Jisya meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Sejak pagi dia enggan untuk beranjak dari kursinya. Yuna, teman yang duduk di sebelahnya mengernyitkan kening melihat Jisya yang tak sesemangat biasanya. Tangan lembutnya terulur menyentuh kening Jisya. “Nggak panas kok,” ujarnya.
Jisya perlahan menepis tangan Yuna menjauh dari kepalanya. “Aku nggak sakit, Yuna.” Yuna bernapas lega karena akhirnya Jisya mau bersuara. Pasalnya, sejak pagi Jisya murung seperti tak memiliki semangat hidup.
Bagaimana mau semangat kalau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Semalaman penuh dia memikirkan tentang Abin yang berubah beberapa hari terakhir. Jujur saja, Jisya khawatir kalau Abin pindah ke lain hati.
Bukannya apa-apa. Abin dulu terkenal playboy dan suka gonta-ganti pacar. Jisya sebenarnya sudah mempersiapkan itu. Tapi, tetap saja ada rasa tidak rela melepas Abin untuk perempuan lain.
“Kamu mau ke kantin, kan? Duluan aja. Aku nggak ke kantin hari ini,” ujar Jisya pada Yuna. Yuna spontan mengerutkan keningnya. “Loh, kenapa? Aku bawain aja ya buat kamu makan di sini?”
“Nggak usah, Yuna. Aku udah sarapan di rumah tadi. Aku belum laper.”
“Kamu bohong ya? Mama kamu kan ngak pernah masak buat sarapan? Kamu kenapa sih? Ada masalah sama Abin?”
Jisya enggan menanggapi pertanyaan Yuna dan membalik kepalanya memunggungi Yuna. Dia sama sekali tidak mau diganggu atau ditanyai apa pun. Untung saja Yuna bisa berpikir lebih dewasa dari Jisya. Dia tidak mengambil hati sikap sahabatnya itu.
Yuna hanya menghela napas jenuh. Memang susah mengembalikan mood Jisya jika sudah seperti itu. Dia pun beranjak dari bangkunya dengan perlahan agar tidak terdengar bunyi yang mengganggu Jisya.
Tak berselang lama Jisya merasa ada yang mengusap pucuk kepanya. “Yuna… udah dibilangin aku nggak apa-apa.”
“Kok Yuna sih? Emangnya Yuna udah berubah jadi cowok ganteng?” Jisya spontan membelalakkan matanya. Dia tentu saja hafal dengan suara laki-laki yang sedang mengajaknya bicara itu. Perlahan Jisya membenarkan duduknya dan menatap laki-laki yang duduk di kursi Yuna itu.
“Abin? Ngapain kamu di sini?”
“Kata Yuna, tadi kamu nggak mau makan. Kenapa?”
"Nggak apa-apa.”
Abin mengenal lebih dari seratus wanita di hidupnya. Tentu saja dia tahu di balik kata tidak apa-apanya perempuan pasti ada apa-apa. Tapi, Abin tidak mau berlaku sok tahu. Dia ingin Jisya sendiri yang mengutarakan isi hatinya. “Maaf, kemarin nggak bisa nungguin kamu sampai selesai. Papa tiba-tiba telepon.”
Awalnya Jisya memang marah dengan Abin. Tapi, mendengar kata maaf dari Abin sepertinya Jisya tidak sanggup untuk berlama-lama marah. Dia tidak mau Abin merasa bersalah.
“Nanti malam dinner, yuk! Kita kan jarang-jarang quality time.” Ajakan Abin akhirnya membuat Jisya bersedia mengangkat wajahnya dan menatap laki-laki itu. “Serius, Abin?”
“Serius dong, Sayang.... Nanti malam dandan yang cantik, pakai dress buatan Mama, aku jemput. Kita ke restoran Papa." Belum apa-apa Jisya sudah luluh dengan ucapan Abin.
“Aku udah bawain bubur ayam kesukaan kamu, nih. Mau makan sendiri apa disuapin?” Jisya langsung mengambil kotak makan berisi bubur ayam yang dipegang Abin. Membukanya dengan perlahan dan mengaduknya hingga tercampur. “Kamu bantu aku habisin ya?” tawar Jisya pada Abin. Jisya mulai menyuapkan sendok demi sendok bubur itu ke mulunya sendiri dan sesekali ke mulut Abin.
***Di sebuah restoran bintang lima milik papa Abin, Abin dan Jisya duduk berhadapan memegang pisau dan garpu untuk memakan steak di hadapan mereka. Meja di depan mereka juga sudah cantik berhias bunga dengan hidangan berbagai macam makanan dan minuman mewah. Alunan musik klasik terdengar merdu menambah kesan romantis kencan mereka malam itu.
