"Mengenalmu seperti takdir baru yang Tuhan sematkan padaku. Mungkinkah aku mengabaikannya, sedang itu terlalu sayang untuk dilewatkan!"
—Yasmin Aurora
——
Namanya Adiraja Haydar. Siswa pindahan dari salah satu SMA lain Jakarta. Wajahnya standar, tidak jelek dan tidak terlalu tampan tapi lumayan untuk ditampilkan di lingkungan ramai. Tidak memalukan! Soal Pelajaran? Tidak terlalu buruk, walau bukan seorang genius seperti Maimunah yang selalu memakai kacamata tebal dan serba culun. Bukan juga seorang idola sekolah seperti Giovano. Bisa dibilang Raja itu serba pas-pasan. Sedikit keunggulan adalah bola matanya yang berwarna cokelat.
Namun, entah mengapa Yasmin begitu tertarik padanya. Cewek yang termasuk primadona sekolah itu terang-terangan mengejar Raja yang merupakan adik kelas. Tidak peduli jika reputasi turun dalam sesaat karena itu, yang terpenting ia bisa mendekati Raja dan mengajak pacaran.
Bagi Yasmin sesederhana itu untuk menjalin hubungan. Namun, bagi Raja, hubungan antara dirinya dengan orang lain itu sesuatu yang sulit. Raja tidak terbiasa bergaul dan membuka diri pada orang asing bahkan pada keluarganya sendiri.
Raja memberi batasan!
"Buset! Lo kesambet apa sih? Senyum lo itu mengerikan!"
Yasmin mendengkus kesal pada sahabatnya yang baru datang itu. Suara Devina itu sangat mengganggu privasinya yang sedang menatap fokus ke arah depan.
"Ini bocah benaran kesambet kali, ya. Gue panggil Maimunah biar dibacakan rumus matematika. Mau lo?"
Tatapan nyalang mendera Devina. Seketika cewek berambut sebahu itu menggaruk telinganya.
"Sialan lo! Yang ada gue makin kesambet, Monyet!"
Kekehan Devina terdengar begitu kuat hingga menjadi bahan tontonan. Sepertinya Devina tidak peduli tempat, mau kantin, mau dalam ruang kelas yang jelas jika itu menurutnya patut ditertawakan maka ia akan melakukan itu.
"Lo juga,, sih. Melamun enggak tahu waktu. Buat jadwal, Nyet!"
"Gue jadikan pepes baru tahu rasa lo, ya! Lo kata gue mau konser pakai jadwal. Kalau ngehalu boleh, tapi jangan sampai terlihat bego."
"Mulut lo pedas amat, Bu. Itu pakai merica?"
"Enggak ah, tapi pakai cinta."
Keduanya tertawa dan lagi tanpa peduli jika beberapa pasang mata mengarah pada mereka.
"Berisik woi! Ini kantin bukan taman hiburan." Seorang siswa cewek menegur mereka. Namun Yasmin dan Devina hanya melirik sekilas lalu tertawa lagi.
"Kalau lo mau tenang di perpus sana!" sahut Yasmin di sela tawanya. "Cabut yuk, Vin. Titik fokus gue udah enggak ada di depan sana."
Devina mengangguk. Meskipun ia tidak tahu titik fokus yang dimaksud oleh Yasmin.
****
"Hai Raja!" Cengiran terpatri di bibir Yasmin. Mendudukkan diri tepat di samping Raja yang tengah menatap ponselnya.
Tidak ada sahutan. Yasmin sadar jika Raja menyumpal telinga menggunakan earphone. Pantas saja tidak ada tanggapan saat ia menyapa.
"Apa yang lo lakukan?" gerutu Raja saat earphone terlepas dari telinganya.
"Melepas earphone. Habis lo cuek sih."
"Ngapain lo ganggu gue mulu? Enggak punya kerjaan lo, ya?"
Nada suara itu terdengar meninggi tapi Yasmin seolah tidak peduli.
"Kerjaan gue banyak kok. Pertama itu memperhatikan lo. Kedua, mengejar lo. Ketiga, memastikan lo enggak melirik cewek lain. Keempat, jatuh cinta sama lo dan—" Kalimat Yasmin terhenti karena Raja menyela.
