Kembali, Pras membuka ponsel dan melihat aplikasi chatnya. Sudah sesiang ini, tapi Sinar belum juga melaporkan tentang kegiatan yang akan dilakukan wanita itu hari ini. Biasanya, Sinar akan selalu mengirimkan chat pada Pras, paling lambat pukul enam pagi. Namun hari ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi waktu Singapura, Sinar belum juga memberi kabar apapun kepadanya.
Pras meletakkan kembali ponselnya di atas meja makan dengan hati kesal. Kalau ada wanita yang selalu saja memnimbulkan kekesalan di hati Pras, itu adalah Sinar. Wanita itu hanya jinak seperti kucing penurut kepadanya, jika Pras melontarkan ancaman, atau mengintimidasinya. Tapi, akan kembali membelot jika diberi kelonggaran, dan akhirnya tidak mengacuhkannya seperti saat ini.
Ah! Wanita itu selalu saja menguji kesabaran Pras yang kadarnya tidak terlalu tinggi.
Kembali meneruskan sarapannya. Ekor mata Pras melihat Bira yang baru turun dari lantai dua. Pria itu terlihat tengah berbica
Akhirnya bisa update juga,, muhun muup, hari ini rada rieweh ...
Hari ini, Pras benar-benar menjemput Sinar tepat jam sembilan pagi. Pria itu hanya berada di mobil dan meminta Arkan untuk menjemput Sinar di rumah. Tidak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya. Sibuk memeriksa beberapa laporan terkait branding serta maping sang papi yang tengah mengadakan pencitraan di beberapa daerah.Mengenai persyaratan yang diajukan Sinar kemarin, Pras tetap tidak bisa menerimanya. Meskipun, Sinar sudah menjatuhkan semua kesalahan atas kehilangan anaknya kepada Pras.Arkan segera menutup pintu penumpang setelah Sinar masuk ke dalam mobil. Wanita itu langsung memutar tubuhnya, memunggungi Pras. Hanya menatap pemandangan yang berlari di luar jendela begitu sang supir melajukan mobilnya.“Apa rencanamu setelah ini, Nar?” Pras memecah kesunyian, tapi pandangannya tetap tertuju pada tablet yang ada di tangan. Menggeser pelan slide demi slide untuk mengamati tiap laporan dengan teliti.“Gak punya rencana apa-apa.&rdquo
Sinar mengerjab, merasakan getaran pada saku kemeja Pras. Tersadar dan segera mengurai pelukannya, seraya mengusap cepat lelehan bening yang membasah di wajahnya dengan salah tingkah. Merasa bodoh atas hal yang baru saja dilakukannya.Pras hanya menatap datar, merogoh saku jasnya dan melihat nama yang muncul di atas layar, kemudian mengangkatnya.“Yes, Gin?”Sinar menarik napas sangat dalam. Sudah bisa menerka, siapa yang menghubungi Pras saat ini. Memilih menjauh dengan perlahan, di saat Pras masih berbicara di telepon, lalu memutuskan untuk memesan taksi on-line.Sementara Sinar duduk menunggu taksi yang telah dipesannya. Ponselnya bergetar, menampilkan nama Pras di sana. Sinar hanya menatap ponsel di genggamannya hingga getarannya berakhir. Tidak berniat mengangkat dan hendak mengakhiri semua hal dengan Pras.Dengan berakhirnya masalah hukum yang melibatkan dirinya, Pras serta Bintang di dalamnya. Sinar rasa, sudah tidak ada lagi, ha
Sinar menunduk, memegang kedua lututnya dengan terengah. Kaos oblong yang dikenakannya sudah basah dengan peluh. Menatap pagar rumahnya dengan lelah, setelah melakukan lari pagi dengan berkeliling tanpa tujuan hanya untuk menghabiskan kekesalan yang tidak kunjung mereda.Kejadian di restoran kala itu memang sudah seminggu berlalu. Namun, rasa kesal di hati Sinar masih tidak kunjung hilang juga. Napasnya langsung tertarik begitu besar, tiap kali mengingat Pras yang duduk bercengkrama akrab dengan Daya. Harusnya, Sinar cakar saja sekalian wajah Pras ketika mereka berdebat di belakang restoran kala itu, biar pria itu tahu rasa.Ah! Geram sekali rasanya jika Sinar kembali mengingat itu semua.Sinar menegakkan tubuh. Melepas earbuds yang terpasang di telinga kemudian melangkah memasuki pagar. Melihat Delon yang baru saja keluar dari garasi, sembari memegang pisang goreng dan mulut pria itu juga tengah sibuk mengunyah.Sinar menghentikan langkahnya. Memutar tub
