Cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan sebuah pernikahan. Aruna menikah dengan lelaki yang ia cintai, berharap kebahagiaan akan menyertai hari-harinya. Namun sejak awal, ia harus hidup dalam bayang-bayang mertua yang dingin dan menuntut, serta rahasia masa lalu suaminya yang perlahan terbongkar. Ketika hadir sosok wanita lain yang merebut perhatian sang suami, Aruna dihadapkan pada kenyataan pahit: cintanya tidak lagi menjadi prioritas. Haruskah ia bertahan meski hatinya hancur? Atau berani melepaskan untuk menemukan arti kebahagiaan yang sebenarnya?
View MoreTepuk tangan bergemuruh memenuhi ballroom hotel bintang lima itu. Lampu kristal berkilauan di atas kepala, bunga mawar putih menghiasi setiap sudut ruangan, dan aroma wangi segar melayang di udara. Semua mata tertuju pada pasangan pengantin yang berdiri di atas pelaminan: Aruna Prameswari dan Rafka Adiguna.
Aruna tersenyum, gaun putih yang membalut tubuhnya berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Tangannya menggenggam erat jemari Rafka, lelaki yang selama dua tahun terakhir mengisi hatinya dengan cinta dan perhatian. Matanya berkaca-kaca saat mendengar sumpah sakral yang baru saja diucapkan suaminya. “Aku berjanji akan mencintaimu, menjagamu, dan setia padamu, sampai akhir hidupku,” kata Rafka dengan suara mantap. Kalimat itu membuat dada Aruna bergetar. Ia percaya pada cinta. Ia percaya pada Rafka. Lelaki itu adalah rumah yang ia pilih, pelindung yang ia butuhkan, sekaligus masa depan yang selama ini ia impikan. Namun, di balik keramaian pesta dan riuhnya doa restu, ada sepasang mata yang menatap dingin. Bu Kartika, ibu kandung Rafka, duduk di kursi utama barisan depan dengan ekspresi kaku. Tak ada senyum. Tak ada air mata haru. Hanya tatapan penuh perhitungan yang membuat Aruna merasa kecil di hari besarnya sendiri. Ketika acara resepsi berakhir, para tamu mulai berangsur pulang. Aruna dan Rafka menyalami keluarga terdekat. Saat tiba giliran Bu Kartika, Aruna menunduk sopan, menyodorkan tangan. “Terima kasih sudah hadir, Bu,” ucap Aruna lembut. Bu Kartika menyambut tangannya sekilas, namun bibirnya melontarkan kalimat yang membuat hati Aruna tercekat. “Semoga kau bisa membuktikan dirimu pantas menjadi istri Rafka. Jangan sampai anakku menyesal memilihmu.” Aruna terdiam. Senyum di wajahnya nyaris pudar, tapi ia buru-buru menguatkan diri. Ia tahu, sejak awal, Bu Kartika tidak pernah menyukainya. Bagi mertua itu, Aruna hanyalah gadis sederhana dari keluarga biasa, tidak sebanding dengan status dan kekayaan keluarga Adiguna. Malam pertama mereka sebagai pasangan sah seharusnya dipenuhi kebahagiaan, tetapi kalimat itu terus terngiang di kepala Aruna. Saat mereka berdua akhirnya tiba di apartemen mewah yang telah disiapkan Rafka, Aruna duduk di tepi ranjang dengan pikiran kacau. Rafka, yang sibuk melepas dasinya, menyadari kegelisahan istrinya. “Kenapa, Rin? Kau terlihat murung.” Aruna menggeleng. “Tidak apa-apa.” Rafka mendekat, mengangkat dagu Aruna lembut. “Jangan berbohong padaku di malam pertama kita. Katakan.” Aruna menggigit bibirnya. “Aku... hanya merasa Ibu tidak menyukaiku.” Rafka terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Itu benar. Ibu memang sulit menerima orang baru. Tapi percayalah, aku menikah denganmu karena aku yang memilih, bukan karena Ibu. Kau istriku, dan itu cukup.” Aruna menatap mata suaminya, berusaha meyakini kata-kata itu. Namun di sudut hatinya, sebuah ketakutan kecil mulai tumbuh. Bagaimana jika suatu hari nanti, tatapan dingin Bu Kartika berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk? Hari-hari berikutnya, kehidupan pernikahan mereka dimulai. Awalnya, Aruna mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru, membiasakan diri dengan status sebagai istri seorang pengusaha muda yang sibuk. Ia menyiapkan sarapan, merapikan rumah, dan menanti kepulangan suaminya dengan penuh cinta. Namun, Bu Kartika tidak pernah jauh. Hampir setiap hari, wanita itu menelepon atau datang langsung ke apartemen mereka. Awalnya untuk alasan sederhana: menanyakan kabar, memastikan Rafka makan dengan benar. Lama-lama, kunjungannya menjadi bentuk intervensi. “Aruna, kau tidak bisa menyajikan sup seperti ini. Rafka alergi lada, apa kau tidak