Eza menatap ponselnya dengan gamang. Dirinya benar-benar sudah menjadi gila. Baru kemarin malam dia berjanji pada dirinya sendiri dan Gita untuk tidak berbuat gila, tapi belum cukup dua pulu empat jam. Pikiran gila itu datang lagi. "Percuma saja, Za. Mereka pasti sudah di atas pesawat," Eza bergumam pelan. Eza menghela napas dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Sejak kapan dia jadi seperti ini? Kenapa juga tiba-tiba dia bisa menjadi gila seperti sekarang ini. Padahal terakhir bertemu masih tidak apa-apa. Gak mungkin tiba-tiba saja jatuh cinta kayak di novel-novel kan? "Eza sudah siap?" Yang empunya nama mendonggak ketika mendengar suara yang dia kenal. "Sudah Aunty. Sudah bisa pulang sekarang?" tanya Eza pelan, pada ibu dari sahabatnya. Julie mengangguk sambil tersenyum. Wanita berumur akhir empat puluhan itu berjalan mendekati Eza dan duduk di atas ranjang, bersebelahan dengan sahabat putrinya. "Tenang saja, mereka kuat kok di dalam sana." Julie jadi ikut mengelus pe
"Siapa yang mau ketemu?" tanya Gita dengan bingungnya. "Tania Wibisono, Bu," Jelita menjawab dengan tegas. "Dia sudah membuat janji dari senin minggu lalu. Saya sudah menjadwalkan pertemuan sebelum jam rapat siang ini dan beliau masih menunggu di bawah." "Alan mana?" "Pak Alan sedang ke ruangan Pak Kevin, Bu." Jelita langsung menjawab tanpa perlu berpikir. "Ya, sudah suruh saja naik ke sini." Gita mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Alan. "Sekalian telepon ke tempat Uncle Kevin ya, Je. Kalau bisa Alan disuruh balik ke sini." Gita menatap ponselnya, menunggu balasan pesan dari Alan. Sejujurnya Gita tidak melakukan apa-apa terhadap tetangganya yang ular itu. Selama seminggu di Amerika, Gita bahkan tidak pernah mengingat perempuan itu. Gita menghabiskan waktu seminggu dengan baik di NYC. Selain memeriksakan diri ke dokter dan menjalani terapi. Dia dan Alan juga menyempatkan diri berlibur sejenak. Saking asiknya liburan, Gita sampai lupa mengunjungi adiknya di Boston.
"Lama amat sih kalian ini." Suara Eza mengagetkan Alan dan Gita yang baru masuk ke ruangan. Eza duduk di salah satu sofa ukuran dua orang dan tengah bermain ponsel saat Alan dan Gita masuk. Ini adalah hari terakhir Gita bekerja dan baru saja dia dan Alan menyelesaikan rapat terakhirnya. "Padahal aku sudah buat janji loh untuk ketemu kamu, Ta. Tapi tetap saja harus nunggu hampir sejam." Eza berdiri dari sofa untuk menyambut Gita. Dia terlihat lebih sehat dan juga biasa saja. Setelah pertengkarannya dengan Gita, Eza bersikap biasa saja. Dan setelah memperhatika Eza selama beberapa detik, Gita memutuskan untuk bersikap seperti biasa. "Perasaan Jelita tidak memberitahu kau sudah buat janji." Gita memilih duduk di seberang Eza. "Aku memintanya. Soalnya aku mau bikin surprise," Eza berucap sambil kembali duduk. Alan masih berdiri di dekat pintu dan memandang bingung dua orang di depannya. Perasaannya dua sahabat itu masih bertengakar, tapi kenapa bisa bersikap biasa saja? Yah, walau
"Als?" Gita berteriak keras, sambil berusaha menahan sakit. Hari masih sangat pagi dan Alan masih tertidur, namun mendengar suara teriakan Gita yang sangat keras membuatnya terbangun. "Bee?" Alan memanggil istrinya dengan mata menyipit. Gita tidak ada di sebelahnya. Alan segera menyambar kacamatanya dan turun dari ranjang. Alan mendengar suara rintihan pelan dari dalam kamar mandi dan bergegas ke sana. "Bee?" Alan terkejut mendapati istrinya terduduk lemas di lantai kamar mandi, sambil memegang perutnya. "Bee, kamu kenapa?" tanya Alan panik. "Perutku sakit banget," Gita menjawab dengan sangat pelan. "Aku gak tahan." Dengan gerakan cepat, Alan mengangkat tubuh Gita. Namun sebelum benar-benar melangkah, Alan tak sengaja melihat sesuatu di lantai kamar mandi. "Bee, kamu berdarah?" seru Alan makin panik. Ini belum jadwal haid istrinya dan lantai yang di duduki Gita tadi ada noda darahnya. Jelas ada yang salah dengan istrinya. Alan sudah berlari keluar kamar mandi dengan panik,
"How do you feel?" tanya Eza lewat panggilan video call. "Bad," jawab Gita jujur. Bagaimana dia bisa baik kalau sisa-sisa janinnya baru kemarin sore dikeluarkan? Setelah puas menangis, Gita langsung tertidur dalam pelukan Alan. Bahkan Alan sendiri juga sempat tertidur sebentar dan terbangun tiga puluh menit sebelum Gita dipindahkan ke ruang operasi. Sementara Gita baru tersadar dua jam setelah proses kuratase selesai. Cukup lama, karena dia diberikan bius total. "Wow, tumben jujur. Biasanya kau pasti akan bilang baik-baik saja," balas Eza santai saja. "Emang aku selalu gitu ya? Alan juga bilang sesuatu yang serupa denganmu." "Yeah, kau kebanyakan akan mengatakan baik-baik saja. Itu kenyataannya. Jadi biar kuyakinkan diriku sekali lagi. Bagaimana perasaanmu sekarang ini?" Eza bertanya ulang. "Aku gak nangis, bukan berarti aku gak sedih Za. Kebetulan saja kemarin aku sudah puas nangis." "Nangis sambil dipeluk abang suami ya?" "Kok tahu?" tanya Gita bingung. "Wow. Serius? Padah
"Jemput Eli, Uncle?" Gita bertanya ulang pada Uncle Kevin lewat panggilan telepon. "Ya, Ta. Dia tiba-tiba pergi ke Boston beberapa hari lalu dan belum balik. Padahal besok ada meeting penting dengan klien. Kita udah gak bisa menjadwal ulang lagi." Gita menghela napas dan akhirnya mengangguk saja, lupa kalau Kevin tidak bisa melihatnya. Begitu sadar Kevin tidak akan bisa melihatnya, Gita segera mengiyakan. Kebetulan,i Gita memang sedang berada di NYC untuk melakukan pemeriksaan rutin, tapi malah menerima tugas baru untuk menjemput calon presdir yang melarikan diri. Dia makin kesal, ketika melihat lokasi penjemputan yang agak jauh. Dengan gerakan malas, Gita turun dari mobil dan menatap rumah sederhana di pinggiran kota Salem. Hari sudah malam, tapi Gita masih bisa melihat sekitar dengan pencahayaan lampu jalan. "Ngapain juga anak itu di sini? Ketemu sama selingkuhannya?" bisik Gita makin kesal sembari menekan bel. Gita bisa mendengar suara sepupunya itu dari dalam rumah
"Loh, kok dikunci sih?" Audrey yang masih berdiri di luar mencoba menekan kenop pintu tapi tak berhasil. "Aish, mereka bakalan lama tuh." Jelita bergumam kesal sambil mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya. Jelita mengeluarkan lilin aromaterapi, kemudian mengeluarkan headset. Asisten pribadi Alan yang bernama, Leo ikut mengeluarkan headset dan memasangnya. "Kalian berdua kenapa tiba-tiba pakai gituan di telinga kalian sih?" tanya Audrey makin kesal. "Bu Audrey mungkin balik saja ke ruangannya dan kalau sudah jam pulang bisa langsung pulang. Mereka bisa sangat lama di dalam." Jelita menjawab dengan gaya sesopan mungkin. Jelita juga tidak suka dengan Audrey yang benar-benar kegatelan. Rasanya tiap pria tampan berkedudukan lumayan pasti akan dirayunya. Status suami orang pun tidak menghalanginya untuk merayu laki orang. 'Bisa merebut lelaki milik orang lain bukankah lebih menantang? Lagipula kalau memang mereka mencintai istri mereka, tidak mungkin akan tergoda kan?"
Alan terbangun ketika mendengar suara isak tangis lirih. Dengan mata yang masih setengah terpejam, Alan menoleh ke samping dan mendapati ranjang sebelahnya kosong."Bee?" Alan segera bangun dan mencari istrinya ke kamar mandi. "Kamu ada di dalam?" "Iya sebentar." Suara pekikan terdengar dari dalam kamar mandi.Entah kenapa belakangan ini, Gita sepertinya sering berdiam diri di kamar mandi. Entah untuk menangis, melamun atau sekedar bermain ponsel.Alan malah pernah memergoki Gita yang langsung menyembunyikan ponselnya, ketika dirinya tiba-tiba muncul. Jujur saja hal itu membuat Alan curiga. Apalagi dia kadang mendapati Gita bermain ponsel sambil cekikikan di tengah malam. Begitu ditegur, Gita langsung menyembunyikan ponselnya dan segera pergi tidur tanpa memberi penjelasan. Pernah juga terjadi di pagi hari dan marah. "Kau itu kenapa sih?" tanya Gita dengan kening berkerut. "Mengganggu saja."Untuk urusan menangis, itu hanya terjadi sesekali. Mungkin sekitar dua atau tiga kali da