"Sakit jiwa!"
"Raja, enggak boleh ngomong kasar loh. Entar gue cium baru tahu rasa." Bibir dibuat monyong ke depan seolah akan mencium Raja. Refleks Raja memundurkan badannya ke belakang.
"Ilfil gue sama lo!" kata Raja. Wajahnya benar-benar menampilkan rasa jijik kepada Yasmin. Dan dasar Yasmin yang sama sekali tidak peduli.
"Idih ... Raja sayang. Jangan gitu dong ngomongnya. Entar jatuh cinta loh sama gue. Kan untung di gue."
"Mimpi!"
"Ya Allah. Lo tahu enggak? Bedanya benci sama cinta itu tipis banget, loh, seperti kertas HVS. Kadang lo enggak bisa membedakan ... tahunya eh ... sudah jatuh cinta sama gue."
Raja menggeleng sebagai respons. Sungguh jiwa terguncang bertemu dengan Yasmin. Cewek itu terlalu blak-blakan dan suka sekali mendatangkan emosi seorang Raja. Jika tidak mengingat jenis kelamin mungkin Raja sudah menghadiahi bogem mentah di wajah itu.
Sayangnya, Yasmin itu cewek. Dan Raja menghargai itu, walau cewek di depannya harus dipertimbangkan!
****
“Maimunah!” Yasmin berteriak dari ujung lorong saat melihat cewek berambut cepol dua berjalan di depannya dengan jarak lumayan jauh.
Yang dipanggil menoleh. Namun saat tahu siapa yang memanggil segera mempercepat langkahnya. Yasmin mengembuskan napas kasar. Melihat Maimunah tergesa-gesa membuat dirinya terpaksa menancap gas alias berlari.
“Yak! Maimunah, tunggu gue!” pekik Yasmin. Seperti memiliki kekuatan angin, Yasmin bisa menyusul Maimunah sekilas.
“Apa sih?” Maimunah melepas tangan Yasmin dari lengannya.
“Yaelah, Mai. Santai dong. Gue cuma—“
“Cuma apa?” Maimunah memotong kalimat Yasmin.
“Lo jahat banget sih, Mai. Padahal gue itu cuma minta tolong doang, kok.” Binar mata itu redup dan seolah Yasmin sedang terisak.
“Lo minta tolong apa, sih? Jangan duit! Gue enggak punya.”
“Lo bukan enggak punya duit, tapi itu karena lo pelit.” Bibir Yasmin komat-kamit mendengar kalimat Maimunah. Dasar, orang pelit.
“Lo bilang apa?”
“Santai Sister. Gue enggak ngomong apa-apa, deh. Suer!” Jari membentuk tanda V di depan wajah.
“Kalau lo bohong, gue sumpahi nyungsep!”
“Iya deh. Serah!” Yasmin menghembuskan napas pelan. “Mau bantu gue apa kagak nih? Gue pergi!”
Yang minta tolong Yasmin, yang mengancam mau pergi Yasmin. Lah? Maimunah sendiri bingung dan terpaksa mengangguk sebelum Yasmin benar-benar berlalu.
“Iya, gue bantu. Terus lo mau dibantu apa coba?”
“Gini loh Maimunah. Gue tahu elo emang enggak pernah pacaran. Tapi entah kenapa otak gue ini menjurus ke elo terus.”
Maimunah memutar matanya malas. “Eh, bungkusan lontong ... kalau ngomong yang jelas.”
Tatapan tajam mengarah kepada Maimunah. Seandainya saja Yasmin tidak sedang membutuhkan bantuan si cupu itu, sudah pasti ia akan menyumpahi dengan berbagai sumpah serapah.
Dan dengan terpaksa Yasmin menahan amarahnya. Merendahkan nada bicaranya. “Gue belum selesai bicara, Maimunah,” kata Yasmin kemudian.
“Ya sudah ... buruan ngomong.”
