Mendorong kening Allen dengan telunjuk. "Bagaimana kamu melewati kesedihan selama lima tahun ini. Bukankah semuanya dimulai dari Agra!" Alisa berdecak kesal. Kenapa sahabatnya tidak pernah mendengar nasihatnya.

Tbc...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Susanti Elly Up
semangat terus berkarya kakak sukses ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status