Share

BAB 2

"Untuk jatuh cinta itu butuh perjuangan! Namun, terkadang ketika hati sudah lelah, apakah masih layak untuk berjuang?"

-Yasmin Aurora

——

"Sumpah ya, Yas. Gue pengin banget sumpahi lo sekarang ini." 

Yasmin yang tengah menjilat ice cream itu hanya melirik sesaat tanpa berniat menyahut ucapan Devina. 

"Lo kira-kira dong kalau mau ngajak kuliner gitu. Ini bikin malu gue tahu," protes Devina kesal. 

"Kok malu sih? Kan kita enggak telanjang." 

Itu mulut kenapa asal ceplos saja sih? Devina heran. 

"Yang bilang telanjang siapa, bego?" Devina benar-benar kesal. "Makan ice cream tanpa bawa duit apa enggak malu? Lo kira ini kafe milik nenek gue, apa?" 

Yasmin menjilat sendok yang masih menempel sisa ice cream. "Mana gue tahu kalau lo enggak bawa duit?" 

"Sialan lo! Jadi gimana nih? Elo juga ... ngapain pakai lupa dompet segala." 

"Kedip mata saja sama kasirnya. Elo 'kan jago soal merayu," saran Yasmin. 

Sudut bibir Devina naik. Kekesalannya semakin menjadi. Ia lupa bahwa sahabatnya itu sedikit gila. 

"Kasirnya cewek, Monyet!" 

"Sorry. Gue kira cowok." Yasmin terkekeh pelan. 

"Jadi gimana? Mikir dong! Masa iya kita cuci piring buat bayar ice cream?" 

"Ide bagus. Tapi elo aja, ya." 

Perdebatan kecil itu akhirnya mencapai pada klimaks. Keduanya memilih kabur dengan cara sembunyi-sembunyi. Namun, niat itu tidak terwujud karena seseorang datang dan mendudukkan diri di bangku kosong. 

"Bersenang-senang?" Pertanyaan itu lebih mirip seperti ejekan menurut Yasmin. 

Yasmin memutar bola matanya malas. Ia sangat malas berurusan dengan Giovano. 

"Kalau iya, kenapa? Masalah buat lo?" ketus Yasmin. Ia sempat mendapatkan cubitan kecil di pinggang dan pelakunya tentu saja Devina. 

"Enggak masalah sih. Cuma nanya aja kok. Jangan baper gitu dong." 

"Giovano, mantan gue tersayang tapi bohong, siapa sih yang baper? Elo kali!" 

"Gue? Baper? Mimpi kali." Giovano memasang mimik angkuh. 

"Ya sudah kalau lo enggak baper. Santai dong." Yasmin tersenyum manis. "Devina, yuk pulang. Gerah gue lama-lama di sini." 

Devina mengangguk. 

"Bayari ice cream gue ya. Kebetulan lupa bawa duit kes," celetuk Yasmin. 

Giovano hanya menganga, kemudian mendengus pelan setelah mencerna kalimat Yasmin barusan. Lagi-lagi mantan pacarnya itu bikin emosi bercampur aduk. 

Marah pun akan percuma. Karena kedua manusia tanpa malu itu telah menghilang dari pandangan mata. Dan terpaksa, ia harus melunasi makanan milik orang lain. 

****

"Bunda pulang jam berapa?" Yasmin mengekori perempuan cantik yang tengah mengotak atik ponsel. 

"Mungkin jam sembilan. Jangan tunggu Bunda. Makan saja sendiri." Viola berucap tanpa melirik Yasmin sama sekali. 

Yasmin mengangguk pasrah. "Bunda pulang, 'kan?" 

Viola mengalihkan fokus pada Yasmin. "Kalau acara cepat selesai, Bunda akan pulang. Intinya, jangan tunggu Bunda." 

Jawaban yang diberikan Viola tidak memuaskan hati Yasmin sama sekali tapi mau bagaimana lagi jika itu sudah diucapkan. Sebagai anak, dirinya hanya bisa patuh. Walau sebenarnya ia menginginkan hal lain. 

Semacam kasih sayang. 

Bundanya terlalu sibuk bekerja dan berkumpul bersama teman-teman arisan, bahkan lupa bahwasanya ia memiliki anak yang butuh perhatian. Yasmin butuh materi tapi jika boleh jujur, ia lebih butuh kasih sayang. 

Namun, Bundanya tidak memberi apa yang sepantasnya diterima anak seusianya. 

"Bunda hati-hati ya." Hanya kalimat itu yang Yasmin ucapkan saat Viola masuk ke dalam mobil. 

Tidak ada sahutan sama sekali. Viola sibuk menyalakan mobil lalu setelah itu meninggalkan pekarangan rumah mewah mereka. 

Sebulir air mata merembes dari netra Yasmin. Untuk kesekian kalinya, ia ditinggal oleh bunda dan lebih memilih menghabiskan waktu di luar rumah. 

Yasmin sudah lupa kapan terakhir kali ia makan bersama Viola. Mungkin setahun yang lalu, saat ayahnya masih hidup. 

"Ayah, Yasmin rindu." 

**** 

Yasmin menghentikan jari-jarinya yang bermain di atas keyboard laptopnya saat suara deru mobil terdengar dan berhenti di depan rumahnya. Dengan buru-buru, ia menuju jendela, menyibakkan sedikit gorden dan mengintip ke luar lewat jendela kaca. 

Mata fokus pada titik target. Seorang yang berjenis kelamin laki-laki keluar dari dalam mobil, dan disusul oleh seorang perempuan. Yasmin menajamkan penglihatannya, lantas kemudian  tersenyum sendu. Perempuan itu adalah bundanya.

Yasmin memalingkan tubuhnya saat lelaki itu mendaratkan kecupan di kening sang perempuan. Jari-jari Yasmin mengepal dan sejurus air matanya jatuh. 

Entah kenapa hatinya terasa sakit melihat adegan romantis itu.

Dengan sangat perlahan, Yasmin berjalan ke ranjangnya dan melemparkan diri ke atasnya. Ia sangat malas untuk lanjut mengerjakan tugas sekolahnya. Memilih tidur, apalagi jarum jam sudah menunjuk pada angka 10 malam. 

"Yasmin." 

Panggilan dari luar kamar bersamaan ketukan di pintu, membuat Yasmin membuka mata. Niat untuk membuka pintu tidak ada sama sekali, ia hanya menatap fokus ke sana.

"Jangan berpura-pura tidur."

Suara itu seperti biasa, datar tanpa kelembutan di dalamnya. Yasmin benci itu!

"Mama bawakan kue cokelat kesukaanmu. Mama letak di depan pintu. Ambil sekarang sebelum tikus yang menikmati." 

Lalu, hening setelahnya. Tidak ada suara dari luar. Yasmin menghela napas, selalu seperti ini. Apa susahnya bundanya itu masuk ke dalam kamar dan memberikannya dengan lembut penuh kasih sayang? 

Yasmin menyibak selimut, turun dari ranjang lalu berjalan menuju pintu. Secara pelan membuka pintu, mengintip ke luar dan sudut bibirnya naik saat melihat kotak kue cokelat. 

Ia segera mengambil lalu menutup pintu kembali. Dan berbalik menuju ranjang. Yasmin membuka kotak kue itu. Air matanya mengalir lantaran kue cokelat itu mengingatkannya pada almarhum ayahnya. 

Yasmin mengambil ponselnya, masuk ke aplikasi Facebook dan membuat postingan singkat. 

"Kue cokelat atau kenangan?" 

Ia tidak menunggu komentar sama sekali. Karena setelah membuat postingan, Yasmin langsung keluar dari aplikasi Facebook.

