Akhirnya mereka sampai, sekitar empat puluh menit kemudian. Senja menghela napas karena taman bermain sangat ramai. Bisa dipastikan jika mereka ingin menaiki wahana-wahana yang populer, mereka harus bersabar menghadapi antrean yang sangat panjang.
Senin nanti Senja harus kembali ke kost-an, karena dia tiba-tiba mendapat tugas kelompok untuk membuat sebuah rancangan bangunan yang sesuai dengan untuk ditempati para lansia. Sudah pasti dia akan sibuk karena harus melakukan survei juga ke beberapa lokasi.
Ditambah lagi dia sudah masuk tahun ketiga. Sudah pasti ke depannya akan lebih sibuk. Juga ada sebuah mimpi yang belum dia capai dan tahun ini adalah kesempatan terakhirnya. Astaga dia terlalu antusias untuk membuat mereka dekat, sampai-sampai dia lupa kalau sebentar lagi dia tidak punya banyak waktu luang.
Jadi hari ini dia benar-benar harus membuat Tasya dan Radhika lebih dekat, dan dia tidak boleh gagal. Dia harus semangat,
Semakin lama Radhika, semakin menghilang dari pandangan Tasya. Tasya bersandar pada sandaran kursi setelah Radhika benar-benar menghilang dari pandangannya. Kepalanya pusing. Sebenarnya apa yang sekarang sedang ia lakukan? Tasya tidak bisa menemukan jawabannya. Setelah bertemu Radhika, dia tidak bisa mengendalikan lagi hidupnya. Terlalu banyak kejutan dan dia belum terbiasa dengan itu.Tasya menengadahkan kepalanya dan menatap langit yang sekarang terhalang oleh dedaunan. Tiba-tiba Tasya merasa rindu pada ibunya. Semasa ibunya masih hidup, Tasya sering sekali curhat padanya. Dia selalu menceritakan semuanya pada ibunya, tanpa ada rahasia sedikit pun. Ibunya lah yang paling mengerti dirinya. Namun, Yang Maha Kuasa lebih menyayangi ibunya, sehingga lima tahun lalu ibunya di panggil ke sisi-Nya.Tasya masih merasa kalau itu hanyalah sebuah mimpi. Ibunya meninggal karena serangan jantung. Tidak ada satupun yang menyangka hal itu terjadi. Karena selama ini ibunya selalu ter
“Kalau ngantre, Aku enggak mau.”Senja tersenyum senang, dia mengangguk. “Tenang aja, Bang. Hari ini ada pertunjukan Fire Ball, orang-orang pasti lebih kepengen nonton itu.” Senja memeluk lengan Radhika, lalu menariknya. Dia juga memberi isyarat pada Tasya dan Raka, agar mengikutinya.Sepanjang jalan Radhika mendengar Senja beberapa kali terkekeh dan dia senyum-senyum sendiri, seperti orang bodoh. Radhika menjadi curiga, pasti ada yang sedang bocah ini rencanakan.“Tuh kan, sepi,” kata Senja saat mereka hampir sampai di wahana Bianglala.Seperti yang dikatakan Senja, tidak ada yang mengantre. Namun, Bianglala itu belum berputar, berarti kuota masih belum memenuhi. Senja menarik Radhika dan berlari menuju wahana itu.“Sisa berapa kereta, Kak?” tanya Senja pada petugas yang berjaga di wahana itu.“Sisa dua, Kak. Kalau sudah terpenuhi, wahana akan langsung dijalankan.”
Malam ini Radhika pulang ke rumahnya bersama Senja. Awalnya dia berniat kembali ke kantor setelah mengantar Senja pulang, tetapi Senja merengek dan berkata ingin menghabiskan waktu bersamanya, dengan alasan mereka akan sulit bertemu sebulan ke depan, karena dia harus kembali ke tempat kostnya. Padahal tempat kost Senja tidak jauh dari sini, dan tidak jauh juga dari rumah orang tuanya. Memang dasar bocah ini, dia bilang ingin mandiri seperti teman-temannya. Tapi pada kenyataannya, Senja masih manja.Tadi saat Om Budi sebenarnya menawarkannya untuk menginap di sana. Namun, Senja menolak. Dia bilang ingin berdua saja dengan Radhika. Walaupun sudah di bujuk oleh ayah dan ibunya, dia tetap saja bersikeras."Abang, kamu harus bahagia," ucap Senja tiba-tiba. Mereka kini sedang berada di balkon kamar Radhika. Karena Senja bilang ingin berbicara di sini.Radhika tersenyum tipis. Ia mengelus puncak kepala Senja. "Kamu kenapa? Sakit?" ejeknya.Senja menyingkirkan ta
Tasya berguling di atas kasurnya. Dia tidak bisa tidur. Radhika itu benar-benar tidak waras. Otaknya sudah rusak. Bisa-bisanya dia melakukan itu padanya. Kepalanya selalu panas jika mengingatnya. Tasya mengubah posisi menjadi duduk, dia mengambil bantalnya.“Radhika gelo!” Tasya memukul bantal tadi beberapa kali. “Sableng!” Tasya melempar bantalnya ke sembarang arah.Tasya sempat berpikir mengirimsantetuntuk Radhika. Namun, ia urungkan. Tasya masih ingat dosa. Dia tidak ingin menambah pekerjaan malaikat Atid, dosanya sudah banyak dan Radhika dengan kurang ajar menambah daftarnya. Tasya tahu dirinya bukan orang suci, dia masih banyak kekurangan. Namun, yang dilakukan Radhika itu salah.Jika masih sebatas berpegangan tangan Tasya masih bisa memaklumi. Beberapa waktu lalu, Radhika tiba-tiba memeluknya, dia mencoba untuk tidak marah. Namun, kali ini Radhika sudah keterlaluan. Bisa-bisanya dia menciumnya.
