“Kira-kira si Mauryn mau ngapain tuh anak, ya? Kasihan sih, tapi mau gimana lagi? Kalau kita ikut campur, entar dikira berkhianat sama teman sekelas sendiri,” ucap Zain. Dia dan Kevin juga ikut menyaksikan kejadian langka di koridor tadi. Tadinya mereka heran kenapa tiba-tiba Mauryn mencari masalah dengan anak IPS saat di koridor tadi, tapi setelah beberapa anak lain memberitahu mereka perihal kejadian kemarin, Zain dan Kevin mengerti. Baru kali ini ada siswi anak IPS pula, berani melawan seorang Mauryn. Jelas saja Mauryn tak akan tinggal diam.
Tak lama kemudian, Satria masuk ke kelas. Dia duduk di kursinya dengan santai sambil memegang handphone.
“Eh, Sat. Lo darimana aja? Ah, lo udah ketinggalan kejadian menghebohkan tadi,” celetuk Kevin. Satria melirik sekilas. Berita apapun itu, dia sama sekali tak perduli.
“Bener tuh, Sat. Tahu gak? Ada cewek anak IPS yang ngebentak Mauryn, lho,” ujar Zain.
“Bukan cuma ngebentak, katanya sih dia juga berani ngela
“To–tolong!” Aletta melambai-lambaikan tangannya ke permukaan. Dadanya sesak karena banyaknya air yang masuk melalui hidungnya. Dalam upaya Aletta berteriak minta tolong, dia sempat melihat sekilas seseorang di ujung sana. Satria. Orang itu seperti Satria.“Aletta!” teriak Raka yang langsung berlari secepat kilat mendekati kolam dan ikut menceburkan diri di sana, menyelamatkan gadis itu.“Al, lo gak papa, 'kan?” tanya Raka setelah berhasil membawa Aletta ke permukaan. Gadis itu menggeleng dengan seragam basah kuyup dan tubuh menggigil. Matanya mengarah ke ujung sana dan ... benar! Itu memang Satria. Lelaki itu berdiri seraya menatapnya datar. Aletta tersenyum miris dalam hati. Dia benar-benar bodoh karena sekelebat sempat membayangkan jika
Anna yang saat itu tengah memotong sayuran untuk membuat makan siang, menoleh pada ponselnya yang bergetar di meja. Wanita itu mencuci tangannya terlebih dulu, mengelapnya dengan serbet, baru berjalan mengambil ponselnya lagi serta mengangkat telponnya.‘Ya, hallo. Betul, dengan saya sendiri.’‘APA?! Baik-baik. Saya ke Rumah sakit sekarang.’Setelah menutup telpon, Anna segera bergegas melangkah keluar rumah. Dia sempat menghubungi Aletta, tapi ponsel putrinya itu malah tidak aktif. Jelas saja! Anna sama sekali belum tahu kalau ponsel Aletta sudah rusak dan belum diperbaiki. Aletta sendiripun tidak sedikitpun memberitahunya kemarin.“Aduh, Aletta. Kamu di mana lagi? Kenapa telponnya gak aktif?” gumam
“Gerald! Ya Tuhan, kenapa kamu bisa kaya gini sih, Nak?” tanya Anna seraya mendekap tubuh putranya itu yang terbaring di brankar dengan mata terpejam. Air matanya meluruh deras tanpa pertahanan.“Apa Nyonya ini Ibu pasien?” tanya seorang Dokter. Anna mendongak dan mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter barusan.“Sebenarnya apa yang terjadi pada putra saya, Dok? Kenapa dia bisa seperti ini? Apa ada luka parah sampai membuatnya belum bangun juga?” Pertanyaan beruntun itu spontan langsung dilontarkan Anna.
Anna menyerahkan sebuah map berisikan sertifikat rumahnya kepada seorang pria berjas yang duduk di depannya sekarang. Pria itu membuka map tersebut kemudian membacanya dengan teliti. Sedetik kemudian, matanya beralih pada Anna.“Berapa yang Nyonya butuhkan?” tanyanya pada Anna.“50 juta.”Pria itu nampak berfikir sejenak. Tak lama kemudian, dia mengangguk setuju.“Baik. Aku akan berikan uangnya, tetapi kau tentu tahu 'kan peraturan jika menggadaikan rumahmu ini padaku? Jika selama satu bulan kau tidak bisa membayarnya, rumahmu akan jadi milikku.”Anna menghela nafas sebentar. “Tentu, Pak. Saya usahakan dalam sebulan ke depan, uang Bapak
Setelah menunggu hampir lima jam lamanya, akhirnya operasi Gerald selesai juga. Dokter mengatakan jika operasinya berjalan sangat lancar dan kondisinyapun kini mulai berangsur stabil.“Apa saya bisa melihat keadaan putra saya, Dok?” tanya Anna kepada Dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasi.“Kami akan memindahkan pasien ke ruang perawatan terlebih dulu, baru setelah itu pasien sudah bisa dijenguk,” jawab Dokter tersebut menjelaskan. Anna mengangguk paham. Dokter itupun kemudian pamit pergi.“Alhamdulillah. Terimakasih, Ya Allah. Terima kasih ...,” ucap Anna penuh syukur.***Raka duduk di mobilnya seraya memainkan game online di han
***“Ibu.”Anna yang sedang duduk di kursi tunggu menoleh. Dilihatnya Aletta yang berjalan pelan menghampirinya.“Sayang, kamu darimana aja sih, Nak? Lama sekali!” tanya Anna.Aletta terdiam. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya habis melakukan transfusi darah untuk orang lain. Tidak! Ibunya pasti akan merasa khawatir nantinya.“Maaf, Bu. Tadi di jalannya macet.”Anna menghela nafas. “Yasudah, tidak papa. Kamu sudah makan?” tanyanya. Aletta menggeleng.
Setelah kejadian Raka memergokinya berduaan dengan Satria tadi pagi, Aletta jadi serba salah sekarang. Bahkan, untuk sekedar mengajak lelaki itu bicara dia jadi canggung. Raka sendiri jadi lebih dingin dan pendiam dari biasanya. Dari pagi saat bel masuk sekolah sampai menjelang istirahat seperti sekarang.***“Al, lo berantem ya sama Raka?” tanya Kanaya. Kedua dara cantik itu sedang makan siang di kantin. Biasanya jika sedang makan berdua begitu, Raka akan tiba-tiba datang dan ikut bergabung bersama mereka, tetapi hari ini tidak. Malahan, Raka lebih memi
“Aww ... aduh, Nay. Pelan-pelan dong!” keluh Aletta kepada Kanaya yang saat ini tengah membersihkan lukanya dengan obat merah. Gadis itu menggigit bibirnya menahan perih. Sebenarnya itu harusnya petugas UKS, tetapi Aletta menolak dan mengatakan ingin diobati oleh temannya saja.“Tahan dikit napa sih? Berisik!”Aletta mengerucutkan bibirnya. “Sakit tahu!” sahutnya. Kanaya hanya memutar bola matanya.Setelah selesai membersihkan luka Aletta dengan obat merah dan kapas, selanjutnya Kanayapun memberikan plester pada kedua lutut sahabatnya tersebut.“Nah, udah deh. Selesai.” Kanaya bergerak merapihkan kembali kotak P3K itu, kemu