Hana melangkah sembari menggandeng tangan Elly memasuki Starbucks, terlihat para pelayan sibuk menyiapkan pesanan para pembeli yang mengantri, serta ada pria berjanggut tipis dan berjaket kulit merah duduk disalah satu meja, menunggu sembari menggulir layar ponsel. Hana yang mengetahui siapa pria itu langsung menuntun Elly duduk dihadapannya.
"Hana tunggulah diluar."
"Apa? Kau gila?"
"Ini masalahku Hana, tidak apa, sebentar saja kok."
"Kalau apa - apa terjadi ingat, panggil aku, oke?"
Menuruti permintaan Elly, Hana keluar dan menunggu Elly di balik pembatas kaca, ditemani dua pria berjas yang menjemput mereka sebelumnya. Pria berjaket kulit merah dihadapan Elly langsung mematikan ponselnya melihat orang yang ditunggunya sudah hadir.
"Okay, Shall we?" tanyanya pada Elly. "Hei dua Frappucino cepat!" perintahnya pada pelayan kedai.
"Aku rasa kau sudah menunggu kedatanganku. Namun sebelum itu, bagaimana caramu menemukanku, Tuan...?" tanya Elly santai.
"Owh! Willfred Arathorn, panggil saja Will. Banyak sekali yang ingin kubahas denganmu, sebagai Direktur Thorn Constuction tentunya. Familiar dengan nama perusahaan itu? Oh! Dan, ya. Bukan perkara sulit melacak ponsel zaman sekarang," jawabnya sombong.
"Sebagian besar masyarakat Blackpool sudah mengetahui pengaruh besar dari Thorn Enterprise beserta anak perusahannya, salah satunya yang tengah kau kepalai. Mana mungkin warga Britania tak mengenal keluarga anda," ujar Elly dengan polosnya.
"Mungkin kau sudah melihat di siaran berita utama Fox News. Ada dua berita yang tersiar, pertama tentang dugaan atas ketidakadilan pembayaran upah yang dilakukan oleh perusahanku. Lalu yang kedua sudah tersiar siang ini, buntut dari pemberitaan pertama,” papar Will.
“Sebut saja, sumberku, sedikit menyelidiki pemberitaan itu dan menemukan fakta bahwa, informasi berita - berita ini tidaklah murni di dapatkan Fox, melainkan ada campur tangan seorang wartawan lepas, yang dikenal dengan sebutan, Ether. Sekali lagi, familiar dengan nama itu?" papar Will lagi, kali ini dengan nada yang lebih mengintimidasi.
Seakan tak terpengaruh setelah mendengar intimidasi yang Will berikan, Elly hanya tersenyum simpul. "Aku cukup kagum dengan paparan analisismu, Tuan Arathorn. Kurasa mengelak juga tidak akan ada gunanya sekarang,” ucap Elly.
Senyum simpul berubah menjadi tawa kecil, Elly seakan menertawai apa yang di samapikan oleh Will. “Tapi, apa yang sudah kau paparkan adalah sejauh - jauhnya tindakan yang bisa kau perbuat. Tulisanku sudah diterima dan disiarkan oleh Fox. Artinya, umpan balik terhadap pemberitaan yang tersiar sudah bukan tanggung jawabku lagi, melainkan pihak Fox News. Harusnya yang duduk menghadapmu saat ini bukan aku, Tuan Arathorn," balas Elly.
Melihat Elly yang dapat menangkis semua perkataan, bahkan sanggup tersenyum setelah semua intimidasi yang telah ia berikan, Will mulai hilang kesabaran dan menggebrak meja. "Cut the bollocks! Aku mau sekarang kau tarik apa yang kau tulis dan buat pernyataan terbuka bahwa apa yang kau tulis adalah sebuah kesalahan!" bentak Will hingga wajahnya kemerahan.
Meski sedikit tersentak, Elly berusaha mengatur nafas untuk dapat bertahan menghadapi Will. Ia juga berusaha menangkup kedua tangan agar tak terlihat gemetaran. "Maafkan aku, Tuan Arathorn. Apa yang sudah ditulis tidak bisa ditarik lagi. Lagipula, jika apa yang kutuliskan adalah fakta, untuk apa ditarik bukan? It is what it is," balas Elly masih dengan santainya.
Sudah kepalang muak karena tanggapan Elly dan karena Elly tidak menatapnya dengan benar ketika sedang bicara, Will berdiri dan mencengkram kuat lengan Elly. "Lihat aku ketika bicara! Kau tahu sedang berhadapan dengan siapa!?" bentaknya kasar.
Hana yang melihat sahabatnya disakiti oleh Will tidak tinggal diam, dengan cepat ia berlari kedalam untuk menolong Elly, sembari dikejar oleh pengawal pribadi Will. Meski sempat dicegat masuk, Hana masih sempat melawan, lolos dari cegatan dan langsung menghampiri Elly.
"DIA BUTA! Dia buta! Lepaskan tanganmu! Kau tidak lihat dia kesakitan!?" Hana mencoba memberitahu Will mengenai Elly yang merupakan seorang tunanetra, sembari mencengkram balik tangannya. Namun tenaganya tidak cukup untuk membuat Will melepas genggamannya dari tangan Elly.
"Buta? Enak sekali dia! Dengan sesuka hati membuat masalah pada bisnis orang lain tanpa harus melihat akibat dari perbuatannya!" maki Will murka.
Para pengunjung di sekitar hanya melihat dan berlalu tanpa berbuat apa - apa, menganggap itu hanya konflik kecil yang biasa terjadi. Tak terkecuali salah seorang pelayan yang dengan santai membawakan pesanan Will di tengah pertikaian.
Melihat pelayan datang membawa nampan berisi pesanan Will sebelumnya, Hana melepaskan cengkramannya dari tangan Will, merebut dua Frappucino di atas nampan lalu dengan cepat menyiramkan keduanya ke wajah Will, membuat wajah hingga badan Will kuyup dibasahi Frappucino dingin.
"TOLONG! TEMANKU MAU DIPERKOSA!"
Para pengunjung yang tadinya hanya melihat akhirnya beramai - ramai mulai mengerubungi Will setelah mendengar teriakan Hana. Membuatnya melepas cengkramannya. Kepanikan melanda Elly akibat riuh keramaian, membuatnya refleks jongkok dan menutup kedua telinganya.
"HEI BUNG! MAU KUPOTONG BARANGMU!?" maki salah satu pengunjung lelaki sembari mencengkram kerah jaket Will.
"LEPASKAN! HEI! KALIAN TIDAK TAHU SIAPA AKU! KUHABISI KALIAN!" Will masih dengan sombong dan murkanya memaki pengunjung yang mengerubunginya, bahkan pengawal Will ikut gelagapan menolong Will saking ramainya.
Hal ini dimanfaatkan oleh Hana yang langsung menarik tangan Elly yang masih gemetar panik karena ricuhnya Starbucks, menuntunnya keluar menjauhi Will dan kedua pengawalnya. Keduanya berlari gelagapan, Hana sesekali menoleh kebelakang melihat apakah Will mengejar mereka berdua.
"HEI BERHENTI!"
Benar saja, Will yang kuyup akan Frappucino berhasil lolos dari kerubungan pengunjung Starbucks dan berlari mengejar Hana dan Elly, diikuti oleh dua orang pengawalnya.
"Maafkan aku, kita tidak akan sempat pesan Uber. Tidak apa jika aku mencuri mobil atau apapun yang bisa dinaiki ya Elly!?"
"Kau mau masuk penjara Hana!?"
"Itu lebih baik daripada berurusan dengan keluarga Arathorn!"
Ketika aksi kejar - kejaran mencapai persimpangan jalan, langkah mereka tiba - tiba terhenti, tatkala melihat satu helikopter datang dan hendak melakukan pendaratan di tengah persimpangan jalan, membuat Hana kaget bukan main dan seluruh pejalan kaki berlarian panik membuka ruang pendaratan.
"AAAAAAAAAAAKKKKKK!"
Elly memekik histeris karena tidak tahan dengan kerasnya suara mesin helikopter, ia kembali terjongkok seraya menutup kedua telinganya. Dengan cepat Hana ikut jongkok lalu memeluk erat Elly, berusaha menenangkannya.
"What the freak?" Will ternyata ikut kaget dengan kedatangan helikopter itu, menandakan itu bukanlah perbuatannya.
Helikopter berhasil mendarat sempurna, lalu keluar satu orang pria berpakaian sama seperti pengawal Will serta mengenakan headset di kepalanya menghampiri Hana dan Elly.
"Maaf atas ketidaknyamanannya, Sir Edric sudah menunggu di Mansion," ujarnya yang berusaha meninggikan nada bicara agar suaranya tidak tersarmar mesin helikopter.
~TO BE CONTINUED~
Sejatinya, perjalanan dari Roma menuju Sirakusa terbilang sangat jauh jika mengambil jalur darat. Ada empat kota yang harus dilewati sebelum mencapai Sirakusa, yakni Napoli, Benevento dan Catania. Membuat waktu perjalanan dapat diperkirakan menjadi 10 jam lamanya. Namun, berkat helikopter MI5, rombongan Pascal hanya perlu menempuh waktu 1 jam perjalanan, hanya butuh terbang dengan memotong jalur melewati garis Laut Tirenia. Katakomba San Giovanni. Sebuah kapel bersejarah yang terbangun diantara susunan batu alam. Kesan kuno serta dilengkapi ukiran-ukiran fresko yang semakin memudar, merupakan pelengkap setiap dinding-dinding dan pilar-pilar fondasi area pemakaman. Tampak luarnya tak beda dengan arsitektur kapel dan gereja pada umumnya, hanya kesan kuno serta sarat sejarah yang membedakannya. Setidaknya, itulah tampak sekilas dari atas tanah. Terkesan tak begitu mencolok sebagai salah satu situs bersejarah, bahkan disekitaran area kapel masih dapat dijumpai bengunan-bangunan pemukiman
Vilfredo membawa rombongan Pascal ke ruang kerja pribadinya, yang terletak di lantai dua Museum Capitolini. Tak seperti ruang kerja pribadi pada umumnya, terdapat bentang tiga rak melengkun setinggi dua meter di belakang meja kerja Vilfredo. Tak hanya itu beberapa sisi ruangan juga dipenuhi beragam pajangan artefak-artefak bersejarah. Seperti lukisan langka milik Caravaggio, Titian serta pahatan patung dari Praksiteles dan Skopas. Seluruh rombongan Pascal menyusuri ruang kerja seluas 30 meter persegi itu. Dona mengambil salah satu buku dari rak lengkung dan memperhatikan sampul beserta isinya, membaca buku berjudul 'The Romans: From Village to Empire' karya Mary T. Boatwright. Pascal tengah memperhatikan salah satu lukisan yang terpanjang di dinding, lamat-lamat memandangi karya berjudul Assumption of the Virgin oleh Carvaggio, lukisan yang menggambarkan Kenaikan Perawan Maria ke Surga, dengan komposisi yang dramatis dan penggunaan warna yang luar biasa. Sementara Hana bergedik jiji
Karena memutuskan untuk menuruti permintaan Elly, penerbangan yang seharusnya hanya memakan waktu 1 jam saja menuju london kini berlangsung lebih lama. Deru mesin helikopter yang begitu bising berangsur memudar seiring berjalannya waktu penerbangan, terkesan lebih menenangkan. Elly bahkan sampai tertidur, duduk di bangku panjang helikopter namun kepalanya bersandar di atas brankar, tepatnya menyandari perut Will yang juga sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Will tertidur nyenyak, dengan posisi tangan kanan yang menapak di atas kepala Elly. Begitu juga dengan Hana, hanyut terbawa kantuk setelah penerbangan hampir berlangsung selama dua jam. Terlelap begitu nyenyak dengan berbaring di atas bangku panjang helikopter. Berbeda halnya dengan Pascal dan Dona yang masih terjaga, di bangku panjang seberang Hana, keduanya tengah fokus memperhatikan tampilan satelit peta digital di layar tablet pintar. Seraya berdiskusi untuk mempersiapkan lokasi pendaratan. "Hmmm.. Susunan komplek museum
Sayang, momen-momen meramu asmara dalam cumbuan terpaksa berhenti, tatkala ko-pilot helikopter menjulurkan radio genggam ke belakang. "Sir Wilfred, Dame Eleanor. Letnan Pascal ingin bicara dengan kalian," potongnya. Sontak, Will dan Elly yang tadinya hanyut dalam pagutan secara bersamaan menjauhkan badan, melepas dekapan setelah mendengar panggilan ko-pilot. Elly begitu tersipu setelah menghabiskan menit-menit singkat untuk mencumbu Will, kepalanya tertunduk, hendak menyembunyikan wajah memerah dari Will. Sementara Will merangkak di atas brankar, meraih radio genggam dari tangan ko-pilot lalu mendekatkannya ke mulut. "Ya, Pascal? Ada apa?" tanya Will. "Ah! Wilfred. Kau sudah bangun ternyata. Baru saja aku ingin menanyakan keadanmu pada Dame Eleanor. Kau sudah merasa lebih baik sekarang?""Begitulah. Dada dan perutku masih terasa berdenyut, sesekali aku juga kesulitan bernafas. Tapi selebihnya, tubuhku sudah mulai bisa digerakkan seperti sedia kala," ujar Will, seraya meregangkan ba
"Nyonya R. Nyonya R. Bangunlah. Aku butuh bantuanmu."Greta yang tadinya terlelap kini berubah tak tenang, ia yang mendudukkan badan di atas matras putih, kini sedang mengguncang pelan tubuh Revna, yang terlelap bersama Greta di matras yang sama, tidur dengan posisi membelakangi gadis kecil itu. Setelah beberapa kali tubuhnya diguncang oleh tangan mungil Greta, Revna yang semula tertidur nyenyak kini memicing mata, guncangan pelan Greta seketika menarik kembali kesadarannya. Revna meregangkan badan seraya mengusap mata sayup setelah terbangun, sebelum kemudian ia mendudukkan badan perlahan, lalu berbalik menghadap Greta, yang terlihat memasang wajah murung. Sadar Greta telah terbangun, Revna lekas menangkup pipi kiri Greta seraya mengusap lembut dengan jemari. "Ada apa, Greta? Mengapa kau terlihat gelisah sekali?" tanya Revna lemas. "Anu. Apa perbanku sudah boleh dibuka, Nyonya R? Ini terasa sangat gatal. Aku tidak tahan," pinta Greta lirih, seraya memangku kepal kedua tangan, yang
Malam semakin larut, para pengungsi lanjut beristirahat setelah menikmati kari daging sederhana, kemah pengungsian sudah tak se-riuh sebelumnya, para pengungsi termasuk Greta telah kembali ke tenda masing-masing, menyudahi hari untuk menyambut hari berikutnya, sambil terus berharap agar situasi berat ini segera usai.Di saat semua pengungsi beristirahat, lain halnya di tenda utama. Diaz dan Andrew berjongkok di samping kiri dan kanan Clansman PRC-320, memperhatikan seorang lansia yang tengah fokus memutar tuas bundar frekuensi, pria tua berpakaian kemeja putih lengan panjang terbalut mantel wol abu, serta memiliki rambut pendek serba putih, yang tak lain adalah Pak Tua Sam. "Padahal sudah dari tadi sore kau kusuruh memanggil Pak Tua Sam, kenapa kau baru membawanya setelah makan malam, Diaz!?" sungun Andrew kesal. "Si Tua ini tidur di tendanya! Kau tahu sendiri jika dia sudah tidur akan sesulit apa dibangunkan! Dia hanya akan bangun jika mendengar suara baku tembak!" timpal Diaz. "L