Ayah selingkuh dan sejak saat itu aku menyadari kalau Bunda wanita luar biasa yang penuh perhitungan dan pandai menciptakan jebakan. Layak untuk diberi tepuk tangan! (Season 1) 🩷 Setelah luka lama hampir sembuh, ancaman baru datang menghantui. Seseorang dari masa lalu membawa dendam yang dibungkus rapat oleh senyum dan kesabaran. Dia menargetkan Ida dan May. Namun, Ida bukan perempuan biasa. Dia membaca ancaman seperti membaca gerak bidak catur; dingin, tenang, dan selalu selangkah lebih dulu. (Season 2) Selamat membaca, silakan tinggalkan komen, ya, Kak🤗
View More“Ayah selingkuh, Bun,” ucapku pelan. Pelan, tapi pasti. Suaraku mungkin lirih, tapi di dalamnya ada bara yang siap membakar apa pun.
Bunda, yang tengah duduk tenang di depan laptop, mendongak dengan dahi mengernyit. Aku tahu dia terkejut. Namun, kali ini aku tak peduli. Sudah terlalu lama aku menahan semuanya, takut jika keluarga yang tampak bahagia ini mendadak hancur karena satu kenyataan. “Kenapa Bunda cuma diam?” tanyaku dengan nada meninggi. “Apa jangan-jangan Bunda udah tahu?” “May, duduk dulu,” kata Bunda lembut. Tenangnya menyebalkan. Tapi aku duduk juga, berhadapan dengannya. Entah kenapa, aku tak menemukan sorot luka di matanya. Binar kesedihan itu tidak ada. Apa dia sudah tahu? Atau justru menerima semuanya begitu saja? Apa Bunda tipe wanita yang rela disakiti, tapi tetap bertahan demi status? “Kenapa kamu yakin Ayah selingkuh? Apa karena kamu nggak suka dipaksa kuliah dan akhirnya nebak-nebak yang aneh?” tanya Bunda mencoba tersenyum. Tangannya menggenggam tanganku, tapi aku malah ingin melepaskannya. “Aku nggak asal tuduh, Bun. Aku tahu gelagat orang yang jatuh cinta, yang sembunyi-sembunyi. Aku lihat Ayah sama Tante Nanda, mereka terlalu dekat. Dan waktu Bunda nggak bisa datang ke acara kelulusanku, siapa yang datang? Dia.” Air mataku mulai menggenang. Tapi aku tahan. Aku benci terlihat lemah di tengah luka yang kian menganga. Bunda menggeleng cepat. “Tante Nanda itu temen kuliah Ayah dulu. Dia juga udah berkeluarga. Kamu salah paham, May.” Salah paham? Aku masih ingat jelas, tangan mereka saling menggenggam. Pakaian mereka senada. Cara Tante Nanda bicara terlalu manja untuk sekadar rekan kerja. Bahkan setan pun tak akan tertipu oleh kebetulan seperti itu. “Kalau Bunda memang yakin Ayah nggak selingkuh, coba jawab, apa Bunda nggak sakit hati lihat mereka sering ketemu diam-diam?” “Bunda biasa aja. Mereka cuma teman. Lagian, Ayah percaya sama Bunda. Dan Bunda juga percaya sama Ayah. Udah, ya, May. Jangan berpikir aneh-aneh. Adik-adikmu bisa dengar dan salah paham.” Kepalan tanganku gemetar. Andai Bunda bukan ibuku, mungkin sudah kulempar semua tuduhan yang kupendam selama ini. Aku ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya napas berat dan bibir yang tertahan marah. Belum sempat kubuka suara lagi, Bunda berdiri. Melangkah cepat ke kamarnya. Aku mengikuti diam-diam. Di sana, kulihat dia berdiri menghadap jendela. Memandangi taman yang selama ini dirawat Ayah. Entah apa yang ada di kepalanya. Apakah dia sedang menyusun rencana seperti tokoh istri cerdas dalam novel-novelnya? Atau sedang berusaha berdamai dengan kenyataan bahwa laki-laki bisa mencintai dua wanita sekaligus? Cuih. Sebagai perempuan, aku bisa mengerti. Tak ada istri yang benar-benar ikhlas dibagi. Bahkan pelakor pun ingin jadi satu-satunya. Apa pun alasan dan pembenaran, perselingkuhan adalah kesalahan. Dan mulai hari ini, aku berhenti mencintai Ayah. * “Kalau kamu memang yakin Ayah selingkuh, coba tunjukin buktinya,” kata Bunda beberapa hari kemudian. Saat itu aku sedang duduk sendiri di depan rumah. Ayah baru saja pergi ke kantor. Aku mendesah pelan. “Sebenarnya belum ada bukti kuat, Bun. Tapi aku yakin, cepat atau lambat, akan ketemu.” “Tadi Bunda cek HP Ayah. Nggak ada yang aneh. Chat mereka juga cuma soal kerjaan.” Aku ingin tertawa. Tentu saja tak akan ada bukti di sana. Ayah bukan orang bodoh. “Sabtu nanti kamu ikut Ayah ke kampung, ya?” lanjutnya. Aku menaikkan alis. “Bunda udah tahu?” “Tahu. Katanya sekalian mau urus sesuatu di sana.” Yang aku tahu, kami akan mengantar sekarung pupuk. Tapi hati kecilku menolak percaya. Kenapa nggak kirim via ekspedisi seperti biasa? Lagi pula, beberapa bulan lalu juga sudah kirim lima karung. Masak sudah habis? “Nanti Tante Nanda juga ikut. Dia dan temannya mau jualan obat herbal,” tambah Bunda tenang. Aku terkejut. “Tante Nanda?” “Iya. Nanti kamu berangkat bareng, tapi beda mobil.” Bareng, tapi beda mobil? Tentu saja. Supaya bisa singgah ke mana pun mereka mau tanpa terlihat mencurigakan. “Bunda ikut juga, ya?” tanyaku, “biar sekalian ziarah ke makam Kakek.” “Bunda lagi kurang sehat. Lagian, mobil Ayah kecil. Belakangnya juga buat bawa pupuk dan oleh-oleh.” Aku memanyunkan bibir lalu masuk kamar. Di ponselku, ada pesan baru dari si pelakor. Teman Wanita Ayah: May, Tante beliin boneka sama kue bolu, ya? Aku mendengkus. Aku: Nggak usah, Tan. Bunda udah janji mau beliin. Ini buat hari Sabtu, kan? Teman Wanita Ayah: Kalau gitu, Tante beliin bantal leher aja. Kata ayahmu, kamu suka warna pink. Menjijikkan. Kukunci layar lalu melempar ponsel ke kasur. Rasanya ingin muntah membaca pesan itu. Aku mengambil tas dan kunci motor. Aku butuh ruang. Butuh jarak. Perpustakaan, mungkin. Belum sempat keluar, suara Bunda menahan langkahku. “May, kamu mau ke mana?” “Ke perpus, Bun.” “Tadi Tante Nanda telepon. Katanya siang ini mau mampir. Bunda ada acara, jadi kamu di rumah, ya.” Aku berbalik, menatap wajah Bunda. Wajah itu tersenyum... tenang seperti tak terjadi apa-apa. Aku ingin tahu, sebenarnya mereka ini menikah karena cinta atau sekadar mengisi kekosongan hidup? Apa arti kesetiaan bagi Bunda? Apakah itu cuma kata yang ditulis di novel-novel roman yang dia buat? Aku muak.Karena benar-benar tak ada satu pun yang mau menerima Hanan bekerja, rasa putus asanya makin menjadi. Terlintas di benak, adik iparnya sedang libur dan berada di rumah. Dengan niat yang setengah berharap, dia memutuskan untuk berkunjung. Pria berusia tiga puluh tiga tahun bertubuh tinggi dengan raut wajah tenang itu tengah duduk di ruang tamu. Di depannya, secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap, ditemani sepiring nasi goreng yang aromanya memenuhi ruangan. Asap rokok melayang di udara, bergulir sebelum menghilang. Beberapa saat kemudian, dia mematikan puntung rokok di asbak, kemudian menoleh ke arah pintu. “Mas Hanan? Masuk, Mas!” “Fatih.” Hanan tersenyum tipis lalu melangkah masuk dan ikut duduk. “Hanen, buatin Mas Hanan minum!” seru Fatih dari kursinya. Dari dapur, suara Hanen terdengar menyahut pelan, tanda mengiyakan. Hanan menarik napas panjang. “Walau adikku keras kepala, aku lihat rumah tangga kalian baik-baik aja.” “Mas, rumah tangga itu nggak bisa cuma salah satu y
"Makasih, ya, Dek. Kamu udah bantuin masmu." Husna mendengkus kesal lalu melangkah cepat menuju kursi di ruang tamu. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hebohnya nanti kalau berita kedatangan Nanda yang mengaku hamil tersebar di lingkungan itu. Tadi saja kebohongannya sudah jelas terbongkar, tapi gosip itu sifatnya seperti api di sekam—baru benar-benar panas ketika ada yang meniup dan menambah-nambahi cerita dari kejadian sebenarnya. "Mas, kalau aja dulu kamu nggak selingkuh sama perempuan kayak dia, nggak akan ada kejadian hari ini. Semua yang Mas alami setengah tahun ini seharusnya nggak pernah ada. Mungkin aku masih bebas chat sama May, ngobrol sama adik-adiknya juga." Husna membuang napas kasar. "Kamu nggak akan dipermalukan kayak gini, dipandang remeh tetangga, bahkan kehilangan muka. Mas, kamu nggak pernah kepikiran buat mengakhiri hidup aja?" Hanan menunduk. Perkataan adiknya menusuk tepat di dada. Dalam hati, dia mengakui semua itu benar. Andai saja dia tidak jatuh cinta
Mentari baru saja mengintip dari balik bukit, sinarnya lembut menyapu kabut yang masih menggantung di atas sawah. Udara pagi segar menyelinap lewat jendela bambu, membawa aroma tanah basah dan suara ayam berkokok dari kejauhan. Daun-daun pisang bergoyang pelan diterpa angin, sementara suara lesung ditumbuk dari dapur tetangga terdengar bersahut-sahutan. Hari baru telah dimulai begitu pelan, sederhana, tapi penuh kehidupan. Seorang wanita berdiri di depan rumah Bu Siti. Tak lama, dia pun mengetuk pintu. “Mas Hanan, buka pintunya!” Teriakan itu membuat langkah Hanan terhenti di depan cermin. Dia baru saja merapikan kemeja untuk pergi mencari lowongan kerja ke luar kota. Tak perlu berpikir lama, suara itu sangat dia kenali dan tak pernah dia harapkan datang di pagi buta. Saat membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Husna yang berdiri dengan wajah masam, kedua tangan dilipat di dada, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. “Mas Hanan, buka pintunya!” teriak suara
"Intinya begini. Bu Nanda itu pelakor yang sekarang nyamar jadi korban. Mungkin tadi dia didatangi istri sah. Entah sesakit apa hatinya sampe bisa kayak gini."Nanda menatap tajam wanita itu lalu mengelus dahinya yang masih terasa perih karena coretan lipstik. "Lucu ya, kalian semua langsung percaya omongan begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku nggak akan heran kalau suatu hari suami kalian pun akan menyesal menikahi kalian dan kalian bakal duduk di pos ronda sambil saling menyalahkan seperti sekarang."Beberapa ibu tampak tersinggung, tapi Nanda tak berhenti."Aku dituduh pelakor? Hanya karena tulisan di dahi dan fitnah dari perempuan yang jelas-jelas dendam karena mantan suaminya lebih memilihku? Kalian tahu apa? Ida, perempuan yang katanya istri sah itu, sudah menggugat cerai suaminya sebelum aku bahkan kenal dekat dengannya!""Ih, jangan muter-muter, Bu. Udah jelas ada yang nyoret, itu tandanya pelampiasan dari istri sah."Nanda menertawakan mereka, getir tapi ny
Terik matahari menggantung tepat di atas kepala. Suasana kompleks perumahan masih cukup tenang, beberapa anak pulang sekolah dijemput orang tuanya, sementara suara tawa kecil terdengar dari arah taman.Seorang ibu yang baru saja menutup pagar rumahnya mendadak berhenti. Pandangannya tertuju pada sosok di teras rumah seberang."Eh, itu Bu Nanda?"Langkahnya pelan-pelan mendekat, rasa penasaran makin tumbuh. Dan saat melihat lebih dekat, dia langsung menjerit."Astaga, Bu Nanda?!"Teriakannya mengundang perhatian warga sekitar. Pintu-pintu terbuka, beberapa orang keluar, heran dengan keributan mendadak."Ada apa sih?""Itu ... itu Bu Nanda! Astaga, kenapa kayak gitu?!"Nanda tergeletak di teras dengan lipstik merah menyala belepotan seperti badut dan tulisan norak di dahinya, aku pelakor."Waduh, gila! Siapa yang tega?""Itu beneran Bu Nanda? Ya ampun, aku baru kemarin pindah, kok, langsung lihat beginian.""Pelakor? Maksudnya pelakor siapa? Kita aja baru kenal beliau, kan?""Aku pikir
"Mas, sebaiknya kamu pulang sendiri aja," ucap Ida sambil melirik sekeliling. Tatapan orang-orang menusuk, menguliti harga dirinya yang selama ini dia rawat rapat-rapat.Nanda memang berhasil mempermalukannya. Namun, Ida selalu berpikir kalau dendam tidak diselesaikan dengan teriakan, melainkan strategi. Dan dia pasti menyiapkan itu."Nggak. Kamu ikut aku pulang sama anak-anak," kata Adam, mencoba tetap tenang meski wajahnya cemas."Mas, kamu harus ngerti aku!" Ida berusaha menahan amarah yang nyaris meledak. Napasnya memburu, tetapi suaranya tetap terkendali."Oke. Tapi kamu pulang naik apa? Mau aku pesenin taksi?"Ida menatapnya lama lalu menghela napas yang berat dan panjang, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak boleh pecah di tempat umum."Aku punya uang, bisa naik apa aja, yang penting bukan bareng kamu.""Kamu yakin gak usah aku anter?""Yakin." Ida mengangguk pelan, kemudian menoleh pada May. "Oh iya, Mas. Antarin mereka aja, ya. Aku harus ke suatu tempat.""Bunda mau ke ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments