Kedua insan yang sedang bermalam di hotel itu akhirnya tertidur pulas sampai pagi. Irish membuka matanya dan melihat Benjamin masih tertidur pulas. Irish begitu seksama menatap Benjamin, lelaki yang kini telah menggantikan posisi kakaknya, Alex. Perlahan Ben membuka matanya dan menatap Irish. Laki-laki itu membelai lembut rambut Irish.
Mendadak muka Irish menjadi merah seperti tomat, dia pun menenggelamkan kepalanya kembali ke dada lelaki itu.
"Kau kenapa?" tanya Ben.
"Boleh aku begini dulu." Irish menghirup aroma tubuh lelakinya. Ben tersenyum dan membelai lembut gadisnya.
"Ayo bangun, sudah pagi. Kita akan ke lantai bawah untuk sarapan." Ben bangkit dari ranjang.
Tok ... Tok ... Tok ....
Suara pintu diketuk beberapa kali. Ben melangkah d
Sekembalinya mereka dari hotel, Irish langsung membaringkan tubuhnya yang ramping ke ranjang. Benjamin yang menyusul masuk kamar juga langsung ikut menjatuhkan tubuhnya di samping Irish."Aku belum masak untuk makan malam." Irish langsung bangun."Tidak perlu masak malam ini." Benjamin menarik tangan Irish hingga jatuh dipangkuannya."Kenapa aku tidak boleh masak? Apa di kulkas tidak ada bahan makanan untuk dimasak?" tanya Irish menatap Benjamin."Kakak iparmu tadi membawakan bekal makanan dari hotel," jawab Ben menatap lekat mata Irish dan semakin mendekat, semakin dalam dan bibir itu saling bertemu kembali. Ben mencium lembut bibir Irish."Ah ... Benjamin, aku ingin ke kamar mandi," kata Irish beralasan."Kenapa kau selalu menghindar?""Tidak. Aku hanya ingin cuci muka saja." Irish kembali beralasan.Irish melangkah masuk ke kamar mandi,
Flashback seminggu yang lalu. Ayana terus memperhatikan sebuah benda yang dia pegang. Binar mata bahagia terpancar saat dua garis merah terlihat. "Aku hamil." Ayana mengusap perutnya beberapa kali. Dia benar-benar bahagia. "Aku harus memberitahukan ini pada Alex." Ayana menyembunyikan benda itu saat akan keluar dari kamar mandi. Ayana melangkah pelan dan melihat Alex yang sedang duduk santai sambil menikmati teh hangat. Ayana berdiri tak jauh dari tempat Alex duduk, sebelum akhirnya Ayana mendekati Alex. Alex menatap heran istrinya yang hanya berdiri menatap dirinya. Alex pun berdiri dari duduknya. Tiba-tiba Ayana memeluk Alex dengan erat.
Masih terngiang dalam benak Irish soal syarat yang akan diajukan oleh Benjamin. Namun demikian, sampai sekarang pun pemuda itu belum memberitahukan sama sekali. Rasa penasaran masih membayangi Irish.Siang telah berganti dengan sore, Irish mulai disibukan dengan rutinitas memasak untuk makan malam.Namun, karena pikiran Irish masih terbang melayang memikirkan syarat itu hingga Irish tidak sadar akan sesuatu hal."Kenapa aku mencium bau gosong?" Benjamin menumpuk berkas-berkasnya dan menghampiri Irish yang tengah melamun. "Irish!"Gadis itu langsung tersentak kaget. "Astaga!" Irish menatap Benjamin. "Maaf ....""Sudah terlanjur. Daging sapi ini sudah tidak enak untuk dimakan.""Aku minta maaf, karena m
Menjelang hari pernikahan Irish mulai tampak gelisah dan gugup. Gaun pengantin yang di pesan pun sudah jadi.Bahagia bercampur gugup itu sudah hal biasa untuk pasangan kekasih yang akan menikah.Pagi itu Benjamin sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, dia pun belum mengambil cuti sama sekali menjelang hari pernikahannya."Mana bekal makan siang ku, sayang?"Irish membungkus kotak bekal makan siang untuk Ben dan menyerahkannya pada kekasihnya itu."Kenapa kau belum mengambil cuti?" tanya Irish sembari tangannya merapikan dasi yang agak miring."Sebentar lagi, kerjaan di kantor masih banyak," jawabnya dengan langsung mendaratkan kecupan di bibir Irish."
Momen panas dan romantis yang hancur karena bunyi suara perut Benjamin yang kelaparan. Pemuda itu lantas tersipu malu. "Kau belum makan?" "Selera makan ku hilang saat sampai di rumah dan aku tidak menemukan siapapun di rumah," papar Benjamin cemberut. "Maaf. Aku benar-benar lupa memberitahukan ini padamu. Aku—" "Sudahlah. Yang penting aku sudah menemukanmu." Ben menyela kata-kata Irish dan membelai rambutnya. "Kalau begitu, ayo kita turun ke bawah dan makan malam bersama. Aku juga sudah lapar." Irish menggandeng tangan Benjamin. Mereka berdua turun ke lantai bawah menuju ruang makan. Di sana sudah menunggu Paman Ruth dan Bibi Dennisa, Marky, Alex, dan Ayana. Momen yang langka
Perlahan kelopak mata nan indah itu terbuka, desiran napas terasa menyentuh kulit wajahnya. Mata itu melihat dengan seksama wajah tampan sosok yang ada di depannya. Sosok seorang pria yang telah menggantikan tempat sang kakak untuk melindunginya. Sosok pria yang kini membuatnya yakin dan percaya. Perlahan tangan kirinya membelai lembut bibir seksi milik pria itu. Irish terkejut saat tangan Benjamin memegang tangan dan mata itu terbuka, menatapnya lekat. Lama mereka saling menatap satu dengan lainnya. Tangan Benjamin mengarahkan tangan Irish ke dadanya yang bidang. "Kau tidak ke kantor?" Irish berusaha mengalihkan suasana. "Tidak. Aku sudah mengambil cuti," jawabnya tanpa senyum dengan sorot tajam menatap Irish.
Tik ... tok ... tik ... tok ... tik ... tok .... Suasana menjadi hening saat itu, hanya suara denting jarum jam yang terdengar. Irish masih merasa nyaman dalam rengkuhan pelukan Benjamin. Dalam keadaan tidur saling berhadapan dan saling berpelukan. Kedua mata Irish masih terjaga dan menatap wajahnya. "Kenapa kau terus memandangku?" Benjamin membuka kedua matanya karena dia merasa sedang diperhatikan. "Aku tidak bisa tidur." "Biasanya kalau sudah posisi seperti ini, kau akan langsung tidur." Ben kembali mempererat pelukannya. "Aku merasa sangat gugup," lirih Irish. "aku juga merasa takut." "Apa yang kau takutkan?" Benjamin bertanya. "Aku tidak tahu." Irish semakin erat memeluk Ben dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang pria itu. Hening .... Merasa sudah tidak ada aktiv
Malam semakin larut, suasana semakin hening. Tampak kedua sejoli yang masih diam sambil melepas lelah. Benjamin masih mendekap erat tubuh Irish. Gadis berparas cantik dan manis itu terlihat sangat kelelahan. Benjamin menyibakkan rambut Irish yang sedikit basah karena keringat. "Ben, apa kau bisa mencabutnya? Terasa sangat sesak di bawah sana," cicit Irish. Benjamin menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Kenapa kau malah tersenyum." Irish mengernyit bingung. "Aku masih ingin melakukannya sekali lagi." "Apa, kau ini!" Dengkus Irish memukul dada bidang pria itu. "Apa masih sakit?" Benjamin menggerakkan junior kecilnya pelan.