Share

Dilarang Merokok di Apartemen Rosie

  Kerlap-kerlip lampu kota membuat pesona kota semakin indah, menawan. Dari balkon, kendaraan yang lewat di jalan tol bak kunang-kunang yang merayap di tanah. Empat tahun di Jepang membuat Ethan merindukan kota kelahirannya itu. Seakan tidak puas dengan pemandangan malam Negeri Sakura yang sudah setiap hari dia lihat. Ethan mengingat baik-baik kata orang, “Seburuk-buruknya negeri sendiri tetap saja tempat paling nyaman untuk hidup.” 

   Berbekal cangkir di tangan kirinya, Ethan menikmati suguhan kota yang memanjakan mata. Sesekali dia meneguk kopinya kemudian mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celana. Mengeluarkan sebatang dari kotaknya. Melepit diantara gigi seri atas dan bawah. Ibu jarinya menekan pemantik untuk menyulut ujung rokok. Dihisapnya pelan-pelan, dikebulkannya asap tipis dari lubang hidung. Tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan seperti itu dalam kehidupan para pecandu nikotin. 

"Kamu akan masuk angin kalau lama-lama di luar!" Suara Rosie dari ruang tamu mengagetkan Ethan. Ethan kemudian berbalik, memandang Rosie sembari melemparkan senyum di bibir tipis yang diturunkan dari ayahnya.

"Ah, kakak. Aku cuma nikmatin pemandangan kok. Agak kangen sama suasana kayak gini." 

   Mata Rosie tertuju pada batang rokok diantara jari Ethan, Rosie mendelik  tidak suka dengan sikap adiknya.

"Sejak kapan kamu bisa ngerokok kayak gitu?"

"Sejak di Jepang." Ethan tersenyum lalu kembali menghisap rokok, menyembulkan asapnya ke udara. Tingkah Ethan membuat Rosie kesal, dia bergegas merebut rokok dari tangan Ethan dengan kasar. Melempar puntung rokok yang bahkan belum habis setengahnya ke dalam pot bunga di bawah kaki Ethan. 

"Kakak!" protes Ethan.

"Jangan ngerokok di depanku! Lagian bakar duit kayak gitu gak ada faedahnya, cuma ngerusak kesehatan aja. Padahal kamu itu dokter loh, dokter!" cecar Rosie.

Mendengar perkataan Rosie, Ethan menyemburkan tawa tanpa perasaan bersalah. 

“Hahaha. Aku bukan dokter, aku hanya lulus dengan gelar dokter dan enggan menjadi dokter,” ucap Ethan.

"Oh, kakakku yang cantik, biar Ethan kasi tahu,ya. kematian karena penyakit diabetes 3x lebih banyak daripada kematian yang disebabkan karena merokok. Lalu, yang bikin kanker itu bukan rokok tapi DNA. Kalau aku ngeluarin coklat pasti kakak gak akan ngebuangnya. Kenapa malah jadi selective empathy begitu terhadap penyebab penyakit?" Dengan gaya ala pakar kesehatan, Ethan dengan bangga menerangkan. 

   Rosie tahu, Ethan hanya menggunakan teroinya sendiri untuk membuat pembelaan diri agar terus bisa merokok terlepas dari gelar dokter yang disandang adiknya.

"Merokok menyebabkan umurmu lebih pendek 20 tahun!" Rosie tidak mau kalah, dia mendebat adiknya. 

"Aku gak mau tahu, mulai sekarang jangan ngerokok di depanku. Dan kalau kamu mau beli rokok, jangan minta sangu ke aku!" mbuh Rosie.

“Dasar adik gak guna!” Rosie mengumpat. Wanita dua puluh sembilan tahun itu sudah malas mendebat Ethan. Melenggang ke ruang kerja yang disekat dengan kaca sebagai pembatas dengan ruang tengah. 

    Ethan tidak jera, dia malah tersenyum seakan tidak bersalah karena membuat kakaknya kesal. Sebaliknya, Ethan meledek Rosie dengan mengkomat-kamitkan mulutnya, meniru gaya bicara Rosie. Begitulah bentuk protes Ethan kepada Sang Kakak sejak masih anak-anak.

***

       Rosie  tampak sibuk  di depan laptop, duduk dengan wajah serius di kursi hidrolik empuk di belakang meja kerja. Sebagai seorang manajer, Rosie sangat teliti dengan hal-hal yang berhubungan dengan kantor terlebih lagi di bidang marketing. Wanita itu begitu  memerhatikan seluruh bawahan di tim marketing. Tidak, baginya tidak ada bawahan melainkan, semua itu adalah tim. Nyaris tidak ada  sekat antara bawahan dengan atasan di dalam tim marketing yang dipimpinnya. Bahkan, salah satu produk perawatan wajah untuk pria di perusahaan pun berhasil menduduki puncak best seller di Indonesia.

Tok! Tok! Tok!

    Ketukan di kaca membuyar konsentrasi Rosie, dia sudah tahu adiknya akan mengganggunya.

“Jangan mengganggu!” teriaknya dari dalam.

    Tanpa menghiraukan larangan Rosie, Ethan tetap membuka pintu dengan hati-hati agar secangkir matcha dan semangkok bubur hangat di atas nampan tidak tumpah belepotan.

“Kamu kelihatan pucat, Kak!” Ethan meletakkan nampan di atas meja kerja Rosie, tepatnya di pinggir laptop.

“Apaan sih, Than? Kamu ganggu aku kerja aja!” Alis Rosie mengerut. Belum habis kekesalan perkara Ethan merokok di hunian mewah itu, sekarang Ethan malah menambah kekesalan di dalam dirinya.

    Rosie memang tipe wanita karir yang tidak bisa diganggu kalau sedang serius bekerja. Terang saja dia bersikap begitu kepada Ethan yang bandel.

“Aku seduhkan matcha dan bubur instan. Matcha itu aku bawa dari Jepang. No KW-KW. Asli Jepang!”

“Hah? Kawaii?”

“KW, palsu.”

“Ya udah, aku tinggalin di situ. Jangan kerja terus, istirahat sesekali. Aku gak mau kamu sakit!” Ethan memperingatkan. Bahkan sebelum menutup pintu ruang kerja kakaknya, Ethan mengangkat jari sembari bersorak, “Ganbatte!

      Selanjutnya, Ethan merebahkan diri di atas sofa setelah mengganti baju dengan piayama. Kepalanya ditutup dengan topi kupluk rajut dengan tulisan Jepang yang—

entah apa bacaannya. Mulai malam ini, sofa empuk dan nyaman itu akan jadi pembaringannya selama dia tinggal di apartemen Rosie karena apartemen itu hanya punya satu kamar.  

   Rosie melengos, mengambil jeda dari pekerjaannya untuk sesaat. Bersandar pada daun kursi hidrolik yang empuk. Matanya tanpa sengaja menyorot makanan yang disajikan Ethan. Rosie nyaris lupa hingga makanan itu sudah terlihat dingin.  Sudah lama, tidak ada yang perhatian seperti itu pada dirinya.   Bekerja sampai larut lebih sering membuatnya melewatkan makan malam. Tak jarang, dia hanya makan roti kalau lapar di sela-sela lemburnya.

     Tangan Rosie yang kurus menarik nampan perlahan, digesernya sedikit kursi beroda itu. Makanan sajian Ethan siap santap yang sudah dingin itu lalu disendok perlahan kemudian dicicipi. Nafsu makan Rosie mendadak jadi besar, dalam sekejap saja, bubur itu tandas.

     Mengambil jeda sejenak,  alih-alih minum matcha setelah makan bubur, Rosie meraih tumbler warna pink berukuran satu liter di ujung meja. Dia meneguk cairan berwarna bening itu untuk melegakan kerongkongan kemudian mendesah lega.

     Mata sipit Rosie menyorot cairan berwarna hijau di dalam cangkir. Ingatan di balik tempurung kepala seakan mengulang kembali sekelebat bayangan bersama Mario. Sudah lama dia tidak makan makanan Jepang sejak putus. Bahkan, huruf hiragana dan katakana yang Mario ajarkan pun sudah menghilang dari kepalanya sejak pertengkaran hebat yang menyebabkan hubungan mereka kandas karena ketidakpercayaan Mario kepadanya. 

   Sebagai seorang laki-laki, bukankah Mario seharusnya mendukung apa yang sedang Rosie jalani dalam karirnya?  

     Satu hal yang tidak diketahui Mario adalah betapa berat perjalanan Rosie samai ke titik ini. Betapa beratnya perjuangan Rosie dari bawah sebagai seorang wanita mandiri yang memiliki ambisi terhadap kehidupan. 

     Rosie mengurungkan niatnya untuk meraih cangkir itu karena hanya mengingatkan dirinya pada Mario.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status