Sisca mengerutkan keningnya, memandangi Arnold yang tampak tengah menerima telepon dari seseorang itu. Jika tadi wajahnya tampak begitu kesal ketika menerima telepon, kini wajahnya berubah datar, kaku dan begitu tegang.
Sisca tahu betul bahwa sosok itu tengah terkejut dan syok dengan entah apa yang dia dengar melalui sambungan telepon. Entah siapa pula yang menelepon bos besar itu, Sisca juga tidak tahu.
Sesekali dia melirik dan menatap Sisca yang terpaku memandangi dirinya, dan sedetik kemudian ia memalingkan wajah, tampak begitu serius menyimak suara di seberang.
"Oke, gue paham. Thanks informasinya, Bro!" Arnold meletakkan ponselnya, diam sejenak hingga kemudian Sisca bersuara, sudah tidak sabar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa?" Tanya Sisca lirih sambil menepuk lembut bahu Arnold. Membuat Arnold menoleh menatap Sisca yang ikut tegang.
"Nothing, masalah kerjaan aja." Senyum Arnold kembali merekah, menarik Sisca jatuh dalam pelukan
"Di sini?" tanya Rizal ketika mereka sudah sampai di depan ruko yang bertuliskan keterangan bahwa tempat itu di sewakan. "Iya bener nih, ini tempatnya." wajah Sisca langsung sumringah, ia segera melepas seat belt dan melangkah turun. Rizal tersenyum, bergegas mengikuti langkah Sisca turun dari mobil. Ia berdiri di samping Sisca yang nampak sibuk memotret lokasi, baik ruko itu sendiri maupun sekitarnya. "Bos kamu kekurangan uang? Kok pakai mau buka cofe shop segala?" Rizal tidak habis pikir, dia direktur utama sebuah perusahaan tekstil dan dia malah mau buka warung kopi? Kenapa tidak buka butik saja? Kan masih satu lingkup dengan perusahaan yang dia pegang. "Pelebaran sayap katanya, kan itu perusahaan milik bapaknya, dia mau punya usaha dia sendiri." Sisca tersenyum getir, masa iya sih dia mau cerita kalau sebenarnya dia dimodali Arnold supaya bisa punya perusahaan sendiri dan bisa sedikit 'terlihat' di mata orang tuanya agar bisa Arnold nikahi? Gila a
“STOP!” pekik Sisca dengan nafas terenggah, kancing bagian atas kemejanya sudah terbuka, menampilkan belahan dadanya dengan begitu indah.Nampak wajah Rizal yang sudah memerah menahan gairah itu tampak kecewa, ia sontak menarik tangannya yang sudah menyusup ke dalam rok Sisca, terlebih ketika sedetik kemudian tangis Sisca meledak.Dia memang sudah kotor, sudah rusak dan koyak, namun itu bukan berarti dia lantas bisa dengan begitu mudah di tiduri laki-laki lain, meskipun dia kekasihnya sendiri. Rizal menghela nafas panjang, menyingkir dari atas tubuh Sisca lantas mengusap wajahnya dengan kasar.“Maafkan aku, Sayang.”Sisca membiarkan air matanya menitik, ia segera mengancingkan kemejanya dan merapikan rambutnya sudah setengah berantakan itu. Tidak! Apapun yang sudah terjadi antara dia dan Arnold, tidak boleh membuatnya menjadi wanita yang bisa dengan begitu mudah digagahi oleh sembarang laki-laki.“Lebih baik kamu pulan
"Jadi bisa ya, Pak untuk desain seperti yang saya minta? Kira-kira untuk biaya bisa DP dulu atau bayar full di muka?"Sisca mengetuk-ngetuk pulpen di meja, sementara ponsel itu masih setia menempel di telinganya. Sisca tengah menghubungi seorang interior designer untuk coffe shop-nya."Bisa DP dulu, Bu. Nanti pelunasannya bisa ketika semua selesai. Kapan saya bisa ke lokasi untuk mengukur kondisi lapangan?"Sisca mendengus, dia sedikit kesal dengan panggilan 'ibu', tapi mau bagaimana lagi? Terkadang orang memanggil dengan panggilan ibu atau bapak adalah semata-mata memberi hormat kepada orang yang dia ajak bicara, bukan?"Mungkin lusa, Pak. Untuk DP nanti saya transfer ke nomor rekening Bapak." Sisca segera mencatat inti-inti obrolan dan beberapa ide lain yang tiba-tiba muncul di kepalanya perihal coffe shop-nya nanti."Baik, kalau begitu saya tunggu kabarnya, Bu. Senang bisa bekerja sama dengan Ibu.""Sama-sama, Pak. Nanti saya
"Pokoknya aku yang antar kamu, aku yang harus kenal sama keluarga mu, bukan dokter itu!" gerutu Arnold ketika dia dan Sisca berada di ruko mengawasi para pekerja memasang desain sesuai yang Sisca inginkan.Sisca memutar bola matanya dengan gemas, kurang dua hari lagi Sisca harus kembali ke Semarang, dimana akan ada pesta pernikahan sepupunya dan sang papa sudah berulang kali menelepon memintanya pulang membawa serta calon menantu untuknya."Awas kalau nanti dia yang kamu ajak pulang, aku ngamuk!" imbuhnya sambil menjatuhkan diri di kursi plastik. "Lagian mau sampai kapan sih kamu menduakan aku kayak gini? Kenapa nggak bilang terus terang?"Sisca menepuk jidat berulang kali, sungguh laki-laki satu itu benar-benar cerewet dan rewel sekali. Ia bergegas melipir menjauhi laki-laki yang masih nampak mengomel tidak henti-henti."Sayang! Aku ngomong nih!" teriak sosok itu ketika sadar Sisca sudah berada cukup jauh darinya."Ya, aku
Sepanjang perjalanan pulang dari restoran Sisca hanya bungkam duduk di joknya sambil bersandar. Arnold sesekali menoleh dan menatap pujaan hatinya itu. Kenapa rasanya ia tidak suka melihat Sisca yang tampak syok dengan fakta yang baru saja Arnold ungkapkan perihal kekasih Sisca? Apakah cinta itu sudah tumbuh di dalam hatinya? Atau bagaimana?“Ehem!” Arnold berdehem, membuat Sisca sontak menoleh dan menatap heran kearahnya.“Heran deh, kenapa sih murung begitu? Sedih tahu pacarmu ternyata gay?” guman Arnold yang tampak begitu tidak suka dengan reaksi Sisca.“Bukan begitu!” tukas Sisca cepat, ia tahu Arnold pasti cemburu. “Aku Cuma nggak habis pikir aja, ternyata dia bisa melenceng sejauh itu, padahal ....”“Apa? Padahal dia kemarin hampir menidurimu?” potong Arnold kesal, rasanya dia ingin menghajar laki-laki itu dan melarangnya kembali menemui Sisca.Sisca menghela nafas kasar, susah meman
“Eh sudah keren belum nih bajunya?”“Atau perlu kita custom khusus gitu? Couple-an?”“Rambutku bagusnya dipotong model apa nih?”“Sepatunya perlu beli baru nggak?”“Bawa oleh-oleh apa?”Sisca melonggo, ia sontak mendekati Arnold yang berdiri di depan lemari bajunya, telapak tangan Sisca melayang, menyentuh dahi Arnold dan menatapnya dengan begitu serius. Membuat Arnold terkejut dan membeku di tempatnya berdiri.“Ada apa?” tanya Arnold begitu tersadar dari rasa terkejutnya.“Nggak panas.” Ujar Sisca lantas menarik tangannya kembali.“Memang!” Arnold mendengus kesal, Sisca mulai lagi! “Kau pikir aku kenapa?”“Aku pikir kamu demam, makanya nerocos mulu.”Arnold membulatkan matanya, ia sontak mendorong tubuh Sisca hingga jatuh ke atas ranjang, mengunci dan menindih tubuh itu di bawah kungkungan tubuh
“Sis, calonmu sekeren ini dan selama ini kamu diam-diam saja?” Rini setengah berbisik, namun Arnold bisa mendengar suara calon ibu mertuanya itu, membuat senyumnya makin lebar dan kepalanya membesar.“Ah ... mama! Biasa aja kali!” Sisca mencebik, sudah dia tebak bahwa semua anggota keluarganya pasti akan heboh seperti ini.“Biasa gimana?” Rini membelalakkan matanya, “Lihat wujudnya! Kayak artis Korea, Sis!”Sisca memutar bola matanya dengan gemas, menoleh dan menatap sang mama dengan tatapan gemas.“Please deh, Ma ... jangan kenceng-kenceng ngomongnya.” Sisca melirik sekilas Arnold yang tengah mengobrol dengan sang papa itu. “Dia bisa ke-PD-an nanti.”Rini tersenyum simpul, “Emang faktanya kan begitu, Sis. Jadi kapan kalian nikah?”Sisca melonggo. Salah satu alasan yang membuatnya malas pulang ke rumah adalah mendapat pertanyaan itu. Kapan nikah? Astaga, sean
"Bagi ajian jaran goyang atau semar mesem mu dong, Sis."Sisca sontak melotot tajam dengan mulut setengah terbuka, nampak Gladys, sepupunya itu tersenyum dengan mata membuat ke arahnya. Ajian jaran goyang? Semar mesem? Apa-apaan?"Gemblung, ajian apaan?" Sisca setengah berteriak, matanya melotot gemas ke arah Gladys yang masih cengar-cengir sambil memainkan ujung kebaya ungu yang corak dan warnanya seragam dengan yang Sisca kenakan."Ajian biar bisa gaet oppa-oppa Korea kayak pacar Mbak Sisca itu."Sisca sontak lemas, sejelek itukah dirinya sampai Gladys mengira dia menggaet Arnold dengan ajian perdukunan. Tidak tahu saja Gladys bahwa Arnold mengejar dirinya sampai rela melakukan segala cara. Dibilang pakai ajian jarang goyang? Jarang goyang mbahmu!"Edan aja! Nggak pakai gituan aja dia setengah gila, gimana kalau aku pakai gituan?" Sisca mencebik, ia hendak pergi ketika Gladys mencekal tangannya."Mbak! Jangan pergi