Home / All / Ms. Manager And Her Brother / Dilarang Merokok di Apartemen Rosie

Share

Dilarang Merokok di Apartemen Rosie

Author: Ursa Mayor
last update Last Updated: 2021-12-05 10:20:06

  Kerlap-kerlip lampu kota membuat pesona kota semakin indah, menawan. Dari balkon, kendaraan yang lewat di jalan tol bak kunang-kunang yang merayap di tanah. Empat tahun di Jepang membuat Ethan merindukan kota kelahirannya itu. Seakan tidak puas dengan pemandangan malam Negeri Sakura yang sudah setiap hari dia lihat. Ethan mengingat baik-baik kata orang, “Seburuk-buruknya negeri sendiri tetap saja tempat paling nyaman untuk hidup.” 

   Berbekal cangkir di tangan kirinya, Ethan menikmati suguhan kota yang memanjakan mata. Sesekali dia meneguk kopinya kemudian mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celana. Mengeluarkan sebatang dari kotaknya. Melepit diantara gigi seri atas dan bawah. Ibu jarinya menekan pemantik untuk menyulut ujung rokok. Dihisapnya pelan-pelan, dikebulkannya asap tipis dari lubang hidung. Tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan seperti itu dalam kehidupan para pecandu nikotin. 

"Kamu akan masuk angin kalau lama-lama di luar!" Suara Rosie dari ruang tamu mengagetkan Ethan. Ethan kemudian berbalik, memandang Rosie sembari melemparkan senyum di bibir tipis yang diturunkan dari ayahnya.

"Ah, kakak. Aku cuma nikmatin pemandangan kok. Agak kangen sama suasana kayak gini." 

   Mata Rosie tertuju pada batang rokok diantara jari Ethan, Rosie mendelik  tidak suka dengan sikap adiknya.

"Sejak kapan kamu bisa ngerokok kayak gitu?"

"Sejak di Jepang." Ethan tersenyum lalu kembali menghisap rokok, menyembulkan asapnya ke udara. Tingkah Ethan membuat Rosie kesal, dia bergegas merebut rokok dari tangan Ethan dengan kasar. Melempar puntung rokok yang bahkan belum habis setengahnya ke dalam pot bunga di bawah kaki Ethan. 

"Kakak!" protes Ethan.

"Jangan ngerokok di depanku! Lagian bakar duit kayak gitu gak ada faedahnya, cuma ngerusak kesehatan aja. Padahal kamu itu dokter loh, dokter!" cecar Rosie.

Mendengar perkataan Rosie, Ethan menyemburkan tawa tanpa perasaan bersalah. 

“Hahaha. Aku bukan dokter, aku hanya lulus dengan gelar dokter dan enggan menjadi dokter,” ucap Ethan.

"Oh, kakakku yang cantik, biar Ethan kasi tahu,ya. kematian karena penyakit diabetes 3x lebih banyak daripada kematian yang disebabkan karena merokok. Lalu, yang bikin kanker itu bukan rokok tapi DNA. Kalau aku ngeluarin coklat pasti kakak gak akan ngebuangnya. Kenapa malah jadi selective empathy begitu terhadap penyebab penyakit?" Dengan gaya ala pakar kesehatan, Ethan dengan bangga menerangkan. 

   Rosie tahu, Ethan hanya menggunakan teroinya sendiri untuk membuat pembelaan diri agar terus bisa merokok terlepas dari gelar dokter yang disandang adiknya.

"Merokok menyebabkan umurmu lebih pendek 20 tahun!" Rosie tidak mau kalah, dia mendebat adiknya. 

"Aku gak mau tahu, mulai sekarang jangan ngerokok di depanku. Dan kalau kamu mau beli rokok, jangan minta sangu ke aku!" mbuh Rosie.

“Dasar adik gak guna!” Rosie mengumpat. Wanita dua puluh sembilan tahun itu sudah malas mendebat Ethan. Melenggang ke ruang kerja yang disekat dengan kaca sebagai pembatas dengan ruang tengah. 

    Ethan tidak jera, dia malah tersenyum seakan tidak bersalah karena membuat kakaknya kesal. Sebaliknya, Ethan meledek Rosie dengan mengkomat-kamitkan mulutnya, meniru gaya bicara Rosie. Begitulah bentuk protes Ethan kepada Sang Kakak sejak masih anak-anak.

***

       Rosie  tampak sibuk  di depan laptop, duduk dengan wajah serius di kursi hidrolik empuk di belakang meja kerja. Sebagai seorang manajer, Rosie sangat teliti dengan hal-hal yang berhubungan dengan kantor terlebih lagi di bidang marketing. Wanita itu begitu  memerhatikan seluruh bawahan di tim marketing. Tidak, baginya tidak ada bawahan melainkan, semua itu adalah tim. Nyaris tidak ada  sekat antara bawahan dengan atasan di dalam tim marketing yang dipimpinnya. Bahkan, salah satu produk perawatan wajah untuk pria di perusahaan pun berhasil menduduki puncak best seller di Indonesia.

Tok! Tok! Tok!

    Ketukan di kaca membuyar konsentrasi Rosie, dia sudah tahu adiknya akan mengganggunya.

“Jangan mengganggu!” teriaknya dari dalam.

    Tanpa menghiraukan larangan Rosie, Ethan tetap membuka pintu dengan hati-hati agar secangkir matcha dan semangkok bubur hangat di atas nampan tidak tumpah belepotan.

“Kamu kelihatan pucat, Kak!” Ethan meletakkan nampan di atas meja kerja Rosie, tepatnya di pinggir laptop.

“Apaan sih, Than? Kamu ganggu aku kerja aja!” Alis Rosie mengerut. Belum habis kekesalan perkara Ethan merokok di hunian mewah itu, sekarang Ethan malah menambah kekesalan di dalam dirinya.

    Rosie memang tipe wanita karir yang tidak bisa diganggu kalau sedang serius bekerja. Terang saja dia bersikap begitu kepada Ethan yang bandel.

“Aku seduhkan matcha dan bubur instan. Matcha itu aku bawa dari Jepang. No KW-KW. Asli Jepang!”

“Hah? Kawaii?”

“KW, palsu.”

“Ya udah, aku tinggalin di situ. Jangan kerja terus, istirahat sesekali. Aku gak mau kamu sakit!” Ethan memperingatkan. Bahkan sebelum menutup pintu ruang kerja kakaknya, Ethan mengangkat jari sembari bersorak, “Ganbatte!

      Selanjutnya, Ethan merebahkan diri di atas sofa setelah mengganti baju dengan piayama. Kepalanya ditutup dengan topi kupluk rajut dengan tulisan Jepang yang—

entah apa bacaannya. Mulai malam ini, sofa empuk dan nyaman itu akan jadi pembaringannya selama dia tinggal di apartemen Rosie karena apartemen itu hanya punya satu kamar.  

   Rosie melengos, mengambil jeda dari pekerjaannya untuk sesaat. Bersandar pada daun kursi hidrolik yang empuk. Matanya tanpa sengaja menyorot makanan yang disajikan Ethan. Rosie nyaris lupa hingga makanan itu sudah terlihat dingin.  Sudah lama, tidak ada yang perhatian seperti itu pada dirinya.   Bekerja sampai larut lebih sering membuatnya melewatkan makan malam. Tak jarang, dia hanya makan roti kalau lapar di sela-sela lemburnya.

     Tangan Rosie yang kurus menarik nampan perlahan, digesernya sedikit kursi beroda itu. Makanan sajian Ethan siap santap yang sudah dingin itu lalu disendok perlahan kemudian dicicipi. Nafsu makan Rosie mendadak jadi besar, dalam sekejap saja, bubur itu tandas.

     Mengambil jeda sejenak,  alih-alih minum matcha setelah makan bubur, Rosie meraih tumbler warna pink berukuran satu liter di ujung meja. Dia meneguk cairan berwarna bening itu untuk melegakan kerongkongan kemudian mendesah lega.

     Mata sipit Rosie menyorot cairan berwarna hijau di dalam cangkir. Ingatan di balik tempurung kepala seakan mengulang kembali sekelebat bayangan bersama Mario. Sudah lama dia tidak makan makanan Jepang sejak putus. Bahkan, huruf hiragana dan katakana yang Mario ajarkan pun sudah menghilang dari kepalanya sejak pertengkaran hebat yang menyebabkan hubungan mereka kandas karena ketidakpercayaan Mario kepadanya. 

   Sebagai seorang laki-laki, bukankah Mario seharusnya mendukung apa yang sedang Rosie jalani dalam karirnya?  

     Satu hal yang tidak diketahui Mario adalah betapa berat perjalanan Rosie samai ke titik ini. Betapa beratnya perjuangan Rosie dari bawah sebagai seorang wanita mandiri yang memiliki ambisi terhadap kehidupan. 

     Rosie mengurungkan niatnya untuk meraih cangkir itu karena hanya mengingatkan dirinya pada Mario.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ms. Manager And Her Brother   Bagian Akhir

    Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan

  • Ms. Manager And Her Brother   Jonathan Kembali

    Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt

  • Ms. Manager And Her Brother   Meretas Brankas

    Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul

  • Ms. Manager And Her Brother   Stampel Ethan

    Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya

  • Ms. Manager And Her Brother   Maaf Itu Gratis tapi, Bukan Murahan

    “Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di

  • Ms. Manager And Her Brother   Perasaan Tirta

    Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status