Belum lagi aku mengizinkan Mang Deden untuk mempersilakannya menemuiku. Bryan sudah muncul di hadapanku. Membuat mataku terbelalak kaget dengan perasaan yang bercampur aduk. Kesal setengah mati.
"Mau apa kau kemari! Ibu sedang tidak ada di rumah! Silakan pergi dari sini sekarang juga!"
Mang Deden langsung bergegas meninggalkan kami, sementara laki-laki brengsek ini, masih tetap tegak berdiri menatapku dengan tatapan mata yang serius. Jujur, aku mengangumi ketampanannya. Dia terlihat begitu gagah dan berwibawa. Wajahnya yang maskulin dengan sedikit brewok yang mengelilingi rahangnya semakin membuat dirinya terlihat sensual. Garang. Tapi tetap cool. Namun, semua rasa kagum itu musnah, ketika aku mengingat kembali perbuatan bejatnya kepadaku beberapa hari yang lalu.
"Aku tidak mencari ibumu, Anandita. Aku sengaja datang kemari hanya untuk menemuimu." Bryan melangkah mendekatiku. Aku gemetaran. Kemudian, mundur dengan perlahan. Tapi dia semakin mendekat ke arahku.
<Devan POV~ Sesaat setelah aku keluar dari gerbang rumah Anandita, dari kaca spion mobil, tak sengaja aku melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah megah itu. Aku menyipitkan mata. Melihat dengan baik siapa pemilik mobil tersebut. Pria yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, turun dari mobil tersebut. Mendekati pos satpam, dia terlihat sedang menyampaikan sesuatu. Sekelumit pertanyaan menyerang batinku. Siapakah pria itu? Tidak berapa lama kemudian, salah satu satpam mendekati mang Deden yang sedang menyiram tanaman. Entah apa yang dia sampaikan. Yang jelas didetik berikutnya, mang Deden bergegas masuk ke dalam rumah dan pria itu mengikuti langkahnya. Batinku semakin bertanya-tanya, untuk apa pria itu masuk ke dalam rumah Anandita, yang aku tahu ibu Anandita sedang tidak berada di rumah. Hanya ada Anandita dan beberapa asisten rumah tangga di dalam rumah tersebut. Tidak mungkinkan pria yang berstelan rapi itu ingi
Anandita POV~Aku menunduk saat kedua bola mata Devan menyorot seakan ingin membunuhku. Biarlah dia menganggapku sebagai perempuan murahan. Asal perdebatan ini selesai. Tapi, sepertinya malah akan lebih rumit lagi. Aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan Bryan ketika dia mendengar ucapanku tadi. Aku sudah pasrah pada keadaan.Bukan tidak ada alasan aku mengatakan itu pada Devan. Bohong, jika aku menikmati persetubuhan yang didasari keterpaksaan itu. Malah aku sangat membencinya. Ketika aku mengingat kejadian itu, ingin rasanya aku meludahi diriku sendiri. Jijik!Ku lihat Devan sangat serius dengan ucapannya tadi. Bahwa dia ingin melaporkan hal yang menimpaku ini kepada pihak yang berwajib. Langsung aku teringat pada ancaman Bryan yang mengatakan kalau sampai perbuatannya terbongkar dan sampai menjadi urusan polisi, maka dia tidak segan-segan menyebarkan rekaman panas kami. Bahkan, masih jelas terngiang di telingaku, saat dia mengatakan akan meny
"Ibu, dia pasti becanda.""Tidak, Anandita. Bryan serius dengan ucapannya." Ibu mengusap lenganku. Tersenyum sekilas."Kalau begitu, dia pasti sudah gila! Ibu jangan semudah itu percaya dengan omongannya!"Ibu tertawa kecil. Bangkit dari duduknya menuju pembatas balkon. Menyandarkan tangannya di sana sambil memandang ke bawah. Melihat ke halaman depan rumah. Lantas, ku lihat dia menghela nafas."Bryan serius dengan ucapannya Anandita. Ibu sangat mengenalinya. Dia tidak pernah main-main dengan ucapannya." Sejenak ibu memejamkan matanya. Lalu, melanjutkan ucapannya kembali. "Dia ingin kamu menjadi kekasihnya."Deg!Mataku terbelalak. Dadaku semakin bergemuruh. Laki-laki itu benar-benar keterlaluan. Untuk apa dia mengatakan itu pada ibu."Tidak Ibu!" Aku bangkit. Berjalan mendekati ibu. "Ibu jangan berkata seperti itu. Ibu belum sebulan mengenalnya, dari mana Ibu tahu kalau dia itu adalah pria yang tegas pada ucapannya? Bisa saja kan dia
