Masih ada tiga jam lagi sebelum jam dua belas siang untuk segera check out dari hotel. Ana turun ke lantai dasar untuk sarapan sambil membawa dompetnya yang penuh, karena ia membongkar celengannya sebelum pergi dari rumah. Tak lupa juga ponselnya dan juga ponsel suaminya yang ia sembunyikan. Dengan menaiki lift, Ana turun dengan memakai baju santai tanpa riasan. Langkahnya ringan saat memasuki restoran dengan disambut ramah oleh pelayan restoran dengan senyuman.
Pilihannya jatuh pada menu sphagetti, sosis jumbo bakar, dan segelas njus jeruk. P
"Hei, hentikan!"Bugh!Bugh!Bugh!Seorang lelaki dengan membabi buta memukuli dua lelaki yang tengah membekap mulut Ana menggunakan balok kayu besar. Ana menoleh takut, sambil memastikan wajah tak asing yang menolongnya."Bany Jay," lirihnya dengan gemetar."Mbak, ayo lari!"Jay menarik paksa tangan Ana untuk segera berlari dari tempat itu. Di tangannya masih memegang balok kayu untuk berjaga-jaga, siapa tahu dua lelaki yang tadi sudah terkapar pingsan kembali mengejar Ana.Keduanya berlari cukup jauh, hingga Ana sudah tak kuat lagi. Asmanya kambuh dan dia tak membawa obat semprot yang biasa ia gunakan. Kaki Ana berhenti berlari, lalu ia berjongkok, sambil mengatur napas agar tidak tersengal."Mbak kenapa?" tanya Bang Jay saat melihat Ana dengan wajah pucat dan napas sedikit sesak."Bang, saya gak kuat. Napas saya sesak. Bang, carikan ... sa-ya ... heh ... air hangat," ujar Ana putus-putus dengan tubuh sudah lu
Bugh!Bugh!Bugh!Krak!Krak!"Ayo, cepat!" Bang Jay baru saja memukul kepala belakang dua orang yang hampir saja menangkap Ana, dengan bata merah yang ia temukan tak jauh dari gubuk tak berpenghuni. Dua lelaki itu ambruk di lantai tanah rumah menyeramkan itu dengan darah mulai mengalir dari belakang kepala mereka.Ana berlari, tetapi ditahan oleh Bang Jay. Lelaki itu sedikit pucat menatap wanita di depannya."Bang, mereka nanti mengejar lagi," ujar Ana ketakutan."Tidak mungkin, Mbak. Mereka masih bisa tersadar saja sudah alhamdulillah. Semoga saya tidak menjadi pembunuh," jawab Bang Jay dengan datar. Ana menelan ludah takut. Siapa sebenarnya lelaki yang sudah berkali-kali menolongnya ini? Jika tidak ada Bang Jay, mungkin saja kaki, atau tangannya cacat dihajar oleh orang suruhan Tante Hepi."Abang gak papa?" tanya Ana saat mereka sudah menemukan jalan raya dan sudah berada di dalam angkutan umum."Saya udah bias
"Iya, kalau saya memang kencan memangnya kenapa? Mbak Endang mau dengan suami saya? Ambil gih!" ketus Ana sembari menarik tangan Bang Jay berlalu dari posisi Mbak Endang menatapnya dengan heran. Langkah kakinya semakin cepat. Lelaki yang ia tarik sampai terseret-seret mengimbangi langkah Ana."Jangan cepat-cepat jalannya, Mbak. Nanti bengek lagi," ucap Jay sambil menahan tawa. Seketika wanita itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada Bang Jay. Keduanya tergelak bersama, lalu melanjutkan langkah dengan sedikit lebih santai."Tadi siapa, Mbak?" tanya Jay pada Ana."Tetangga yang suka cari perhatian suami saya," jawab Ana sambil menoleh ke kanan dan kel kiri, mencari bus apa yang akan ia naiki menjelang malam seperti ini."Oh, emang suaminya ganteng ya, Mbak? Ganteng mana sama saya?" tanya Jay lagi dengan polosnya. Ana hanya bisa tertawa geli sambil menggelengkan kepala menatap Jay dari atas sampai bawah. Lihatlah lelaki hebat di depannya ini, beg
Mariana tersadar dari pingsannya. Bau minyak kayu putih yang tercium sangat tajam ke dalam hidungnya, membuat Ana sontak membuka matanya. Sudah ada banyak orang mengelilinginya, termasuk Bang Jay. Lelaki itu tengah memegang plastik yang sepertinya berisi air teh hangat."Alhamdulillah, sudah sadar Mbaknya," ujar salah satu ibu yang juga tengah berjongkok memijat telapak kaki Ana."Terima kasih, Bu. Saya sudah tidak apa-apa," ucap Ana sembari mencoba duduk walau kepalanya terasa sedikit pusing."Ayo, minum dulu," kata Jay sambil menyodorkan ujung sedotan ke dalam mulut Ana. Wanita itu menerima plastik teh dan meneguknya dengan banyak. Jay nampak lega, begitu juga dengan beberapa orang yang ada di sana-akhirylnya satu per satu bubar meninggalkan Ana dan Jay saja."Bang, kita harus ke mana sekarang?" tanya Ana masih dengan wajah sedikit pucat dan nampak lemas."Saya ada teman di Tangerang. Semoga saja bisa kita tumpangi sementara. Bagaimana?"
"Saya bersedia jadi istri Bang Jay."Huk!Huk!Huk!"Tapi bo'ong! Ye ...." Ana tergelak hingga sakit perut. Sedangkan Jay, seketika itu juga berhenti terbatuk, sembari tersenyum miring pada wanita di sampingnya ini."Dah, jangan bengong! Kapan sampainya ini, Bang? Lama sekali. Saya mau rebahan ini," rengek Ana yang sudah merasa sangat tak nyaman dengan tubuhnya yang berkeringat dan sangat bau."Di halte depan. Ayo, siap-siap!" Jay mengajak Ana bangun dari duduknya, lalu berdiri tepat di dekat kernet metromini yang berada di pintu belakang."Kiri depan, Bang," ujarnya pada kernet itu.Trek!Trek!Trek!Kernet memukul uang logam perak di kaca sebanyak tiga kali. Pertanda ada penumpang yang minta berhenti. Metromini menepi di halte. Ana diminta Jay turun terlebih dahulu, baru kemudian dirinya. Tak hanya mereka berdua, ada beberapa orang penumpang lagi yang ikut turun juga, tetapi dari pintu belakang.Setelah bu
"Sudah, jangan menangis lagi. Kita sudah jauh dari rumah bajingan itu," bujuk Jay dengan suara penuh iba. Ana masih saja terisak di balik punggungnya;bahkan getaran dari rangkulan erat tangannya masih sangat terasa di lehernya."Saya masih takut," balas Ana dengan suara gemetar."Hhm ... Sekarang sudah aman, Mbak. Jangan sampai ada yang mendengar isakan Mbak Ana. Nanti malah kita dikira pasangan mesum," terang Jay sembari menoleh sedikit ke samping kiri pundaknya."Iya, Bang. Saya akan berhenti menangis," sahut Ana akhirnya."Turunin, Bang. Saya bisa jalan kaki saja," lanjutnya lagi sembari bergerak turun dari punggung Jay. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Ana turun, lalu berjalan bersisian dengan Jay. Suara jangkrik, kodok, dan suara burung di sekitar tempat ia berjalan kini, membuat Ana merinding. Tubuhnya ia rapatkan pada Jay. Sigap dipeganganya lengan Jay dengan kuat. Sembari mengendarkan pandangan ke sekeliling yang sangat menyeramkan.
Jay dan Ana sudah tidak berada di penginapan lagi. Keduanya kini tengah berada di pasar tradisional untuk membeli beberapa pakaian. Hal itu diputuskan setelah Ana jujur pada Jay, bahwa ia ketinggalan celana dalam di kamar mandi Darto yang sedang ia jemur. Sehingga merahlah wajah Jay saat Ana membisikinya hal tabu seperti itu. Berarti, sejak menggedongnya semalam, Ana tak memakai pakaian dalam."Bang, jangan jauh-jauh!" rengek Ana saat ia memilih beberapa celana dalam obral dari dalam box. Jay mengangguk, sambil terus mengawasi keadaan sekitar. Ana membeli setengah lusin pakaian dalam untuknya dan juga untuk Jay. Setelah dari sana, mereka pindah ke toko daster. Ana membeli 2 buah daster, satu baju kaus, dan juga satu celana boxer selutut untuknya dan juga untuk Jay."Bang, dua ratus ribu," bisik Ana saat tangan dan matanya sibuk memilih motif kaus untuk Jay. Ia mendekatkan kaus di tubuh lelaki tegap yang masih setia menunggu dan memegang semua belanjaannya.
Saat ini, Rangga sudah berada di Terminal Lebak Bulus, sesuai arahan dari seseorang yang mengakui mengetahui keberadaan Ana. Jujur, sebenarnya lelaki itu sangat malas, karena kondisinya baru saja pulih. Hingga ia lebih memilih menunggu di dalam mobil saja. Rangga hanya memerlukan dua orang yang menemui lelaki yang berjanji dengannya.Berjanji di terminal dan bila ia nekat turun, maka dapat dipastikan ia akan kembali muntah-muntah. Sukurlah, Tante Hepi baru berangkat ke Thailand untuk urusan bisnisnya selama sepekan, hingga ia bisa bergilir menemui Dini, Eka, dan dua pacar gelap lainnya.Matanya sibuk mencari keberadaan lelaki yang katanya memakai celana pendek dan juga baju kaus hitam, dari balik kaca mobil. Namun sudah lima belas menit menunggu tidak juga muncul lelaki dengan ciri-ciri yang ia cari. Dua orang ajudannya sudah berpencar, mencari seseorang yang dimaksud. Hingga tinggalah Rangga seorang diri di dalam mobil, bak raja."Mbak yakin itu mobilnya?