Wildan.“Saya, Wildan Ramadhani. Malam ini ingin mengembalikan putri Ayah pada Ayah dan Ibu.” suaraku bergetar. “Alana Larasati Binti Muhammad Suryadi, aku menjatuhkan talak padamu. Mulai saat ini kamu bukan lagi istriku.” Suaraku semakin bergetar, aku tak sanggup lagi menahan tangisku.Ya, aku Wildan Ramdhani, hari ini harus menangisi wanitaku yang memilih pergi dariku, Alana Larasati.Akhirnya aku harus mengucapkan kalimat itu di depan orangtua Alana. Apakah ini mimpi? Aku berharap ini hanyalah mimpi. Aku berharap aku segera terbangun dari mimpi buruk ini dan mendapati Alana-ku sedang tertidur lelap dalam dekapanku. Tapi, ini bukanlah mimpi. Ini nyata! Ternyata tindakanku menikahi Lilis dan menyembunyikannya dari Alana akhirnya membawaku ke momen yang paling menyakitkan ini.“Hati-hati, Mas. Aku akan segera kembali ke Jakarta dan mengurus proses perceraian kita. Biar Alana yang mengajukan gugatan ke pengadilan,” ucapan yang sangat tidak ingin ku dengar dari bibir mungil itu. Aku tak
Entah apa maksud Wildan, sebenarnya aku tak mengerti dan tak setuju dengan pemikirannya. Namun aku tak mau bertanya lebih jauh lagi. Aku justru menggunakan alasan itu untuk membujuk Wildan agar segera menikahi Lilis, agar aku pun segera mendapatkan cucu. Aku pun juga sudah terlanjur menyayangi Lilis, kekasih dari putraku Fadli yang sudah meninggal. “Maafkan Ibu, Nak. Ini semua salah Ibu, seandainya saja waktu itu Ibu tak memaksamu menikahi Lilis. Ini semua tidak akan terjadi.” Air mataku berderai. Namun, sesal tinggallah sesal. Wildan sudah menjatuhkan talak pada Alana di depan ayah dan ibunya, yang kemudian menyisakan kehancuran pada putraku seperti yang kusaksikan sekarang.“Sudahlah, Bu. Jangan menyalahkan diri Ibu. Mungkin ini sudah takdir jika rumah tangga Wildan dan Alana hanya bisa bertahan sampai di sini. Setidaknya sekarang Wildan punya Bagas, Bu. Wildan berjanji akan memberikan semua yang terbaik pada Bagas.”Ucapan Wildan itu sedikit membuatku terhibur. Semoga saja sakit h
Alana.Ternyata tak seperti yang kubayangkan sebelumnya, perpisahanku dengan Mas Wildan yang tadinya kupikir akan membawa lara dalam hari-hariku ternyata tak terlalu membuatku bersedih. Keberadaanku di tengah-tengah keluargaku saat ini cukup menghiburku. Meskipun tak kupungkiri, dikala sedang sendiri aku masih kadang menangisi rumah tanggaku yang harus berakhir seperti ini. Tak apa, bukankah itu manusiawi? Rasa kehilangan pun masih sesekali kurasakan. Bagaimana pun aku dan Mas Wildan sudah cukup banyak melewati hari-hari indah bersama. Kuraih gawaiku yang dari tadi berbunyi di atas nakas. Aku memang sengaja tak menjawab telpon karena tak mengenali nomor panggilan yang masuk di ponselku. Namun karena nomor itu berkali-kali mengulangi panggilan, maka akupun menjawabnya karena penasaran.“Astaga! Alana! Akhirnya kamu angkat telpon juga. Aku udah hampir kesal nih udah nelpon berkali-kali tapi nggak diangkat.”"Maaf, ini siapa?" tanyaku. Aku merasa asing dengan suara si penelpon."Lana,
“Kamu kok bisa tau aku balik dari Bandung hari ini?” “Kamu ini, masih aja seperti dulu. Ditanya malah balik nanya,” ucapnya terkekeh.“Aku serius, Win. Harusnya kamu nggak usah repot-repot gini jemputin aku. Aku bisa--““Nafisa yang nyuruh aku, Al. Aku juga sebenarnya nggak enak, takut dikira nyari kesempatan dekat-dekat kamu. Hanya saja kata Nafisa, kali ini kamu sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk menemanimu.” Lagi-lagi Darwin menyela ucapanku.Aku menghela nafas dan memilih mengarahkan pandanganku ke padatnya jalanan ibukota.“Nafisa sedang nemanin anaknya di rumah sakit.” Aku terkejut, padahal aku baru saja hendak mencari ponselku dan mengirim pesan pada Nafisa.“Almira sakit? Kok Nafisa nggak ngabarin aku? Almira sakit apa?” tanyaku panik.“Udah nanyanya?” Darwin balik bertanya sambil tertawa melihat kepanikanku. Aku mencibir.“Anaknya Nafisa rawat inap sejak kemarin di rumah sakit. Kalo nggak salah demam tinggi dan muntaber. Nafisa sengaja nggak ngabarin kamu, tau k
Alana.“Win, mana nomor rekeningmu? Aku mau bayar pelunasan sewa apartemen,” ucapku pada Darwin ketika sudah berada di unit apartemen yang kusewa.Aku langsung merasa cocok dengan apartemen ini, tidak teralu luas namun rapi dan bersih, sangat pas untuk kutinggali seorang diri sementara waktu. Yang tidak kuketahui, ternyata Darwin sudah membayar lunas sewa apartemen ini untuk 6 bulan kedepan. Padahal saat berbicara di telpon kemarin, aku hanya membayar DP nya dulu pada penyewanya.“Nanti aja, Lana. Kamu nggak sedang ngusir aku, kan?”“Tck! Aku nggak mau punya utang, Win. Buruan, mana nomor rekeningnya. Lagian kenapa kamu bayar full sih. Kemarin kan sudah kubilang bayar DP dulu. Kalau misalnya aku nggak cocok gimana?”“Rasanya kok sudah lama sekali ya aku nggak dengar suara kamu panjang dan sewot gini.”“Win, aku serius!” Aku makin sewot mendengar jawaban-jawaban Darwin.“Iya ... iya,” jawabnya sambil membuka layar ponselnya. “Tuh udah aku kirim ke kamu!” lanjutnya.Aku meraih tas ku da
Seminggu setelah aku mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan dengan bantuan Mas Pram, Mas Wildan mengirim pasan padaku.[Al, boleh ketemu?][Ada yang ingin Mas bicarakan.][Hari ini aku menerima surat panggilan dari pengadilan, Al. Akhirnya kamu benar-benar menggugat cerai. Ini surat pertama yang kuterima dengan linangan air mata.][Ada hal yang ingin kubicarakan sebelum kita bertemu di pengadilan.]Begitu sederet pesan yang dikirim Mas Wildan sejak tadi. Aku hanya membacanya, bingung harus bagaimana membalasnya. Ku-screenshot pesan-pesan dari Mas Wildan lalu kukirimkan ke Nafisa.[Suruh ke ketemuan di Kafe Jingga aja, Al. Kamu yang nentukan waktunya, nanti kabari aku, aku akan kesana juga buat jaga-jaga kalau suamimu berbuat yang tidak-tidak.] Balas Nafisa setelah membaca pesanku. [Mantan suami, Naf.] Tulisku protes.Nafisa memang sudah mulai kembali aktif di Kafe Jingga setelah baby Almira keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Beruntung sekali aku memiliki sahabat seper
Wildan.Kulangkahkan kakiku menginggalkan ruangan Alana di Kafe Jingga. Pendengaranku masih sempat menangkap Alana menggumam lirih diiringi isak tangisnya ketika aku berpamitan padanya setelah menyerahkan surat sertifikat rumah padanya. Namun, aku enggan untuk menoleh kembali. Aku tau, keputusan Alana sudah bulat untuk bercerai dariku. Tak dapat lagi kupertahankan atau kuyakinkan wanita itu dengan kata-kata rayuanku.Sekilas kulihat Nafisa melihat ke arahku ketika aku melangkah menuju pintu depan kafe. Aku pun memilih tak menoleh pada Nafisa. Aku yakin kondisiku saat ini sedang terlihat kacau. Maka segera kulangkahkan kakiku menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilku.Kuhela nafas panjang sambil mengcengkram setir mobilku. Mengapa tak henti-hentinya rasa sesal ini menyesakkan dadaku? Padahal aku sadar, akulah yang membuat Alana pergi. Betapa bodohnya aku, bagaimana mungkin seorang istri yang cerdas seperti Alana menerima tindakanku yang menikah diam-diam di belakangnya. Bahkan punya a
Hari ini aku harus menghadiri sidang putusan atas gugatan cerai Alana di Pengadilan Agama. Ya, setelah melalui serangkaian persidangan dan juga mediasi yang menemui jalan buntu karena Alana tetap ngotot berpisah, akhirnya hari ini aku akan benar-benar bercerai sah dari Alana.Aku tak menyangka Alana membeberkan semua bukti chat yang ditemukannya waktu itu di laptopku pada saat sidang. Alana benar-benar mempersiapkan semua buktinya dengan rapi. Meskipun wanita itu harus kembali menangis dalam persidangan saat membeberkan bagaimana awalnya dia menemukan bukti-bukti kebohongan dan pengkhiatanku.Aku hanya terdiam terpaku saat itu, aku baru menyadari bahwa aku sungguh telah melukai hati Alana begitu dalam. Ternyata sederet chat dan status whatsappku yang mengabarkan kebahagiaaku atas kelahiran Bagas putra pertamaku dan Lilis sungguh telah mencabik-cabik perasaan Alana. Hal itu membuatku sadar bahwa betapa sebenarnya Alana sangat mencintaiku, sehingga pengkhiatanan dan kebohonganku tentang