Warisan Kuno: Kembalinya sang Pewaris Blurb: Seorang anak laki-laki bernama Arka terpisah dari keluarganya yang merupakan salah satu keluarga terkaya di negeri itu sejak usianya baru menginjak empat tahun. Perselisihan dalam keluarga menyebabkan ia disingkirkan secara diam-diam, hingga akhirnya diasuh oleh keluarga sederhana di sebuah desa terpencil. Namun, keluarga angkatnya bukanlah keluarga biasa—mereka adalah keturunan terakhir dari klan kuno yang menguasai seni bela diri tingkat tinggi, ilmu kultivasi yang mendalam, dan pengetahuan kedokteran yang luar biasa. Di bawah bimbingan mereka, Arka tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan tangguh, menguasai teknik-teknik bertarung yang hanya diketahui segelintir orang di dunia. Tanpa mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya, ia menjalani hidup sederhana, hingga suatu hari takdir membawanya kembali ke dunia yang telah lama meninggalkannya.
View MoreDarah mengalir di lantai marmer Vila Wijaya. Seorang pria berseragam pelayan tergeletak dengan mata terbuka lebar, napasnya tersengal-sengal. Tangan kanannya masih mencengkeram sebuah amplop hitam yang kini berlumuran darah.
Di sudut ruangan, seorang bocah laki-laki berusia empat tahun duduk diam di atas ranjang. Matanya yang hitam pekat menatap kosong ke jendela, tangannya erat menggenggam boneka kayu yang mulai lusuh. Namanya Arka Wijaya. Di luar kamar, perdebatan sengit pecah di antara anggota keluarga. "Dia tetap anak dari darah Wijaya!" suara seorang pria muda menggema. "Dia bukan bagian dari keluarga ini!" sahut suara berat seorang pria tua dengan penuh otoritas. Pria tua itu adalah Darma Wijaya, kepala keluarga yang keras dan tanpa belas kasihan. "Jangan bodoh, Wisnu!" bentaknya pada pria muda itu. "Anak itu hanya akan membawa kehancuran bagi kita! Jika dia tumbuh dewasa, dia akan menjadi ancaman bagi keluarga ini!" Wisnu Wijaya, kakak tiri Arka, mengepalkan tinjunya. "Dia adik kandungku." Darma mendengus. "Dan kau adalah pewaris sejati keluarga ini. Tidak ada tempat untuk dia." Malam itu, keputusan dibuat. Arka akan dihapus dari sejarah keluarga. RAHASIA DI BALIK MALAM GELAP Jauh dari gemerlap pesta, di tengah hutan sunyi, seorang pria berjubah hitam berdiri dengan tangan bersilang. Guna, seorang ahli seni bela diri, pengobatan, dan kultivasi, menatap tajam ke arah pelayan yang membawa seorang bocah kecil dalam gendongannya. Pelayan itu menyerahkan Arka dengan tangan gemetar. "Bawa dia pergi... sebelum mereka berubah pikiran." Arka tidak menangis. Ia hanya menatap pria asing itu dengan mata polos. Guna berlutut, menepuk bahunya. "Mulai sekarang, kau akan hidup denganku." Dalam keheningan malam, Arka dibawa pergi, tanpa pernah menyadari bahwa darah yang mengalir di tubuhnya adalah bagian dari garis keturunan penuh ambisi dan pengkhianatan. LIMA BELAS TAHUN KEMUDIAN Petir menyambar langit gelap, menerangi hutan lebat di balik gunung. Di bawah derasnya hujan, seorang pemuda berdiri di tengah hutan dengan mata terpejam. Napasnya teratur. Tenang seperti air, kokoh seperti batu karang. Tiba-tiba, ia menggerakkan tangannya dengan cepat. Dalam sekejap, udara di sekelilingnya bergetar, menciptakan pusaran energi yang membuat daun-daun beterbangan. Sebuah batu besar di depannya meledak berkeping-keping. Dari kejauhan, Guna menyaksikan dengan tatapan puas. "Kau sudah menguasai dasar-dasarnya." Arka membuka matanya. "Aku masih belum cukup cepat." Guna terkekeh. "Jangan terburu-buru. Kekuasaan sejati bukan tentang kecepatan, tapi tentang pengendalian." Selama lima belas tahun, Arka tumbuh di bawah bimbingan Guna dan keluarganya—keturunan dari Klan Naga Langit, garis keturunan kuno yang menghilang dari dunia luar. Di desa tersembunyi itu, Arka belajar seni bela diri yang tak bisa ditemukan di mana pun. Ia menguasai teknik yang membuat tubuhnya secepat angin dan sekuat baja. Ia juga belajar seni kultivasi, teknik yang memungkinkan seseorang memperkuat tubuh dan pikirannya melampaui batas manusia biasa. Namun, meskipun tubuhnya kuat, hatinya penuh pertanyaan. "Guru," kata Arka suatu hari. "Siapa aku sebenarnya?" Guna terdiam sesaat. Sudah lama ia menunggu pertanyaan itu. "Sudah waktunya kau tahu," katanya akhirnya. Arka menatapnya penuh perhatian. "Kau adalah anak dari keluarga Wijaya," lanjut Guna. "Salah satu keluarga paling berpengaruh di negeri ini. Namun, karena perselisihan di antara mereka, kau dibuang dan dihapus dari sejarah keluarga." Arka mengernyit. Nama itu asing, tapi terasa familiar. "Aku membesarkanmu di sini karena itu adalah takdirmu," lanjut Guna. "Namun, dunia yang dulu membuangmu kini berada dalam bahaya. Keluarga yang pernah melupakanmu… mungkin akan mencarimu." Arka mengepalkan tinjunya. Selama ini, ia hanya ingin hidup tenang. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa masa lalunya belum selesai. "Jadi, mereka membuangku," gumamnya. Guna mengangguk. "Dan sekarang, kau punya pilihan. Tetap di sini, atau kembali menghadapi mereka." Arka terdiam lama. Namun sebelum ia bisa menjawab, sebuah ledakan terdengar dari arah desa! Guna menoleh cepat. "Itu dari kuil utama!" Arka langsung berlari, diikuti oleh Guna. Saat mereka tiba di desa, api sudah membakar beberapa rumah. Dari balik asap, sosok berjubah hitam muncul, membawa pedang merah berkilauan. "Di mana dia?" suara serak terdengar. Seorang lelaki tua dari desa gemetar. "S-siapa?" Orang berjubah itu tersenyum miring. "Anak yang seharusnya mati lima belas tahun lalu." Arka mengepalkan tangannya. Mereka datang mencarinya. Dari kejauhan, suara kuda mendekat. Lebih banyak musuh sedang datang. Guna menyempitkan matanya. "Arka, dengarkan aku. Jika mereka menginginkanmu... itu berarti kau lebih penting dari yang kita duga." Arka menarik napas panjang, matanya penuh tekad. "Aku tidak akan lari lagi." Namun, ia belum tahu bahwa di balik semua ini, seseorang dari keluarga Wijaya telah mengkhianatinya sejak awal.Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments