Share

Amarah Devan

Devan POV~

Sesaat setelah aku keluar dari gerbang rumah Anandita, dari kaca spion mobil, tak sengaja aku melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah megah itu. Aku menyipitkan mata. Melihat dengan baik siapa pemilik mobil tersebut. Pria yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, turun dari mobil tersebut. Mendekati pos satpam, dia terlihat sedang menyampaikan sesuatu. Sekelumit pertanyaan menyerang batinku. Siapakah pria itu?

Tidak berapa lama kemudian, salah satu satpam mendekati mang Deden yang sedang menyiram tanaman. Entah apa yang dia sampaikan. Yang jelas didetik berikutnya, mang Deden bergegas masuk ke dalam rumah dan pria itu mengikuti langkahnya.

Batinku semakin bertanya-tanya, untuk apa pria itu masuk ke dalam rumah Anandita, yang aku tahu ibu Anandita sedang tidak berada di rumah. Hanya ada Anandita dan beberapa asisten rumah tangga di dalam rumah tersebut. Tidak mungkinkan pria yang berstelan rapi itu ingin menemui para asisten rumah tangga. Apakah dia ingin menemui Anandita? Tapi siapa dia?

Tidak ingin rasa penasaran ini berlarut-larut dalam diriku, aku segera putar balik, masuk ke dalam halaman rumah Anandita. Ingin tahu siapa pria itu dan ada perlu apa pagi-pagi sekali datang ke rumah kekasihku.

Pelan aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Menelusuri langkah kaki mereka yang mulai mendekati gazebo tempat di mana aku dan Anandita bertemu tadi. Perasaanku mulai tidak karuan aku sudah memastikan laki-laki tersebut pasti ingin menemui kekasihku. Sial! Hatiku masih saja menuntut. Menghukumku dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuatku penasaran. Siapa laki-laki itu!

Langkahku terhenti tepat di samping meja makan. Telingaku menangkap jeritan Anandita yang tidak terlalu keras. Menyuruh pria itu pergi. Mang Deden melintas di hadapanku setelah mengantar pria itu. Cepat aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. Mengisyaratkan kepadanya agar tetap bersikap seperti biasa. Tidak perlu menyapaku. Supaya mereka tidak tahu keberadaanku. Mang Deden mengangguk satu kali, lalu membungkukkan badan sebentar dan berlalu dari hadapanku dengan langkahnya yang tergopoh-gopoh.

Aku memasang pendengaran baik-baik. Mereka tidak menyadari keberadaanku. Jarak antara gazebo belakang rumah dengan ruang makan tidak jauh. Hanya saja tersekat oleh dinding pemisah yang memiliki banyak ruas jendela. Jadi aku bisa bersembunyi di balik dinding itu, dan menguping pembicaraan mereka.

Meski tidak keras, tapi aku dapat mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar dari mulut mereka. Mereka berdebat. Aku jadi tahu, pria itu adalah atasan Anandita. Dia sengaja ingin menemui kekasihku.

Aku terus menyimak pembicaraan mereka. Hingga akhirnya darahku berdesir hebat seiring jantungku yang berdegup sangat kencang. Serasa mau copot. Sekujur tubuhku membeku seketika. Menahan perasaan yang sama sekali sulit untuk aku jelaskan. Aku marah. Kecewa. Kesal. Dan murka.

Setelah kau merebut kesucianku, menghancurkan masa depanku, membuat hidupku tidak berarti hingga aku tidak mampu melihat dunia luar, semua itu aku alami karena ulah bejatmu! Dan, sekarang  dengan mudahnya kau mengucapkan kata maaf kepadaku! Apakah dengan memaafkanmu dapat mengembalikan harga diriku yang telah kau renggut??!

Sangat jelas telingaku mendengar pengakuan Anandita yang mengatakan bahwa kehormatannya sudah terenggut. Dan yang merenggutnya adalah pria itu!

Tubuhku bergetar. Dadaku bergemuruh. Sesak. Sangat menyiksa. Tak kuasa rasanya diri ini mendengar apa yang aku dengar. Melihat kekasihku didekati seseorang saja aku sudah terbakar api cemburu. Apalagi sampai dia dijamah oleh laki-laki lain.