tahu?” tegur Bu Kartika suatu pagi, wajahnya masam saat melihat meja makan. Aruna menunduk, wajahnya memerah. “Maaf, Bu... saya tidak tahu.” Rafka baru saja turun dari kamar, mendengar ucapan itu. “Ibu, sudah cukup. Jangan terlalu keras pada Aruna.” Namun Bu Kartika menatap tajam pada putranya. “Aku hanya tidak ingin kau sakit karena kecerobohan istrimu.” Ucapan itu membuat Aruna merasa hancur. Ia berusaha keras menjadi isteri yang baik, tapi seolah apa pun yang ia lakukan selalu salah di mata mertua. Malamnya, Aruna menangis diam-diam di kamar mandi. Ia menatap bayangan dirinya di cermin—mata sembab, wajah pucat, dan hati yang rapuh. “Aku tidak cukup baik... apa benar aku pantas untuknya?” gumamnya. Ketika keluar, ia mendapati Rafka sudah duduk di ranjang, menatapnya penuh iba. Lelaki itu meraih tangannya, menggenggam erat. “Aruna, jangan dengarkan Ibu. Kau cukup. Kau lebih dari cukup untukku.” Aruna ingin percaya. Ia benar-benar ingin. Tapi setiap hari, tatapan dingin Bu Kartika dan kata-kata pedasnya seperti racun yang perlahan menggerogoti keyakinannya. Beberapa minggu berlalu. Pernikahan mereka berjalan, namun Aruna mulai merasakan jarak yang perlahan tercipta. Rafka semakin sibuk dengan pekerjaannya. Pulangnya larut malam, terkadang tidak memberi kabar. Suatu malam, Aruna menunggu di ruang tamu hingga jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Saat pintu terbuka, ia segera berdiri. “Rafka, kau baru pulang. Kenapa tidak mengangkat teleponku?” tanyanya cemas. Rafka melepas jasnya, wajah lelah. “Maaf, Rin. Aku sibuk rapat dengan klien.” Aruna menelan kekecewaan. Ia hanya mengangguk, mencoba mengerti. Namun, ketika Rafka masuk ke kamar mandi, ponselnya yang tertinggal di sofa bergetar. Sebuah pesan muncul di layar. [Melani]: Senang sekali bertemu denganmu malam ini. Aku tak sabar menunggu kita bertemu lagi. Darah Aruna serasa berhenti mengalir. Jemarinya bergetar saat menatap layar itu. Siapa Melani? Mengapa mengirim pesan seperti itu di tengah malam? Jantungnya berdegup kencang, dadanya sesak. Malam yang seharusnya hanya disi rasa lelah berubah menjadi awal dari luka yang jauh lebih dalam. Aruna memejamkan mata, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia baru menyadari satu hal: janji setia yang diucapkan Rafka di pelaminan, mungkin tidak sekuat yang ia percayai selama ini. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak menikah, Aruna merasa benar-benar sendirian.Perahu nelayan kecil itu menepi di sebuah teluk tersembunyi. Ombak berdebur pelan, seakan ikut menyembunyikan rahasia malam itu. Aruna bergegas melompat turun, membantu Rafka yang setengah pingsan, tubuhnya basah oleh darah dan keringat dingin.“Pegang aku, Rafka. Sedikit lagi,” ucap Aruna sambil menopang bahunya.Rafka hanya mengerang lirih, matanya redup. Napasnya tersengal, seakan setiap tarikan udara adalah perjuangan panjang.Surya turun terakhir, menatap sekeliling dengan waspada. “Ikuti aku. Tempat ini aman, setidaknya untuk sementara.”Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. Hutan kecil mengelilingi sisi teluk, dedaunan bergemerisik diterpa angin laut. Di kejauhan, lampu redup sebuah rumah panggung kayu tampak berdiri di antara pepohonan, sederhana tapi kokoh.Aruna merasakan detak jantungnya berpacu, bukan hanya karena kekhawatiran pada Rafka, tapi juga rasa takut akan rahasia yang akan ia temui.---Pintu rumah terbuka begitu mereka tiba. Seorang pria paruh baya mun
Api dari gudang yang terbakar menjilat langit malam, memantulkan cahaya oranye ke permukaan laut yang berombak. Bau besi, garam, dan asap bercampur menjadi satu, membuat udara di pelabuhan terasa mencekik.Aruna memeluk Rafka erat-erat di balik kontainer berkarat. Bahu Rafka terus berdarah, wajahnya pucat, tapi matanya tetap menatap ke arah depan dengan keberanian yang nyaris gila.“Kau harus bertahan, Rafka. Jangan paksakan dirimu,” suara Aruna bergetar, air mata jatuh ke tangannya yang menekan luka pria itu.Rafka tersenyum samar, meski bibirnya berdarah. “Aku… sudah berjanji padamu. Aku tidak akan jatuh di sini.”Di samping mereka, Surya menodongkan pistol, mengintip celah kontainer. “Mereka mengepung kita dari dua sisi. Kalau kita tetap di sini, kita mati.”Aruna menoleh cepat. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”Surya menarik napas dalam. “Kita harus keluar lewat jalur perahu nelayan di sisi timur. Itu satu-satunya jalan.”Aruna terdiam. Jalur timur berarti mereka harus melewati