Bola basket mulai berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Melayang sesuai lemparan. Tim A adalah tim Devan beserta teman-teman kuliahnya. Sedangkan tim B, aku tidak tahu mereka berasal dari mana.Sorak sorai penonton riuh ketika Devan melakukan Slam dunk ke gawang lawan hingga bola tersebut masuk dengan mudahnya."Wah ... kereeen ...!" Aku menautkan jari-jariku. Tersenyum setengah memejam.Plak!Aw!"Biasa aja kali!"Aku mengelus kepalaku yang ditoyor oleh Melda, cewek berkacamata ini selalu saja membuatku sebal."Sakit tau! Emang salahku di mana sih?!" ucapku pelan dengan bibir manyun."Ya, gak ada yang salah dari kamu. Tapi, aku geli lihat ekspresimu seperti tadi! Seumur-umur baru kali ini kamu mengagumi seseorang sampai segitunya!" Melda mencibir."His!" Aku memalingkan muka menghindari wajah Melda yang membuatku semakin kesal. Seenaknya saja main toyor-toyor orang. Kembali menonton pertandingan dengan
Kalian boleh mengatakan kalau aku ini benar-benar plin-plan dalam mengambil sikap. Kenapa begitu? Karena saat ini aku sedang berada di sebuah tepi danau, yang aku sendiri tidak tahu ini di daerah mana. Dan, kalian tahu siapa yang membawaku? Ya! Yang membawaku ke sini adalah ... Bryan! Aku sedang bersama laki-laki ini sekarang.Suasana hatiku sedang kacau. Aku seperti selembar daun yang mengikuti kemana arah angin berhembus. Masih terus terngiang di telingaku kata-kata Devan yang menusuk jantungku tadi. Aku merasa rendah. Merasa kalau diri ini sudah tidak ada artinya lagi. Setidaknya dia telah menguatkan pandangan buruk kepadaku. Begitulah yang aku rasakan.Duduk di tepi danau sambil memeluk lutut, menatap lurus ke depan. Mencoba tidak lagi terisak dalam tangis, itulah yang sedang aku lakukan. Berharap ucapan Devan tidak lagi menari-nari di telingaku."Mau minum?" Bryan yang baru saja kembali dari mobil, menyodorkan sekaleng mi
Author POV~"Anandita kamu dapat mendengarku? Anandita bangunlah! Apa kau baik-baik saja? Anandita tolong dengarkan aku!" Bryan memukul-mukul wajah Anandita yang terkulai di bahu kekarnya. Berharap gadis itu dapat merespon ucapannya.Tentu keadaan Anandita sedang tidak baik saat ini. Tetapi, kecemasan yang dirasakan Bryan membuatnya kalang kabut. Pria itu mengangkat tubuh Anandita ke tepi danau. Membaringkan gadis itu tepat di mana mereka duduk tadi.Dengan sekujur tubuh yang basah kuyup, Bryan merunduk, mendekatkan telinganya ke hidung Anandita. Mencoba merasakan deruan nafas Anandita yang sama sekali tidak dia rasakan. mengambil tangan gadis itu, lalu merasakan denyut nadinya. Masih sedikit terasa, meski lemah.Cepat Bryan menekan-nekan bagian atas dada Anandita dengan kedua telapak tangannya yang saling bertumpu. Bryan melakukannya berulang kali. Berhenti, lalu mengulanginya lagi. Berharap air danau yang tertelan oleh Anandita bisa segera keluar.
Author POV~Anandita menelan salivanya dengan susah payah, membayangi apa yang mungkin Bryan lakukan pada dirinya. Dia sedang tidak mengenakan pakaian dalam, sudah pasti Bryan yang membukanya. Bukankah laki-laki ini tadi mengaku kalau dia yang telah melucuti dan mengganti pakaiannya?"Kau tidak perlu merasa terkejut seperti itu Anandita! Bukankah aku sudah pernah melihat seluruh tubuhmu?"Pandangan Anandita melayang ke wajah Bryan. Wajah yang menurutnya sangat menyebalkan. Bryan yang melihat tatapan kesal Anandita hanya tersenyum miring."Apa kau berpikir kalo aku menyetubuhimu ketika kau sedang tidak sadarkan diri? Hah!" Bryan tersenyum simpul. Membuat tatapan Anandita semakin menajam. "Kau salah Anandita! Bukankah sudah ku katakan padamu, bahwa aku tidak suka meniduri wanita yang sedang tidak sadarkan diri! Sangat tidak menyenangkan!"Anandita masih terpaku. Menatap tajam wajah yang pria yang sudah membuat hidupnya terombang-ambing. Gadis itu masih sa
Bryan POV~Tuhan! Dingin sekali rasanya kamar ini. Mana harus tidur di lantai seperti ini lagi. Andai saja ada jacketku tertinggal di rumah ini, pasti rasa dinginku sedikit berkurang. Brrr ...! Jika ini bukan karena mu Anandita, aku tidak akan mau berbuat seperti ini.Aku mengeluh dalam hati. Ku peluk tubuhku yang membutuhkan kehangatan. Meringkuk seperti udang yang baru saja direbus. Rasa dingin betul-betul menusuk tulangku. Jika aku tidak menceburkan diri ke danau tadi, mungkin tubuhku tidak selemah ini. Ditambah aku belum makan sesuap nasi sejak siang tadi. Sebenarnya, tadi paman menawarkan aku makanan. Tapi, melihat Anandita yang terbaring tidak sadarkan diri membuat selera makanku hilang.Aku terpaksa tidur di lantai sesuai permintaan Anandita. Padahal sebelumnya, aku juga tidak berbaring di ranjang itu. Aku hanya memangku wajah di atas kedua lengan dan tertidur dalam posisi duduk. Tapi, ketika dia sadar, dia sama sekali tidak mengizinkan aku berdekatan den