Abin tak lepas menatap Jisya yang cantik dengan balutan midi dress berwarna nude dengan jepit berwarna silver menghiasi rambut sebelah kirinya. “Kamu semakin hari kok semakin cantik ya, Sya?” rayu Abin menatap Jisya dengan senyuman menawan.
Pipi Jisya yang berlapis blush on itu semakin merona mendengar pujian Abin. Jisya tidak suka dipuji. Tapi, jika yang memujinya itu Abin, entah mengapa Jisya sangat bahagia.
Mungkin kencam Abin dan Jisya terkesan berlebihan bagi pasangan seusia mereka. Tapi, bagi Abin itu hal biasa. Keluarganya sering mengadakan acara-acara besar. Jadi, yang dilakukannya itu menurutnya tidak ada apa-apanya dari pada acara-acara yang digelar keluargaya.
“Abin, kok kamu gelisah gitu?” Di pertengahan acara makan malam mereka, Jisya melihat Abin seperti tidak nyaman dengan makan malam mereka. Berkali-kali memeriksa ponselnya dan bergerak seperti seorang yang mengkhawatirkan sesuatu.
“Enggak, kok. Cuma kebelet aja. Aku ke belakang dulu ya?” Tanpa menunggu jawaban dari Jisya Abin beranjak dari tempatnya dengan membawa ponsel. Jisya hanya bisa geleng-geleng kepala dan melanjutkan makannya lagi.
Sampai makanan Jisya habis, Abin tak kunjung kembali. Jisya sedikit trauma dengan sikap Abin yang tiba-tiba menghilang. Dia takut ditinggalkan lagi seperti kemarin.
Jisya melirik kembali jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah satu jam Abin tak memunculkan batang hidungnya lagi. Sampai akhirnya Jisya memutuskan untuk meneleponnya.
“Abin, kamu di mana sih? Kok lama banget. Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Jisya setelah teleponnya tersambung dengan Abin. Terdengar suara hembusan angin dari sebrang membuat Jisya mengerutkan kening. Abin seperti tengah berada di dalam mobil yang melaju kencang.
“Jisya, maaf ya aku nggak bisa nganter kamu pulang. Aku ada urusan mendadak. Kamu bisa pulang sendiri,kan?”
Tak salah prasangka Jisya dari awal. Lagi-lagi Abin meninggalkannya begitu saja tanpa ada rasa bersalah. Bukan masalah Jisya bisa pulang sendiri atau tidak. Tapi, Jisya merasa menjadi perempuan tercampakkan yang berkali-kali ditingalkan kekasihnya sendirian di tempat umum. Terlebih sudah hampir larut malam.
“Iya, nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri. Kamu hati-hati ya, Abin?” jawab Jisya dengan berat hati. Tapi, sebisa mungkin dia mengontrol suaranya terdengar baik-baik saja agar Abin tidak bisa mengetahui rasa kesalnya yang beribu-ribu.
Jisya hanya manusia biasa yang juga bisa marah. Hanya saja, dia tidak ingin orang lain tahu jika dia tengah marah. Dia tidak ingin orang lain merasa bersalah padanya.
Setelah menutup sambungan teleponnya, Jisya bergergas memasukkan ponselnya ke dalam slingbag dan berjalan keluar restoran itu seorang diri. Rasanya cukup malu ketika berjalan melewati meja demi meja yang semuanya berisikan pasangan kekasih. Ketika dia berjalan sendirian, dia terlihat seperti perempuan kesepian atau perempuan yang dicampakkan.
Jisya sangat malu ketika Terlihat memprihatinkan. Dia akui dia sedih, tapi tidak mau ada orang lain yang melihat kesedihannya. Atau bahkan sampai ada yang bertanya apakah dia baik-baik saja.
Beruntung, ponselnya sempat dia charge sampai penuh hingga tidak lagi kehabisan baterai dan bisa memesan taksi online. Tak perlu menunggu lama, taksi pesanannya datang dan Jisya segera memasukinya.
Di dalam taksi Jisya hapir meneteskan air mata karena kecewa dengan Abin. Ketika air matanya baru sampai pelupuk, Jisya langsung menghapusnya agar tidak ada yang tahu dia tengah menangis. Semakin hari Abin semakin terlihat mencurigakan. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan di balik sikap manisnya?
To be continue....
