“Itha langsung ke kamar mandi, ya.”
“Mama, tadi om cakep. Milip sama temen iItha.” Ucapan bocah itu sontak membuat Latasha terkejut. Ia hanya tersenyum dan menyuruh Gaitha untuk segera ke kamar mandi.
Dari balik jendela, Latasha masih memperhatikan mobil donker itu diam di depan rumahnya. Merasa ada kepingan hati yang tak boleh pergi, Latasha tersenyum tipis tanpa ia sadari. Kesakitan yang ia rasakan dulu seperti sudah terhapus dengan sedikit perubahan Evan meski tanpa sentuhan.
Sekali lagi, Latasha mencoba menyadarkan dirinya. “Kalian udah beda status! Stop it, Ta!”
***
Di perjalanan Evan menelpon Tan, sebagai orang yang sudah pernah menikah, mungkin Tan tahu alasan-alasan apa yang membuat dua sejoli memutuskan untuk bercerai. Maklum saja, Evan belum memikirkan untuk menikah, sudah menikmati tubuh beberapa wanita saja sudah cukup baginya. Ia tahu jika hal itu tidak baik, bahkan keluarganya pun tidak pernah tahu apa yang sudah Evan lakukan di luaran sana. Evan tetap Evan, si brengsek yang arogan.“Di mana, lo?”
“Apartement.”
“Lagi ena-ena?”
“Nggak, gue lagi coli. Ke sini aja.”
“Shit.”
Percakapan di tutup, Evan melajukan mobilnya menuju apartemen Tan yang tidak jauh dari tempatnya. Sesampainya, Evan langsung di sambut oleh pemilik apartement dengan ramah. Hampir karyawan di sana sudah mengenal mereka, sama-sama anak konglomerat dengan visi misi yang berbeda dan pekerjaan yang beda pula.
“Sore, Tuan Geutama.” Sapa salah satu karyawan di sana.
Evan hanya mengangguk singkat kemudian menuju kediaman Tan di lantai 10. Apartemen milik Tan benar-benar berbeda dengan yang lain. Dengan uang, Tan mendekor kediamannya seperti sultan serta membuat beberapa kamar untuk dirinya sendiri, bahkan jika ia ingin ena-ena dengan wanita mana pun Tan membuat kamar khusus yang kedap suara. Tan tidak suka aktifitasnya di ketahui oleh orang lain. Tan tipikal orang yang sedikit ‘kasar’ untuk memuaskan hasrat para wanita malam tersebut.
“Tan!”
“Ah, nikmat…”
“Udah?” Evan langsung bertanya saat melihat Tan yang baru saja keluar dari tempat semedinya.
Lelaki itu sedikit terkejut saat keluar dari kamar mandi sudah melihat Evan yang berdiri di ruangannya.
“What the—Ada apa?”
“Lo coli lama banget.”
“Hey! Saat tidur dengan mereka, skor gue 1:11. Kalau ini beda lagi,” jawabnya santai seraya membuka kulkas untuk mengambil dua kaleng minuman soda, satunya ia lempar ke arah Evan.
Evan memberi isyarat ingin berbicara di luar. Ia tidak nyaman melihat Tan dengan balutan handuk di pinggannya.
“Gue mau to the point.” Evan mulai serius saat Tan baru saja duduk di sofa ruang tamu.
“Ya.”
“Salah satu alasan terkuat orang bisa cerai apa?”
Tan mengerutkan kening, “kenapa lo tany—“
“Pleas, jawab, Tan.” Potong Evan cepat.
Tan menghela napas. Seperti yang kita tahu bahwa Tan sudah beberapa kali menikah dan gagal. Tetapi, Evan tidak pernah bertanya lebih lanjut alasan apa yang membuat Tan bercerai. Menurut Evan, meski mereka sahabat tetapi hal seperti itu tidak tertarik untuk Evan ketahui. Pemikiran mereka, “masalah lo kelarin sendiri, nggak kuat panggil gue.” dan selama ini mereka selalu bisa menyelesaikan masalah mereka masing-masing tanpa meribetkan satu sama lain.
“Oke.” Tan mulai serius, “Kekerasan fisik, tidak menafkahi dan selingkuh. Menurut gue ketiga tadi masalah paling banyak yang di hadapi. Salah satunya selingkuh, adalah masalah gue dalam perceraian.”
“Hanya itu?”
“Apa lagi?”
“Oke.”
“Lo mau cerai? Kapan nikahnya?”
“Bukan. Gue cuma mau tau.”
“Tell me! Ada sesuatu, kah?”
Evan sempat ragu, tidak seperti biasanya ia merasa bimbang dalam membicarakan sebuah hal terlebih lagi di depan Tan. Meskipun tidak ingin di bicarakan tetapi Tan bisa melihat ada raut kegelisahan di mata elang milik sahabatnya itu.
Tan tersenyum devil sambil menyalakan rokok yang ia ambil dari meja, bersandar pada sofanya kemudian berkata setelah asap itu keluar dari mulutnya, "I know you, dude.”
***
“Eh coba liat itu,” ucap seorang cowok kepada teman sebelahnya.
“Hm.”
“Liat dulu, bro!”
Teman sebelahnya menoleh malas ke arah yang di tujunya. Ia melihat seorang gadis duduk terdiam di kursi panjang taman sekolah.
“Ngapain dia di sana?”
“Dia nggak punya temen. Liat aja yang lain pada ngobrol, dia doang yang sendirian.”
“Gue samperin. Besok dia jadi pacar gue.”
Edo terkejut. Tidak biasanya Evan secepat itu bisa mengambil keputusan. Setelah beberapa detik, benar saja, Evan menghampiri gadis itu dengan santainya. Edo yang melihat itu hanya diam seraya mengamati apa yang terjadi setelahnya.
“Ngapain di situ?”
Gadis itu sedikit terkejut melihat Evan di hadapannya. Ia takut seraya melirik kanan-kirinya.
“Gue Evan. Gue suka sama lo. Mau jadi pacar gue?”
“Hah?”
“Gue tunggu jawabannya besok. Besok hari terakhir orientasi.” Evan tersenyum devil di akhir kalimatnya. Lalu pergi meninggalkan gadis itu dengan beribu tanya.
*Dua hari kemudian…*
Evan lupa kalau ia ingin menagih janji dengan adik kelasnya itu. Latasha, ia mengetahuinya dari Edo, tentu saja ia juga tahu di mana kelas Latasha. Setelah jam pulang sekolah Evan memberanikan diri untuk menunggu Latasha keluar kelas. Ada beberapa pasang mata yang melirik Evan saat menghampiri Latasha.
“Ayo pulang.”
“Hah?”
Tanpa menunggu lagi, Evan langsung menarik lengan Latasha hingga gadis itu tak bisa berkutik. Ia sangat bingung dari kemarin karena sosok Evan hadir dalam hidupnya secara tiba-tiba. Memintanya untuk menjadi pacar. Latasha belum pernah berpacaran, Evan satu-satunya orang yang sudah mendekatinya.
“Kita mau ke mana?”
“Latasha, kita resmi sekarang.” Evan berbalik seraya menatap intens gadis di hadapannya. Latasha tidak nyaman dengan tatapan itu. Tanpa di sadari, dari situlah Evan mulai mengerti cinta dan kasih sayang. Gadis itu menjadi satu-satunya orang yang membuat hidup Evan berubah di masa remajanya.
Masa itu Evan belum mengerti penyesalan. Saat ini Evan mulai merasakannya tanpa ia sadari.
“Kak!”
Evan terkejut. Ia berbalik dan melihat Erick yang menatapnya heran. Evan baru menyadari jika dari tadi ia melamun, tidak pernah sebelumnya ia melamun hingga memutar kembali memori pertemuan pertamanya dengan Latasha.
“Kenapa?”
“Mama sama yang lain nunggu Kakak di ruang makan.”
“Oh.”
“Tumben banget Kakak melamun? Emang punya pacar? Kalau punya, bagi satu dong. Aku abis di tolak sama senior aku, katanya aku kurang kaya. Padahal aku tampan.”
Evan menatap tajam ke arah Erick, bocah ingusan itu justru memasang wajah memelas. Seakan hal yang baru saja ia katakan begitu penting, tentu saja bagi Evan itu ke konyolan bocah kuliahan. Di tambah Erick belum genap menginjak satu semester di tempatnya.
“Kakak lapar.” Evan tidak menggubris obrolan Erick, justru Ia bangkit dari sofa dan berjalan ke ruang makan. Di susul Erick yang merocos tentang pacar.
