Masuk“Hanya segitu kemampuanmu, dr. Bagas?!” desah wanita itu terengah, jemarinya mencengkeram seprai. “Ta–tapi ini salah, Nyonya… aku seharusnya tidak—” Dipecat karena tuduhan malpraktik dan dihancurkan oleh pengkhianatan tunangannya, dr. Bagaskara kehilangan segalanya dalam semalam. Saat hidupnya berada di titik terendah, sebuah tawaran misterius datang: menjadi terapis di klinik khusus wanita milik Madame Renata—tempat yang konon mampu menyembuhkan luka… dengan cara yang tak lazim. Namun, dari balik aroma terapi dan cahaya temaram ruang perawatan, Bagas justru terseret dalam dunia yang menggoda dan berbahaya. Setiap sentuhan menjadi ujian, setiap pasien menyimpan rahasia, dan setiap sesi terapi bisa saja membuatnya kehilangan kendali—baik sebagai dokter, maupun sebagai pria.
Lihat lebih banyak“Kau dipecat, dr. Bagaskara.”
Suara lantang dari ketua komite etik rumah sakit membuat Bagaskara terdiam. Ia berdiri dengan tubuh yang kaku. Jemarinya menggenggam map laporan medis yang isinya sudah ia hafal di luar kepala. Ia dituduh lalai dalam mengerjakan tugasnya. Seorang pasien meninggal dunia akibat kekeliruan resep yang ia berikan. Tidak ada bantahan keluar dari mulut Bagas. Laporan hasil lab menjadi bukti kuat atas kelalaiannya. Dua minggu lalu, ia ingat dan yakin jika obat dan resep yang ia berikan benar. Ada kejanggalan di sini. Namun tidak ada yang bisa ia lakukan, semua bukti menguatkan tuduhan itu. Bagas tertunduk dengan wajah kecewa. Ia sempat melirik ke sudut ruangan. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian elegan, Madame Renata, duduk sebagai salah satu anggota dewan kehormatan. Ia tampak tersenyum saat putusan pemecatan Bagaskara dijatuhkan. Sidang selesai, semuanya bubar. Bagas berjalan keluar meninggalkan gedung rumah sakit yang kini bukan lagi rumahnya. Jas putih tergenggam di tangannya. Ia menerima amplop pesangon, jumlah yang tidak sepadan dengan karirnya yang hancur hari ini. Langit mulai mendung, gerimis perlahan jatuh mengiringi langkahnya menuju ke apartemen. Apartemen yang ia beli atas nama kekasihnya, Tania. Dua bulan lagi mereka dijadwalkan akan menikah. “Apa yang harus aku katakan pada Tania?” batinnya lirih. Bagas sadar, kehancuran karirnya hari ini mungkin akan mengecewakan Tania. Apalagi mereka akan menikah dua bulan lagi. “Bagaimana ini?” Ia benar-benar kehilangan arah. Bagas langsung mempercepat langkahnya. Ia ingin segera di tiba di apartemen. Tania adalah satu-satunya rumah yang ia pikir dapat menggenggam luka ini bersama. Bagas akhirnya tiba di sana. Bajunya sedikit basah akibat gerimis yang sedari tadi seolah menertawakannya di luar. Tangannya terangkat ingin mengetuk, namun berhenti di udara. Raut wajahnya langsung berubah, rahangnya mengeras, darah mendidih di ubun-ubunnya. Samar, ia mendengar suara desahan Tania dan tawa laki-laki dari dalam. Desahan yang terdengar sangat manja, bahkan lebih manja dari yang selama ini ia dengar. “Tania! Buka!” Bagas menggedor pintu dengan kasar hingga menimbulkan suara yang begitu nyaring. “Buka, Tania!” Samar dari dalam terdengar langkah kaki mendekat. Pintu perlahan terbuka. “Kau!” Darahnya mendidih, jantungnya berdetak kencang. Seorang lelaki yang ia kenal berdiri di depan pintu dengan senyum penuh kemenangan. Dr. Yanuar, rekan sejawat Bagas. Jas yang sedari tadi ia genggam jatuh, saat melihat Tania di dalam dengan keadaan yang hampir tanpa busana. “Apa yang kau lakukan disini, bajingan?” Bagas mencengkeram leher Yanuar, namun dengan cepat ditepis dan di dorong ke belakang. Yanuar terkekeh pelan. Ia berjalan masuk ke dalam dan duduk di sebelah Tania yang masih di sofa. Sambil mengecup pipinya pelan, Yanuar berkata. “Lihatlah Tania, itu calon suami yang kau bangga-banggakan dulu?” Bagas semakin geram, tangannya mulai mengepal. “Dia hanya dokter sampah, dia pembunuh.” Yanuar kembali menoleh ke arah Bagas. “Dasar dokter gadungan,” katanya pelan namun begitu menusuk jantung Bagas. Bagas