Share

Bukan janda gatal

Gita memapah Intan ke rumahnya. Sepanjang jalan ia menjadi tontonan warga. Ada yang melihatnya iba, ada juga yang menatapnya hina.

'Allah, bukan inginku menjadi seorang janda, kuatkan aku untuk menerima ujian ini,' batin Intan.

"Ma, kenapa Tante Rena tarik rambut mama?" tanya Gita sembari mengobati tangan ibunya yang berdarah dengan Betadine.

"Cuma salah faham aja nak, orang dewasa sering salah faham," jelas Intan sembari mengulas senyum. Sekuat tenaga ia menahan airmata agar tak jatuh di depan putri semata wayangnya.

"Kok orang dewasa sering salah faham, ya. Oh ya, luka nya sudah Gita obati, mama cepet sembuh ya," ujar Gita. Ia meniup luka di tangan ibunya sebelum menaruh kembali obatnya.

"Nanti kalau Gita sudah dewasa, pasti Gita mengerti," jawab ibunya. Ia memeluk Gita saat gadis kecil itu mendekatinya. Setitik butiran bening lolos dari sudut netranya.

'mungkin lebih baik aku gak usah terima uang pemberian dari mas Fathan lagi, aku harus kerja keras dan membiayai kehidupan Gita sendiri,' batin Intan.

Tok ... Tok ... Tok ...

Terdengar suara pintu di ketuk. Intan dan Gita saling melepaskan pelukan.

"Biar Gita aja yang buka ya ma, mama istirahat aja," titah Gita sembari berlari ke arah pintu.

Intan terenyuh melihat perhatian Gita, perhatiannya benar-benar membuat hati Intan luluh, anak seusianya terpaksa di dewasakan oleh keadaan. Lagi-lagi air mata Intan luruh, namun ia segera menyekanya.

"Siapa yang datang?" tanya Intan. Ia berjalan ke ruang tengah untuk menemui Gita dan tamunya.

"Ini pak RT ma," jawab Gita sembari melirik ke arah lelaki yang mengenakan kaus hitam itu.

"Kamu gak kenapa-kenapa Intan?" tanya pak RT.

"Gak pak, saya gak kenapa-kenapa, silakan duduk pak, kalau boleh tahu ada perlu apa ya?" tanya Intan. Ia mempersilakan pak RT duduk di kursi anyaman bambu yang di buat almarhum suaminya.

"Saya mau menyampaikan amanah ini, kebetulan kemarin ada santunan anak yatim, tapi Gita gak datang, jadi di titipkan ke saya, harap di terima ya," tutur pak RT.

"Alhamdulillah, terimakasih ya, pak," jawab Intan sopan. 

Dia sangat tersentuh, sering sekali ada organisasi atau yayasan yang menyelenggarakan acara santunan anak yatim. Namun, seringnya Gita tak kebagian, entahlah jatahnya di kemana kan. Namun Intan tak mempermasalahkan, justru ia sering sedih jika Gita mendapatkan santunan, karena ia dan Gita di dekati hanya atas dasar kasihan. Hal itu membuatnya semakin merindukan suaminya.

Dulu, saat suaminya masih ada. Intan dan Bayu sering ikut menyantuni anak yatim dan mengelus kepala mereka, tak di sangka, ternyata kini anaknya yang mendapatkan santunan dan di elus kepalanya oleh para dermawan. Ada rasa perih dalam dada. Namun ia sadar semua sudah menjadi takdir untuknya dan Gita.

"Kalau begitu saya permisi ya," kata pak RT. Ia bersegera untuk ke luar rumah Intan, ia khawatir terjadi fitnah mengingat Intan seorang janda yang masih sangat cantik, bahkan banyak yang tak menyangka jika dia sudah menjadi seorang ibu.

Baru saja pak RT keluar di antar oleh Intan dan Gita sebagai bentuk adab memuliakan tamu. Bu Rika--istri pak RT datang dengan tergopoh-gopoh. Sorot matanya menyiratkan tak suka.

"Bapak ngapain di rumah janda gatel ini?" tanya ibu Rika.

"Ya Allah Bu, namanya Intan," sela pak RT.

"Lah, iya si Intan kan janda. Ngapain bapak di sini? Jangan-jangan bapak di godain juga sama si Intan," istri pak RT menodong suaminya.

Mendengar perkataan Bu RT Intan merasa sakit hati, sebagai manusia biasa yang punya hati, ia merasakan sakit saat mendengar hinaan akan status dirinya sebagai seorang janda. Namun, ia termasuk orang yang tidak terlalu memperdulikan omongan orang.

Intan terus beristighfar dalam lirihnya. Berusaha tak terpancing emosi, percuma jika ia melawan, toh tak akan ada yang membelanya.