Setelah meninggalkan restoran, Abin langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit. Masih dengan setelan jas rapinya, Abin berlari menyusuri koridor mencari ruangan seseorang. Sampai di ruangan tujuannya, Abin berpapasan dengan dokter yang memeriksa orang yang dia cari. “Gimana, Dok kondisi teman saya?” Dokter pria paruh baya itu tersenyum pada Abin. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Hanya luka ringan. Tidak perlu menginap juga.” Abin menghela napasnya dengan lega dan bergegas memasuki ruangan itu. Belum sempat melewati pintu, Abin spontan menghentikan langkahnya. Mengambil sebuah cincin dari saku kemeja, lantas memakainya di jari manis. Ketika membuka pintu, Abin melihat seorang gadis berambut pirang seumuran dengannya sedang tiduran di ranjang sambil memainkan ponsel dengan santai. “Bikin orang khawatir aja,” omel Abin pada gadis itu. Gadis itu berd
Abin mengelilingi setiap sudut kampus untuk mencari Jisya. Sejak pagi, kekasihnya itu tidak menunjukkan batang hidung di hadapannya. Terlebih, ketika berangkat ke kampus Jisya tidak mau menunggu Abin menjemputnya dan lebih memilih berangkat dengan taksi online. Setelah lelah mencari, akhirnya Abin menemukan Jisya di perpustakaan tengah sibuk menyicil skripsi. Jisya yang tengah sibuk mengetik tiba-tiba merasakan pipinya dingin. Abin datang dengan menempelkan es krim di pipinya. “Jadi, aku dicuekin nih?” tanya Abin sambil duduk di samping Jisya. Jisya pun berdecak sebal, lantas menutup laptopnya. Menatap Abin dengan mata yang memutar. “Abin… kebiasaan banget sih ngagetin orang,” gerutunya. Abin pun hanya memandangi wajah kesal Jisya dengan senyuman. “Siapa suruh nyuekin aku?” protes Abin kembali berpura-pura tak acuh. Jisya memalingkan wajahnya dari Abin dan kembali sibuk membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. Abin memamerkan es krim ber
Abin dan Jisya sudah berada di depan kos-kosan Yuna. Melihat Yuna dari dalam mobil tengah mengunci kos-kosannya. Lantas perlahan menghampiri mobil Abin. “Sorry, nunggu lama ya?” tanya Yuna ketika sudah duduk di bangku belakang. “Nggak kok, baru juga sampai,” jawab Jisya. Dan Abin pun mulai melajukan mobilnya. Dia melirik Yuna dari kaca spion. Yuna, gadis perantauan yang melanjutkan kuliah di kota itu. Tinggal sendirian di kos-kosan yang baginya sangat sempit. Bahkan luasnya hanya seperempat kamarnya. Rambut hitam legam sangat kontras dengan kulit putihnya. Bibir tipisnya terlihat manis ketika tersenyum. Abin sempat tidak percaya kalau gadis secantik Yuna belum pernah pacaran. Dia mendengar semua ceritanya dari Jisya. Jisya pun sebenarnya sama. Dia baru pertama kali pacaran. Awalnya, Abin mati-matian mengejar gadis itu hingga akhirnya luluh. Memang sifat sahabat itu biasanya tidak jauh-jauh. Bahkan, semakin hari wajah Jisya dan Yuna semakin mirip
Jisya mengunjungi kos-kosan Yuna sekalian numpang mengerjakan skripsi. Duduk lesehan di atas karpet dengan laptop di depannya dan tumpukan kertas. Jisya selalu semangat mengerjakan skripsinya karena dia punya target lulus lebih cepat dari teman-temannya. “Abin kayaknya beneran berubah deh sejak pacaran sama kamu," ucap Yuna di tengah kesibukan Jisya. Dia istirahat sejenak untuk menonton drama Korea karena lelah mengerjakan skripsi dari pagi. Sejenak Jisya pun menghentikan tangannya yang sedang mengetik di atas keyboard laptop karena mendengar nama Abin disebutkan Yuna. “Nggak tahu juga sih. Kalau emang beneran berubah ya syukur. Semoga aja berubahnya bukan karena aku.” Yuna mengernyitkan keningnya. “Kok gitu?” “Kalau Abin berubah karena aku, kalau kita putus, pasti dia balik lagi kayak dulu. Aku nggak mau. Aku maunya Abin berubah memang niat dari dirinya sendiri.” Yuna menganggukkan kepala menyetujui ucapan Jisya. “Bener juga ya? Eh, tapi, aku
Brak! "What the fuck!" Pagi itu di kampus Abin dan Jisya tengah ramai membicarakan mahasiswi baru yang sudah membuat ulah. Siapa lagi kalau bukan Linzy. Baru saja masuk di area kampus, mobil mercy merah kesayangannya sudah menabrak sepeda motor matic milik salah satu mahasiswi di kampus itu sampai rusak parah. Kemampuan mengemudi Linzy memang payah, tapi tetap saja nekat menyetir sendiri. Pemilik motor itu sudah sesenggukan meratapi nasib motornya yang sama sekali tidak bisa digunakan. Tidak sedih bagaimana, dia mahasiswi perantauan yang jauh dari orang tua. Susah mencari uang lagi. Dan tega-teganya Linzy memperparah keadaannya. "Keluar kamu!" Mahasiswi itu mengetuk kaca mobil Linzy dengan keras. Linzy tak berhenti mengumpat di dalam mobil. Dia membuka pintunya dan turun dengan gaya ala selebriti seraya melepas kaca mata hitamnya. Jadi, you yang punya motor butut ini?" "Kamu harus ganti motor aku!" bentak mahasiswi itu.
