LOGINAyah selingkuh! Aku kira Bunda adalah orang yang paling tersakiti. Tapi ternyata selama ini semua merupakan rencana Bunda? Bagaimana bisa? Selamat membaca, silakan tinggalkan komen, ya, Kak🤗
View More“Ayah selingkuh, Bun,” ucapku pelan. Pelan, tapi pasti. Suaraku mungkin lirih, tapi di dalamnya ada bara yang siap membakar apa pun.
Bunda, yang tengah duduk tenang di depan laptop, mendongak dengan dahi mengernyit. Aku tahu dia terkejut. Namun, kali ini aku tak peduli. Sudah terlalu lama aku menahan semuanya, takut jika keluarga yang tampak bahagia ini mendadak hancur karena satu kenyataan. “Kenapa Bunda cuma diam?” tanyaku dengan nada meninggi. “Apa jangan-jangan Bunda udah tahu?” “May, duduk dulu,” kata Bunda lembut. Tenangnya menyebalkan. Tapi aku duduk juga, berhadapan dengannya. Entah kenapa, aku tak menemukan sorot luka di matanya. Binar kesedihan itu tidak ada. Apa dia sudah tahu? Atau justru menerima semuanya begitu saja? Apa Bunda tipe wanita yang rela disakiti, tapi tetap bertahan demi status? “Kenapa kamu yakin Ayah selingkuh? Apa karena kamu nggak suka dipaksa kuliah dan akhirnya nebak-nebak yang aneh?” tanya Bunda mencoba tersenyum. Tangannya menggenggam tanganku, tapi aku malah ingin melepaskannya. “Aku nggak asal tuduh, Bun. Aku tahu gelagat orang yang jatuh cinta, yang sembunyi-sembunyi. Aku lihat Ayah sama Tante Nanda, mereka terlalu dekat. Dan waktu Bunda nggak bisa datang ke acara kelulusanku, siapa yang datang? Dia.” Air mataku mulai menggenang. Tapi aku tahan. Aku benci terlihat lemah di tengah luka yang kian menganga. Bunda menggeleng cepat. “Tante Nanda itu temen kuliah Ayah dulu. Dia juga udah berkeluarga. Kamu salah paham, May.” Salah paham? Aku masih ingat jelas, tangan mereka saling menggenggam. Pakaian mereka senada. Cara Tante Nanda bicara terlalu manja untuk sekadar rekan kerja. Bahkan setan pun tak akan tertipu oleh kebetulan seperti itu. “Kalau Bunda memang yakin Ayah nggak selingkuh, coba jawab, apa Bunda nggak sakit hati lihat mereka sering ketemu diam-diam?” “Bunda biasa aja. Mereka cuma teman. Lagian, Ayah percaya sama Bunda. Dan Bunda juga percaya sama Ayah. Udah, ya, May. Jangan berpikir aneh-aneh. Adik-adikmu bisa dengar dan salah paham.” Kepalan tanganku gemetar. Andai Bunda bukan ibuku, mungkin sudah kulempar semua tuduhan yang kupendam selama ini. Aku ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya napas berat dan bibir yang tertahan marah. Belum sempat kubuka suara lagi, Bunda berdiri. Melangkah cepat ke kamarnya. Aku mengikuti diam-diam. Di sana, kulihat dia berdiri menghadap jendela. Memandangi taman yang selama ini dirawat Ayah. Entah apa yang ada di kepalanya. Apakah dia sedang menyusun rencana seperti tokoh istri cerdas dalam novel-novelnya? Atau sedang berusaha berdamai dengan kenyataan bahwa laki-laki bisa mencintai dua wanita sekaligus? Cuih. Sebagai perempuan, aku bisa mengerti. Tak ada istri yang benar-benar ikhlas dibagi. Bahkan pelakor pun ingin jadi satu-satunya. Apa pun alasan dan pembenaran, perselingkuhan adalah kesalahan. Dan mulai hari ini, aku berhenti mencintai Ayah. * “Kalau kamu memang yakin Ayah selingkuh, coba tunjukin buktinya,” kata Bunda beberapa hari kemudian. Saat itu aku sedang duduk sendiri di depan rumah. Ayah baru saja pergi ke kantor. Aku mendesah pelan. “Sebenarnya belum ada bukti kuat, Bun. Tapi aku yakin, cepat atau lambat, akan ketemu.” “Tadi Bunda cek HP Ayah. Nggak ada yang aneh. Chat mereka juga cuma soal kerjaan.” Aku ingin tertawa. Tentu saja tak akan ada bukti di sana. Ayah bukan orang bodoh. “Sabtu nanti kamu ikut Ayah ke kampung, ya?” lanjutnya. Aku menaikkan alis. “Bunda udah tahu?” “Tahu. Katanya sekalian mau urus sesuatu di sana.” Yang aku tahu, kami akan mengantar sekarung pupuk. Tapi hati kecilku menolak percaya. Kenapa nggak kirim via ekspedisi