Sesampainya, Evan di sambut hangat oleh Lily, keponakan satu-satunya itu, "Om Epan! Makan sini, duduk sini.” Lily begitu antusias sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Evan tersenyum dan menuruti keinginan bocah itu.
Beratnya kerjaan tiap hari membuat Evan stress dan selalu melampiaskan dengan minuman atau di ranjang. Tetapi ketika pulang, Lily lah salah satu orang yang bisa membuat Evan tersentuh. Lily mengidolakan sosok Evan di hidupnya, bahkan saat Ellena video call dengan Bram saja Lily memilih diam dan hanya menjawab seadanya. Bocah itu seperti sudah mengerti, kepergian Bram yang terlalu lama membuat hati Lily hampa tanpa seorang Ayah. Ellena bersyukur, ia mempunyai adik lelaki yang semakin hari semakin dewasa, tidak seperti adik terakhirnya yang suka menyusahkan.
“Lily mau makan apa? Biar Mama ambilin.” Ellena mulai sigap mengambil piring serta nasi untuk anaknya.
“Om makan apa?” Bocah itu tidak menjadi pertanyaan Ellena, melainkan bertanya kepada Evan.
Evan terkekeh, “Om makan yang Lily makan."
Lily mengangguk sok mengerti ia menunjukkan kepada Ellena untuk mengambilkan nasi dan sepotong ayam. Lily suka sayur, tetapi ia tidak suka sayur yang di masak malam ini.
“Makam om, ayam goleng.” ucap Lily antusias.
“Gimana hari-hari kalian?” Citra mulai bersuara.
“Lancar, ada anak baru di kampus. Cantik. Aku ajak kenalan tapi dia nggak mau.” jawab Erick dengan santai, membuat yang lainnya terdiam.
“Kamu kuliah hanya untuk kenalan sama cewek?” tanya Oliver.
Erick menatap Oliver sekilas, kemudian menjawab dengan nyeleneh, “Aku nggak mau jadi kaya Kakak, dari dulu nggak keliatan punya pacarnya. Ada gosip kenalan sama cewek aja nggak.”
“Pacal yang suka-sukaan, ya?” Tiba-tiba pertanyaan Lily membuat yang lain terkejut.
“Lily kata siapa?” Evan mulai curiga.
“Om elik, kalau suka bisa pacalan.”
Ellena menatapa Erick sinis, Evan sudah merasa bosan mempunyai adik tak punya otak seperti Erick, sedangkan Oliver dan Citra hanya bisa menggeleng tak tahu harus memberi tanggapan seperti apa.
“Lily, makannya di habiskan, ya.” Ellena menyuruh anaknya dan Lily menuruti tanpa mengetahui situasi yang sebenarnya.
***
Evan sedang menatap keluar jendela kamarnya. Ia menggenggam gelang rajut biru muda di tangannya. Gelang yang menjadi saksi bisu percintaan Evan semasa SMA, pemberian Latasha ketika lelaki itu ulang tahun. Evan masih mengingat raut wajah Latasha yang malu-malu sekaligus takut memberi hadiah kecil itu kepadanya. Kenapa harus gelang? Dulu Evan gemar memakai gelang-gelang rajut atau semacamnya yang suka di jual pedagang pinggir jalan. Meski sudah di cap sebagai anak konglomerat, masa remaja Evan tidak ingin menunjukkan harta atau tahta.
Evan senang ketika mendapat hadiah tersebut. Bahkan ia melepas gelang-gelang yang ia pakai sebelumnya dan hanya memakai gelang pemberian dari Latasha. Sampai perpisahan itu ada, gelang itu sudah tidak di pakai tetapi masih tersimpan rapi di laci kantornya bahkan di satu jas yang ia pakai.
“Evan.”
Evan berbalik, mendapatkan Ellena yang mungkin sudah memperhatikannya sedari tadi.
“Kenapa?”
“Kamu kenapa melamun?”
“Emang nggak boleh?” jawabnnya datar.
Ellena tersenyum seraya melangkah ke arah Adiknya itu, “Tumben aja, biasanya jam segini sibuk laptop-an.”
“Mending Kakak suruh Lily untuk nggak dekat-dekat dengan bocah ingusan itu.”
Ellena terkekeh, “Nggak bisa, Erick selalu dekati Lily duluan.”