tercengang, dia kaget sekaligus heran. “Kau… dari mana kau tau itu?” Yanuar sama sekali tidak pernah ada di rapat komite. Bagaimana ia tahu semua ini? Yanuar kembali bangkit namun kini sambil merangkul pinggang mulus Tania. “Haha. Bagas, Bagas, kau memang pantas seperti ini. Dan Tania…” ia melirik ke arah gadis itu sambil mengelus pipinya. Lalu kembali menoleh ke arah Bagas dengan senyum licik di bibirnya. “Dia pantas mendapatkan yang lebih baik dari sekedar sampah sepertimu.” Darah Bagas langsung mendidih, kesabarannya telah habis. Ia langsung menerjang dan menghajar Yanuar. Namun sayang, postur tubuh yang jauh berbeda membuat Bagas babak belur disana. “Tania…” lirih Bagas sambil meringkuk di lantai menahan sakit. Namun wanita itu hanya tersenyum puas, seolah hubungan mereka selama ini tidak ada artinya. “Benar kata Yanuar. Kau sampah, Bagas.” Kata-kata itu begitu menyakitkan menembus relung hati Bagas. Hari ini, ia telah ditinggalkan oleh karirnya. Tania satu-satunya harapan Bagas untuk bertahan. Namun, harapan itu kini kembali di hempaskan. Dengan tega, Tania mengucapkan kalimat yang jauh lebih pedih daripada sayatan pedang. “Keluar!” bentak Tania. Bagas hanya bisa pasrah saat Yanua menyeret dan melemparnya keluar dari apartemen yang ia beli susah payah demi Tania. Namun kini, yang menikmatinya malah orang yang berbeda. Sebelum kembali menutup pintu, Tania berteriak dengan lantang. “Kau pikir aku mau menikah dengan pecundang sepertimu, Bagas? Pecundang yang bahkan tidak mampu menjaga pekerjaannya sendiri.” Kata-kata itu begitu menusuk, apalagi keluar dari mulut wanita yang selama ini ia perjuangkan. “Pergi!” bentaknya kembali. “Sudah sayang, jangan rusak kecantikanmu untuk memarahi sampah seperti dia.” Yanuar kembali merangkul pinggang Tania. Membuat hati Bagas semakin berdarah. Tania tersenyum, senyumnya begitu manis. Namun, bagi Bagas senyuman itu begitu pahit—karena kini bukan lagi ditujukan untuknya. “Pergilah pecundang, kau mengganggu saja!” Brak! Pintu ditutup dengan keras hingga udara menampar wajah Bagas. Samar dari dalam suara tawa dan desah halus kembali terdengar. Bagas berdiri mematung sejenak di depan, lalu membungkuk mengambil jas putih yang kini tidak lagi ada harganya. Sebelum pergi, Bagas menatap kembali pintu apartemen itu—apartemen yang menjadi saksi antara luka dan perjuangannya. Bagas melangkah meninggalkan tempat yang seharusnya akan dia huni bersama Tania kelak. Di luar, hujan semakin deras. Setiap rintik yang menetes di bahu seolah terus menertawainya. Ia berjalan pelan sambil sesekali terhuyung. Semua dunianya hancur hari ini. Semua harapan yang dia pupuk selama ini gugur seketika. Memar di wajah, lebam di tubuh tidak seberapa dibandingkan rasa sakit hati yang ia alami saat ini. Dari kejauhan, suara deru mobil terdengar. Bagas berhenti saat sedan hitam menepi di depannya. Kaca jendela turun, wajah yang tidak asing terlihat di sana—Madame Renata. “Aku turut prihatin atas pemecatanmu, Bagas. Dunia medis kadang tidak selalu adil untuk orang jujur sepertimu,” ucap Ranata manis, menatap Bagas dengan senyum tipis. “Kalau anda hanya ingin mengasihani saya, pergi saja. Saya tidak butuh itu.” Bagas berjalan melewatinya, ia sama sekali tidak peduli. “Aku tidak mengasihanimu. Aku hanya sedang mengambil apa yang sudah menjadi milikku sejak awal.” Kata-kata itu membuat Bagas berhenti, dan kembali menoleh. “Ambil ini.” Madame Renata memberikan sebuah kartu nama berlogo Re:Vive — Klinik Rehabilitasi untuk Para Istri. Renata tersenyum, tatapannya begitu tajam dan penuh makna ke arah Bagas. “Datanglah kesana. Kau akan bekerja untukku. Kau akan menyembuhkan mereka dengan cara yang tidak pernah diajarkan di tempat manapun.” Setelah menyerahkan kartu tersebut, Renata kembali pergi meninggalkan Bagas di ujung jalan dengan tanda tanya di kepala.Sementara Helena, ia terus saja mengikuti Bagas hingga ke dalam ruangannya. Bagas mendengus kesal, ini cukup mengganggu baginya.