Sinar terjaga, masih enggan membuka mata. Tenggelam dalam rasa hangat yang membuatnya betah, berlama-lama di atas ranjang tanpa ingin beranjak pergi ke mana pun. Menghidu dalam-dalam aroma maskulin yang menggelitik indera penciumannya.Sinar mengendus, sembari mengumpulkan kesadarannya. Mengingat-ingat kejadian semalam kemudian memejam erat. Tubuh Sinar menegang seketika, saat menyadari bahwa dirinya kini tengah berbaring di pelukan seseorang. Memberanikan diri membuka sebelah mata. sembari mengangkat wajah dengan perlahan.“Pras?” Sinar membatin. Mengerjab berulang-ulang dan kembali mengumpulkan ingatan serta kesadarannya. Sejurus kemudian, maniknya membola, bukan karena telah mengingat kejadian tadi malam. Namun, karena baru menyadari bahwa dirinya ada di pelukan pria itu.“PRAS!” pekik Sinar seraya mendorong keras tubuh pria yang masih tertidur lelap bersama mimpinya. Sinar bangkit terduduk dan reflek menarik selimut untuk menutupi tub
Entah sudah berapa kali mulut Bira berdecak, dan menghela panjang di meja makan. Posisi duduknya juga sudah berkali pula ia ubah, tapi tidak kunjung merasa nyaman setelah mendengar kabar mengejutkan pagi ini. Bira tahu benar, kalau Sinar datang dan pergi meninggalkan Casteel High bersama Elang. Tapi mengapa, pagi ini berakhir satu kamar dengan Pras? Sungguh, semua di luar pemahaman Bira. Sesekali Bira melihat Sinar, yang juga duduk di satu meja makan dan selalu menunduk saat melahap makanannya. “Bundamu baru sampe nanti sore dari puncak, jadi besok pagi aja Mami datang ke rumahmu. Karena beliau pasti masih capek.” Sinar mengangkat wajah hampanya, menatap Aida. Wanita paruh baya itu, bahkan sudah mengubah panggilannya menjadi Mami di depan Sinar. Sungguh! Sinar masih berharap kalau semua ini mimpi. Menjadi bagian dari keluarga Raja, tidak pernah sama sekali terbersit di benaknya. Bahkan dengan Bira dahulu kala, Sinar juga tidak pernah membayangkannya. Meskipun
Vio terkikik tanpa suara, ketika punggung Sinar menjauh untuk pergi ke toilet. Menyikut pelan perut Pras yang duduk di sampingnya sembari menggeleng. Keduanya tengah melihat ballroom yang rencananya akan digunakan untuk pesta resepsi pernikahan Pras dan Sinar nantinya.“Untung orang rumah sudah kenal Sinar dan tahu watak kamu, Mas,” pungkas Vio memutar tubuh menatap Pras yang hanya diam. Enggan menanggapi perkataan adik perempuanya.“Kasihan Bira,” namun Vio terkekeh geli saat mengatakannya. “Padahal dari dulu tuh anak ngebet sama Sinar, tapi gak pernah digubris. Apa kabar hatinya, tahu-tahu Sinar mau nikah sama masnya sendiri.”Pras melirik datar, masih enggan berkomentar.“Kamu tuh sebenernya kejam tahu, gak, Mas. Aku denger dari mami, kamu yang udah buat Sinar cerai, terus mecat dia juga dari Metro. Kamu juga kan yang ngelaporin ayahnya korupsi? Ckckck … sekarang anaknya mau dinikahin. Pdkt mu tuh, anti
Sinar buru-buru turun ke bawah, setelah seorang office boy mengatakan, bahwa sang bunda kini berada di posko dan ingin menemuinya. Perasaannya sudah tidak nyaman. Sinar tahu, sang bunda pasti syok setelah pagi ini kedatangan Aida ke rumahnya. Saat itu, bertepatan dengan Sinar yang akan berangkat bekerja. Hingga ia tidak tahu menahu, apa saja yang telah dibicarakan sang bunda dengan Aida.“Di mana bunda bisa bicara?”Benar saja, wajah July datar dan sangat tidak sedap dipandang mata.“Bu-bunda naik apa ke sini?” Sinar sedikit tergagap, merasa gugup serta diliputi rasa bersalah.“Mobil! sama Jonas, nunggu di luar.”“Ki-kita bicara di mobil aja.”Sinar menelepon rekan kerjanya yang berada di atas, sembari mengikuti sang bunda untuk memasuki mobil yang terparkir di depan pagar. Memberitahu kalau Sinar tengah ada tamu dan akan menemaninya sebentar.“Apa-apaan ini, Nar? kenapa semalam ka
Pras menyatukan telapak tangannya di depan wajah, dengan kedua siku yang bertumpu di atas meja. Menatap tajam sekaligus dingin pada Sinar, karena ucapan wanita itu. “Yakin?” “Ya—kin …” namun intonasi yang dilontarkan Sinar sungguh tidak meyakinkan sama sekali. Apa yang diucapkan, sungguh tidak sejalan dengan hatinya yang masih saja gamang. “Tanggal sudah ditetapkan, gedung dan dekorasi sudah dirancang. Undangan juga sudah meluncur di percetakan. Cobu buka hapemu, hitung dengan kalkulator, berapa biaya yang sudah dikeluarkan sejauh ini. Kamu mau ganti itu semua?” Sinar berdecak pasrah dengan wajah memberengut. Menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dengan perasaan kesal. Tidak bisa membayangkan, berapa uang yang sudah digelontorkan Pras untuk membiayai semuanya. Terlebih, acara mereka akan berlangsung dalam sepuluh hari lagi, pastinya, uang yang dikeluarkan juga lebih extra karena tenggat waktu yang sangat sempit. “Tapi, Mas. Orang nikah itu