Pagi itu Jisya tengah berjalan gontai di koridor rumah sakit dengan menggenggam selembar surat hasil tes laboratorium. Kepalanya menunduk menatap lantai yang dia pijak, seolah tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dia yang biasanya selalu ceria dan semangat, kini menjadi pemurung.
Bruk!
Tiba-tiba ada seorang yang dengan sengaja membenturkan diri padanya hingga surat hasil laboratorium itu jatuh.
"Ups! Sorry, sengaja."
Jisya membungkukkan badannya untuk meraih kembali hasil tesnya. Namun, lagi-lagi orang itu membenturkan diri lagi hingga Jisya tersungkur di lantai.
Jisya memejamkan matanya untuk menahan segala emosi yang melanda. Tangannya mengepal dengan berkali-kali menghela napas panjang. Demi menghindari adu mulut dengan perempuan itu, Jisya memilih untuk melanjutkan langkah tanpa memedulikannya.
"Heh, tunggu!"
Jemari lentik Linzy sibuk mengetikkan kombinasi angka untuk membuka pintu apartemen Abin. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka hingga membuatnya menghentakkan kaki dengan kesal. Sebelum-sebelumnya dia bisa leluasa mengakses tempat pribadi tunangannya itu. Tapi, sejak Abin sering membawa Yuna keluar masuk, dia sengaja mengganti kodenya agar Linzy tak sembarangan masuk dan bisa-bisa mengetahui kelakuan bejatnya. "Ini kenapa diganti sih passwordnya?" kesal Linzy seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya.Dia akhirnya menyerah dan memilih untuk menghubungi Abin. "Hallo, Bin! Kok passwordnya diganti sih? Aku kan jadi nggak bisa masuk! Aku capek tahu dari tadi ngetik passwordnya nggak kebuka juga! Kamu tahu nggak sih kalau kaki sama jari aku sampai pegel gini? Sekarang kamu di mana? Di dalem, kan? Atau lagi di luar? Ini passwordnya berapa? Aku mau masuk, buruan!" "Ck, berisik banget sih kamu, Zy!" Belum juga Linzy menutup teleponnya, Abin tiba-
Hari-hari Jisya semakin terasa sepi. Dia mendapat kabar bahwa Yuna sedang ada Pemotretan di Bali untuk satu minggu ke depan dan Abin masih saja tidak menghubungi. Kalau perempuan lain, pasti sudah minta untuk putus. Untunya, dia Jisya. Perempuan yang memiliki pikiran selalu positif dan selalu sabar.Yuna sudah sampai Bali bersama crew dan Abin. Dia bahkan sudah menyelesaikan pemotretan hari pertama dengan sangat sempurna.Sore itu Yuna sudah mengganti pakaiannya dengan gaun berwarna putih sedikit transparan dan berjalan di bibir pantai tanpa alas kaki seraya menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam.Dari kejauhan Abin yang kebetulan membawa kamera, lantas mengarahkan lensanya untuk menangkap potret perempuan cantik itu. Tidak salah Dion sangat membanggakan Yuna karena dalam situasi apa pun, foto-foto Yuna selalu bagus, sekalipun tanpa diedit.Bibir Abin melengkungkan sebuah senyuman seraya berlari mengejar Yuna dan langsung memeluknya dari belakan
Pagi itu Yuna sudah membersihkan diri dan tengah mengeringkan rambut di depan cermin. Hari terakhir mereka di bali. Tak bosan mereka menghabiskan malam berdua dengan melakukan hubungan suami istri sekalipun mereka belum sah secara hukum maupun agama. Namun, beberapa hari terakhir dia dibuat uring-uringan pasca melihat panggilan dari Linzy di kontak Abin. Abin keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit piganggya. Bibirnya tersenyum menatap pantulan wajah Yuna dari cermin. Dia tak pernah bosan mengakui kecantikan Yuna. Namun, dia belum bisa memutuskan pada siapa menjatuhkan hati. "Linzy siapa sih, Bin?" tanya Yuna dengan wajah terlihat sinis. "Mantan aku. Kenapa?" Jawaban Abin terdengar meyakinkan. Seolah memang yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. Kalau seperti itu sulit untuk Yuna tidak percaya. Namun, yang namanya wanita, dia mudah sekali mencemburui. "Oh. Masih saling contact ya?" Abin jelas tahu Yuna cemburu. Dia hanya menutupinya saja. Wajah cemburu Yuna yang
“Abin, jangan ngerokok terus!” Seorang gadis berambut cokelat sepinggang merebut korek api yang hampir menyulut sebatang rokok yang terselip di bibir seorang laki-laki.Gadis itu berkacak pinggang seraya memelototkan mata. Bibir tipisnya tertekuk hingga pipi tirusnya itu menggembung. “Iya, Jisya sayang ...." Laki-laki bernama Abin itu terkekeh seraya menekan pipi gadis itu dengan kedua telapak tangannya. “Kan udah aku bilang, kalau rokok itu nggak baik buat kesehatan. Kamu nggak kasihan sama paru-paru? Nggak kasihan sama aku juga kalau kena asapnya? Perokok aktif sama perokok pasif itu lebih berisiko perokok pasif, Abin.... Kamu mau aku mati muda?” Sementara Jisya berceloteh panjang lebar, Abin hanya menopang pipi menatapnya dengan tersenyum. Ingin rasanya menggigit pipi chubby kekasihnya itu saking menggemaskannya . Sadar ditatap Abin dengan tatapan tak biasa, Jisya langsung mengatupkan mulutnya. “Ih, Abin! Kok ngelihatian nya gitu sih?” Senyuman Abin perlahan berubah menjadi kek
Abin dan Jisya berjalan dari parkiran menuju gedung kampus. Semenjak berpacaran dengan Jisya, Abin banyak berubah. Yang sebelumnya sering bolos kuliah, mendadak rajin masuk. Tentunya atas paksaan Jisya. Gadis itu tak main-main dengan keinginannya mengubah Abin. Di sepanjang jalan, tak ada pasang mata yang lepas memandangi mereka. Meskipun tak terlihat saling bersentuhan satu sama lain, hanya jalan bersebelahan saja sudah membuat iri semua pengagum Abin. Bahkan, Abin dan Jisya disebut sebagai Couple goals di kampusnya. Jisya adalah mahasiswi yang berprestasi. Selalu mendapatkan IPK tertinggi setiap semester hingga namanya selalu menjadi buah bibir dosen. Dia juga memiliki pekerjaan sampingan menjadi model di bebagai majalah dan brand ambassador kosmetik ternama. Sedangkan Abin, personel band terkenal di kotanya. Dia juga menjadi standar pacar idaman mahasiswi di kampusnya. Begitulah perempuan, ingin pacar bad boy, tapi tidak siap disakiti. Kalau
Jisya meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Sejak pagi dia enggan untuk beranjak dari kursinya. Yuna, teman yang duduk di sebelahnya mengernyitkan kening melihat Jisya yang tak sesemangat biasanya. Tangan lembutnya terulur menyentuh kening Jisya. “Nggak panas kok,” ujarnya.Jisya perlahan menepis tangan Yuna menjauh dari kepalanya. “Aku nggak sakit, Yuna.” Yuna bernapas lega karena akhirnya Jisya mau bersuara. Pasalnya, sejak pagi Jisya murung seperti tak memiliki semangat hidup.Bagaimana mau semangat kalau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Semalaman penuh dia memikirkan tentang Abin yang berubah beberapa hari terakhir. Jujur saja, Jisya khawatir kalau Abin pindah ke lain hati.Bukannya apa-apa. Abin dulu terkenal playboy dan suka gonta-ganti pacar. Jisya sebenarnya sudah mempersiapkan itu. Tapi, tetap saja ada rasa tidak rela melepas Abin untuk perempuan lain.“Kamu mau ke kantin, kan? Duluan aja. Aku nggak ke
Setelah meninggalkan restoran, Abin langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit. Masih dengan setelan jas rapinya, Abin berlari menyusuri koridor mencari ruangan seseorang. Sampai di ruangan tujuannya, Abin berpapasan dengan dokter yang memeriksa orang yang dia cari. “Gimana, Dok kondisi teman saya?” Dokter pria paruh baya itu tersenyum pada Abin. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Hanya luka ringan. Tidak perlu menginap juga.” Abin menghela napasnya dengan lega dan bergegas memasuki ruangan itu. Belum sempat melewati pintu, Abin spontan menghentikan langkahnya. Mengambil sebuah cincin dari saku kemeja, lantas memakainya di jari manis. Ketika membuka pintu, Abin melihat seorang gadis berambut pirang seumuran dengannya sedang tiduran di ranjang sambil memainkan ponsel dengan santai. “Bikin orang khawatir aja,” omel Abin pada gadis itu. Gadis itu berd
Abin mengelilingi setiap sudut kampus untuk mencari Jisya. Sejak pagi, kekasihnya itu tidak menunjukkan batang hidung di hadapannya. Terlebih, ketika berangkat ke kampus Jisya tidak mau menunggu Abin menjemputnya dan lebih memilih berangkat dengan taksi online. Setelah lelah mencari, akhirnya Abin menemukan Jisya di perpustakaan tengah sibuk menyicil skripsi. Jisya yang tengah sibuk mengetik tiba-tiba merasakan pipinya dingin. Abin datang dengan menempelkan es krim di pipinya. “Jadi, aku dicuekin nih?” tanya Abin sambil duduk di samping Jisya. Jisya pun berdecak sebal, lantas menutup laptopnya. Menatap Abin dengan mata yang memutar. “Abin… kebiasaan banget sih ngagetin orang,” gerutunya. Abin pun hanya memandangi wajah kesal Jisya dengan senyuman. “Siapa suruh nyuekin aku?” protes Abin kembali berpura-pura tak acuh. Jisya memalingkan wajahnya dari Abin dan kembali sibuk membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. Abin memamerkan es krim ber