Darahku mendidih. Jantungku memukul tulang rusuk seperti hendak memberontak keluar. Napas naik-turun tak beraturan. Aku ingin berteriak. Ingin membanting sesuatu. Apa saja. Gelas, kursi, bahkan wajah perempuan itu kalau bisa. Tanganku bergetar hebat. Bukan karena takut. Tapi karena terlalu banyak rasa yang kutahan. Dada ini sesak. Mataku panas. Amarahku menumpuk seperti lava dalam perut gunung, siap meledak dan membakar apa pun yang ada di dekatnya. Aku benci ini semua. Benci Ayah yang munafik. Benci perempuan murahan yang sok manis itu. Dan yang paling kubenci, adalah wajahku sendiri di cermin karena masih bisa tersenyum padanya tadi. Aku benci karena harus berpura-pura. Kenapa harus aku yang menyaksikan semua kebusukan ini dari dekat? Kenapa bukan orang lain? Kenapa harus perempuan sebusuk itu yang bisa membuat Ayah lupa pada kami? Jika saat ini aku membuka mulutku lebar-lebar, aku akan meludah tepat ke wajahnya. Aku ingin mengatakan semua umpatan paling jahat yang selama ini hanya berputar di kepala. Tapi aku tahu, belum saatnya. Belum. Tapi sebentar lagi.
view more"Ayah selingkuh, Bun,” ucapku pelan. Pelan, tapi pasti. Suaraku mungkin lirih, tapi di dalamnya ada bara yang siap membakar apa pun.
Bunda, yang tengah duduk tenang di depan laptop, mendongak dengan dahi mengernyit. Aku tahu dia terkejut. Namun, kali ini aku tak peduli. Sudah terlalu lama aku menahan semuanya, takut jika keluarga yang tampak bahagia ini mendadak hancur karena satu kenyataan. “Kenapa Bunda cuma diam?” tanyaku dengan nada meninggi. “Apa jangan-jangan Bunda udah tahu?” “May, duduk dulu,” kata Bunda lembut. Tenangnya menyebalkan. Tapi aku duduk juga, berhadapan dengannya. Entah kenapa, aku tak menemukan sorot luka di matanya. Binar kesedihan itu tidak ada. Apa dia sudah tahu? Atau justru menerima semuanya begitu saja? Apa Bunda tipe wanita yang rela disakiti, tapi tetap bertahan demi status? “Kenapa kamu yakin Ayah selingkuh? Apa karena kamu nggak suka dipaksa kuliah dan akhirnya nebak-nebak yang aneh?” tanya Bunda mencoba tersenyum. Tangannya menggenggam tanganku, tapi aku malah ingin melepaskannya. “Aku nggak asal tuduh, Bun. Aku tahu gelagat orang yang jatuh cinta, yang sembunyi-sembunyi. Aku lihat Ayah sama Tante Nanda, mereka terlalu dekat. Dan waktu Bunda nggak bisa datang ke acara kelulusanku, siapa yang datang? Dia.” Air mataku mulai menggenang. Tapi aku tahan. Aku benci terlihat lemah di tengah luka yang kian menganga. Bunda menggeleng cepat. “Tante Nanda itu temen kuliah Ayah dulu. Dia juga udah berkeluarga. Kamu salah paham, May.” Salah paham? Aku masih ingat jelas, tangan mereka saling menggenggam. Pakaian mereka senada. Cara Tante Nanda bicara terlalu manja untuk sekadar rekan kerja. Bahkan setan pun tak akan tertipu oleh kebetulan seperti itu. “Kalau Bunda memang yakin Ayah nggak selingkuh, coba jawab, apa Bunda nggak sakit hati lihat mereka sering ketemu diam-diam?” “Bunda biasa aja. Mereka cuma teman. Lagian, Ayah percaya sama Bunda. Dan Bunda juga percaya sama Ayah. Udah, ya, May. Jangan berpikir aneh-aneh. Adik-adikmu bisa