"Bu, bapak cuma mau kasih titipan dari yayasan yang kemarin. Gak usah suudzon begitu kenapa," jelas pak RT sembari menarik istrinya menjauh agar tak membuat keributan di rumah Intan.

"Bener bapak gak ada apa-apa sama intan?" tanyanya lagi.

"Bener Bu, ya Allah gak percaya amat sama suami sendiri," tuturnya.

"Intan, Gita, kami permisi dulu ya," ucap pak RT sembari menganggukan kepalanya sopan. Sementara istrinya memelototinya.

***

"Gue sebel banget sama mas Fathan, masa dia kasih duit terus sama si Intan, mana gede lagi," celoteh Rena saat berbelanja dengan Fika--sahabatnya.

"Lha, kok bisa sih suami lo kasih duit terus? Hati-hati lo, nanti di tikung si Intan," ujar Fika di sela-sela memilih baju.

"Ya, alasannya buat keponakannya. Ngasih ponakan mah sekedarnya aja kali, gak usah sampe jutaan juga. Terpaksa deh jatah jajan Gea gue pangkas," tutur Rena.

"Tapi emang gue pernah denger ceramah di YouTube, katanya kalau anak yatim itu nafkahnya sama keluarga bapaknya, mungkin itu alasan laki lo kasih duit ke ibunya ponakan lo, kan dia masih kecil, jadi di kasih ke ibunya," ucap Fika lagi.

"Emang sih mas Fathan udah sering bilang gitu. Awalnya sih gue no problem ya, tapi kok lama-lama gue khawatir mas Fathan kecantol tuh janda," balas Rena.

"Ah masa sih? Gue lihat tuh si Intan orangnya tertutup deh, agamis gitu dia, masa iya mau godain laki orang, adik iparnya lagi, kayaknya gak mungkin deh," kata Fika lagi.

"Ah lu Fik, hari gini mah bisa aja cuma kerdus, kerudung dusta ha ... ha ..." jawab Rena sembari tertawa.

"Iya ya, tapi gak semua begitu ah, buktinya kakak gue orangnya agamis. Pake baju juga lebar-lebar. Tapi akhlaknya juga emang bagus kok, kalau menurut gue tergantung imannya aja sih," 

"Ya ... Ya, up to you deh, yang pasti gue gak rela duit laki gue di makan sama tuh janda dan anaknya. Nanti takut tuman minta duit terus, mending buat jajan Gea," jawab Rena lagi.

"Eh tapi kata kakak gue yang ustadzah tuh, katanya bapak tiri mah gak punya tanggung jawab sama anak tirinya. Jadi kewajiban laki lu cuma nafkahi lu aja, si Gea mah masih tanggungan bapak kandungnya. Yang gue fahami sih gitu," kata Fika.

"Ah, justru gue cerai sama bapaknya si Gea itu ya karena dia gak bertanggung jawab sama anaknya. Lagian kalau Fathan mau Nerima gue ya dia juga harus terima anak gue dong, ikut nafkahi anak gue, kan anak gue jadi anak dia. Udah ah, gak usah bahas itu lagi, kesel gue jadinya."

Rena menaruh beberapa lembar pakaian ke kasir lalu membayarnya. Ia membelikan beberapa pakaian untuk anaknya juga untuk sahabatnya--Fika.

"Ya udah deh, terserah lo aja, yang penting gue tetep kecipratan," kekeh Fika sembari memeluk baju yang di belikan Rena.

***

"Bro, bukannya ini bini lo ya?" tanya rekan kerja Fathan saat sedang menikmati makan siang.

"Mana?" tanya Fathan sembari menoleh ke arah ponsel rekannya.

Betapa terkejutnya ia, ternyata video istrinya melabrak Intan viral. Bahkan Fathan sama sekali tak tahu jika Rena menemui Intan dan terjadi insiden memalukan itu.

Fathan membaca komentar yang beragam. Namun kebanyakan menghujat Intan dengan sebutan pelakor, j*l*ng syar'i, janda gatal dan sebagainya. 

Dada Fathan bergemuruh. Meski banyak yang membela istrinya, namun ia tahu betul yang salah sebenarnya adalah istrinya. Terkadang yang terlihat benar tak sepenuhnya benar. Begitupun yang terlihat salah, bisa jadi justru sebenarnya dia lah yang berada di pihak yang benar, semua tergantung siapa yang menggiring opininya.

"Bro, emang iya lo ada main sama kakak ipar lo?" tanya rekannya.

"Gak lah, gila aja. Gue cuma sekedar tanggung jawab aja buat nebus kesalahan gue," jawab Fathan sekenanya. Pikirannya kalut mengingat Intan yang pasti akan semakin menderita.

"Tunggu ... Tunggu ... nebus kesalahan? Emang lo punya kesalahan apa sama kakak ipar lo?" tanya rekannya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status