Share

Bab 5 Kedekatan Kita

Author: terasora
last update Last Updated: 2020-12-26 14:20:12

Bab 5 Kedekatan Kita

Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali namun aku tetap mengabaikannya. Reino tidak pantas mendapatkan kesempatan, pria brengsek itu lebih pantas ditinggalkan.

Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar bunyi ketukan lagi. Pasti Reino sudah pergi. Entah ke mana aku tidak peduli.

Kakiku ditekuk lalu kupeluk diriku sendiri dengan erat. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Setidaknya aku tidak mau bertemu untuk sekarang ini, aku butuh waktu untuk menenangkan diri.

Aku menangis perlahan saat mengingat wajah Reino dulu. Wajah tampannya yang sangat gagah. Suaranya hangat dan senyumannya menawan. Aku sungguh jatuh cinta padanya. Bagiku, Reino sangat istimewa. Kukira dia jodoh sempurna untukku, tapi ternyata diawal pernikahan kami, ia sudah mengecewakanku.

***

Flashback On

Wajah tampan seorang pria terlihat tak asing berada di depan kelasku. Reino berdiri sambil menyadarkan tubuhnya di dinding. Kulihat dia sudah memakai jas almamater Universitas Adidharma. Cepat sekali, aku dan teman-temanku saja belum dapat jas.

"Rei," sapaku pada Reino yang tadi sibuk bermain ponsel.

"Kamu udah nyampe?" tanya Reino ambigu. "Ke kantin yuk?"

"Aku kan ada kelas bentar lagi," jawabku ragu. "Maaf ya."

Reino melihat jam tangannya yang terlihat manly, berwarna hitam pekat. "Bukannya masih 15 menit lagi?"

"Iya sih, cuma aku malas kalau harus bolak balik kantin ke kelas lagi."

"Nanti aku gendong," kata Reino setengah bergarau. Setelahnya ia tertawa renyah. "Ya udah deh kalau enggak mau. Kamu pulang jam berapa?" tanyanya lagi.

"Aku pulang jam 2 siang," jawabku sambil mengingat kembali apakah ada kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Namun sepertinya tidak ada.

"Aku antar pulang ya. Aku pulang jam 12, nanti aku tungguin kamu di sini." Setelah mengatakan maksudnya, Reino pun meninggalkanku sambil berlari kecil. Bibirnya nampak penuh senyum.

***

Reino benar-benar menungguku hingga selesai kelas. Bella dan Fatiya makin membicarakan yang tidak-tidak antara aku dan Reino. Mereka bilang, Reino menyukaiku makanya mengajak untuk pulang bersama.

Mendengar ucapan mereka, aku tidak begitu saja percaya tapi merasa sedikit geer sekarang. Apa benar Reino menyukainya? Dengan tingkahnya yang seperti ini sepertinya iya.

Reino menunggu di depan kelas sambil memainkan ponselnya. Wajahnya nampak serius membuatku bertanya-tanya apa yang tengah ia kerjakan. Ia juga terlihat begitu asyik berkutat dengan ponselnya sampai tidak sadar, aku sudah menghampirinya.

"Rei," panggilku, membuat wajah Reino mendongak. Ia melihat ponselnya lagi lalu mematikannya beberapa saat kemudian.

"Udah selesai aja kelasnya." Reino tersenyum lebar ke arahku. "Kamu enggak apa-apa kan pulang sama aku? Enggak ada yang marahin kamu kan?"

"Maksudnya marahin?" tanyaku bingung.

"Pacar."

Dalam hati aku tertawa, bagaimana mau punya pacar kalau orangtuaku tidak mengizinkan ubtuk berpacaran sebelum lulus SMA. Alasannya karena menurut mama dan papa, aku tidak terlalu pintar jadi harus rajin belajar biar bisa masuk kampus yang kuinginkan. Dan benar saja saat lulus SMA aku berhasil masuk Universitas Adidharma, kampus bergengsi di tahun ini.

"Aku enggak punya pacar," jawabku pendek.

"Syukurlah. Jalan yuk!" ajak Reino tiba-tiba.

"Loh katanya mau nganterin aku pulang?" tanyaku bingung dan polos.

"Aku anterin, Tit. Tapi gimana kalo habis jalan dulu. Kamu udah makan siang belum?" tanya Reino lagi.

Aku menggeleng, kelas pertamaku hanya berjarak 15 menit dari pertemuan kelas yang kedua.

"Ya udah kita cari makan siang dulu yuk?" ajak Reino lagi.

Aku pun mengangguk. Meskipun sejujurnya aku ingin pulang saja. Rasanya ini hal baru. Jalan bersama laki-laki yang bukan ayahku. Aku memang tidak punya pengalaman berpacaran sebelumnya. Aku masih jomlo ting-ting.

Aku mengikuti Reino sambil berjalan ke arah parkiran mobil. Aku tidak menyangka Reino punya mobil. Maksudku, memang sudah biasa mahasiswa pakai mobil ke kampus. Namun biasanya yang memakai mahasiswa lama atau dosen. Mahasiswa baru lebih kalem dengan menggunakan transportasi umum atau naik motor. Mungkin Reino tergolong sosok cowok yang percaya diri sampai berani membawa mobil ke kampus.

"Yuk masuk!" katanya santai.

Aku masuk ke dalam mobil Reino lalu terduduk dengan canggung. Pria itu sendiri sudah duduk di belakang kemudi. Ia tersenyum sebentar ke arahku sebelum akhirnya menyalakan mobil.

Dalam perjalanan Reino mulai membuka dirinya. Berbicara tentang kesukaannya. "Aku masuk ke jurusan Bisnis karena kemauan sendiri. Kalau kamu?" tanya Reino balik bertanya.

"Sama. Emang udah niat awal aku mau kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia."

"Pasti sebelumnya nyari yang negeri. Iya kan?" kata Reino, menebak.

"Iya biasa kan emang didaftarin dari sekolah dulu lewat SMNPTN, enggak lulus ya udah nyari yang mandiri. Aku sih udah sregnya ke Uniad," jawabku pendek. "Jadi aku buru-buru daftar ke sini."

Reino menganggukkan kepalanya mendengar cerita dariku. "Kamu orangnya fokus ya?"

"Eh enggak juga," kataku merendah.

"Aku sih kuliah di Uniad ya karena deket dari rumah. Ibuku orangnya khawatir kalau aku harus merantau. Aku anak bungsu soalnya."

"Pantesan hehe," balasku. "Aku juga anak tunggal jadi rada overprotektif Mama sama Papa."

"Kamu enggak punya saudara?"

Aku menggeleng pelan. "Kata Mama sih, Mama dulu pernah hamil 4 kali tapi keguguran terus. Waktu hamil aku bener-bener dijaga dan akhirnya lahir. Setelah itu Mama harus disteril. Enggak bisa punya anak lagi," ceritaku panjang lebar.

"Kasihan Mama kamu, perjuangan banget buat punya anak," komentar Reino. "Bibiku ada yang begitu, sampai sekarang belum punya anak. Udah 2 kali keguguran."

"Ya ampun, semoga segera diberi keturunan ya, Rei."

"Iya, aamiin." Reino tersenyum. Kami pun sampai ke restoran yang cukup lenggang. "Masuk yuk," ajak Reino.

Aku pun mengangguk singkat lalu turun dari mobil. Kami berjalan beriringan dan memasuki restoran. Setelah mencari meja yang kosong, aku pun duduk. Reino sendiri malah terdiam.

"Bentar aku pesenin makanan dulu. Kamu mau pesen apa?" tanya Reino sambil melihat daftar menu super besar yang dipajang di dinding restoran. Di sana tertulis daftar menu sekaligus harganya.

"Aku milktea sama rainbow cake aja."

Mendengarkanku, Reino pun mengangguk lalu memesankan apa yang kuingin. Ia juga memesan jus mangga dan mie ayam pelangi.

Reino duduk di hadapanku lagi setelah memesan makanan. Kami menunggu pesanan kami sambil mengobrol bebas.

"Kemaren yang jalan sama kamu siapa? Yang tinggi semampai itu?"

"Oh itu Bella," jawabku santai.

"Temenku, Bimo, ngefens sama dia tuh." Reino memberi tahu.

"Bimo siapa?" tanyaku bingung.

"Pokoknya temenku," jawabnya dengan senyum ceria. "Nanti aku kenalin sama dia. Sekalian bawa Bella juga."

"Ceritanya mau ngecomblangin temen kamu sama temenku?"

"Enggak ada salahnya kan?" kata Reino balik. "Biar kita juga makin deket."

"Apaan sih, Rei." Aku menggelengkan kepalaku karena malu dan beberapa saat kemudian pesanan makananku dan Reino diantarkan oleh pelayan restoran.

Flashback Off

***

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Bad Wedding Day (Indonesia)    Ending

    Setelah perjuangan panjang menahan kontraksi yang makin menjadi-jadi. Akhirnya putra kecilku terlahir dengan selamat. Seperti yang kubayangkan, ia mirip ayahnya.Reino sangat bersuka-cita dengan kelahirannya. Ia tidak berhenti menatap wajah lelap buah hati kami.“Udah deh jangan dilihatin terus,” cetusku membuat Reino menatapku dengan cengiran kudanya.“Habis dia kecil banget, lucu. Kayak miniatur.”“Ngaco!” Aku tertawa. Sekarang aku masih berada di rumah sakit setelah melakukan persalinan yang terjadi hingga 12 jam lamanya menahan sakit.“Makasih ya, Tit. Kamu udah berjuang melahirkan anakku.” Reino memelukku dari samping.“Anak kita, Rei,” ralatku.Reino berdehem. “Kita sekarang udah jadi orangtua. Tanggung jawabku pun sudah bertambah satu lagi. Semoga dalam masa kepemimpinanku sebagai kepala keluarga kalian bahagia ya.”“A

  • My Bad Wedding Day (Indonesia)    Berakhir dan Bermula

    Hari ini terasa begitu berat saat aku mengetahui semuanya secara jelas. Selama ini, aku sudah bersikap gegabah dan keras kepala. Seharusnya aku jauh lebih dewasa dengan mendengarkan penjelasan Reino lebih dulu. Ah, tidak … Reino juga sejak awal memang tidak bisa jujur padanya hingga kesalahpahaman ini lebih melingkar dan seolah tak berujung selain menjadi kesalahan Reino seutuhnya.Tak kusangka sebelumnya, ternyata dalang semua ini adalah teman dekatku. Orang yang kuanggap sangat baik dan kuanggap sebagai orang yang meginspirasi, malah menjadi penyebab kemarahanku. Pernikahanku yang baru kujalani sudah berada di ujung tanduk karena ulahnya.Bersyukur, aku mengetahui semuanya sebelum pernikahanku dan Reino benar-benar berakhir. Semua itu berkat Elena, karena ia mau dan berani speak up tentang kejahatan Fatiya.Suara pintu kamar terbuka dan kulihat Reino masuk dengan wajah yang memancar senyum tipis. “Gimana tadi obrolan kamu da

  • My Bad Wedding Day (Indonesia)    Musuh dalam Selimut

    Happy Reading>>>***Bab 28Musuh dalam SelimutSetelah mendapatkan verifikasi akurat dari Elena, aku pun sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Fatiya. Alhasil setelah pertemuanku dan Elena selesai pukul 1 siang, aku pun sengaja segera menemui Fatiya.Aku menghubungi Fatiya melalui whatsapp karena ia sedang dalam mode online. Fatiya pun segera membalas pesanku.[Fatiya : Ada apa, Tita?]Aku segera membalasnya. [Aku mau ketemu sekarang. Kalau boleh tahu kamu ada di mana? Biar aku yang nyamperin kamu.][Fatiya : Urgent banget ya? Emang ada apa?][Enggak ada apa-apa kok. Kamu ada apa? Aku Cuma mau ngobrol sebentar sama kamu. bisa?][Fatiya : Bisa, Tita. Aku lagi ada Mall Popokrat. Di lantai 4, di restoran Kiorado.][Kamu sama siapa di sana? Apa aku bisa ngobrol berdua, nanti?]

  • My Bad Wedding Day (Indonesia)    Obrolan

    Bab 27ObrolanPembicaraanku dan Elena terhenti sejenak karena seorang pelayan yang menghampiri meja kami, memberikan pesanan Elena, kopi dangdang dalam secawan cangkir putih.Elena menyeruput kopi dangdang perlahan lalu meletakan kembali cangkir yang dipegangnya ke atas piring kecil. “Rasanya enak. Kamu udah pernah coba sebelumnya?” tanya Elena mengubah topic pembicaraan kami. Ia nampak berhasil mengontrol dirinya dengan baik.“Hmm,” dehemku malas.Elena menatap ke arah jendela yang berada di samping kami, lalu mendesah dengan kesal. “Hujan,” katanya pendek.Aku melihat ke arah luar dan terdiam cukup lama. Hujan tiba-tiba deras dan mengguyur sekitar pemukiman Kafe Dangdang. Kulihat banyak orang berlalu lalang demi tidak terkena air hujan yang membasahi pakaian mereka.“Aku kira hari ini bakal cerah. Sayang banget turun hujan,” kata Elena lagi, lalu melirikku. Kami

  • My Bad Wedding Day (Indonesia)    Pertemuan

    ***Happy Reading>>>***Bab 26Pertemuan“Cepetan dong, Rei, kamu kok lama banget sih!” ketusku pada Reino yang baru saja masuk ke dalam kamar. Sekarang sudah pukul 10 pagi dan Reino masih bersantai di rumah. Padahal ia sudah berjanji akan mempertemukanku dengan Elena hari ini.“Sabar dong, Tit. Aku juga kan harus cuci mobil dulu,” balas Reino lalu membuka kaosnya yang basah, menyisakan kaos dalam putih yang melekat di tubuhnya. Ia berjalan mengambil handuk lalu membuka lemari pakaian untuk mengambil pakaian ganti.Aku mencebik, kesal dengan sikap Reino yang santai. Padahal aku sudah ingin sekali segera bertemu dengan Elena.“Kan janjiannya masih lama, santai aja.” Reino menatapku, menenangkan. “Kamu jangan ngomong apa-apa ya tentang apa yang kubilang.”“Kenapa?” tanyaku sengit.“Aku kan udah bilang, kalau

  • My Bad Wedding Day (Indonesia)    Titik Awal

    Happy ReadingBab 25Titik AwalMama memaksaku untuk pulang ke Jakarta hari ini, tidak ada penolakan. Alasannya karena Mama sudah lama meninggalkan Papa di rumah. Belum lagi, Mama tidak tega jika harus meninggalkanku di Cirebon sendiri, meskipun Reino sudah pernah menyinggung untuk pindah ke Cirebon, tapi sepanjang pemaksaan yang Mama lakukan agar aku ikut pulang ke Jakarta, Reino tetap diam. Aku sungguh tidak paham dengan sikapnya.“Tita, ayo cepet! Kamu siap-siap lama banget sih,” ujar Mama kepadaku.“Ma, kita ke rumah yang punya kontrakan dulu yuk! Buat ngasih langsung kunci rumahnya.” Aku melihat ke sekitar kamar, semua barang sudah dibawa kecuali kasur. Mama bahkan ngotot semua peralatan dapur untuk dibawa. Ini sungguh pindahan dan usahaku untuk kabur dengan berdalih ujian CPNS berakhir sudah.“Enggak dititipin aja ke warungnya Bu Nen?” tanya Mama balik.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status