“Aku juga harus ikut?” Gladys bertanya disela-sela makan malam antara dirinya dengan Keenan. Pasca malam itu hubungan mereka semakin dekat. Tanpa disadari Gladys sudah menaruh hati pada laki-laki itu. Begitu pun sebaliknya, sepertinya Keenan juga menaruh hati pada Gladys.
Keenan hanya mengangguk sambil menyantap hidangan makan malamnya.
“Kenapa harus aku? Kenapa nggak Mas Erza?” tanya Gladys bingung.
“Sudahlah, aku penginnya kamu. Jadi menurut saja.” Jawaban Keenan tidak memecahkan masalah bagi Gladys.
Memang, Gladys sering menemani Keenan untuk tugas perjalanan dinas keluar kota. Tapi kali ini rasanya berbeda. Tadi Keenan mengatakan, bahwa akan menyusun proyek baru dan hanya orang-orang terpilih saja yang bisa menemaninya. Entah siapa saja orang-orang terpilih itu, tapi Gladys adalah salah satunya.
“Jangan beritahu apa pun pada Erza. Kamu diam saja dan ikuti perintahku,” tandasnya.
Gladys pun
Gladys merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran king size. Dia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Pikirannya kini mulai berkelana, memikirkan banyak hal. Dia menarik napas dalam. Ternyata keluarga Keenan menyimpan banyak misteri.Pasca Keenan menceritakan sedikit tentang keluarganya, diam-diam Gladys mencari informasi tentang Wardhana Grup. Walau pun tak banyak yang dia dapatkan. Tapi dia bisa menyimpulkan satu hal. Kemungkinan besar Andrean —ayah Keenan— meninggal karena mempertahankan file yang ada di dalam hard disk itu.“Ternyata file itu benar-benar penting. Wajar saja Keenan mengerjakan ini sendirian.” Gladys memijit keningnya, dia merasa sedikit pusing. “Tapi apa benar Pak Adrian lah yang mengincar file tersebut? Rasanya tidak mungkin,” imbuhnya.“Ah ….” Gladys mendesah. Dirinya semakin penasaran dan ingin mencari tahu lebih dalam mengenai kejadian lima belas tahun lalu
Saat ini baik Keenan atau pun Gladys, sedang sama-sama penasaran dengan masa lalu diantara mereka. Lima belas tahun lalu ternyata mereka memiliki masa-masa yang sulit. Tapi kenapa Gladys bisa sesantai itu sekarang? Apa karena dia kehilangan ingatannya? Ah, Keenan merasa iri pada gadis itu. Sepertinya lebih baik dia juga hilang ingatan. Agar dia tidak merasakan luka dari masa lalunya, yang masih membekas dengan jelas di hati dan juga ingatannya.“Kamu kenapa lihat aku begitu?” tanya Gladys yang merasa sedang diawasi oleh Keenan.Iya, sedari tadi memang Keenan menatap Gladys.“Oh … nggak. Ngomong-omong, Gladys,” panggil Keenan dan Gladys hanya menarik sudut bibirnya, menyahut panggilan dari Keenan. “Kamu yakin tidak memiliki trauma?” tanya Keenan lagi. Dia ingin mencoba memancing Gladys. Baginya, mana mungkin sebuah trauma bisa dilupakan begitu saja.“Kenapa bertanya itu lagi? Trauma apa, sih? Aku nggak punya
Gladys melangkahkan kakinya menuju lantai dua rumah Keenan. Dia memutuskan untuk pulang selepas bertemu dengan Giselle. Dia enggan untuk kembali ke kantornya. Biarlah Keenan marah padanya, lagipula Gladys tak peduli dengan laki-laki yang sudah berani mengusik privasinya.Sesampai di kamarnya, Gladys langsung melempar tas sembarang lantas menghempaskan tubuhnya ke kasur. Sambil memejamkan matanya dia mencoba menenangkan pikirannya.Hari ini sungguh melelahkan bagi Gladys. Kepalanya terasa akan pecah karena sedari tadi berdenyut kencang. Gadis itu kembali mengingat masa lalunya. Dia tidak lupa dengan trauma yang dia derita, tapi dia berusaha melupakannya. Sampai akhirnya dia bisa hidup dengan tenang.Ya, Gladys memang memiliki trauma dengan seorang laki-laki. Tapi … ia tak tahu apa penyebabnya. Saat kecil dia mendapatkan pengobatan dari seorang psikolog di kotanya, sampai akhirnya dia benar-benar sembuh tiga tahun kemudian.Sempat Gladys bertanya pad
“Tidak usah kasar padanya, Keenan!” Suara itu sontak membuat Keenan menoleh dan menghentikkan aksinya. Sedangkan Gladys yang tadi sedang terpejam, langsung membuka matanya perlahan.Laki-laki itu menarik tangan Keenan ,agar Keenan beranjak dari posisinya yang sedang berada di atas Gladys. “Seharusnya aku tidak menuruti perintahmu, jika akhirnya Gladys jadi korbanmu lagi!” Ternyata laki-laki itu adalah Erza. Dia datang di waktu yang tepat.Gladys memandangi dua laki-laki itu secara bergantian. Ada apa ini? Keenan merencanakan apa padanya?“Ngapain kamu ke sini?” tanya Keenan sambil menyentak. Beraninya Erza menghalangi dirinya.“Menyelamatkan Gladys. Aku yakin, kamu akan marah padanya!” timpal Erza.“Hah? Menyelamatkannya? Kamu mau jadi pahlawan kesiangan lagi untuknya? Cih!” Keenan meludah sembarang di depan Erza.Erza tak memedulikan Keenan, dia langsung menghampiri Gladys yang nam
“Shit! Kenapa semua orang selalu ikut campur urusanku?” geram Keenan frustrasi. Dia memikirkan motif Erza yang tiba-tiba mengadukannya pada ibu tirinya itu. “Berengsek! Awas saja kalau kamu punya motif tersembunyi, Erza!” Dan malam ini Keenan lewati dengan perasaan marah yang menjalar hampir di sekujur tubuhnya. Keesokan harinya dia berangkat ke kantor diantar oleh Pak Toni, supir pribadinya. Kemarin malam Giselle mengirimkan pesan, bahwa Gladys tak bisa untuk masuk kantor. Itu salah satu alasan Keenan memberang. Padahal urusan dengan gadis itu belum selesai, tapi dia tak bisa bertemu dengannya. Sialan! Memang ini gara-gara Erza. Sesampainya di tempat kerjanya, Keenan langsung menuju ruang kerjanya. Dia melihat sosok Erza yang sudah stand by di posnya. Laki-laki itu nampak sibuk membaca berkas. “Erza,” panggil Keenan. Sontak laki-laki itu mendongak ke arah laki-laki yang berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Ya?” Buru-buru Erza berdiri dan memberikan
“Biar aku bawa Gladys pulang ke rumah!” Terdengar sayup-sayup suara seorang laki-laki saat Gladys mulai membuka matanya perlahan.“Biar dia di sini dulu. Kondisinya belum stabil!” sentak seorang perempuan yang berdiri di hadapan laki-laki itu. Gladys bisa melihat kedua orang tersebut sedang berdebat. Walau pandangannya itu masih sedikit kabur.“Ma, di sini pun kondisi dia tidak berubah menjadi lebih baik. Lihat, dia ping—” Laki-laki itu menghentikkan ucapannya saat melihat ke arah Gladys yang sudah membuka matanya. Buru-buru dia menghampiri Gladys dengan wajah yang khawatir. “Gladys, kamu sudah sadar?” tanyanya.‘Ada apa ini? Kenapa ada Keenan? Kenapa juga mereka berdebat?’Gladys melirik secara bergantian ke arah Keenan dan Giselle. Dia masih belum sadar dengan apa yang menimpanya tadi siang.“Gladys, apa yang sakit? Bilang sama Tante,” ucap Giselle yang tak kalah khawat
“Hai, kamu Keenan, kan? Kamu masih mengingatku?”Mimpi apa Keenan semalam? Kenapa dia malah bertemu dengan perempuan menyeramkan ini? Seketika laki-laki itu mematung, darahnya pun seolah membeku. Dia benar-benar tidak bergerak sedikit pun. Matanya menatap takut perempuan yang umurnya mungkin sekitar empat puluhan.“Apa kabar?” tanya perempuan itu lagi. Tatapannya itu seolah mengintimidasi Keenan.“Maaf, Bu. Anda siapa? Dan ada keperluan apa?” sela Gladys sambil menghalangi perempuan itu.Tatapan perempuan itu berpindah, kini menatap Gladys. Dia memandang Gladys dari atas sampai bawah. Jujur, di sana Gladys merasa risih dengan sikap perempuan yang tidak dia kenali.“Saya? Saya Monica. Keperluannya? Saya hanya ingin melihat Keenan, memastikan anak ini baik-baik saja,” jawabnya dengan nada sedikit mendesah.Ah, sungguh menjijikan! Perempuan yang sudah berumur berucap demikian. Gladys mendeng
“Apa-apaan main ngancem! Memangnya dia siapa, huh? Mentang-mentang orang kepercayaan Keenan jadi seenaknya. Ish!” Gladys merutuki Excel sambil berjalan menuju mobil. Di sana Toni sudah menunggu untuk bertugas seperti biasa.“Mas Keenan nggak berangkat, Mbak?” tanya Toni yang hanya melihat Gladys berjalan sendirian, dengan wajah masamnya.Gladys menghela napas. “Nggak, lagi gak enak badan katanya. Pak Toni tidak keberatan untuk mengantar saya ke kantor, kan?” tanya Gladys segan.“Tidak apa-apa, Mbak Gladys. Jangan sungkan seperti itu. Mari saya antarkan.” Toni mempersilakan Gladys untuk memasuki mobil. Kemudian mereka segera berangkat menuju tempat kerjanya.“Pak Toni,” panggil Gladys. Sepertinya ini waktu yang tepat baginya untuk bertanya.“Ya, Mbak?” sahutnya sambil melirik ke arah spion di atasnya.&