“Kenapa kamu harus ke sini, sih? Kalau memang ada perlu, kan kita bisa bicara nanti,” kata Bagas sambil duduk di balik meja kerjanya.Helena tersenyum, ia ikut bersandar di meja sambil tangannya melingkar di leher Bagas.“Aku kangen,” katanya manja.“Iya, tapi kan bisa nanti saja. Aku ada pasien hari ini.”“Hmm!”Helena menghela napas berat, ia menarik tangannya. Wajahnya langsung murung dan cemberut.Bagas menarik napas dalam-dalam, ia mengusap wajahnya kasar. Ia bangkit dan memegang pipi Helena.“Helena, nanti kita bicarakan, ya? Ini di klinik, loh. Apalagi sebentar lagi aku ada pasien.”Bagas dengan lembut mengelus pipi wanita itu. Ia juga mengecup bibirnya pelan. Hingga akhirnya Helena kembali tersenyum dengan pipi yang merona.“Ya udah.”Akhirnya Helena mengalah.“Nanti malam kita ketemu, ya. Ada sesuatu yang penting yang mau aku bicarakan. Tentang Yanu
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah ventilasi kontrakan sederhana itu, menyapu wajah Bagas yang masih terlelap. Ia mengerjap pelan, tangannya secara refleks meraba sisi tempat tidur, namun ia hanya menemukan sprei yang sudah dingin.Bagas segera membuka mata sepenuhnya dan mencium aroma harum nasi goreng serta bawang putih yang digoreng, memenuhi ruangan sempit tersebut. Ia menoleh ke arah dapur kecil dan mendapati Mayra sudah rapi mengenakan pakaian santai, rambutnya dicepol asal-asalan, sedang sibuk di depan kompor.Bagas bangkit, hanya mengenakan celana panjangnya yang sempat berserakan semalam. Ia berjalan tanpa suara dan tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggang Mayra dari belakang."Ehh! Dok, udah bangun?" Mayra tersentak kecil, namun sedetik kemudian ia menyandarkan kepalanya di bahu Bagas dengan senyum malu-malu.“Jangan panggil Dok, kita tidak sedang di klinik,” jawab Bagas sambil mempererat pelukannya.Mayra hanya tersenyum lembut, ia mengangguk pelan
Setelah badai gairah yang meluap-luap itu mereda, keheningan yang damai menyelimuti kamar kontrakan sempit tersebut. Bagas tidak segera beranjak, ia menarik tubuh mungil Mayra ke dalam pelukannya, menyelimuti mereka berdua dengan kain sprei tipis yang masih tersisa di atas ranjang.Mayra menyandarkan kepalanya di dada bidang Bagas, mendengarkan detak jantung pria itu yang perlahan mulai kembali normal. Aroma maskulin yang bercampur dengan sisa-sisa pergumulan mereka membuat Mayra merasa begitu aman. Tanpa sadar, rasa lelah yang luar biasa setelah pertama kali merasakan pengalaman tersebut membuat kelopak matanya terasa berat.Bagas pun demikian. Ia mengelus lembut rambut Mayra yang masih sedikit basah oleh keringat, hingga akhirnya napas keduanya menjadi teratur. Mereka terlelap dalam pelukan hangat, seolah dunia di luar sana berhenti berputar hanya untuk mereka berdua.Hening malam di tempat itu sempat terganggu oleh suara kucing yang melompat di atas atap seng, membuat Bagas perlaha
Bagas terdiam sejenak, membiarkan matanya menjelajahi setiap inci kemolekan alami yang terpampang di depannya. Mayra, dengan wajah yang sudah merah padam hingga ke telinga, mencoba menutupi dadanya dengan tangan yang gemetar. Namun, Bagas dengan lembut meraih tangan itu, mengecup telapak tangannya, dan meletakkannya kembali di sisi tubuhnya."Jangan disembunyikan, Mayra... Kamu sangat sempurna," bisik Bagas dengan suara yang serak dan berat.Mayra tersenyum dengan pipi yang merona. Ia sendiri bingung apa yang ia rasakan kini. Ada rasa malu, senang, sedih. Semuanya bercampur aduk menjadi satu.Bagas kemudian mulai melepaskan pakaiannya sendiri satu per satu dengan gerakan yang sangat tenang, seolah ingin memberi waktu bagi Mayra untuk mempersiapkan diri. Ketika kemeja dan celana Bagas akhirnya terlepas sepenuhnya, mata Mayra yang semula sayu mendadak melebar sempurna.Ia terkesiap, napasnya seolah tertahan di kerongkongan. Pandangannya terpaku pada kejantanan Bagas yang kini berdiri te






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasanLebih banyak