Pagi ini Tasyatidak ingin berajak dari kasurnya. Masa bodoh dengan pekerjaanya, toh dia tidak punya pekerjaan yang berarti.Untuk saat ini dia tidak ingin berangkat ke kantor. Karena dia berniatmenghindari orang yang bernama Radhika. Setelah kejadian kemarin, Tasyamengurung diri di kamarnya, dan keluar saat makan malam saja. Setelah itu dia kembali ke kamarnya dan meringkuk dibalik selimut tebalnya.Ayahnyasempat khawatir dan bertanya mengenai keadannya. Tasyamenjawab jika dia sedang tidak enak badan, lalu sang ayah menyuruhnya untuk beristirahat.“Ayah bawainsarapan buat kamu.” Sang Ayah membawa nampan berisi bubur dan susu vanilla.“Maaf, jadi ngerepotin Ayah.” Tasyabangkit dari posisinya lalu duduk bersandar pada sandaran ranjangnya. Dia sebenarnya merasa tidak enak hati pada ayahnya karena sudah berbohong. Tapi dia juga tidak mau bertemu Radhikasekarang.“Kamu
“Ayo kita bicara.” Radhika kini berdiri di depan meja Tasya.Tasya menatap Radhika dengan malas. Dia sudah kehilangan mooduntuk membahasnya. “Seperti yang Anda katakan sebelumnya … mari kita lupakan saja.”Radhika menghela napas. Astaga kenapa ini menjadi sangat rumit? “Saya akan jelaskan-”“Pak Dhika, sudah Saya bilang lupain aja.” Tasya memotong ucapan Radhika. Dia berdiri dari kursinya, “sebaiknya saya mulai bekerja. Saya akan menyiapkan teh untuk Bapak.” Tasya berjalan meninggalkan Radhika yang kini merasa bingung dengan situasi mereka sekarang.Radhika melonggarkan ikat dasinya. Kepalanya seakan mau meledak, Tasya benar-benar tidak bisa ia tangani dengan mudah. Radhika kembali ke mejanya, ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.Sebenarnya gameini sudah selesai, hanya saja ada beberapa hal yang menurutnya kurang sesuai dan
"Kalau dengan cara seperti itu bisa buat kamu tetap di samping saya. Jadi, kamu boleh anggap saya suka sama kamu."Tasya segera membuka mata dengan cepat lalu bangkit dari tidurnya. Ya ampun, kata-kata itu masih terngiang-ngang di telinganya, bahkan dia masih bisa membayangkan ekspresi wajah Radhika saat mengatakannya. Ini benar-benar gila, dia tidak mengerti, mengapa hal itu masih tidak mau hilang dari pikirannya.Radhika memang orang yang tidak bisa menjelaskan apapun dengan benar. Dan tadi setelah dia mengatakan hal itu dia pergi begitu saja. Dia hanya berkata kita akan membahasnya lagi nanti. Benar-benar minta di-tabok.Tiba-tiba ponselnya bergetar, Tasya mengambil ponsel yang ia taruh di bawah bantal. Sebuah nomor asing meneleponnya. Tasya mengernyitkan keningnya. Pikirnya mungkin ini adalah nomor perusahaan yang memintanya datang untuk interview, tapi sekarang sudah pukul delapan malam itu sepertinya tidak mungkin. Alhasil Tasya
Tasya melotot mendengarnya. “Kenapa?.”“Karena saya suka kamu.”Tasya terkejut, dia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, lalu menggelang. “Radhika, ini enggak lucu, ya.”“Saya serius.”Tasya menghela napas. “Radhika, dengerin ya! Aku tau kamu pasti punya maksud tertentu, tapi aku enggak tau apa itu. Alasan kamu itu bener-bener enggak masuk akal … kamu pikir aku bakal percaya gitu aja? Nyamuk sekali pun, enggak akan percaya! Kalau kamu mau mainin perasaan aku, karena masih punya dendam, jangan kaya gini. Enggak lucu!”Radhika hanya diam.Tasya tersenyum sinis, sudah dia duga. Tidak mungkin Radhika suka padanya. “Jujur aja, apa yang lagi kamu rencanain?”Radhika masih diam.Tasya menhalihkan pandangannya ke arah jalan. “Oke, kalau kamu enggak mau ngomong. Aku-”Perkataan Tasya terpotong karena Radhika tiba-tiba menarik tubuhny