seperti biasa? Lagi pula, beberapa bulan lalu juga sudah kirim lima karung. Masak sudah habis? “Nanti Tante Nanda juga ikut. Dia dan temannya mau jualan obat herbal,” tambah Bunda tenang. Aku terkejut. “Tante Nanda?” “Iya. Nanti kamu berangkat bareng, tapi beda mobil.” Bareng, tapi beda mobil? Tentu saja. Supaya bisa singgah ke mana pun mereka mau tanpa terlihat mencurigakan. “Bunda ikut juga, ya?” tanyaku, “biar sekalian ziarah ke makam Kakek.” “Bunda lagi kurang sehat. Lagian, mobil Ayah kecil. Belakangnya juga buat bawa pupuk dan oleh-oleh.” Aku memanyunkan bibir lalu masuk kamar. Di ponselku, ada pesan baru dari si pelakor. Teman Wanita Ayah: May, Tante beliin boneka sama kue bolu, ya? Aku mendengkus. Aku: Nggak usah, Tan. Bunda udah janji mau beliin. Ini buat hari Sabtu, kan? Teman Wanita Ayah: Kalau gitu, Tante beliin bantal leher aja. Kata ayahmu, kamu suka warna pink. Menjijikkan. Kukunci layar lalu melempar ponsel ke kasur. Rasanya ingin muntah membaca pesan itu. Aku mengambil tas dan kunci motor. Aku butuh ruang. Butuh jarak. Perpustakaan, mungkin. Belum sempat keluar, suara Bunda menahan langkahku. “May, kamu mau ke mana?” “Ke perpus, Bun.” “Tadi Tante Nanda telepon. Katanya siang ini mau mampir. Bunda ada acara, jadi kamu di rumah, ya.” Aku berbalik, menatap wajah Bunda. Wajah itu tersenyum... tenang seperti tak terjadi apa-apa. Aku ingin tahu, sebenarnya mereka ini menikah karena cinta atau sekadar mengisi kekosongan hidup? Apa arti kesetiaan bagi Bunda? Apakah itu cuma kata yang ditulis di novel-novel roman yang dia buat? Aku muak.Udara siang menembus kisi besi penjara, membawa aroma besi tua dan keringat. Hanan duduk di sudut ruang tahanan, membungkuk di atas meja kecil yang catnya mulai terkelupas. Kertas lusuh di tangannya berisi huruf-huruf yang tak lagi terbaca jelas—surat yang tak pernah sempat dikirim untuk Ida.Suara rantai bergemerincing di lorong panjang. Petugas memanggil, “Tahanan nomor 207, ada tamu.”Langkah Hanan terhenti sesaat. Matanya menatap kosong ke arah pintu. Siapa yang mau datang menemuinya setelah semua ini? Dia berdiri pelan, tubuhnya tampak lebih kurus, rambut mulai memutih di sisi pelipis. Wajah yang dulu selalu percaya diri kini tampak layu, seperti pohon tua kehilangan akar.Di ruang kunjungan, kaca tebal memisahkan dunia yang masih hidup dan yang sudah setengah mati. Hanan duduk di kursi logam, menunggu. Lalu, pintu terbuka.Seorang wanita muda masuk, diikuti seorang pria dengan jas abu-abu. Langkah mereka tenang, berwibawa. Hanan menegakkan tubuhnya, tapi napasnya tercekat saat m
Langit pagi masih bersih tanpa awan dan mentari menyorot lembut ke Gedung Bimasena, sebuah bangunan megah bergaya kolonial yang hari itu bertransformasi menjadi taman surga sementara. Fasadnya dihiasi dengan karangan bunga melati, mawar putih jenis Avalanche, dan anyelir segar yang disusun sedemikian rupa sehingga menjuntai indah dari pilar-pilar tinggi. Aroma lembut floral berpadu dengan wangi khas lilin aromaterapi yang diletakkan tersembunyi, menciptakan lapisan wangi yang elegan.Di dalam, suasananya adalah perwujudan kesempurnaan sosial. Setiap sudut ruangan memancarkan kebahagiaan yang dipoles dengan baik. Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya kristal dari lusinan lampu gantung, dan di tengah ruang, karpet merah membentang menuju pelaminan yang dihiasi dengan instalasi bunga raksasa.Tawa pelan para tamu, yang kebanyakan adalah wajah-wajah penting dari kalangan bisnis dan politik, bercampur dengan denting gelas sampanye kristal dan lantunan musik lembut dari orkes kecil di p