Hujan sudah mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk indera. Aruna masih berdiri di tepi sungai, tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak kencang ketika suara ledakan kedua menggema dari arah pelabuhan. Langit malam seakan memantulkan api merah yang menyala di kejauhan.“Rafka…” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa kaku. Ketakutan menahan langkahnya, sekaligus rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada.---Di gudang pelabuhan, api mulai merambat ke tiang-tiang kayu. Asap hitam pekat membuat pandangan kabur. Rafka tersungkur, darah menetes dari pelipisnya. Anak buah Adrian mengelilinginya, siap memberi pukulan terakhir.Namun sebelum tangan mereka terayun, sebuah suara berat menggema:“Berhenti.”Semua kepala menoleh. Dari balik pintu yang hangus, Surya muncul dengan langkah mantap. Parut di wajahnya semakin jelas diterangi cahaya api. Tangannya menggenggam senjata api tua, tapi sorot matanya jauh lebih berbahaya dari pelurunya.“L
Hujan turun deras malam itu, menyelimuti kota dengan suara ritmis yang seolah menyembunyikan rahasia gelap di balik setiap tetesnya. Aruna berdiri di depan cermin kamarnya, wajahnya pucat, matanya sembab setelah semalaman tak tidur. Kata-kata Surya terus terngiang, menghantam hatinya tanpa henti: Melani… pengkhianat… ayahmu…Ia menggenggam liontin kecil di lehernya—satu-satunya warisan dari ibunya. “Apa benar semua ini, Bu?” bisiknya parau. “Atau aku hanya dipermainkan?”Pintu kamarnya diketuk. Suara lembut namun penuh beban terdengar.“Aruna, boleh aku masuk?”Itu suara Dira.Aruna cepat-cepat menyeka air matanya dan membuka pintu. Dira berdiri dengan jas setengah basah, rambutnya menempel karena hujan. Tatapannya langsung jatuh pada wajah Aruna yang tampak rapuh.“Kau menangis lagi,” ucapnya lirih.Aruna memaksakan senyum tipis. “Aku hanya lelah.”Dira masuk, lalu menutup pintu. Ia menatap Aruna dalam-dalam, seolah berusaha membaca isi hatinya. “Aku tahu sesuatu mengganggumu. Jangan
Aruna menatap pria misterius itu, napasnya tercekat. Bayangan bulan di gudang tua membuat wajahnya tampak semakin suram, seolah keluar dari kisah kelam.“Apa maksudmu?” suara Aruna bergetar.Pria itu mendekat, lalu berhenti tepat di depan cahaya bulan. Wajahnya mulai jelas—parut tipis di pelipis kiri, sorot mata tajam, dan senyum getir yang samar.“Namaku Surya.” Ia menunduk sedikit. “Aku mantan tangan kanan ayahmu.”Aruna membelalak. “Itu… tidak mungkin. Ayah tidak pernah menyebutmu.”Surya tersenyum pahit. “Karena aku bagian yang tidak boleh disebut. Aku tahu rahasia yang bisa menghancurkan semua orang. Termasuk dia.”Aruna mundur selangkah. “Kau bilang tahu siapa yang menghancurkan keluargaku. Katakan sekarang.”Surya menatapnya tajam. “Itu bukan Rafka. Bukan pula hanya Adrian. Ada seseorang lain yang jauh lebih dekat denganmu.”Aruna menahan napas. “Siapa?”Suara Surya turun, nyaris seperti bisikan. “Melani.”Aruna terpaku, dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar.---Di temp
Matahari pagi menembus tirai kamar, namun Aruna masih duduk di meja belajarnya, menatap map hitam yang belum ia buka. Matanya sembab, tapi ada ketegasan baru yang jarang muncul sebelumnya.Ia menarik napas panjang, lalu membuka map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen: laporan keuangan perusahaan ayahnya, kontrak penjualan saham, dan tanda tangan yang mencurigakan.Matanya membelalak ketika melihat nama yang tertera di salah satu dokumen: Rafka Adinata.“Tidak mungkin…” bisiknya, bibirnya bergetar.Namun ada sesuatu yang aneh. Tanda tangan itu memang mirip Rafka, tapi ada detail kecil yang tidak cocok. Garis akhir tanda tangan tampak kaku, tidak natural.Aruna meraba kertas itu. “Ini bisa saja dipalsukan…”---Sementara itu, Rafka duduk di kantor pengacaranya. Wajahnya tegang, matanya menatap layar komputer yang menampilkan data transaksi lama.“Dokumen-dokumen itu beredar di luar,” kata pengacaranya. “Banyak yang percaya kau terlibat langsung dalam keban
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments