Share

Dinner

Author: Jeon Juliet
last update Last Updated: 2021-07-21 12:52:06

Jisya meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Sejak pagi dia enggan untuk beranjak dari kursinya. Yuna, teman yang duduk di sebelahnya mengernyitkan kening melihat Jisya yang tak sesemangat biasanya. Tangan lembutnya terulur menyentuh kening Jisya. “Nggak panas kok,” ujarnya.

Jisya perlahan menepis tangan Yuna menjauh dari kepalanya. “Aku nggak sakit, Yuna.” Yuna bernapas lega karena akhirnya Jisya mau bersuara. Pasalnya, sejak pagi Jisya murung seperti tak memiliki semangat hidup.

Bagaimana mau semangat kalau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Semalaman penuh dia memikirkan tentang Abin yang berubah beberapa hari terakhir. Jujur saja, Jisya khawatir kalau Abin pindah ke lain hati.

Bukannya apa-apa. Abin dulu terkenal playboy dan suka gonta-ganti pacar. Jisya sebenarnya sudah mempersiapkan itu. Tapi, tetap saja ada rasa tidak rela melepas Abin untuk perempuan lain.

“Kamu mau ke kantin, kan? Duluan aja. Aku nggak ke kantin hari ini,” ujar Jisya pada Yuna. Yuna spontan mengerutkan keningnya. “Loh, kenapa? Aku bawain aja ya buat kamu makan di sini?”

“Nggak usah, Yuna. Aku udah sarapan di rumah tadi. Aku belum laper.”

“Kamu bohong ya? Mama kamu kan ngak pernah masak buat sarapan? Kamu kenapa sih? Ada masalah sama Abin?”

Jisya enggan menanggapi pertanyaan Yuna dan membalik kepalanya memunggungi Yuna. Dia sama sekali tidak mau diganggu atau ditanyai apa pun. Untung saja Yuna bisa berpikir lebih dewasa dari Jisya. Dia tidak mengambil hati sikap sahabatnya itu.

Yuna hanya menghela napas jenuh. Memang susah mengembalikan mood Jisya jika sudah seperti itu. Dia pun beranjak dari bangkunya dengan perlahan agar tidak terdengar bunyi yang mengganggu Jisya.

Tak berselang lama Jisya merasa ada yang mengusap pucuk kepanya. “Yuna… udah dibilangin aku nggak apa-apa.”

“Kok Yuna sih? Emangnya Yuna udah berubah jadi cowok ganteng?” Jisya spontan membelalakkan matanya. Dia tentu saja hafal dengan suara laki-laki yang sedang mengajaknya bicara itu. Perlahan Jisya membenarkan duduknya dan menatap laki-laki yang duduk di kursi Yuna itu.

“Abin? Ngapain kamu di sini?”

“Kata Yuna, tadi kamu nggak mau makan. Kenapa?”

"Nggak apa-apa.”

Abin mengenal lebih dari seratus wanita di hidupnya. Tentu saja dia tahu di balik kata tidak apa-apanya perempuan pasti ada apa-apa. Tapi, Abin tidak mau berlaku sok tahu. Dia ingin Jisya sendiri yang mengutarakan isi hatinya. “Maaf, kemarin nggak bisa nungguin kamu sampai selesai. Papa tiba-tiba telepon.”

Awalnya Jisya memang marah dengan Abin. Tapi, mendengar kata maaf dari Abin sepertinya Jisya tidak sanggup untuk berlama-lama marah. Dia tidak mau Abin merasa bersalah.

“Nanti malam dinner, yuk! Kita kan jarang-jarang quality time.” Ajakan Abin akhirnya membuat Jisya bersedia mengangkat wajahnya dan menatap laki-laki itu. “Serius, Abin?”

“Serius dong, Sayang.... Nanti malam dandan yang cantik, pakai dress buatan Mama, aku jemput. Kita ke restoran Papa." Belum apa-apa Jisya sudah luluh dengan ucapan Abin.

“Aku udah bawain bubur ayam kesukaan kamu, nih. Mau makan sendiri apa disuapin?” Jisya langsung mengambil kotak makan berisi bubur ayam yang dipegang Abin. Membukanya dengan perlahan dan mengaduknya hingga tercampur. “Kamu bantu aku habisin ya?” tawar Jisya pada Abin. Jisya mulai menyuapkan sendok demi sendok bubur itu ke mulunya sendiri dan sesekali ke mulut Abin.

***

Di sebuah restoran bintang lima milik papa Abin, Abin dan Jisya duduk berhadapan memegang pisau dan garpu untuk memakan steak di hadapan mereka. Meja di depan mereka juga sudah cantik berhias bunga dengan hidangan berbagai macam makanan dan minuman mewah. Alunan musik klasik terdengar merdu menambah kesan romantis kencan mereka malam itu.

Abin tak lepas menatap Jisya yang cantik dengan balutan midi dress berwarna nude dengan jepit berwarna silver menghiasi rambut sebelah kirinya. “Kamu semakin hari kok semakin cantik ya, Sya?” rayu Abin menatap Jisya dengan senyuman menawan.

Pipi Jisya yang berlapis blush on itu semakin merona mendengar pujian Abin. Jisya tidak suka dipuji. Tapi, jika yang memujinya itu Abin, entah mengapa Jisya sangat bahagia.

Mungkin kencam Abin dan Jisya terkesan berlebihan bagi pasangan seusia mereka. Tapi, bagi Abin itu hal biasa. Keluarganya sering mengadakan acara-acara besar. Jadi, yang dilakukannya itu menurutnya tidak ada apa-apanya dari pada acara-acara yang digelar keluargaya.

“Abin, kok kamu gelisah gitu?” Di pertengahan acara makan malam mereka, Jisya melihat Abin seperti tidak nyaman dengan makan malam mereka. Berkali-kali memeriksa ponselnya dan bergerak seperti seorang yang mengkhawatirkan sesuatu.

“Enggak, kok. Cuma kebelet aja. Aku ke belakang dulu ya?” Tanpa menunggu jawaban dari Jisya Abin beranjak dari tempatnya dengan membawa ponsel. Jisya hanya bisa geleng-geleng kepala dan melanjutkan makannya lagi.

Sampai makanan Jisya habis, Abin tak kunjung kembali. Jisya sedikit trauma dengan sikap Abin yang tiba-tiba menghilang. Dia takut ditinggalkan lagi seperti kemarin.

Jisya melirik kembali jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah satu jam Abin tak memunculkan batang hidungnya lagi. Sampai akhirnya Jisya memutuskan untuk meneleponnya.

“Abin, kamu di mana sih? Kok lama banget. Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Jisya setelah teleponnya tersambung dengan Abin. Terdengar suara hembusan angin dari sebrang membuat Jisya mengerutkan kening. Abin seperti tengah berada di dalam mobil yang melaju kencang.

“Jisya, maaf ya aku nggak bisa nganter kamu pulang. Aku ada urusan mendadak. Kamu bisa pulang sendiri,kan?”

Tak salah prasangka Jisya dari awal. Lagi-lagi Abin meninggalkannya begitu saja tanpa ada rasa bersalah. Bukan masalah Jisya bisa pulang sendiri atau tidak. Tapi, Jisya merasa menjadi perempuan tercampakkan yang berkali-kali ditingalkan kekasihnya sendirian di tempat umum. Terlebih sudah hampir larut malam.

“Iya, nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri. Kamu hati-hati ya, Abin?” jawab Jisya dengan berat hati. Tapi, sebisa mungkin dia mengontrol suaranya terdengar baik-baik saja agar Abin tidak bisa mengetahui rasa kesalnya yang beribu-ribu.

Jisya hanya manusia biasa yang juga bisa marah. Hanya saja, dia tidak ingin orang lain tahu jika dia tengah marah. Dia tidak ingin orang lain merasa bersalah padanya.

Setelah menutup sambungan teleponnya, Jisya bergergas memasukkan ponselnya ke dalam slingbag dan berjalan keluar restoran itu seorang diri. Rasanya cukup malu ketika berjalan melewati meja demi meja yang semuanya berisikan pasangan kekasih. Ketika dia berjalan sendirian, dia terlihat seperti perempuan kesepian atau perempuan yang dicampakkan.

Jisya sangat malu ketika Terlihat memprihatinkan. Dia akui dia sedih, tapi tidak mau ada orang lain yang melihat kesedihannya. Atau bahkan sampai ada yang bertanya apakah dia baik-baik saja.

Beruntung, ponselnya sempat dia charge sampai penuh hingga tidak lagi kehabisan baterai dan bisa memesan taksi online. Tak perlu menunggu lama, taksi pesanannya datang dan Jisya segera memasukinya.

Di dalam taksi Jisya hapir meneteskan air mata karena kecewa dengan Abin. Ketika air matanya baru sampai pelupuk, Jisya langsung menghapusnya agar tidak ada yang tahu dia tengah menangis. Semakin hari Abin semakin terlihat mencurigakan. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan di balik sikap manisnya?

To be continue....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Liar Boyfriend   Kembali Pulang

    Pagi itu Yuna sudah membersihkan diri dan tengah mengeringkan rambut di depan cermin. Hari terakhir mereka di bali. Tak bosan mereka menghabiskan malam berdua dengan melakukan hubungan suami istri sekalipun mereka belum sah secara hukum maupun agama. Namun, beberapa hari terakhir dia dibuat uring-uringan pasca melihat panggilan dari Linzy di kontak Abin. Abin keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit piganggya. Bibirnya tersenyum menatap pantulan wajah Yuna dari cermin. Dia tak pernah bosan mengakui kecantikan Yuna. Namun, dia belum bisa memutuskan pada siapa menjatuhkan hati. "Linzy siapa sih, Bin?" tanya Yuna dengan wajah terlihat sinis. "Mantan aku. Kenapa?" Jawaban Abin terdengar meyakinkan. Seolah memang yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. Kalau seperti itu sulit untuk Yuna tidak percaya. Namun, yang namanya wanita, dia mudah sekali mencemburui. "Oh. Masih saling contact ya?" Abin jelas tahu Yuna cemburu. Dia hanya menutupinya saja. Wajah cemburu Yuna yang

  • My Liar Boyfriend   Di Tepi Pantai

    Hari-hari Jisya semakin terasa sepi. Dia mendapat kabar bahwa Yuna sedang ada Pemotretan di Bali untuk satu minggu ke depan dan Abin masih saja tidak menghubungi. Kalau perempuan lain, pasti sudah minta untuk putus. Untunya, dia Jisya. Perempuan yang memiliki pikiran selalu positif dan selalu sabar.Yuna sudah sampai Bali bersama crew dan Abin. Dia bahkan sudah menyelesaikan pemotretan hari pertama dengan sangat sempurna.Sore itu Yuna sudah mengganti pakaiannya dengan gaun berwarna putih sedikit transparan dan berjalan di bibir pantai tanpa alas kaki seraya menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam.Dari kejauhan Abin yang kebetulan membawa kamera, lantas mengarahkan lensanya untuk menangkap potret perempuan cantik itu. Tidak salah Dion sangat membanggakan Yuna karena dalam situasi apa pun, foto-foto Yuna selalu bagus, sekalipun tanpa diedit.Bibir Abin melengkungkan sebuah senyuman seraya berlari mengejar Yuna dan langsung memeluknya dari belakan

  • My Liar Boyfriend   Dukungan

    Jemari lentik Linzy sibuk mengetikkan kombinasi angka untuk membuka pintu apartemen Abin. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka hingga membuatnya menghentakkan kaki dengan kesal. Sebelum-sebelumnya dia bisa leluasa mengakses tempat pribadi tunangannya itu. Tapi, sejak Abin sering membawa Yuna keluar masuk, dia sengaja mengganti kodenya agar Linzy tak sembarangan masuk dan bisa-bisa mengetahui kelakuan bejatnya. "Ini kenapa diganti sih passwordnya?" kesal Linzy seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya.Dia akhirnya menyerah dan memilih untuk menghubungi Abin. "Hallo, Bin! Kok passwordnya diganti sih? Aku kan jadi nggak bisa masuk! Aku capek tahu dari tadi ngetik passwordnya nggak kebuka juga! Kamu tahu nggak sih kalau kaki sama jari aku sampai pegel gini? Sekarang kamu di mana? Di dalem, kan? Atau lagi di luar? Ini passwordnya berapa? Aku mau masuk, buruan!" "Ck, berisik banget sih kamu, Zy!" Belum juga Linzy menutup teleponnya, Abin tiba-

  • My Liar Boyfriend   Janjian

    Pagi itu Jisya tengah berjalan gontai di koridor rumah sakit dengan menggenggam selembar surat hasil tes laboratorium. Kepalanya menunduk menatap lantai yang dia pijak, seolah tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dia yang biasanya selalu ceria dan semangat, kini menjadi pemurung. Bruk! Tiba-tiba ada seorang yang dengan sengaja membenturkan diri padanya hingga surat hasil laboratorium itu jatuh. "Ups! Sorry, sengaja." Jisya membungkukkan badannya untuk meraih kembali hasil tesnya. Namun, lagi-lagi orang itu membenturkan diri lagi hingga Jisya tersungkur di lantai. Jisya memejamkan matanya untuk menahan segala emosi yang melanda. Tangannya mengepal dengan berkali-kali menghela napas panjang. Demi menghindari adu mulut dengan perempuan itu, Jisya memilih untuk melanjutkan langkah tanpa memedulikannya. "Heh, tunggu!"

  • My Liar Boyfriend   Tanpa Kabar

    Sudah seharian Jisya tidak mendapat kabar dari Yuna maupun Abin. Bukannya apa-apa, hanya saja tidak biasanya Yuna melupakannya. Terlebih dia mendapatkan kabar baik karena berkerja sama dengan designer luar negri. Biasanya dia akan curhat pada Jisya tentang hari-harinya. Abin pun juga begitu. Tidak ada sekali saja niat menanyakan kabar Jisya. Tidak tahu kalau gadis itu tengah menahan tubuhnya yang tengah sakit. Ditambah lagi sudah berhari-hari mamanya tidak pulang. Dia harus merawat dirinya sediri yang lemah. Masih memandangi layar ponsel, tiba-tiba saja darah menetes melalui hidungnya dan mengenai selimut. Dalam hatinya sangat panik dengan hal itu, hanya saja Jisya mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Nggak apa-apa, Jisya... Cuma mimisan kok," monolognya seraya meraih tisu di atas nakas untuk mengusap hidungnya. Bukannya berhenti, darahnya justru semakin banyak menetes hingga Jisya berkali-kali

  • My Liar Boyfriend   Project Besar

    Jisya sampai rumah dengan selamat. Beruntung sebelum baterai ponselnya habis, taksi online yang dia pesan tiba di waktu yang tepat. Hanya saja karena kehujanan gadis itu mendadak terserang flu. Sejak malam sampai pagi hanya bergelut dengan selimut tebal dan tidak berhenti bersin hingga hidungnya memerah. Bahkan dia terpaksa membatalkan jadwal bertemu dengan designer yang bekerja sama dengannya karena kondisinya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Ketidakprofesionalan Jisya membuat Dion murka sampai harus meneleponnya pagi-pagi. "Kamu, gimana, Jisya? Udah gue bilangin, jaga kesehatan. Jangan sampai pas ada jadwal kamu seenaknya batalin! Ini project penting lho, Sya! Jangan sampai cuma gara-gara kamu mereka cabut kontraknya." "Maaf, Mas... Aku janji cuma kali ini aja aku izin," jawab Jisya. Suaranya bahkan terdengar lemah dan berkali-kali menarik ingusnya. Tapi, Dion seolah tak mau tahu dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status