Matahari pagi merangsek masuk menembus kaca jendela kamar Rosie yang gordennya lupa dia tutup. Semalam, Rosie terlalu lelah dengan lemburnya jadi, wanita itu langsung melempar badan ke king size dan langsung terlelap begitu badannya merasakan kenyamanan king size.
Setelah selesai mematut diri di depan cermin Rosie sudah siap berangkat dengan setelan blazer putih dan celana kain berwarna senada. Di Balik blazer itu, dia hanya mengenakan kemeja warna krim. Hanya dengan berpakaian kerja seperti itu saja, wanita itu tampak berkarisma. Tidak dapat dipungkiri lagi aura seorang leader menguar dari dirinya.
Derap sepatu heels beradu dengan permukaan lantai saat dia keluar dari kamar. Matanya lantas menyoroti Ethan yang masih pulas di atas sofa dengaan selimut tipis warna biru langit. Membiarkan adiknya seperti itu, Rosie melenggang ke balik konter dapur. Menarik lima lembar roti kemudian dimasukannya ke dalam mesin pemanggang roti otomatis.
Dapur yang hanya disekat dengan konter itu tembus ke ruang tengah. Jika ingin makan sambil menonton TV pun hanya menuruni undakan. Aroma roti panggang yang menggugah membuat Ethan membuka mata, menegakkan punggungnya kemudian menggeliat sembari menguap melepaskan sisa kantuk.
“Aromanya bikin lapar,” komentar Ethan. Dia melompat dari sofa, bergegas mendekat ke konter kemudian duduk di kursi set meja makan. Di dekatnya, Rosie sedang menata piring berisi roti panggang yang baru matang.
"Morning, Kak Ros!" Ethan menyubit pipi Rosie
"Ih, apaan deh kamu tu!" Rosie menepis tangan adiknya kesal.
Ethan menarik kursi set meja makan, menjatuhkan bokongnya di sana.
Suara dari mesin pemanggang otomatis pun berbunyi sebagai tanda roti panggang siap dihidangkan. Rosie mengambil piring, memindahkan lima potong roti ke atas piring kemudian menyajikannya di meja makan.“Wah, roti bakar!” seru Ethan sembari mengendus aroma makanan itu seakan-akan itu adalah kenikmatan dunia yang tidak boleh dia lewatkan di pagi yang cerah ini.
Tidak sabar menikmati makanan di depannya, Ethan menyambar toples selai rasa kacang yang berjajar diantara selai stroberi dan cokelat. Membuka tutup selai, menyondok isiannya kemudian mengolesi selembar roti. Lapis atas ditutupi lagi dengan selembar roti. Melihat tingkah adiknya, Rosie menarik kursi, meletakkan secangkir kopi di atas meja. Dia melakukan hal yang sama seperti dilakukan Ethan namun dengan pilihan selai rasa cokelat.
"Baru bangun cuci muka kek, gosok gigi kek! Bahkan kamu gak cuci tangan, tuh. Empat tahun kuliah kedokteran kamu gak belajar hyegene sanitation, ya?” gerutu Rosie memandang Ethan yang masih dalam balutan piyama itu dengan sinis.
Tanpa menghiraukan kakaknya, Ethan menyantap roti selai favoritnya kemudian memejamkan mata sambil berdehem, “Hmm.”
“Ethan!” bentak Rosie.
Sontak Ethan membuka mata, menyadari kakaknya sedang kesal, Ethan malah menjawab dengan santai.
“Aku udah hidup seperti itu setiap hari selama lima tahun.” Ethan bicara dengan mulut penuh, sebelum melanjutkan dia menelan makanan di mulutnya. “Aturan yang kaku dan disiplin itu membosankan. Jadi, sesekali bolehlah hidup urakan.”
Rosie memandang Ethan lekat-lekat, menyesap kopinya kemudian mengomentari cara makan Ethan.
"Apa di Jepang cara makanmu juga belepotan gitu?" Rosie kemudian menggigit roti di tangan setelah menghentikan matanya pada bibir Ethan yang belepotan.
"Enggak sih, di sana aku juga tahu tata krama kali Kak," tukas Ethan semabri menarik selembar tisu dari dalam kotak kemudian mengelap bibir tipisnya.
Melihat tingkah adiknya yang tidak berubah sejak terakhir kali, Rosie hanya bisa menggeleng kemudian menggigit roti di tangannya.
"Kalau gitu, bisa kok aturan di Jepang kamu terapkan di apartemen ini!" ucap Rosie tegas meski mulutnya penuh. Sekali lagi Rosie menyesap kopi sambil melirik arloji di pergelangan tangan. "Gawat!" gumam Rosie, buru-buru mengambil tas tangannya. Beranjak dari kursi dan meninggalkan pesan pada Ethan yang masih santai.
"Beresin selimut di sofa dan jemur bantalnya, bau ilermu tuh nanti!"
Rosie melanggang begitu saja menyisakan roti yang masih setengah di piring.
Melihat sisa roti kakaknya, Ethan langsung menjumput kemudian melahapnya bak mendapat rejeki nomplok. Di balik sifat prefeksionis Rosie, tetap saja punya kebiasaan buruk yaitu menyisakan makanan.***Setelah puas dengan sarapan, Ethan mengambil segelas air dari dispenser, diteguknya hingga tandas. Perutnya terasa lega setelah bersendawa di pagi hari.
Mengambil jeda sebentar, dia lantas membereskan peralatan makan di atas meja. Mencucui serta meanat di rak. Menuruti titah Rosie untuk merapikan sofa, Ethan bergegas melaksanakan tanggung jawabnya. Tidak ingin diomeli Rosie saat wanita itu pulang kerja, Ethan mulai melipat selimut. Ethan juga menjemur bantal sesuai perintah Rosie. Satu tugasnya beres.
Akan tetapi, Ethan tidak puas dengan hanya membersihkan ruang tamu. Pria dua puluh enam tahun itu merasa nanggung jika keseluruhan rumah ini tidak dibereskan. Jadi, dia perlahan membuka kamar Rosie dengan berbekal alat kebersihan.
Perlahan Ethan membuka pintu kamar Rosie. Begitu pemandangan di depannya terlihat, Ethan tertegun. Bukan karena mewahnya kamar Rosie melainkan karena keadaan kamar Rosie yang berantakan. Pakaian bekas pakai diletakkan begitu saja di atas kasur, alat make up yang amburadul di atas meja rias dan pakaian dalam yang menjuntai di kursi kayu tempat Rosie mematut diri setiap hari sebelum bekerja membuat Ethan berkomentar.
“Cantik, tegas, wanita karir tapi-,” Ethan menelan salivanya sendiri-.”Berantakan banget!”
Ethan menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Dia memulai merapikan king size tempat pembaringan kakak perempuannya itu. Merapikan sprei yang kusut, mengembalikan beberapa potong baju dengan hanger yang masih tercantel di dalamnya. Seperti habis memilih pakaian yang pas untuk hari itu dan tidak sempat merapikannya.
Ethan mengenyitkan alis sembari menggeleng. Dengan gamang, tangannya meraih keranjang kosong di sudut kamar kemudian mulai memunguti baju kotor milik Rosie. Saat tangannya mengambil bra milik Rosie, Ethan iseng menarik kedua ujung penutup tombol kebanggaan sejuta kaum hawa lalu mengira ukuran benda itu.
“Kecil juga!” gumam Ethan.
Puas melakukan keisengan seperti itu, Ethan melanjutkan tugasnya hingga sampai dimana Ethan harus membersihkan lantai dengan vacuum cleaner. Alat itu mulai bising melakukan fungsinya dengan dikendalikan Ethan. Ethan mulai mengarahkan ujung penyedot ke kolong tempat tidur namun, sesaat kemudian, sesuatu menyumbat penyedot. Penasaran, Etan kemudian menariknya, memeriksa ke bawah kolong. Meraba-raba ke dalam sana.
Begitu tangannya meraih sesuatu, dia menarik tangannya keluar dengan sebuah bingkai foto dari kayu yang penuh debu. Ethan berdiri, mengibaskan sarang laba-laba yang menempel pada bingkai itu. Samar-samar, gambar di dalam bingkai pun terlihat jelas.
Di dalam gambar itu Rosie duduk dengan anggun di atas sofa single, mengenakan dress terusan warna putih. Rambut hitam lurus Rosie dibiarkan tergerai, ujungnya menjuntai melewati bahu. Riasannya pun begitu natural dengan polesan lipstik warna merah muda yang membuatnya tampak menawan di dalam foto. Tepat di samping Rosie, Mario berdiri tegak denga setelan jas warna senada dengan Rosie. Pria berparas Asia timur itu sangat gagah dan berwibawa dalam foto sambil menggenggam erat tangan Rosie. Keduanya menyunggingkan senyum bahagia di depan background lukisan bunga berwarna putih.
"Mario san keren di sini tapi, malah dibiarkan disarangi laba-laba," celetuk Ethan.
Sekelebat terlintas di pikiran Ethan tentang Mario, dulu Ethan dan Mario sangat dekat. Bahkan, Mario turut mengantar kepergian Ethan sampai bandara saat Ethan akan pergi ke Jepang namun, tiga bulan dia tidak tahu lagi kabar hubungan Mario dengan Rosie karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Suatu hari tanpa sengaja, saat Ethan sedang mencari bahan tentang mata kuliah, Ethan tidak sengaja menemukan artikel tentang Mario.
"Papa udah bilang kan, kamu harus lebih tekun lagi jadi supervisor!" Mario duduk tertunduk di hadapan ayahnya. Pria berdarah Jepang itu menciut di hadapan pria paruh baya sekaligus ayahnya. Harwan Minoru, begitulah pria paruh baya itu dipanggil. Sebagai presiden direktur Absolute Beauty Chemical, Harwan adalah pria yang tegas dalam kepemimpinanya. Ketegasan itu berlaku juga untuk Mario, Sang Putera Tunggal. Perusahaan kosmetik itu Harwan bangun dari titik nol bersama dengan sahabatnya yang sudah meninggal. Di usia senja Harwan seharusnya sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan itu kepada Mario. Akan tetapi, tidak juga kunjung serah jabatan itu diberikan kepada Sang Putera. Alih-alih menggantikan dirinya, Pak Harwan malah meletakkan Mario sebagai supervisor pemasaran bersama dengan Rosie. Pak Harwan melengos, beranjak dari posisinya mendekat ke Jendela. “Kalau begini terus, kamu gak
“Ada apa, Mario? Kenapa kamu mendadak marah begini?” Rosie kebingungan dengan tingkah Sang Kekasih yang tiba-tiba saja murka. “Kamu yang kenapa!” bentak Mario. Rosie berdiri dari tempat duduknya. Mencoba menenangkan Mario yang mendadak marah. Dada pria itu kembang kempis, memandang wajah Rosie penuh amarah. “Tenang dulu, sebenarnya ada apa?” “Kamu gak perlu nanya kenapa. Jujurlah, Rosie. Kamu mendapatkan posisi ini karena penghiburan yang kamu berikan pada papaku, kan?” Mario meminta penjelasan. Rosie menggelengkan kepala sembari berkata, “Itu gak benar. Kamu seharusnya percaya dengan kemampuanku ini. Lihatlah hasil kerjaku! Aku dan tim pemasaran yang bekerja keras untuk ini. Bahkan produk perawatan wajah pria-,” “Sudah cukup, Rosie! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu lagi. Jika kamu memang tidak melakukan “penghiburan” untuk mendapatkan jabatan manajer, buktikan padaku bahwa itu tidak benar!” tuntut Mario. “Bukankah kamu yang seharusnya paling percaya padaku? Bukankah
Hari kamis yang sedikit gerimis tidak menyulutkan semangat Tirta dan Yunri untuk memarkir lapak mereka di pinggir jalanan kota G. Diantara pedagang kaki lima yang setiap hari buka, lapak merekalah yang terlihat paling mencolok. Mobil Van putih yang dimodifikasi menjadi sebuah stand burger berdiri di deretan pedagang kaki lima itu. “Kayaknya, hari ini akan sepi deh!” Tirta mengeluarkan kepalanya dari konter dagangan, memandang ke langit dengan wajah masam. “Ini masih gerimis, belum juga badai,” sahut Yunri yang sedang sibuk dengan pekerjaannya mengelap meja. Yunri Han, itulah nama lengkap gadis itu. Usianya bulan lalu baru saja menginjak usia dua puluh lima tahun. Dia besar di panti asuhan bersama dengan Tirta, teman sepenanggungan yang sudah dia anggap seperti seorang kakak sendiri. Yunri sebenarnya bukan anak yatim-piatu, desas-desus bahwa orang tuanya masih hidup sempat terdengar di telinganya. Akan tetapi, Yunri bukannya memilih mencari tahu kebenaran kabar itu, dia lebih
Ruang Presdir terlalu luas hanya untuk dua orang manusia saja di siang itu. Rosie bahkan harus membiarkan waktu makan siangnya molor sedikit hanya untuk bertemu dengan Pak Harwan yang tengah duduk di belakang mejanya. Pria berbadan tambun itu menyatukan kedua tangannya dengan tatapan yang tertuju ke arah Rossi, menunggu penjelasan Rosie. "Karena Youth Serum masih tergolong produk baru, mungkin akan kalah dengan pesaing di pangsa pasar, tetapi kami dari akan berusaha agar dalam waktu dua bulan Youth Serum diiterima oleh kalangan muda.” Mendengar pejelasan Rosie, Pak Harwan melengos asal-asalan. “Inilah yang saya suka dari kamu. Muda dan penuh optimisme.” Ujung bibir Rosie melengkung ke atas, mendengar pujian sang Presdir. “Terima kasih,” ucap Rosie. Pak Harwan beranjak dari tempat duduk, mendekat ke jendela dan memandang keluar. Pemandangan gedung pencakar langit dan kota tampak jelas dari kantornya itu. “Kenapa kamu membatalkan pernikahan dengan Mario?” tanya Pak Harwa