Didorong oleh rasa yang benar-benar menyakitkan, akhirnya aku memilih menemui mereka. Meminta penjelasan tentang apa yang aku dengar. Meski aku sudah mendengar sendiri pengakuan itu dari mulut Anandita.

****

Author POV~

Devan mendekati mereka dengan segenap kobaran api cemburu yang membakar hatinya. Wajah tampan itu tidak lagi bersahabat. Kemurkaan sangat jelas terpancar dari raut wajahnya.

Cepat Anandita menepis tangan Bryan yang masih saja melingkar di lehernya. Tangan itu mulai melemah mungkin karena kaget dengan situasi. Namun, tetap saja wajah laki-laki itu tidak memancarkan rasa bersalah. Dia tetap terlihat tenang. Menatap Devan dingin.

"Anandita!" Kedua bola mata Devan mengunci retina mata Anandita. Mendekat, dan mensejajarkan wajahnya ke wajah gadis itu.

"Katakan padaku ... bahwa yang kamu katakan tadi tidak benar!" Devan membentak. Tidak menghiraukan Bryan yang berada di sebelahnya.

"Ap-apa yang aku katakan? A-aku tidak mengerti maksudmu ...." Anandita terbata. Dia merasa getaran jantungnya yang berdentang begitu kencang. Cemas. Sebisa mungkin mencari alasan. Padahal, gadis itu bisa menebak kalau Devan pasti telah mendengar pembicaraannya dengan Bryan.

"Anandita!"

Akh!

Anandita melenguh ketika Devan mencengkram kedua bahunya dengan kuat. Dengan tidak melepaskan tatapan matanya dari manik mata gadis itu, Devan menggeram. Menuntut penjelasan.

"Jangan memutar-mutar pembicaraan Anandita! Sebenarnya kamu tahu maksud dari pertanyaanku kan?!" Devan mengguncang bahu indah itu. Membuat Anandita meringis.

"Lepaskan dia!" Bryan buka suara. Terdengar sangat tenang.

Devan mengalihkan pandangannya. Kini, kedua bola mata itu mengarah pada Bryan. Semakin berkobar amarahnya ketika memandang wajah laki-laki yang telah merebut kesucian kekasihnya.

Geraham Devan bergemelatuk. Rahangnya mengeras. Tangannya terkepal kuat. Tidak dapat menahan emosi yang seakan menghantam seluruh jiwa raganya, Devan melayangkan tinjunya ke wajah Bryan.

Plak!

Satu pukulan keras mendarat di wajah Bryan. Membuat laki-laki terdorong ke belakang. Beruntung Bryan dapat mengendalikan diri dengan bertumpu ke sebuah meja taman.

Anandita panik bukan kepalang. "Bryan ...!" ucapan itu lolos begitu saja dari mulutnya.

Bryan menyentuh ujung bibirnya yang terasa perih. Terasa ada cairan yang keluar dari sana. Saat dia melihat tangannya, darah segar menempel di sana. Bryan menghapusnya. Pelan dia mencoba menegakkan badannya. Kembali memandang mereka bergantian.

"Aku saja yang sudah menjalin hubungan dengannya selama bertahun-tahun tidak berani menyentuhnya ... kenapa kau berani sekali merebut kesuciannya! Sadarkah kau kalau perbuatanmu itu adalah tindakan kriminal!"

Dengan nafas yang tersengal karena menahan amarah bercampur rasa cemburu, Devan menatap lawannya dengan sorot mata yang penuh kemurkaan.

Bryan tidak menjawab. Tetap diam menyaksikan kemarahan pria yang berada di hadapannya saat ini. Bukan takut untuk melawan, tapi Bryan sadar kalau dirinya memang bersalah.

"Devan ...." Anandita bersuara lirih. Menyentuh  lembut lengan kekar Devan. Berharap Devan bisa mengendalikan dirinya.

Devan menoleh. Memandang kembali wajah Anandita yang sudah dipenuhi raut kecemasan. Gadis itu menunduk ketakutan.

"Apa yang terjadi padamu, Anandita! Apa benar yang kamu ucapkan tadi? Kamu ... kamu sudah ...." Bibir Devan bergetar. Tidak sanggup melontarkan kata yang ingin dia keluarkan.  Cepat dia mencoba memberanikan diri.

"Apakah kamu sudah tidak suci lagi?"

Kepala gadis itu sontak terdongak, menatap mata Devan yang memancarkan keingintahuan. Anandita tercengang. Bibir tipis itu kembali membulat dengan mata yang bergerak-gerak seperti ingin mencari alasan.

"Tolong jujur padaku, Anandita! Apakah betul pria ini telah memerkosamu!" Telunjuk Devan mengarah ke Bryan yang berdiri tak jauh di belakangnya.

Bukannya menjawab, Anandita malah menangis. Dia terisak dengan kepala yang tertunduk lesu. Melihat ekspresi Anandita, membuat mata Devan terpejam sekilas. Pria itu menghela nafas berat.

"Kamu menanggapi pertanyaanku dengan tangisan. Sekarang aku tahu jawabannya!"

Kembali Devan menoleh ke belakang. Tentunya menemui tatapan mata Bryan. Dan masih dengan segala emosi yang menggedor akal sehatnya, Devan bergerak ingin menghajar kembali laki-laki yang telah merebut kesucian kekasihnya.

"Devan!" Anandita menarik lengan Devan dengan kuat. Devan menoleh. Menemui tatapan mata Anandita.

"Jangan lakukan apapun padanya! Ku mohon, please!" Anandita memelas.

Kobaran api cemburu yang membakar hebat perasaan Devan, kini semakin menyala-nyala karena menyadari Anandita yang bermohon kepadanya seakan ingin melindungi pria yang telah menjamah tubuhnya.

"Kamu membelanya?" Pelan. Tapi sangat menyakitkan. Begitulah gambaran perasaan Devan saat ini.

"Aku tidak membelanya, Dev! Aku hanya tidak ingin ada perkelahian di rumah ini!" elak gadis cantik itu.

"Tapi, nada suaramu mencerminkan pembelaan untuk dirinya!" Devan menekankan.

"Tidak, Dev! Aku tidak membela siapapun!"

"Kalau begitu, biarkan aku menghajarnya sampai mati!" Devan menggeram.

"Dev! Jangan!" Cepat Anandita menarik kembali lengan Devan yang hendak bergerak mendekati Bryan. "Aku mohon, jangan lakukan itu! Please ...."

Air mata Anandita mengalir deras. Membuat Devan mau tak mau mencoba menahan diri dan mengurungkan niatnya.

"Oke, Anandita! Aku tidak akan menghajarnya sampai mati!" ucap Devan mencoba menenangkan kekasihnya yang terisak. Namun, sedetik kemudian, dia menoleh lagi ke arah Bryan. "Tapi, aku akan melaporkan pria ini kepada pihak yang berwajib!"

Anandita tersentak kaget. Tak menyangka Devan akan mengucapkan kalimat itu. Sekilas dia melirik Bryan yang masih saja berdiri tegak, menyaksikan perseteruan mereka. Tetap diam dan tenang seakan tidak terlibat dalam perdebatan itu.

"Tidak, Dev!" Anandita memberanikan diri untuk kembali menjawab. Devan meliriknya.

"Kamu masih saja membelanya Anandita?!" tanya Devan yang tentunya tidak ingin Anandita menjawab 'iya'.

"Tidak Dev? Aku tidak membelanya! Tolong mengertilah!"

"Lalu?"

Tidak puas dengan jawaban gadis itu, Devan terus saja memaksa Anandita untuk memperjelas maksud ucapannya.

Anandita menunduk. Menarik nafas dalam dan membuangnya kasar. Lalu, kembali menatap Devan yang sudah tidak sabar menantikan jawabannya.

"Dev ... kami melakukannya atas dasar SUKA SAMA SUKA!!"

***

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status