“Aku takut kalau bocah itu menjadi pedofil nanti.”
“Hush!” Ellena mencubit lengan Evan, “Begitu dia adik kita, Van.”
“Kakak udah telponan sama mas Bram?” Evan mulai bertanya hal lain dan tidak menggubris omongan Ellena sebelumnya.
Pertanyaan itu sontak membuat Ellena terdiam seketika. Resiko menjadi istri pelayaran memang berat, tidak bisa mendapat kabar yang pasti, kapan pulang pun Ellena sendiri masih belum tahu dan tentunya Bram sendiri tidak bisa berusaha untuk pulang. Membuat Evan gemas sebenarnya, tetapi ia tidak mau ikut campur urusan rumah tangga Kakaknya.
“Cari suami lagi aja, Kak. Kakak cantik, kok.”
“Evan! Sembarangan kamu.”
Sementara Evan hanya balas dengan senyum tipis.
“Kakak ke kamar dulu, Lily udah waktunya tidur.”
Evan mengangguk membiarkan Ellena pergi. Setelah pintu di tutup, Evan kembali merenung dengan masa lalunya. Ia sempat frustasi tiba-tiba karena belum siap dan tidak akan pernah siap untuk bertemu dengan Latasha. Tetapi waktu mendahului tanpa ia tahu, pertemuan terjadi tanpa di pinta.
Latasha terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding dengan panik saat jarum itu menunjukkan pukul delapan pagi. “Astaga!” Latasha langsung bersiap diri dengan terburu-buru, ia bahkan mengabaikan ucapan pagi dari Gaitha. Lea yang menyadari itu merasa aneh melihat Latasha hampir terjatuh saat masuk ke kamar mandi. Niat ingin bertanya, hal itu Lea urungkan saat Gaitha merengek meminta sarapannya.“Sebentar, bocah. Nanti Tante Lea antar ke depan, ya.”Setengah jam sudah berlalu Lea langsung bertanya kepada Latasha saat keluar dari kamar mandi. “Kak Tata kesurupan apa pagi-pagi?”Latasha mengerutkan kening, “Lea! Kamu nggak bangunin Kakak, ya. Kakak telat masuk kerja!”“Hah? Sekaran
Latasha memasuki rumah dengan langkah terburu-buru hingga ia tak membalas sapaan Gaitha yang kegirangan melihat mamanya pulang. Wanita itu bergegas masuk kamar mandi untuk segera bebersih sejenak, kemudian langsung membenahi barang belanjaannya. Pikiran Latasha melayang entah kemana, tanpa ia sadari bulir air mata itu turun dengan sendirinya. “Mama," panggil Gaitha seraya menarik lembut ujung baju Latasha, seketika ia tersadar lalu menghapus air mata itu dan menoleh ke anaknya. “Kenapa sayang?” “Manggil-manggil mama nggak jawab,” omel bocah itu. Latasha terkekeh, ia jongkok agar bisa setara dengan Gaitha lalu memasang wajah memelas untuk meminta maaf. “Maaf ya, tadi mama kebelet pipis,” dusta Latasha. Gaitha yang awalnya diam kemudian mengangguk, “Kue mana?” tanyanya sambil mengadahkan kedua tangan mungilnya. Latasha
Latasha melepaskan genggaman Evan dengan cukup kasar, kemudian ia merapihkan pakaiannya lalu pergi meninggalkan Evan tanpa kata permisi. Pertama kalinya bagi seorang Evan merasakan pedih ketika seseorang acuh tak acuh kepadanya. Selama ini Evan merasa dirinya cukup berkuasa dan tidak pernah menerima penolakan dari siapapun. Ia sendiri pintar dalam hal itu hingga lawan bicaranya bisa bertekuk lutut dengannya. Tetapi kali ini, semua persepsi ia adalah seorang yang tidak mudah di tolak, di patahkan langsung oleh perubahan sikap Latasha kepadanya. Latasha yang dulu dan sekarang begitu beda di pandangan Evan. Kepolosan wanita itu masih menjadi ciri khasnya, tetapi sikapnya bisa menjadi dingin dengan caranya sendiri.“Shit!” Umpat Evan kesal. Ia hampir mendorong kursi kesayangannya itu ke arah jendela.“Siapa dia? Siapa yang sudah menyakitinya lebih dari aku?&r
Lea mundar-mandir hingga Gaitha heran melihat dirinya, telfon yang di genggamnya sesekali di banting karena lawannya tidak menjawab panggilannya.“Tante, main apa?” Dengan polosnya bocah itu bertanya seraya memakan bolu di tangan sebelahnya.Lea berhenti dari kegiatannya dan menoleh ke arah Gaitha dengan wajah menahan amarah, “Tante telfon mama kamu, tapi nggak di angkat. Ke mana mama kamu, ya? Udah jam lima belum pulang.”“Mama kelja, tadi salim sama, Itha.”Lea menghela napas, ia menghampiri Gaitha dan berjongkok, “Itha nonton film kartun aja, ya.”
Lea terdiam di sebuah ruangan serba abu-abu dengan mata menahan tangis. Tak hanya dia, beberapa orang di sana juga sedang gelidah menunggu seseorang yang sebentar lagi akan datang untuk memberi berita. Entah apa itu, yang jelas nasib meraka yang di ruang tersebut sedang di ujung tanduk.“Le,” panggil seorang cowok klimis di samping Lea.“Ngapa?”“Bagaimana, ya, Le?”Lea masih belum mau menatap siapapun, ia hanya tertunduk seraya memainkan jari-jarinya, “Apaan, sih? Nggak jelas banget lo.”“Nasib kita. Gue sedih, nanti buat pulang kampung bagaimana kalau kita semua di pecat.”Ya. Permasalahan seorang k
Senin. Hari di mana semua aktifitas bermula. Semua kerjaan dari hari ke hari menumpuk di hari tersebut. Lagi-lagi Evan di tegur oleh Oliver untuk segera menyelesaikan proyek cafe baru yang tengah ia kerjakan. Tetapi bukan Evan namanya jika tidak punya ide B. Diam-diam proyek itu sudah selesai berkat bantuan tangan kanannya Evan, Renatta dan dua orang karyawan terpercayanya. Bukan Evan malas, lantaran ia juga memiliki bisnis sendiri di luar perusahaan Gtama Group itu. Cuan yang Evan incar sampai-sampai beberapa hari lalu ia melewatkan kunjungannya ke proyek cafe tersebut.“Bagaimana? Lusa kita siap buka cafe baru itu?” Pertanyaan serius itu mengarah kepada Renatta.“Siap, Pak. Semua karyawan baru juga sudah saya rekrut, tetapi masih kurang satu karyawan wanita lagi.”
"Aku membutuhkan ini, Latasha.” Napas Latasha seketika berhenti, ia tidak tahu harus berbuat apa. Takut jika ada salah satu karyawan yang mengetahui perbuatan mereka, pasti Latasha lah yang akan di cap buruk. Akan di cap wanita murahan atau penggoda. Mana ada yang percaya bukan jika Latasha dan Evan dulunya pernah kenal? Bahkan Oliver sendiri pun tidak pernah tahu jika anaknya pernah pacaran atau tidak.Latasha melepaskan pelukan Evan, ada desiran kecewa yang Evan rasakan tetapi ia masih bisa bersikap biasa saja.“Maaf, Van… t-tapi ini kantor. Aku takut kalau—-““Oke. Kamu boleh keluar dari ruangan saya.”Latasha menghel napas, tidak begitu terkejut melihat Evan yang tiba-tiba berubah menjadi dingin. Evan yang sekarang memang tid
Setelah kegiatan diam-diam itu akhirnya makan malam yang Latasha buat telah siap. Sebelumnya ia sudah menyuruh Evan untuk pulang saja, wanita itu merasa tidak pantas memberi hidangan yang amat sederhana kepada anak konglomerat seperti Evan, di tambah rumah kecil Latasha tidak memiliki meja dan kursi makan, yang membuat mereka harus duduk lesehan beralas permadani yang mulai lusuh. Tetapi Evan tetaplah Evan, apa yang dia mau harus terlaksanakan. Mungkin selagi itu masih Latasha oranganya, lelaki tampan itu tidak akan mempermasalahkan.“Makanan ini enak, seumur-umur aku baru coba masakan kamu,” komentar Evan saat melahap sayurnya.Gaitha yang di sampingnya tersenyum girang mendengar komentar Evan. Ia memahami kalau Evan sedang memuji mamanya.“Mama masaknya enak, Itha suka bawa sekolah,” sahut bocah itu.