dengar dan salah paham.” Kepalan tanganku gemetar. Andai Bunda bukan ibuku, mungkin sudah kulempar semua tuduhan yang kupendam selama ini. Aku ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya napas berat dan bibir yang tertahan marah. Belum sempat kubuka suara lagi, Bunda berdiri. Melangkah cepat ke kamarnya. Aku mengikuti diam-diam. Di sana, kulihat dia berdiri menghadap jendela. Memandangi taman yang selama ini dirawat Ayah. Entah apa yang ada di kepalanya. Apakah dia sedang menyusun rencana seperti tokoh istri cerdas dalam novel-novelnya? Atau sedang berusaha berdamai dengan kenyataan bahwa laki-laki bisa mencintai dua wanita sekaligus? Cuih. Sebagai perempuan, aku bisa mengerti. Tak ada istri yang benar-benar ikhlas dibagi. Bahkan pelakor pun ingin jadi satu-satunya. Apa pun alasan dan pembenaran, perselingkuhan adalah kesalahan. Dan mulai hari ini, aku berhenti mencintai Ayah. * “Kalau kamu memang yakin Ayah selingkuh, coba tunjukin buktinya,” kata Bunda beberapa hari kemudian. Saat itu aku sedang duduk sendiri di depan rumah. Ayah baru saja pergi ke kantor. Aku mendesah pelan. “Sebenarnya belum ada bukti kuat, Bun. Tapi aku yakin, cepat atau lambat, akan ketemu.” “Tadi Bunda cek HP Ayah. Nggak ada yang aneh. Chat mereka juga cuma soal kerjaan.” Aku ingin tertawa. Tentu saja tak akan ada bukti di sana. Ayah bukan orang bodoh. “Sabtu nanti kamu ikut Ayah ke kampung, ya?” lanjutnya. Aku menaikkan alis. “Bunda udah tahu?” “Tahu. Katanya sekalian mau urus sesuatu di sana.” Yang aku tahu, kami akan mengantar sekarung pupuk. Tapi hati kecilku menolak percaya. Kenapa nggak kirim via ekspedisi seperti biasa? Lagi pula, beberapa bulan lalu juga sudah kirim lima karung. Masak sudah habis? “Nanti Tante Nanda juga ikut. Dia dan temannya mau jualan obat herbal,” tambah Bunda tenang. Aku terkejut. “Tante Nanda?” “Iya. Nanti kamu berangkat bareng, tapi beda mobil.” Bareng, tapi beda mobil? Tentu saja. Supaya bisa singgah ke mana pun mereka mau tanpa terlihat mencurigakan. “Bunda ikut juga, ya?” tanyaku, “biar sekalian ziarah ke makam Kakek.” “Bunda lagi kurang sehat. Lagian, mobil Ayah kecil. Belakangnya juga buat bawa pupuk dan oleh-oleh.” Aku memanyunkan bibir lalu masuk kamar. Di ponselku, ada pesan baru dari si pelakor. Teman Wanita Ayah: May, Tante beliin boneka sama kue bolu, ya? Aku mendengkus. Aku: Nggak usah, Tan. Bunda udah janji mau beliin. Ini buat hari Sabtu, kan? Teman Wanita Ayah: Kalau gitu, Tante beliin bantal leher aja. Kata ayahmu, kamu suka warna pink. Menjijikkan. Kukunci layar lalu melempar ponsel ke kasur. Rasanya ingin muntah membaca pesan itu. Aku mengambil tas dan kunci motor. Aku butuh ruang. Butuh jarak. Perpustakaan, mungkin. Belum sempat keluar, suara Bunda menahan langkahku. “May, kamu mau ke mana?” “Ke perpus, Bun.” “Tadi Tante Nanda telepon. Katanya siang ini mau mampir. Bunda ada acara, jadi kamu di rumah, ya.” Aku berbalik, menatap wajah Bunda. Wajah itu tersenyum... tenang seperti tak terjadi apa-apa. Aku ingin tahu, sebenarnya mereka ini menikah karena cinta atau sekadar mengisi kekosongan hidup? Apa arti kesetiaan bagi Bunda? Apakah itu cuma kata yang ditulis di novel-novel roman yang dia buat? Aku muak.Karena aku masih ngambek pada Ayah dan dia pun belum benar-benar pulih dari amarahnya setelah kejadian tadi pagi, aku memilih untuk tidak ikut ke desa itu. Lagi pula, kehadiranku hanya akan menambah ketegangan. Mereka berangkat segera setelah Tante Hanen datang menjemput, membawa serta semua senyuman palsu yang mereka bangun sejak fajar.Rumah menjadi lengang. Hanya aku dan Nenek yang tinggal. Wanita tua itu benar-benar tulus menyayangiku, memperlakukanku seperti darah dagingnya sendiri. Bahkan tadi, di tengah panasnya suasana, beliau berkali-kali mengingatkan Ayah agar tak mengulangi kesalahan lamanya, yakni memarahi anak dengan alasan yang tak masuk akal.Saat beliau bertanya kenapa aku tahu soal kata “pinareup,” aku hanya menunduk dan menjawab seadanya. Kataku, itu sedang ramai dibicarakan di media sosial.Jawaban itu jelas kebohongan dan aku tahu berbohong pada orang sepuh adalah hal yang keji. Akan tetapi, seperti kata Bunda, belum saatnya semua terbuka. Belum waktunya.Sore itu,
"Eh, Nanda, kamu masih kerja di kantor yang dulu?" tanya Ayah tiba-tiba, nadanya terlalu cerah untuk sore hari mendung begini."Masih, Mas. Ya gitu-gitu aja. Laporan, rapat, ketik-ketik. Kadang bantu-bantu jualan juga, herbal yang itu, cuma sampingan sih," jawab Tante Nanda, suaranya ringan, tapi terdengar dibuat-buat.Aku hanya diam. Jelas sekali mereka sedang mengalihkan perhatian, membelokkan arah pikiranku agar lupa pada pertanyaan sebelumnya tentang pinareup. Ayah takut, aku tahu itu. Dia panik dan mulai bicara hal-hal remeh tentang pekerjaan, padahal dari awal mobil melaju, tak sekalipun dia tanya bagaimana perasaanku.Aku menghela napas panjang. Musik kuputar tanpa benar-benar kudengar. Mataku terpejam, pura-pura tertidur. Andai bisa, aku ingin lenyap dari sini. Biarlah mereka mengobrol, bercanda, atau melakukan hal lain selama aku dalam dunia pura-pura mimpi. Aku tidak peduli lagi, yang penting mereka tahu rasanya hidup dalam ketidakadilan seperti yang Bunda rasakan dulu.Untu
Sudah tiga hari berlalu, masalah Tante Nanda pun tidak lagi seheboh kemarin. Bukan karena selesai, melainkan Bunda sengaja meredamnya untuk membuat mereka lengah.Untuk menang, harus ada strategi. Taktik mundur untuk mengepung, seperti dalam perang—mengulur langkah demi jebakan yang mematikan."Ayah pulang!"Aku yang sedang menemani adik belajar langsung berdiri, menyambut seperti biasa. Begitulah, Bunda sudah mengingatkan kami berulang kali sejak tadi.Padahal dalam hati aku muak. Menyapa, duduk manis, berpura-pura tertarik mendengar obrolan orang yang sebenarnya ingin kuabaikan. Hanya saja, semua harus tetap berjalan sesuai peran."Oh iya, Jumat depan Ayah harus pulang kampung lagi. Hanen bilang, ada desa yang mau dikunjungi," katanya ringan, seolah semua baik-baik saja.Aku dan Bunda yang baru keluar dari kamar langsung saling pandang. Dalam diam, kecurigaan langsung menyelinap. Nekat sekali Ayah mencoba membohongi penulis ulung.Haha. Ulung? Tidak juga. Namun, Bunda bukan orang ya
