Share

Pernikahan

Nayaka sangat gugup, saat Ratna datang ke kamar hotelnya, membawakan gaun pengantin, dia malah terpaku dan tak percaya bahwa ini adalah harinya.

Nari dan Ratna membantu Nayaka memakai gaunnya. Nayaka sudah berias sendiri.

Sementara Bahana berjalan mondar-mandir di depan Gama.

“Tenang, Na,” gumam Gama malas melihat Bahana gelisah.

“Aku akan menikah,” desis Bahana tak sabar.

I know. Calm down.” Gama menepuk pundak Bahana.

Nayaka keluar kamar dibimbing oleh Paman yang menggenggam erat tangannya.

Bahana terpaku, Nayaka benar-benar memesona. Membuatnya tak bisa berkata-kata.

Saat Paman menyerahkan tangan Nayaka padanya, Bahana menerimanya dengan lembut, mengecup punggung tangan Nayaka dan memberinya senyum yang membuat Nayaka harus menahan napas.

Ikrar sehidup semati mereka terucap. Bahana tak henti menatap Nayaka yang jengah di hadapannya.

“Selamat, jaga hubungan kalian sebaik-baiknya. Jangan pernah melepaskan satu sama lain,” pesan Gama membuat Nayaka menunduk.

Setelah menemui beberapa undangan yang terbatas itu, kini Nayaka dan Bahana berada di kamar mereka.

“Aku akan membantumu,” desis Bahana melihat Nayaka kesusahan membuka gaunnya.

“Jangan,” gumam Nayaka masih melupakan hal, bahwa mereka kini sudah sah sebagai suami istri.

Tapi Bahana tak menghiraukan kata-kata Nayaka. Membantunya menurunkan risleting gaun Nayaka yang kini mengekspos punggung Nayaka, memperlihatkan kulit bersihnya.

“Na, malu,” gumam Nayaka saat Bahana menelusuri punggung itu dengan jemarinya.

Gaun itu sudah turun ke bawah, lebih mengekspos lagi tubuh Nayaka. Membuat Bahana menelan ludahnya sendiri.

Setelah gaun itu lolos, Nayaka berlari meraih selimut, karena dia lupa belum membuka kopernya.

Bahana tertawa melihat reaksi Nayaka. Dia lalu membuka jasnya, menyisakan kemeja putih dan celana panjangnya.

“Berganti bajulah, kita akan makan malam di pantai,” kata Bahana sambil membuka kopernya sendiri. Mengeluarkan kaos dan celana pendeknya.

“Jangan melihatku,” kata Nayaka sambil melilitkan selimut di tubuhnya, dan gegas menghampiri kopernya yang berada di dekat Bahana.

“Aku, akan menunggu sampai nanti malam, Sayang,” bisik Bahana membuat Nayaka bergidik ngeri.

“Palingkan wajahmu,” kata Nayaka sambil berlalu ke kamar mandi dan berganti baju di sana.

Sial, baju yang dia pilih adalah dress selutut, tanpa lengan dan hanya bertali spagehti.

“Ah, Nayaka bodoh,” desisnya merutuki diri sendiri.

Mau tak mau dia memakai dress itu dan mematut dirinya di cermin.

Bahana sudah menunggunya di tempat tidur. Duduk sambil memainkan ponselnya.

“Jadi ke pantai? Masih sore ini,” tanya Nayaka membuat Bahana mendongakkan kepalanya.

Bahu Nayaka yang terbuka membuat Bahana mendesah. Segera dia membuka koper Nayaka dan mencari baju yang lebih tertutup. Karena tak menemukan dress yang cocok, dia memungut jasnya dan memakaikannya ke Nayaka.

“Pakai. Kamu akan masuk angin memakai baju begitu terbuka di pantai,” desis Bahana membuat Nayaka menahan tawanya.

“Kamu, tak ingin orang lain melihatku?” bisik Nayaka.

“Itu tahu, kenapa masih dipakai?”

“Karena aku tak membawa baju lagi,” jawab Nayaka.

“Mulai besok, baju yang kekurangan bahan seperti ini, jangan lagi kamu pakai,” geram Bahana lalu menyeretnya keluar.

Nayaka membenarkan jas yang menutupi bahunya, tersenyum mengingat wajah Bahana yang masam saat berbicara tentang bajunya.

Senja yang beranjak pulang menemani mereka makan. Bahana tak sekalipun melepaskan tatapannya pada Nayaka. Membuat Nayaka jengah.

“Berhentilah menatapku seperti itu,” kata Nayaka.

“Aku suka,” desis Bahana.

“Aku, tak akan melepasmu,” imbuh Bahana.

“Apa kamu yakin? Apa kamu sudah benar-benar memikirkan ini?” tanya Nayaka.

“Tentang apa? Aku sudah memutuskan dari pertemuan kita tahun lalu, bahwa kamu, adalah wanita pilihanku,” kata Bahana

“Kata Pradnya, Doni mendapatkan satu tahun penjara,” lanjut Bahana membuat Nayaka mendesah.

“Kamu, tak perlu takut lagi bertemu dengannya,” imbuh Bahana.

Setelah menyelesaikan makan mereka, Bahana menggandeng Nayaka kembali ke kamar mereka. Genggaman yang hangat menjalari tubuh Nayaka.

Sesekali ekor matanya melirik Bahana yang berjalan di sampingnya dengan tegap itu. Dia masih merasakan ini tak nyata, laki-laki ini hanya ingin menyelamatkannya dari Doni, bukan menikahinya.

“Ganti bajulah,” kata Bahana membuat Nayaka mencari baju tidurnya.

“Aku ingin mandi dulu,” kata Nayaka mengingat tubuhnya lengket karena udara pantai.

Bahana mengangguk dan menutup tirai jendela besar kamar mereka. Merebahkan diri di ranjang dan menunggu Nayaka.

Sementara Nayaka sengaja berlama-lama di kamar mandi, karena masih merasa jengah menyadari bahwa malam ini dia akan tidur dengan Bahana.

“Ka, belum selesai?” Bahana mengetuk pintu kamar mandi.

“Sebentar lagi,” jawab Nayaka yang kini mondar-mandir di kamar mandi.

“Ka, apa perlu aku masuk?” tanya Bahana lagi karena Nayaka tak kunjung keluar dari kamar mandi.

“Aku keluar,” kata Nayaka akhirnya.

Dengan pelan dia memutar kenop dan berharap Bahana tak menunggunya di depan pintu. Dia lega saat Bahana tak terlihat di depannya, dengan tenang dia melangkah. Bahana tak terlihat tempat tidur.

Nayaka menghela napasnya lega. Tapi itu tak lama, karena detik berikutnya, tangan Bahana sudah melingkar di pinggangnya.

“Ada apa di kamar mandi?” tanya Bahana sambil meletakkan dagunya di pundak Nayaka.

“Hm ... tadi sekalian buang air besar,” kata Nayaka beralibi.

“Jangan mengulur waktu,” bisik Bahana di telinga Nayaka, yang langsung membuat tubuh Nayaka merinding.

“Na,” desis Nayaka saat Bahana mulai menciumi lehernya.

“Kamu tahu, aku bahkan menunggu hari ini lebih dari setahun.” Bahana tak menghentikan aksinya. Membuat Nayaka memejamkan matanya, antara malu dan menikmati sentuhan bibir Bahana di tubuhnya.

“Jadi, kamu menikahiku hanya untuk ini?” desis Nayaka membuat Bahana memutar tubuhnya sehingga mereka berhadapan.

“Aku, menginginkan semua yang ada padamu. Hatimu, perasaanmu, bahkan wangimu saat ini.” Bahana akhirnya melumat bibir Nayaka tanpa memberinya jeda untuk menginterupsi.

Tangan Bahana meraih tengkuk Nayaka dan menariknya mendekat, sehingga jarak mereka hanya sebatas baju yang mereka pakai.

Nayaka memejamkan matanya, tak berani menatap mata itu. Mata yang akan membuatnya luluh.

“Dont you, want me?” bisik Bahana frustrasi karena Nayaka masih diam tak meresponsnya.

“Bukan begitu,” jawab Nayaka sambil menundukkan wajahnya.

Bahana tak sabar, mengendong Nayaka ke ranjang. Nayaka hanya bisa pasrah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status