Yuna sangat tidak nyaman berada di dalam satu mobil yang sama dengan Kaffa dan Fras. Dia duduk di bangku belakang seraya menatap jalanan dari jendela. Kalau bukan Jisya yang menyuruh, tidak mungkin mau pulang bersama dua laki-laki dalam satu mobil. Kaffa melirik Fras dan mengarahkan lirikannya pada Yuna. Tingkah mereka berdua sangat mencurigakan. Untung saja Yuna tak melihat ke depan hingga tidak tahu kode apa yang saling mereka lemparkan. "Yun, kok lo jarang bales chat gue sih?" tanya Kaffa memecah kesunyian dalam mobil. "Lagi males aja." Sikap cuek Yuna membuat Kaffa dan Fras terkekeh. Mereka semakin tertantang memenangkan pertaruhan yang mereka jalankan. "Kalau chat dari gue masih males bales juga nggak?" tanya Fras. Dalam hatinya mengumpati Kaffa karena mendahului start. "Sama aja. Udah, deh, kalian jangan ngomong aja. Tuh, kos-kosan aku udah di depan." Kaffa dan Fras sama-sama tertawa. Mereka kira kos-ko
Linzy melihat Jisya masuk ke dalam toliet. Gadis itu dan geng barunya membututinya dan langsung mengunci Jisya dari luar. Setelah berhasil mengunci Jisya dari luar, mereka bertiga melakukan tos dan segera meninggalkan tempat itu sebelum ada yang tahu. Jisya yang ingin keluar pun mulai kebingungan tak bisa membuka pintunya. "Tolong... ada orang di luar? Aku kekunci di dalam." Jisya mulai panik karena lima menit dia berteriak tidak ada yang menyahut. Udara yang pengap di dalam ruangan itu membuatnya tidak bisa bernapas dengan luluasa dan dadanya terasa sesak. "Tolong.... " Teriakannya semakin parau dengan terisak. Air matanya juga sudah menggenang di pelupuk matanya. Jisya sudah merasa napasnya semakin sesak. Menyandarkan punggungnya di pintu dengan pasrah. Berharap ada orang yang segera memasuki toilet. Dia ada janji dengan Abin untuk menemaninya latihan band. Tapi, sudah satu jam Jisya belum bisa keluar dari toilet. Keb
Yuna dibuat pusing oleh Jisya yang tengah sakit. Sudah seharian penuh dia tidak mau makan. Bahkan, mamanya justru ada pekerjaan di luar kota. Jisya di rumah sendirian dan hanya berbaring lemah di kamarnya. Kalau saja Yuna tidak nekat datang ke rumahnya, pasti tidak tahu apa yang terjadi pada sahabatnya itu. "Ayo dong, Jisya makan sedikit aja buat minum obatnya." Jisya masih menutup rapat mulutnya dan kembali menarik selimut. "Yuna, aku cuma butuh istirahat kok. Besok juga udah bisa ngampus." Yuna tidak yakin dengan keadaan Jisya yang seperti itu hanya memerlukan istirahat. Bahkan, Jisya seharusnya dirawat di runah sakit. Tapi, apa daya Yuna yang tidak bisa memaksanya sedikit pun hanya bisa menghela napas panjang. "Ya udah, kamu istirahat aja. Tapi, kamu nggak mau gitu cerita ke aku tentang masalah kamu?" Yuna tahu, Jisya kalau sudah jatuh sakit pasti memikirkan masalah yang berat. "Masalah sama Abin Ya?" tebak Yuna. Terakhir Yuna bertemu