Tarikan napas terdengar lagi dari mulut Yasmin. Ia tersenyum sesaat sebelum memulai bicara, “ini soal cinta dan perasaan. Gue butuh nasihat lo walau lo enggak pernah pacaran!”
Mimik wajah Maimunah memerah. Jelas cewek itu tidak terima dibilang jomlo. Sepertinya Yasmin mencari perkara saja!
“Kadang-kadang nasihat dari orang yang belum pernah pacaran itu lebih manjur dari pada orang yang sering pacaran.”
Yasmin menyalakan api dengan bensin!
“Kadal Ijo! Sialan lo! Lo mau minta bantuan apa menghina gue sih? Minggat lo dari hadapan gue!” Sebelah sepatu sudah di tangan dan siap melemparkan kepada Yasmin.
Buru-buru Yasmin mengambil ancang-ancang. “Kok lo marah sih? Wajah lo itu mirip pakar cinta cuma kisah cinta lo ambyar.”
Maimunah kesal, mengambil sepatu sebelah dan melempar tepat mengenai punggung Yasmin. Tidak ada basa-basi lagi, Yasmin mengambil langkah seribu sebelum sepatu sebelah lagi melayang padanya.
****
“Maimunah gila! Dia pikir punggung gua papan kayu apa? Main lempar saja!” Sepanjang jalan menelusuri lorong menuju kelas, Yasmin menggerutu sembari mengelus punggungnya.
Ia belum bisa terima atas perbuatan Maimunah padanya. Menurutnya itu penindasan walau sebenarnya itu kesalahannya sendiri. Otak Yasmin saja yang terkontaminasi akan ide gila. Bertanya tentang cinta pada orang yang belum pernah pacaran. Sebenarnya Yasmin itu menyelam sambil minum air, bertanya sambil mengusili. Semacam balas dendam! Maimunah sering sekali mengadukannya pada guru karena tidur saat jam pelajaran dan tidak mau peduli saat ada tugas kelompok.
Menggerutu Yasmin terhenti saat netra menangkap sosok Raja yang berjalan sembari membawa beberapa buku. Menumpuk di tangan hingga hanya mata yang tampak. Yasmin mempercepat langkahnya.
1 langkah ... 2 langkah ... 3 langkah ... dan langkah berikutnya sepasang kaki Yasmin tersandung hingga membuatnya jatuh ke depan.
Tidak merasakan sakit sama sekali. Malah terasa sangat empuk dan nyaman. Yasmin betah berlama-lama pada posisi seperti itu.
Namun ....
“Bangun dari tubuh gue!” Suara bariton menyapa rungu Yasmin. Terkesan seksi dan mampu membuat jantung berdetak tidak karuan.
Yasmin melirik dan betapa terkejutnya saat tahu jika ia tengah menimpa Raja. Kenapa otaknya melupakan keberadaan Raja?
“Bangun!” Nada yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Diucapkan tidak begitu kuat namun mampu membuat bulu kuduk Yasmin meremang.
Buru-buru Yasmin bangkit. Merapikan penampilannya dan tercengir seperti orang bodoh.
“Gue bantu, ya?” tawarnya saat melihat Raja mengumpulkan buku-buku yang berserakan.
Raja melirik dengan tatapan tajam seolah memberi isyarat untuk tidak ikut campur.
“Raja kalau lagi marah kayak singa jantan mau kawin. Takut ... ih...,” kata Yasmin. “Tapi ... gemas. Jadi makin sayang, deh.”
Hanya geleng kepala sebagai respons atas ucapan Yasmin. Raja berpikir jika meladeni Yasmin terus menerus yang ada ia akan gila dan tua sebelum waktunya. Namun, bagaimana bisa ia mengabaikan cewek yang selalu mengganggunya itu?
“Raja ... mau ke mana?”
Yasmin mengikuti langkah Raja yang berjalan di depan.
“Ke rumah sakit jiwa!” teriak Raja tanpa menoleh pada Yasmin.
“Ngapain?” Langkah sedikit dipercepat agar mampu menyamakan langkah Raja.
“Mau kasih tahu kalau pasien mereka kabur.”
Yasmin melihat kanan-kiri. “Mana?” tanya lagi karena tidak menemukan pasien yang dimaksud Raja.
“Elo pasiennya,” tukas Raja sembari melirik bengis ke arah Yasmin.
Bukannya marah, Yasmin malah tersenyum manis. “Sumpah deh, lo itu bikin gemas. KUA yuk ... enggak tahan gue.”
“Gila!” Raja mempercepat langkahnya, meninggalkan Yasmin yang masih mematung di tempat.
“Ya Allah ... bisa khilaf gue lama-lama. Dia itu manis kayak cokelat. Enggak deh, kayak ice cream, Sial! Jadi pengin gue,” monolog Yasmin. “Devina, gue butuh bantuan lo!” teriaknya tanpa peduli jika dianggap seperti orang gila.
Bukankah Yasmin memang sudah gila? Tergila-gila pada Raja.
*****
Yasmin terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia merasa heran lantaran saat ini Ia berada di atas ranjang rumah sakit bukan di bangku lagi. Ia menoleh kanan dan kiri, tidak ada Raja sama sekali. Bahkan tiang infus juga tidak berada di tempatnya.Dengan cepat Yasmin turun dari ranjang, berlari keluar mencari suster untuk menanyakan keberadaan Raja. Ia takut jika Raja pergi darinya tanpa pamit sama sekali. Ia tidak ingin Raja kenapa-napa lagi.Yasmin bertemu dengan dua orang suster.“Sus, kalian liat pasien dari bernama Raja? Yang kebetulan dia ditangani oleh Dokter Natasya. Astaga, bagaimana gue mengatakannya, ya?” Yasmin khawatir sendiri.Salah satu suster tersenyum melihat tingkah Yasmin yang seperti itu.“Jangan khawatir. Pasien bernama Raja itu sedang berada di ruangan Dokter Hari bersama Dokter Natasya.”Yasmin lega mendengarnya. “Terima kasih, Sus,” kata Yasmin. “Boleh tahu ruangan Dokter Hari di mana?” tanya Yasmin lagi.“Lurus aja dari sini, baru ada belokan, nah pas belokan itu ada
Keduanya masih terdiam. Cangkir teh Yasmin sudah tandas tanpa sisa, entah kebisuan apa yang terjadi saat ini, Yasmin dan Natasya tidak memahami.Hingga pada akhirnya, Natasya memutuskan untuk mengatakan kenyataan tentang Raja pada Yasmin. Yasmin harus tahu itu pemikiran seorang Natasya sebagai dokter. Bukan apa-apa, ia tidak ingin pasiennya kembali merenggang nyawa karena terlalu lama bertindak dan juga salah prediksi. Cukup seorang Sean yang mengakhiri hidupnya karena kehilangan Velin dalam hidupnya, jangan Raja lagi.“Yasmin,” panggil Natasya.“Ya?” Yasmin menyahut.“Kamu harus tahu sesuatu soal Raja.”“Soal kejiwaan?” tebak Yasmin membuat Natasya terdiam. “Dokter itu spesialis kejiwaan, sudah pasti dokter akan membahas itu pada gue, kan?” tukas Yasmin.Natasya mengedipkan mata sebagai jawaban. “Kamu harus tahu jika Raja itu sakit. Dia itu sakit, Yasmin. Tapi bukan berarti dia gila.”Yasmin tersenyum. “Sakit jiwa yang dokter maksud sudah pasti tentang mental illness, bukan sakit jiw
Langkah memburu terdengar memasuki area lorong rumah sakit. Ya, pemiliknya adalah Natasya, seorang dokter spesialis kejiwaan. Ia sudah lama tidak mampir ke rumah sakit yang dulu pernah menjadi tempatnya mengabdi setelah membuka praktik sendiri. Namun, karena Dokter Hari yang merupakan seniornya dan sering membantunya dulu di rumah sakit ini menelepon dirinya agar datang sesegera mungkin, akhirnya ia memutuskan meninggalkan tempat praktiknya dan datang ke sini.Yang membuat Natasya semakin tergesa-gesa adalah saat Dokter Hari menyebut nama pasien itu, Raja. Bayangan Natasya langsung mengarah kepada Adiraja, pasiennya yang sore tadi datang ke tempat praktik untuk meminta obat.Natasya berharap itu bukan Raja yang ia kenal. Ya, Natasya berharap.Sayangnya, saat ia tiba di ruangan pasien, Natasya kaget bukan main karena kenyataannya adalah Raja yang dimaksud oleh Dokter Hari itu Adiraja si pasien yang i tangani selama ini.Natasya mendekat ke sisi ranjang. Menatap wajah Raja dalam diam da
Raja menendang vas bunga yang terletak di sudut ruangan saat ia melewati menuju ruang makan. Wajahnya memerah lantaran emosi, belum lagi rahangnya yang mengeras dan tangannya yang mengepal kuat. Tidak ada yang bersahabat dari ekspresi seorang Raja yang masih SMA itu. Lebih layak dipandang sebagai orang dewasa yang sedang ingin menguliti mangsanya.Lagi, Raja membuat kegaduhan dengan melemparkan benda berat ke arah lemari kaca yang biasa digunakan untuk menyimpan beberapa buku dan dokumen sang papa. Raj terlalu emosi sehingga segala hal yang menurutnya layak untuk dihancurkan maka akan ia hancurkan detik itu juga.Karen kegaduhan yang ditimbulkan Raja di ruang tamu membuat Viola dan Adam segera berlari ke ruang tamu. Kening keduanya mengerut bersamaan dengan mulut Viola yang menganga. Melirik Adam dan menggigit bibir lantaran yakin jika Raja sudah mengetahui jika yang menjadi saudara tirinya adalah Yasmin. Tidak mungkin bocah remaja itu melakukan tindakan buruk segila ini jika tidak me
Yasmin menelan salivanya susah payah saat kakinya menginjak lantai pekarangan rumah milik kekasih dari bundanya itu. Dalam hati bercampur aduk, antara khawatir, takut, sedih dan juga kecewa berat pada banyak hal. Salah satunya pada bundanya.Pemikiran Yasmin sedari tadi tertuju pada Raja yang entah bagaimana responsnya saat tahu dirinya akan menjadi adik tiri Yasmin. Jujur, Yasmin tidak bisa melepas hatinya pada Raja, ia sudah terlaku mencintai juniornya itu walau kebanyakan orang bilang termasuk sang bunda jika cinta yang dimiliki Yasmin hanya cinta monyet.Persetan dengan pendapat orang lain. Yang harus ia percaya adalah hatinya dan tentu saja Raja yang sudah mengikatnya dengan janji yang penuh ketulusan.Yasmin ingin Raja dalam hidupnya.“Yasmin, buruan!” Viola memanggil Yasmin yang masih melamun di depan pintu.Tidak ada sahutan yang keluar dari mulut Yasmin. Hanya kakinya yang terus berjalan menghampiri sang bunda yang menunggunya.“Jangan berulah apalagi membuat masalah. Ingat b
Raja membuka laci nakas untuk mengambil obat yang selalu ia konsumsi saat depresinya kambuh. Namun, di dalam laci itu hanya menyisakan botol tanpa isi. Tidak ada satu pil pun tersisa. Raja menghela napas kasar dan kembali meraung bersamaan dengan tangannya yang terus memukul lantai.Terduduk di keramik dingin, bersandar pada ranjang. Tangan kanan menarik rambut sedang tangan kiri terus saja bermain di lantai, memukul dan terus memukul.Sekarang bukan hanya dinding yang penuh noda darah, tapi juga lantai. Raja seolah tidak peduli akan itu, bahkan tangannya saja sudah terluka tidak terasa sakit sama sekali, karena luka sebenarnya ada di hati dan perasaannya.“Tuhan, kenapa Engkau hukum aku seperti ini?” Raja terisak.Tidak ada niat menyalahkan Tuhan, hanya saja Raja terlalu lelah menghadapi setip tekanan yang menyerangnya dari dalam.Raja mengambil ponselnya di atas nakas, menekan nomor Yasmin dan saat tersambung, ia langsung memanggil nama Yasmin lirih.“Yasmin ....”Yasmin di ujung te