*****

"Seperti gemerencik hujan yang jatuh tepat pada dedaunan, menjadi rindu lalu berubah sendu"

—Yasmin Aurora

——

Devina menggeram kesal lantaran kegiatannya mengutak atik ponselnya terganggu karena tangan jahil Yasmin. Ingin rasanya sumpah serapah terlontarkan seandainya mereka bukan berada di perpustakaan saat ini. 

"Asem banget tuh muka." Yasmin berbisik tepat di telinga Devina. 

Devina menarik napas cukup panjang dan menghembuskan tepat di wajah Yasmin. Sungguh ia sangat kesal pada Yasmin yang mengganggu aktivitasnya pada ponsel mewah berwarna pink itu.

"Bau, Monyet!" pekik Yasmin tertahan. "Lo makan apa sih tadi? Bangkai buaya, ya?" tambahnya sembari menutup hidung.

Sekilas Devina melirik Yasmin. "Bukan bangkai buaya yang gue makan tadi."

"Terus?" 

"Bangkai manusia. Puas lo?" seru Devina. Ia kembali melanjutkan fokus pada ponselnya. 

"Lo ngapain sih? Itu bola mata bisa copot kalau lo melotot kayak gitu," tegur Yasmin. Tatapan menjurus pada wajah Devina, menelisik begitu dalam seolah ia adalah detektif kriminal yang sedang menginterogasi tersangka. 

Devina menengadah. "Biasalah, menggombali anak orang." 

"Kali ini siapa lagi? Feri? Atau Wahyu?" 

Devina menggeleng lantas menunjukkan foto seorang lelaki yang tidak memakai atasan hanya menggunakan celana training berwarna hitam pekat. Yasmin menelan ludahnya saat netranya menangkap otot perut yang sempurna layaknya roti sobek, kotak-kotak yang terbagi enam bagian. 

"Gila! Itu roti sobek harganya berapa? Ambyar hati gue." Dengan susah payah Yasmin menelan ludahnya. 

Dengan cepat Devina menarik ponselnya dari pandangan Yasmin. Ia takut jika sahabatnya itu kerasukan setan gara-gara foto hot Revin, si tetangga barunya.

"Itu iler dihapus. Berceceran," goda Devina. 

"Sialan lo," gerutu Yasmin lantas membersihkan area bibir hingga ke dagu. 

Devina menahan senyum. Ia berhasil mengerjai Yasmin dalam hitungan detik. 

"Itu siapa sih? Kok gantengnya lumayan?" 

Netra cokelat Devina membulat. Lumayan? Yang benar saja? Revin itu ganteng, sempurna dan hot. Mata Yasmin sepertinya katarak. "Lumayan? Mau kepala lo gue tebas pake kawat giginya Maimunah?" 

Bulu roma Yasmin merinding mendengar nama Maimunah. Masih teringat jelas d otak saat sebelah sepatu murid genius itu mendarat di punggungnya. 

"Terjangkit virus rabies gue."

Senyum Devina mengembang. Ia selalu berhasil mengancam Yasmin menggunakan nama Maimunah. Padahal cewek berkacamata itu sama sekali tidak ada hubungannya pada pembahasan mereka. Namun, selalu terbawa dan sukses membuat Maimunah semakin gencar mengadukan mereka pada guru.

"Ngomong-ngomong, itu cowok siapa sih? Gebetan baru lo?" Yasmin menelisik wajah Devina. Dan kenyataan mengatakan ada sesuatu di antara keduanya.

"Namanya Revin, tetangga baru." Senyum semringah terpancar di wajah Devina. 

Yasmin mengangguk, paham betul apa otak sahabatnya itu. "Dan gue yakin sekarang lo lagi melancarkan aksi rayu merayu."

Kini giliran Devina yang mengangguk. "Lo emang sahabat terbaik gue. Lo bisa nebak segala hal tentang gue." 

Yasmin mendecit. Terlihat jelas senyum tipis terpatri. Apa pun keputusan Devina, dalam bentuk yang jelas atau tidak, Yasmin selalu berada di pihak sahabatnya itu.

"Jangan mendekat ke area Revin! Gue kirim lo ke neraka!" peringat Devina saat menangkap mimik Yasmin yang tersenyum mencurigakan.

Yasmin menepuk jidat Devina. Dan cewek berambut pendek sebahu itu mengaduh kesakitan. 

"Gila lo ya? Sakit!"

"Lah, salah lo juga, prasangka buruk banget jadi manusia." Yasmin menjeda kalimatnya sekedar menelan ludah, "... lagian takdir gue itu sudah jelas di depan mata. Raja!" 

Ada yang beda saat Yasmin mengucapkan nama adik kelasnya itu. Binar kebahagiaan tertera jelas di netranya. 

Apa ia sudah jatuh cinta terlalu dalam?

"Lo kalau mimpi jangan ketinggian. Lo kira itu cowok mau sama lo?" 

"Kenapa enggak?" Alis Yasmin naik sebelah.

Devina menarik napas. Fokus pada Yasmin dan mengabaikan ponselnya yang berulang kali berdering karena pesan masuk.

"Gue bisa nebak, Raja itu cowok yang suka sama cewek kalem dan pendiam. Sedang lo? Agresif plus centil minta ampun."

Bibir Yasmin mengerucut. Pernyataan yang di keluarkan oleh Devina membuatnya kesal bukan main.

"Devina, ini zaman milenial, so ... tidak masalah kalau cewek lebih agresif dari cowok. Bukannya lo sama gue itu sama saja?" 

Devina terdiam. Apa yang dikatakan Yasmin itu benar, mereka berdua tidak ada bedanya. Sama-sama agresif!

"Eh, lo berdua bisa diam enggak sih? Ini perpus bukan diskotek. Jangan berisik!" tegur salah satu murid cewek yang merasa terganggu dengan Yasmin dan Devina. 

Keduanya tersadar. Yasmin melirik ke seluruh ruangan, dan gilanya semua mata tertuju pada mereka. Terlalu asyik gibah sampai lupa tempat.

"Maaf," cicit Devina. Segera menarik tangan Yasmin untuk mengajak keluar dari sana. " Cabut yuk."

Yasmin mengangguk. Mengikuti langkah Devina yang terus menyeretnya keluar dari perpus.

****

Yasmin melepas ikatan rambut saat netranya menangkap bayangan Raja yang duduk di bawah pohon Akasia. Senyum mengembang sempurna bersamaan dengan langkah kaki yang menuju ke arah idaman hati. 

Dengan perlahan tanpa menimbulkan suara segera duduk di samping Raja. Yasmin memfokuskan atensinya pada cowok yang sedang terpejam itu. Memuaskan mata dan hati untuk memandang tanpa perlawanan. 

Seketika wajah Yasmin memanas dan ia yakin telah memerah layaknya tomat. Dalam keadaan seperti ini saja, tubuhnya bereaksi begitu cepat apalagi jika Raja telah menjadi miliknya. 

Tangan tidak tinggal diam, bergerak perlahan menyingkirkan rambut yang menutupi kening Raja, kemudian beralih ke hidung yang mancung mengikuti bentuk, seolah Yasmin sedang melukis di atas kanvas. 

Namun, saat tangan menuju ke area bibir, Yasmin terdiam, menelisik bibir penuh yang sedikit memerah itu. Dengan susah payah ia menelan salivanya! Sepertinya otak mesum menguasai dalam sesaat. Yasmin membasahi bibirnya, kemudian memperkecil jarak antara wajahnya dan Raja. 

Sedikit lagi bibir itu mendarat di kening mulus Raja seandainya mata itu tidak terbuka. Refleks Yasmin mundur hingga membuatnya tersungkur ke belakang. 

"Lo ngapain? Mesum ya?" Raja melontarkan pertanyaan sarkastis. Jangan lupa mata yang menatap tajam, menelisik ke arah Yasmin dari atas kepala hingga ujung kaki. 

Yasmin yang telah berdiri dari posisi tersungkurnya menepuk rok bagian belakang. Pipi menggembung bersamaan dengan dengusan kasar yang keluar dari mulut.

"Siapa yang mesum?" elak Yasmin tidak terima atas tuduhan yang Raja layangkan.

"Elo!" Jelas, padat dan tidak bisa disanggah. Namun bukan Yasmin kalau mengalah begitu saja. 

"Enak saja kalau ngomong." Yasmin berkacak pinggang di depan Raja. 

Raja membetulkan posisi duduknya. Senyum simpul tertera jelas di sudut bibirnya. "Jadi apa namanya kalau bukan mesum?"

"Pokoknya gue enggak mesum!" elak Yasmin. 

Raja menaikkan sebelah alisnya. "Mana ada maling mau ngaku? Kalau ngaku penjara penuh." 

Yasmin menggeram tertahan. Dia tidak suka dengan tuduhan yang dilemparkan oleh Raja. Walau kenyataannya bibirnya hampir menyentuh jidat Raja, tadinya. Tapi ... itu tidak membuktikan kalau ia mesum, bukan?

"Raja mau ke mana?" tanyanya saat Raja berjalan menjauh. 

Raja memutar tubuhnya ke belakang, menatap horor pada Yasmin yang mendekat. "Ke neraka!" 

Senyum Yasmin mengembang. Ia menyamakan langkahnya dengan Raja yang berjalan sedikit lebih cepat darinya. "Lo makin lama makin menggemaskan. Sumpah!" Jari membentuk huruf di depan wajah. "Nikah saja yuk. Biar halal! Jadi pas sayang-sayang, enggak ada iblis yang nyasar." Yasmin menggandeng tangan Raja. 

Raja menahan napas. Seluruh wajah memerah karena amarah sudah mencapai pada garis batas. Rasanya, Raja ingin sekali memelintir leher Yasmin agar berhenti merecoki hidupnya yang tenang. Sialnya, ia tidak mampu melakukannya. Bagaimana pun, hatinya tak mampu menyakiti seorang perempuan. 

Seandainya saja ia bisa melakukannya?

"Gue serius, Raja. Kita nikah yuk. Terus kita bikin anak. Em ... sepasang saja biar adil. Nanti anak-anak, kita kasih nama Princess sama King." Yasmin bertutur panjang lebar, mengeluarkan segala sesuatu yang ada di hati dan pikirannya. 

Lupa jika Raja tidak pernah ikut berpartisipasi dalam ide gilanya itu. 

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yasmin membuat Raja spontan berhenti. Mengusap wajahnya frustrasi. Menghadapi Yasmin itu sungguh menguras otak dan ototnya. Ia kira perempuan yang asal usulnya tidak ia tahu itu akan menyerah mengganggunya jika diabaikan. Tapi nyatanya tidak menyerah. 

Malah semakin merecoki dengan tingkah lebih mengesalkan lagi. 

"Sakit lo!" Mimik wajah marah terlukis jelas. Raja sudah terlalu muak. 

Yasmin tersenyum semringah. Tidak pernah peduli pada ekspresi yang ditampilkan Raja. Bagi Yasmin itu hanya sekedar gertakan. 

"Gue memang sakit Raja. Dan itu karena lo," kata Yasmin. "Jadi gue butuh obat. Dan obatnya itu juga elo."

"Gila!"

"Raja, jangan sering katai gue gila. Entar lo tergila-gila sama gue lagi. Gue mah, ikhlas saja. Malah syukur alhamdulillah."

Raja menggeleng. Tidak ada yang bisa lagi ia lakukan lagi untuk menghentikan aksi Yasmin mengganggunya. 

Percuma saja, Yasmin itu terlalu agresif dan Raja benci itu!

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status