Saat kertas itu kembali terselip rapi di dalam laci, kegembiraan dingin merayap ke dada May. Lampu kamar meredup jadi latar. Dia berdiri, menutup mata, lalu menari pelan di antara bayangan. Langkahnya ringan, senyum samar melengkung di bibir. Di dalam kepalanya, kenangan dua bulan lalu berputar seperti potongan film lama di masa ketika semuanya mulai bergerak sesuai rencana. Hari itu, di taman kota yang sepi dan jarang dilalui orang, bangku panjang dekat kolam menjadi saksi. Hanan duduk di sana, bahunya sedikit menunduk, kemeja abu-abu yang dia kenakan tampak kusut di bagian siku. Dari kejauhan, bayangan seorang gadis muncul perlahan. “May.” Suara Hanan terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang lama mengganjal. “Aku cuma punya waktu sebentar, Yah. Bunda lagi tidur,” jawab May sambil duduk di sampingnya. Gerakannya tenang, tatapannya lembut, tapi penuh hitungan. Mereka diam sejenak. Angin menyentuh permukaan air, memantulkan wajah keduanya yang sama-sama menanggung sisa luka la
Berita di televisi sudah berakhir, meninggalkan ruang tamu yang senyap. May, Raya, dan Risa duduk berdekatan di sofa, belum benar-benar paham seluruh arti dari kabar yang baru saja mereka dengar. Hanya tahu bahwa seseorang yang dulu mereka panggil Ayah kini berada di balik jeruji besi. Dari luar, suara mobil berhenti di depan rumah. Pintu diketuk pelan, disusul suara perempuan terisak. Ida menoleh cepat, lalu berdiri. Di ambang pintu berdirilah Hanen dengan mata bengkak, wajah pucat, dan pundak bergetar menahan tangis. “Masuklah, Nen,” ucap Ida pelan. Begitu langkah Hanen melewati ambang, suasana di ruang tamu langsung berat. Dia menutup mulutnya, menahan sesak yang tak terbendung. “Aku nggak nyangka, Mbak. Husna belum genap empat puluh hari, sekarang Mas Hanan juga harus masuk penjara.” Suaranya pecah, tubuhnya goyah. Ida meraih bahu wanita itu, menuntunnya duduk. “Aku juga nggak pernah berharap semua ini terjadi. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan.” Tangis Hanen pecah tanpa
Dua hari kemudian, kantor polisi semakin dipenuhi tumpukan berkas, rekaman digital, dan peta jalur CCTV. Setiap detil mulai disusun rapi oleh tim detektif. Sementara itu, sebuah telepon masuk ke meja detektif senior. “Hanan berada di lobi, ingin menyerahkan diri,” kata petugas sambil menahan napas. Detektif senior mengerutkan alis, menatap Hanan yang baru saja melangkah masuk. Wajahnya pucat, mata menunduk, tapi ada sesuatu di sana, tentang kesadaran dan ketegasan yang sebelumnya tak terlihat. Hanan menyerahkan ponsel genggamnya, tablet, dan beberapa dokumen. “Ini semua bukti yang membuktikan siapa yang mengatur semuanya. Aku yang merencanakan semuanya dan aku ingin bertanggung jawab. Aku ingin kebenaran keluar, tanpa ada yang lagi jadi korban kebohongan atau dendam orang lain.” Detektif senior mengambil satu per satu dokumen itu. Di layar ponsel, chat-chat itu membuka rahasia gelap: Hanan menyuruh Raisa menaruh sapu tangan dengan huruf N di rumah Ida agar terlihat seperti bu
Ruang penyelidikan apartemen dipenuhi layar monitor. Detektif senior menatap salah satu rekaman CCTV, matanya menyipit. “Perhatikan jam tujuh malam. Di sini, sebelum keributan mulai, ada seseorang yang menarik perhatian.” Seorang detektif muda menekan tombol pause, memperbesar layar. Di lobby, seorang gadis muda tampak sibuk menelepon. Rambutnya diikat tinggi, tas kecil tergantung di bahunya, gerak-geriknya cemas. Dia sesekali menengok ke lift dan pintu masuk, seolah menunggu seseorang. “Lihat itu,” desis detektif muda, “dia bukan penghuni, kan? Gerakannya terlalu waspada.” Senior mencondongkan tubuh. “Benar. Catat setiap detil. Posisi tasnya, arah pandang, gerakan tangannya. Bisa jadi ini orang yang menaruh racun atau bahkan yang mematikan kamera koridor.” Seorang detektif lain mengangguk. “Nomor telepon yang dia pakai bisa kita telusuri. Siapa tahu ada koneksi dengan pihak ketiga yang sengaja menjebak Tiara.” Senior menghela napas. “Timeline malam itu mulai terlihat lebih
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments