Darwin.Aku bukannya tak terganggu dengan ucapan Alana, sebelum Jessy mengatakan itu pada Alana, gadis kecilku itu juga sudah menagih janjiku padanya kemarin saat aku menemaninya di kamarnya. Menurut Inge kondisinya saat ini memang sudah banyak kemajuan. Bahkan keberangkatannya ke Singapura kali ini adalah untuk pemeriksaan terakhir sebelum ia benar-benar dinyatakan sembuh dan berhasil mengalahkan penyakit kankernya. Sambil memeluk tubuh Alana, pikiranku melayang di saat aku mengucapkan janjiku yang ternyata sampai sekarang masih diingat oleh Jessy, putriku.“Nge, aku sungguh-sungguh nggak mau bercerai,” ucapku pada Inge ketika ia mengatakan niatnya berpisah.“Tapi aku tetap akan mengajukan cerai ke pengadilan, Mas. Keputusanku sudah bulat.”“Kamu sedang sakit, Nge. Kamu sekarang justru sangat membutuhkanku untuk mendukungmu. Kenapa malah memilih bercerai?”“Aku mau berkonsentrasi menjalani pengobatanku, Mas. Aku tak mau terbebani dengan status sebagai istrimu.”“Aku tak pernah merasa
“Al, aku benar-benar mau punya anak banyak dari kamu. Setelah bayi ini lahir kita langsung program lagi, ya.” Ia memeluk tubuhku yang sudah susah untuk merapat padanya karena perut buncitku yang menghalangi.“Abang nggak liat gimana repotnya Nafisa sekarang? Menurut Nafisa itu karena ia menyepelekan memasang alat kontrasepsi dan akhirnya hamil lagi, padahal Baby Almira masih sangat membutuhkan perhatiannya,” ucapku.“Tapi aku pasti akan membantumu mengurus anak-anak kita, Al. Nggak seperti suami Nafisa yang justru sering meninggalkan keluarganya karena kesibukannya.”“Abang jangan bahas itu dulu deh. Bayi ini aja belum keluar, Bang!”Lelaki itu terkekeh, kemudian berusaha mendekapku lebih erat.“Papa!! Mama Alana!!!” Suara Jessy memngagetkan kami, membuat Darwin spontan melepaskan tubuhku.“Loh, Jessy ... sejak kapan berdiri di situ, Sayang?” tanyaku pada gadis kecil manis itu.“Sejak tadi, Mama Al. Papa dan Mama mau punya banyak bayi? Jessy senang sih punya adik, tapi jangan banyak-b
Alana.“Kamu kenapa, Al? Kok jadi pucat gini?” Darwin menatapku heran ketika aku kembali ke hadapannya dan Jessy.“Nanti aku ceritain, kita ke ruangan Nafisa aja dulu.”Aku belum sanggup menceritakan tentang pertemuanku dengan Mas Wildan barusan karena aku sendiri masih merasa syok.Setibanya kami bertiga di ruang rawat Nafisa, ternyata keadaaannya tidaklah seburuk yang kuduga, setidaknya ia masih kelihatan lebih segar dan kuat dibanding aku dulu saat ngidam dan harus dirawat. Menurut cerita Nafisa yang masih bersemangat berceloteh, Mas Pram hanya terlalu mengkhawatirkannya sehingga membawanya ke rumah sakit. Baby Almira pun sudah mulai terlihat mau digendong oleh pengasuhnya, sehingga apa yang kukhawatirkan tadi tidaklah terjadi.Jessy yang datang bersama misinya untuk menemani Baby Almira bermain pun langsung melaksanakan misinya, kedua bocah itu langsung terlihat akrab, Baby Almira bahkan tertawa cekikikan saat Jessy menggodanya dengan berbagai macam wajah dan suara lucunya. Aku te
Tiba-tiba aku terbayang bayi yang diajak Lilis kemari waktu itu. Anak Mas Wildan dan Lilis yang wajahnya sangat mirip dengan Mas Wilda.“Ehm, apa kabarnya anakmu, Mas? wajahnya mirip sekali denganmu.”“Kamu pernah bertemu Bagas selain waktu dia baru lahir dan menginap di rumah kita?”Ah, kalimat Mas Wildan kembali melemparku ke masa lalu saat Lilis dan bayinya serta Ibu menginap di rumahku dan Mas Wildan saat itu. Buru-buru kuhapus semua banyangan pahit itu dari kepalaku.“Lilis pernah ke sini bersama Bagas, Mas.”Kulihat Mas Wildan terkejut lalu menatap intens padaku. “Apa yang ia katakan padamu?”“Waktu itu Lilis datang untuk memintaku mencabut laporan atas kasus Mas Wildan.”“Aku sudah bercerai dengan Lilis, Al," lirihnya sambil menarik nafas panjangAku terkejut mendengarnya, namun memilih diam tak menanggapi. Aku tak pernah mau terlibat dengan urusannya dan Lilis.“Dia tak pernah berubah, ia selalu hidup dalam bayangan kekasihnya. Baginya aku hanya sekedar ayah biologis dari Baga
Darwin.Hari ini aku benar-benar dibuat pusing dengan hasil meeting dengan pihak Kementrian Konumikasi dan Informatika tentang kerjasama proyek yang akan perusahaanku garap. Bagaimana tidak, tender yang sudah hampir kami menangkan di depan mata sebagai pihak ketiga atas proyek Kementrian mengharuskanku untuk berangkat ke Jepang dalam waktu dekat ini. Karena proyek ini juga akan bekerjasama dengan pemerintah Jepang. Mengingat beberapa pendiri perusahaanku adalah WNA Jepang, maka perusahaan kami tak memiliki kesulitan memenangkan tender besar ini.Namun sayang, kesempatan emas bagi perusahaan kami yang sudah di depan mata membuatku justru merasa galau. Kondisi kehamilan Alana yang sudah memasuki bulan ketujuh membuatku tak bisa meninggalkannya jauh-jauh. Terlebih pekerjaan kami di Jepang nantinya belum pasti akan memakan waktu berapa lama. Sedangkan aku adalah salah satu pendiri utama perusahaan yang harus langsung turun tangan untuk mega proyek ini.Karena merasa pusing akan mengambil
“Terima kasih, Abang.” Tangisannya justru semakin menjadi, namun ia berusaha untuk tersenyum kemudian menghirup aroma dari buket bunga.“Maafkan aku sudah tak jujur padamu, aku punya alasan untuk ini. Aku hanya tak mau ....”“Ssshhh ... sudah. Aku percaya padamu. Jangan menangis lagi.” Kubelai lembut kepalanya yang kini tertutup oleh hijabnya, kemudian kucium pucuk kepalanya. Sungguh aku tak sanggup melihat air mata wanita ini. Rasa sayangku padanya mampu mengalahkan rasa cemburuku.Lalu beberapa menit kemudian, dari bibirmya mengalir cerita tentang pertemuannya dengan Wildan tadi pagi, tentang keterkejutannya atas kondisi mantan suaminya kini, serta niatnya untuk membantunya dengan sebagian uang hasil penjualan rumah mereka dulu. Rasa cemburu yang tadi menyesakkan dadaku menguap begitu saja mendengar penjelasannya.Alana hanya melakukan kewajibannya, bagaimana pun Wildan memang berhak atas sebagian dari hasil penjualan rumah mereka. Aku bahkan mengusulkan agar Alana menyerahkan semua
Alana.Jessy langsung berlari ke dalam dekapan Inge saat kami tiba di rumah setelah menjemput Inge di hotel tadi. Gadis kecil itu memang tak tau jika Mamanya akan datang. Menurut cerita Darwin, Inge tak pernah menjanjikan kapan kepulangannya untuk menjemput Jessy setiap kali wanita itu berobat, karena Inge sendiri tak pernah tau sampai kapan ia bisa kembali lagi, atau bahkan ia justru tak akan pernah kembali.Namun wanita itu terlihat lebih segar dan lebih anggun sekarang, ia tadi langsung menyunggingkan senyumnya saat melihatku dan Darwin di lobi hotel. Inge bahkan memilih menyapaku terlebih dulu ketimbang menyapa Darwin di lobi hotel tadi. Aku terenyuh menyaksikan bagaimana ibu dan anak itu bertemu dan melepas rindu. Terlihat dengan jelas kegembiraan di wajah keduanya.“Jessy kangen Mama. Terima kasih sudah kembali, Ma. Apa Mama sekarang sudah sehat?”Mendengar kalimat Jessy aku tak sanggup menahan air mataku. Bagaiamana bisa anak sekecil itu mampu berucap kalimat yang mengandung ma
“Oh, terima kasih, Mbak Inge. Sampaikan salam hormat dan terima kasihku pada beliau.”“Mama beneran sudah sembuh?” Jessy yang tadinya hanya diam mendengarkan kini bertanya sambil menatap penuh harap pada Inge.“Iya, Sayang. Jessy doakan agar penyakit Mama nggak akan kambuh lagi, ya. Oiya, besok kita pulang ke Surabaya ya, Sayang. Kasihan Opa ditinggal sendirian di sana.”“Nggak mau!! Jessy belum mau pulang ke Suarabaya. Jessy maunya pulang ke rumah kita sama Papa dan Mama! Bukankah Papa sudah janji kalau Mama sembuh kita akan kembali tinggal bersama?”Inge terperangah mendengar ucapan putrinya, sedangkan aku hanya menatapnya sambil tersenyum. Aku sudah tak terkejut lagi karena sudah pernah mendengarnya dari Jessy. Begitu pun Darwin, lelaki itu terlihat lebih santai.“Jessy!! Nggak boleh ngomong gitu, Sayang. Kita pulang ke rumah Opa dulu, ya. Kapan-kapan Jessy boleh ke sini lagi dan nginap di rumah Papa dan Mama Alana.”“Tapi Jessy maunya tinggal di rumah kita. Mama Alana boleh ikut k