Matahari tampak malu-malu menunjukkan dirinya di balik awan putih yang menggantung di langit Kota G. Hari Minggu membuat jalanan sedikit lenggang. Sebagian warga kota melepaskan penatnya di akhir pekan untuk sekadar berjalan-jalan atau menikmati family time setelah seminggu dijejali pekerjaan apapun profesi mereka. Tidak kecuali dengan Ethan, selepas membersihkan diri dan mengganti piyama dengan kaos rumahan dan bahawan celana pendek kasual, dia pergi dari apartemen Rosie sekadar untuk menikmati udara di luar. Dengan segelas es kopi seharga sepeluh ribuan yang dia beli dari kedai jalanan. Tangan kiri Ethan memegang es kopi sementara, tangan kanannya asik memainkan smartphone. Bruk! Pandangan Ethan baru teralihkan ketika dia menyadari seorang gadis sudah terkulai di trotoar, di dekat gadis itu sebuah buku yang tampak baru kotor, sampul hingga setengah bagian dari buku itu basah karena tumpahan es kopi milik Ethan. “Ish, jadi rusak gini!” Buru-buru gadis itu m
“Aku sudah ganti rugi bukumu, loh. Rawat dengan baik!” ucap Ethan sembari keluar dari toko buku. “Ma-makasih!” “Cuma makasih?” Ethan melipat tangan ke dada. “La-lalu mau apa lagi?” “Es kopiku gimana?” tanya Ethan. Yunri tidak kaget, seperti dugaan sebelumnya, persis yang dia bayangkan terhadap Ethan. Pria di hadapannya itu akhirnya meminta hal yang setimpal. “Kalau aku harus ganti es kopimu juga, aku gak akan mau kamu belikan buku pengganti!” protes Yunri. Yunri merogoh saku celananya. Berharap mendapatkan uang dari tiap kantung yang melekat di badannya. Seingatnya, dia mendapat kembalian dari pembelian buku yang sudah dirusak Ethan, tetapi harapannya sirna. Tidak ada sesuatu yang dia dapat sebagai alat tukar selain uang koin perak pecahan lima ratus rupiah. Jumlahnya tidak lebih dari enam keping atau setara dengan tiga ribu rupiah kalau ditotal. “Aku gak pegang uang saat ini!” ucap Yunri jujur. Ethan melengos asal-asalan. “Gak apa, aku hanya bercanda aja. Bye!
Rosie sudah terlarut dalam pekerjaannya sebagai seorang manajer, urusan percintaan bahkan sudah tidak terpikir lagi di balik tempurung kepalanya. Hal yang membuatnya tetap bersemangat hanyalah pekerjaan dan rutinitas di balik kursi manajer. Akan tetapi, hari ini Rosie sengaja mengambil cuti seharian. Pagi-pagi ketika matahari sudah mulai meninggi, Rosie mengawali paginya dengan secangkir kopi di balkon sembari menjatuhkan mata pada pemandangan kota di depannya. “Yo, selamat pagi, Kak Ros!” sapa Ethan. Pemuda itu baru datang dari luar dengan kaos yang basah di bagian punggung karena keringat. Celana training dan sepatu sport merk terkenal menjadi alas kakinya. Napasnya masih sedikit berat karena efek olahraga. “Darimana aja kamu?” Rosie menoleh. Memandangi adiknya yang sedang mengeringkan leher dengan handuk. “Udah jelas aku berkeringat begini. Ya
Tidak sampai dua jam mereka berada di rumah Om Clayton, mereka pamit pulang dengan alasan menghindari kemacetan lalu lintas kota. Akan tetapi, kepadatan lalu lintas kota metropolitan memang tidak dapat dihindarkan. Rosie harus memelankan laju kendaraannya begitu memasuki jalanan kota Jakarta yang padat. “Pergi macet, pulang juga macet!” keluh Ethan. Ethan bahkan nyaris tidak dapat mengedarkan pandangan ke hal yang menyejukkan mata. Selain pemandangan sekumpulan besi yang melaju sekena pengendalinya yang tepat ada di depan matanya itu. “Ternyata memang lebih baik di Kota G,” imbuh Ethan. Rosie memasang kacamata hitam, menghalau cahaya yang menyilaukan mataya tanpa memerdulikan adik lelaki yang nyeloteh tentang lalu lintas. “Kakak, ngomong-omong apa dengan minta bantua Om Clayton itu gak berlebihan?” tanya Ethan pada kakak perempuannya itu. “Berlebihan gimana?” Rosie melirik ke kaca spion seraya menjawab pertanyaan Ethan dengan pertanyaan. “Maksudku, jarang sekali Kak Ros minta