"Ayah tahu kalau Tante Nanda ada masalah?" tanyaku sengaja menekankan setiap suku kata, seolah ingin menyelam ke lubuk paling gelap dari reaksi wajahnya.Ayah mengangguk pelan, terlalu pelan untuk disebut yakin. Tatapannya berputar canggung ke arah Bunda lalu kembali ke Tante Nanda, seperti bidak catur yang mendadak sadar kalau dirinya sudah tersudut.Dia melangkah maju, tak lebih dari dua tapak, seolah setiap langkah itu menimbang dosa yang dia pikir tak terlihat. Lelaki yang dulu bahkan belum layak disebut manusia, kini berjalan seakan punya nurani yang bersih. Ah, ironis."Nan, kamu gak apa, kan? Apa rencana kamu? Aku lihat di FB, mereka nyerang kamu dan tentangga tadi ada yang bisik-bisik, malah mantau rumah ini.""Gak apa-apa, Mas. Untung Mbak Ida datang dan ngasih solusi ke aku. Mereka udah mulai berhenti kirim komentar di postingan-postingan aku," kata Tante Nanda sambil berusaha tersenyum. Usaha yang sia-sia karena senyumnya terlihat seperti lapisan bedak di wajah yang sudah t
Kami mendekat. Bunda menyuruhku mengambil air di dalam rumah.“Percikkan ke wajahnya. Siapa tahu sadar,” kata Bunda datar.Aku membawa segayung air seperti yang Bunda minta. Langkahku pelan, tenang, tapi penuh maksud. Begitu sampai di ambang pintu, aku mengatur posisi kaki kanan sedikit ke depan, lalu dengan perhitungan yang manis, kaki kanan menabrak kaki kiri.Tubuhku oleng ringan. Gayung terguncang dan air tumpah sempurna, langsung menyiram wajah Tante Nanda. Bukan sekadar percik, tapi tumpah ruah membasahi seluruh tubuhnya. Tante Nanda terlonjak bangun, wajahnya kaget setengah mati. Make up-nya? Luntur. Mascara membentuk jalur hitam seperti air mata dosa yang akhirnya dipertontonkan ke semesta.Aku pura-pura panik, padahal dalam hati ada kepuasan yang sulit dijelaskan. Seperti mencabut duri yang selama ini tertancap di dada. Aku tidak menyesal. Tidak sama sekali. Ini bukan ketidaksengajaan. Ini kehendak. Skenario kecil yang kuperankan dengan sempurna. Aku, si anak korban, kini men
Ayah: May, bilang sama Bunda kalau hari ini Ayah banyak kerjaan. Jadi, bakalan lembur. Kata bos, mungkin besok ke luar kota. Pakaian gak usah disiapin, nanti Ayah beli di jalan sama bos.Aku menatap pesan itu dengan senyum kecut. Lembur? Besok ke luar kota? Tanpa bawa pakaian dari rumah? Dan lebih parahnya—bukan Bunda yang dikabari langsung. Padahal sebelumnya Ayah malah menelepon Tante Tiara.Apa Bunda, ratu dalam rumah ini, sudah kehilangan kedudukannya? Apa benar kami sedang hidup di tengah drama harem, di mana selir baru perlahan menyingkirkan istri sah? Dadaku sesak membayangkan kejutan macam apa lagi yang akan Ayah hadiahkan kali ini.Aku ingin percaya ini hanya pekerjaan, tapi rasa curiga menolak pergi. Jangan-jangan alasan ke luar kota itu hanya kedok untuk bertemu istrinya yang lain. Suami sah dengan jabatan PNS seharusnya tak bisa sembarangan begitu, kan? Kalau ini sampai dilaporkan, Ayah bisa dipecat.Tapi dia pasti sudah memperhitungkan semuanya. Mungkin dia menunda menika
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments