Share

Persiapan

Nayaka tak bisa memejamkan matanya, melihat Bahana mendengkur halus di sampingnya, membuatnya masih tak percaya, laki-laki ini akan menjadi suaminya beberapa hari ke depan.

Nayaka mengusap wajah Bahana dengan jemarinya, menyusuri setiap lekuknya, mensyukuri setiap pahatan Tuhan di sana. Garis wajah yang tegas, dengan kulit bersih, sungguh perpaduan yang memabukkan.

Nayaka masih tak percaya Bahana menyerahkan diri untuk menikahinya. Bahana bisa mendapatkan perempuan cantik mana pun yang dia inginkan, tapi, Bahana malah memilihnya. Nayaka, perempuan yang mungkin biasa saja.

Saat tangan Nayaka menyusuri bibir Bahana, dia tak tahan untuk tak mengusapnya. Bibir tipis yang sudah dia kecup entah berapa kali belakangan ini. Tanpa sadar, Nayaka menciumnya. Merasakan manisnya. Kemudian tersenyum saat Bahana menggeliat dalam tidurnya.

“Jangan pergi,” gumam Bahana dalam tidurnya sambil memeluk Nayaka erat.

“Aku menginginkanmu,” lanjut Bahana sambil mendekap Nayaka semakin erat.

Nayaka mengelus punggung Bahana, mengecup bibir Bahana dengan lembut. Ikut memejamkan mata dan tidur di pelukannya.

Mereka terbangun saat ada ketukan pintu.

“Mas, Mbak, waktunya makan malam.” Suara terdengar.

“Iya,” jawab Bahana tanpa melepas pelukannya pada Nayaka yang mengerjapkan matanya lalu berusaha bangkit, tapi Bahana tetap menahannya.

“Jangan bergerak,” desis Bahana membuat Nayaka diam. Menunggu apa yang akan Bahana lakukan.

Bahana menyusupkan kepalanya ke leher Nayaka yanv seketika menegang. Bahana menciumi leher Nayaka dengan lembut.

“Aku akan menunggu setelah pernikahan kita. Kamu tak akan aku lepaskan,” bisik Bahana lalu duduk dan menarik Nayaka untuk bangkit.

“Ayo makan,” katanya membuyarkan ketegangan Nayaka.

Nayaka menundukkan wajahnya, malu dengan ucapan Bahana.

Mereka makan dalam diam. Raka memperhatikan mereka dengan heran.

“Tidak terjadi apa-apa, kan, waktu kalian di kamar tadi?” selidik Aka.

“Gak,” jawab Bahana dan Nayaka serempak, semakin membuat Raka heran.

“Yakin?” desak Raka sambil meletakkan sendoknya dan menatap mereka tak percaya.

“Gak ada apa-apa, Ka,” tegas Bahana.

“Baiklah. Gak usah sewot,” gumam Raka.

Mereka memasuki kamar masing-masing dengan diam.

Bahana sudah mondar-mandir di ruang tengah sambil menelepon Pradnya, memastikan putusan vonis untuk Doni tanpa kehadirannya.

“Iya, pastikan saja dia masuk penjara,” kata Bahana sambil menutup telepon dan memperhatikan Nayaka yang baru keluar kamar dan terlihat sangat cantik.

“Kita ke butik Ratna setelah ini,” kata Bahana membuat Nayaka kaget.

“Jangan kaget. Nanti kita ke rumah Paman dan Bibi,” ucap Bahana sambil membawa Nayaka ke ruang makan.

Mbok Inah sudah masak mie goreng untuk mereka.

“Ka, nanti antar kami,” kata Bahana kepada Raka yang sedang membuat kopi.

“Siap. Tuan dan Nyonya mau ke mana?” ledek Raka membuat Bahan ingin melemparnya dengan sendok.

“Apaan sih,” gumam Nayaka jengah.

“Tuan dan Nyonya soon to be,” kekeh Raka semakin membuat Bahana kesal.

“Nanti, kalian juga ikut ke Lombok lho,” kata Bahana.

“Mbok juga, Mas?” tanya Mbok Inah disambut anggukan kepala Bahana.

“Ya udah, nanti Mbok telepon anak dulu, kasih tahu,” kata Mbok Inah.

“Aku gak bisa tanpa kalian. Apalagi nanti, istriku juga pasti sibuk kan?” Bahana mengerlingkan matanya ke arah Nayaka yang langsung tersedak karena godaan itu.

“Gak ada yang masak,” imbuh Raka sambil terkikik.

Nayaka memelototi mereka semua.

“Rat, maaf ya, kita jadi ngerepotin dengan mesen dadakan,” kata Bahana begitu mereka berada di butik Ratna.

“Gak apa-apa kali, Na. Untung aja pesenan dah kelar semua. Ayo sana dicoba. Nari, bantuin Mbak Nayaka,” perintah Ratna kepada Nari yang langsung membawa Nayaka ke ruang ganti.

Nayaka masih tak percaya dia bisa memakai gaun pengantinnya sendiri, rancangan desainer.

“Mbak Nayaka, cantik lho,” kata Nari sambil merapikan gaun itu.

Saat Nayaka keluar, Bahana tak bisa mengalihkan pandangannya, Nayaka, sangat cantik, memesona.

Tanpa sadar, Bahana melangkah mendekat, menangkup wajah Nayaka yang sudah memerah karena malu. Bahana mencium bibirnya dengan lembut, mengabaikan kenyataan ada Ratna dan Nari di sana.

You are so beautifull.” Setelah melepas bibir Nayaka, Bahana menatap wanitanya itu dengan lembut.

“Prosesi pernikahan, bukannya masih lusa ya?” desis Ratna yang menutup wajahnya dengan buku desainnya. Sementara Nari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Nayaka masih terpaku dengan reaksi Bahana yang membuatnya syok. Bagaimana bisa Bahana menciumnya di sini!

“Maaf, aku tak tahan melihatnya. She is so damn beautifull,” kata Bahana setelah sadar.

Nayaka segera menutup wajahnya karena malu. Berlari kembali ke bilik untuk berganti baju. Tapi tangan Bahana mencegahnya.

“Aku masih ingin melihatnya,” desis Bahana sambil memutar tubuh Nayaka.

“Rat, bagian ini beri detail, dan aku ingin kamu juga cariin sepatu yang pas buat baju ini,” kata Bahana memberikan beberapa pesan buat Ratna.

“Oke, untuk jas, ada yang kurang?”

No, kamu selalu membuatnya perfect,” jawab Bahana.

“Sudah bisa ganti baju?” tanya Nayaka jengah.

Bahana mengangguk, gegas Nayaka mengganti bajunya karena tak ingin berlama-lama malu.

“Oke, Rat. Lusa sekalian bawakan bajunya ke hotel.” Bahana menggandeng Nayaka ke mobil.

“ Aku tahu, kamu sangat cantik,” bisik Bahana.

Raka mengawasi mereka dari spion tengah. Berdehem saat Bahana terus menempel pada Nayaka seolah ada lem di antara mereka.

“Diam,” geram Bahana membuat Raka tertawa.

“Berhenti di toko buah, kita bawakan untuk Paman dan Bibi,” perintah Bahana.

Nayaka hanya diam saja sedari tadi, meredam degup jantungnya yang tak karuan sejak Bahana menciumnya tadi di butik Ratna.

“Paman, dan Bibi. Saya, Bahana Samudera, ingin melamar Nayaka Sakuntala menjadi istri saya. Dan dikarenakan, saya harus segera pindah ke Lombok, prosesi pernikahan akan kami laksanakan lusa,” kata Bahana membuat Paman dan Bibi terkejut.

“Maaf saya lancang mendahului prosesnya. Tapi keadaan sangat mendesak, jadi saya baru sempat meminta ijin sekarang,” imbuh Bahana.

“Paman, tak tahu harus berkata apa, tapi bila ini keputusan kalian berdua, maka kami, akan menerimanya. Nayaka keponakan kami satu-satunya. Hanya kami keluarganya yang tersisa, kami hanya minta, jangan pernah membuatnya terluka,” kata Paman membuat Bahana mengangguk dengan mantap.

Dia sudah menyerahkan hatinya, hidupnya untuk Nayaka, maka tak pernah terbersit keinginan untuk menyakiti Nayaka.

 “Saya, akan menjaganya, melindunginya, menyayanginya, dan mencintainya seumur hidup saya,” kata Bahana sambil menoleh pada Nayaka yang sudah menahan air matanya agar tak jatuh.

“Baiklah, kami akan datang lusa. Di mana?” tanya Bibi membuat Nayaka menyusut air matanya.

“Four Season Jimbaran,” jawab Bahana membuat Paman kembali terkejut. Hotel mahal. Siapa Bahana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status