Nilam hanya pasrah ketika petugas salon memotong rambut ikalnya menjadi sebahu dan mengubah rambutnya yang sudah ke coklatan menjadi lebih berwarna lagi, dark honey-blonde kata petugas salonnya ketika Nilam bertanya apa nama warna rambut barunya. Perempuan itu menatap wajah barunya dengan perasaan asing, wajahnya mulai bersih dan penampilannya semakin trendi selama enam bulan ini tinggal di ibu kota.
“Nilam cantik banget!” Rara yang hari ini menemaninya ke salon berseru heboh, perempuan cantik itu memotretnya beberapa kali dan mengirimkan fotonya ke bu Darmi.
“Yuk, kita harus ke studio sekarang. Nik sama timnya udah nunggu.” Nilam lagi-lagi hanya pasrah, ia masih belum bekerja. Bu Darmi bilang Nilam masih harus membuat portofolio, karena itu sekarang Rara menemaninya menemui Nik fotografer langganan bu Darmi.
“Nik!” Rara langsung berlari menghampiri laki-laki yang sedang memegang kamera, Nilam hanya mengikuti.
“Nik, ini Nilam. Anak baru dan Nilam ini Nik fotografer kesayangan anak-anak di rumah bu Darmi.”
“Hai anak baru, kenalin gue Nik.” Laki-laki itu mengulurkan tangan.
“Nilam?”
“Hah? Oh iya, eng saya Nilam.” Nilam menunduk malu, terlebih lagi ia bisa mendengar laki-laki bernama Nik itu menertawakannya. Laki-laki itu tampan, benar-benar tampan. Nilam tidak bisa menahan diri untuk tidak terpesona.
“Maklum ya Nik, Nilam ini baru banget dateng dari desa.”
“Ah, kembang desa rupanya.” Wajah Nilam semakin memerah mendengar perkataan laki-laki itu.
“Ck, udah ah. Yuk Nilam, gue temenin lo ganti baju. Di tinggal dulu ya Nik.” Laki-laki itu hanya mengangguk singkat, kemudian kembali asik dengan kameranya. Nilam masih terus mengikuti Rara yang menuntunNya ke ruang ganti, di sana Nilam bisa melihat beberapa baju tergantung dan siap di pakai.
"Nih gue udah pilihin beberapa baju buat lo.” totalnya ada lima stelan yang Rara pilihkan, satu kemeja over size, satu sweater rajut, satu stel atasan berupa tanktop, rok rampel setengah paha dan cardigan rajut terakhir ada dua pakaian tidur dengan model berbeda.
"Nanti fotonya pake baju ini?" Nilam mengangkat tanktop hitam tipis pilihan Rara
"Iya, semua ini nanti di pake. Inget ya Nilam, pas foto nanti jangan malu-malu lo harus ekspresif supaya hasil portofolionya bagus." Nilam mendengarkan Rara yang sekarang duduk di sofa sembari menyilangkan kaki
"Orang-orang di ibu kota itu seleranya tinggi, mereka suka pekerja yang berpenampilan menarik. Itu kenapa bu Darmi berusaha mati-matian bikin kita keliatan menarik sampai rela keluar uang banyak. Lo mau kerja kan?" Nilam menganggukan kepala.
"Kalau gitu nanti jangan malu-malu ya, tunjukin semua kemampuan lo. Totalitas kalau mau dapet kerja, oke?" Nilam lagi-lagi menganggukan kepala kemudian membereskan pakaiannya.
Hai temen-temen, sebelumnya saya minta maaf atas ketidak nyamanannya. Tapi beberapa hari lalu saya memutuskan untuk merevisi bab cerita Nilam agar lebih menarik dan enak untuk di baca :) semoga kalian akan menyukai versi cerita yang baru sebagaimana kalian menyukai versi sebelumnya :)Ada beberapa sedikit perubahan, dan sekarang sedang di tinjau oleh editor. Kemungkinan perubahan bisa di liat hari senin atau hari selasa, semoga kalian bisa tetep menikmati ceritanya :)SalamminipauHai temen-temen, sebelumnya saya minta maaf atas ketidak nyamanannya. Tapi beberapa hari lalu saya memutuskan untuk merevisi bab cerita Nilam agar lebih menarik dan enak untuk di baca :) semoga kalian akan menyukai versi cerita yang baru sebagaimana kalian menyukai versi sebelumnya :)Ada beberapa sedikit perubahan, dan semoga kalian bisa tetep menikmati ceritanya :)Salamminipau
“Hati-hati sayang turunnya.” Seorang perempuan mengulurkan tangan, membantu balita berusia lima tahun turun dari mobil yang di tumpanginya. “Kita mau ngapain bu, kok ke sini lagi?” “Jenguk temen ibu dulu ya.” “Temen ibu masih sakit ya? belum sembuh-sembuh?” si anak bertanya dengan suara khasnya. “Iya, makanya masih kita tengok di sini. Ana udah bawa sup yang kita bikin di rumah kan?” “Udah dong, nih.” Si anak mengacungkan rantang mungil dengan motif bunga-bunga. “Pinter,
Nilam gemetaran, laki-laki di luar sana memang Dewa. Ia sudah memastikannya berkali-kali. Yang tidak Nilam ketahui adalah bagaimana bisa Dewa mengetahui tempat persembunyiannya. Di tengah kekalutannya itu ponsel Nilam berdering, nama Ru muncul di layarnya. “Gimana, suka kejutannya?” “Ru, brengsek! Penghiakat lo, gue udah kasih uang sesuai sama yang lo minta!” “Lo enggak akan ngerti Nilam, lo enggak akan ngerti. ini semua bukan soal uang, tapi dendam. Lo enggak bisa egois kan? Hidup bahagia sendirian sementara orang-orang yang udah ngebantu lo hidup menderita.” “Apa maksud lo?!” &n
Dewa sedang sibuk menggoda bayinya yang sekarang sudah tumbuh dengan sangat sehat ketika kepala pelayan datang, laki-laki itu mendelik sebal karena waktu bermainnya dengan sang putri harus terganggu. “Saya udah bilangkan, saya enggak suka di intrupsi waktu lagi main sama Ghiana.” “Maaf pak, tapi di depan ada yang nyari bapak dan ngotot mau ketemu.” “Kamu enggak bisa ngusir dia? Harus saya yang turun tangan langsung ngurus beginian?!” Desis Dewa dengan sebal, jika tidak ada Ghiana di dekatnya laki-laki itu pasti sudah menghajar kepala pelayan yang menurutnya sudah sangat tidak kompeten itu. “Laki-laki itu bilang, dia bawa informasi yang selam
Setelah memastikan pintu dan pagar rumahnya terkunci sebelum berjalan menyusuri gang kecil menuju tempat kerjanya yang baru, warung kelontong milik bu Retno. “Mau berangkat kerja Nilam?” “Ah iya bu, mari.” Nilam malas berbasa basi, karena itu ia langsung melangkah pergi. Perempuan itu sama sekali tidak peduli pada segerombolan ibu-ibu kurang kerjaan yang sibuk menggosipkannya. Nilam sampai di toko kelontong dan terkejut mendapati bu Retno sudah berdiri depan pintu roling. Nilam sedikit curiga karena tidak biasanya perempuan itu datang sepagi ini. “Nilam, akhirnya
“Jangan lupa jadwal periksa kamu Nilam, Dewa udah wanti-wanti saya sejak jauh-jauh hari.” Bu Darmi langsung pergi setelah menyampaikan pesan tersebut, sejak malam itu Dewa memang tidak lagi pernah datang mengunjungi Nilam dan selalu menggunakan bu Darmi sebagai perantara komunikasi mereka. “Haah, alat ini bener-bener nyiksa!” Nilam melemparkan bantal-bantalan pemberian Ru ke atas ranjang setelah bu Darmi keluar dari kamarnya. Belakangan Nilam merasa tubuhnya tidak enak, ia sering merasa kembung dan juga begah. “Nih, obat lo.” Rara masuk dan kemudian langsung mengunci pintu begitu melihat Nilam tidak mengenakan bantal kehamilannya. “Nilam! lo nih kebiasaan, teledor. Kalau bu Darmi tiba-tiba masuk gimana?!” “Ck enggak akan, bu Darmi sekarang males banget ketemu gue. Kalau bukan untuk ngurusin urusan gue sama Dewa dia enggak akan dateng.” “Tapi tetep aja, lo harus lebih