Alasan mengapa Will selalu menyempatkan waktunya di pukul 05.00 sore, hingga rela mengabaikan banyaknya jadwal pertemuan yang sudah masuk dalam rekapitulasi sekretarisnya, tak lain karena taman pemakaman Carleton tak ramai didatangi pelayat pada waktu-waktu itu. Will ingin menghabiskan sisa sorenya dengan mengunjungi makam sang Ayah secara rutin. Pohon Maple yang tumbuh di samping makam Sir Edric menjadi saksi bisu, dahan dan ranting menjadi payung alami yang menjaga nisan pualam tetap teduh, serta menghiasi dengan pancar bayang-bayangnya. Will bersandar di batang pohonnya, lipatan jas diletakkan di samping kiri ia duduk, duduk sambil menekuk kaki kanan. Kepalanya menengadah, memandang sendu langit senja. Will tak datang dengan tangan kosong. Di samping kanannya sudah ada sebotol Wiski dengan isi bersisa setengah. Kini ia tengah memegang shot glass berisi Wiski di tangan kanan, menimpa lengan kanan di atas lutut untuk mengambil jeda sejenak, sebelum melanjutkan tegukan. "Satu p
Petang berganti malam. Sekitar dua jam berselang selama Pascal memacu motor cruiser miliknya, melaju kencang bersama Will, mencari tempat aman setelah berhasil kabur dari para penembak di makam. Selama dirinya berkendara menyusuri jalanan Pascal sesekali menoleh ke spion motor, melihat Will yang tak berhenti memegangi hidungnya. Sambil terus menarik gagang gas di kanan agar motor tetap melaju, Pascal merogoh saku jaket dengan tangan kiri, mengambil sapu tangan lalu memberikannya pada Will. "Ini. Sumpal hidungmu sampai darahnya berhenti," ujar Pascal. Tidaknya menerima pemberian Pascal, Will membuka tangan di wajah, menunjukkan bentukan hidung pada Pascal, terlihat dari spion batang hidung serta tulang rawan yang sudah bergeser posisinya, akibat dari sikutan kuat Pascal saat Will mabuk di makam. "Apakah sapu tanganmu juga bisa memperbaiki hidungku?" sungut Will kesal. "Mau bagaimana lagi? Kalau tak kuhantam kau takkan sadar, kan?" balas Pascal. Setelah lama berkendara, Pascal mem
Ribuan pengunjuk rasa memenuhi pintu masuk gedung Thorn Enterprises pada siang hari di Blackpool. Mereka menunggu CEO perusahaan keluar dan memberi keterangan terkait kesenjangan upah di salah satu anak perusahaannya, Thorn Construction. Para petugas kepolisian Blackpool dikerahkan untuk membuat barikade di depan pengunjuk rasa, demi mencegah terciptanya kericuhan. "BAYARKAN HAK KAMI!" "BAYARKAN HAK KAMI!" "BAYARKAN HAK KAMI!" Begitu riuh mencipta hiruk pikuk para pekerja berbondong-bondong, memenuhi pelataran salah satu gedung pencakar langit di kota Blackpool itu. Saking ramainya, ruas jalan di sekitar gedung itu terblokade, aksi unjuk rasa menutup akses kendaraan. Aksi ini juga berhasil mencuri perhatian para wartawan dari berbagai media kenamaan, para pekerja jurnalistik telah mengambil tempat untuk menyoroti. "Disiarkan langsung dari Blackpool, seperti yang anda lihat dibelakang saya, pengunjuk rasa yang didominasi oleh pekerja konstruksi Thorn Construction terus menyerukan
Hana melangkah sembari menggandeng tangan Elly memasuki Starbucks, terlihat para pelayan sibuk menyiapkan pesanan para pembeli yang mengantri, serta ada pria berjanggut tipis dan berjaket kulit merah duduk disalah satu meja, menunggu sembari menggulir layar ponsel. Hana yang mengetahui siapa pria itu langsung menuntun Elly duduk dihadapannya."Hana tunggulah diluar.""Apa? Kau gila?""Ini masalahku Hana, tidak apa, sebentar saja kok.""Kalau apa - apa terjadi ingat, panggil aku, oke?"Menuruti permintaan Elly, Hana keluar dan menunggu Elly di balik pembatas kaca, ditemani dua pria berjas yang menjemput mereka sebelumnya. Pria berjaket kulit merah dihadapan Elly langsung mematikan ponselnya melihat orang yang ditunggunya sudah hadir."Okay, Shall we?" tanyanya pada Elly. "Hei dua Frappucino cepat!" perintahnya pada pelayan kedai."Aku rasa kau sudah menunggu kedatanganku. Namun sebelum itu, bagaimana caramu menemukanku, Tuan...?" tanya Elly santai."Owh! Willfred Arathorn, panggil
Meski sudah diberi headset untuk meredam suara mesin helikopter di tengah penerbangan, Elly masih gemetaran sambil memeluk erat Hana. Hana yang melihat temannya panik tidak bisa berhenti khawatir, terus mengelus kepala Elly untuk menenangkannya."Elly? Elly? Hei kau dengar aku?" tanya Hana yang memastikan komunikasi antar headset dengan Elly berjalan baik."Ke-ke-kecilkan suaramu, Hana," rintih Elly gemetar.Awak helikopter yang menjemput mereka tadi terheran melihat Elly yang begitu paniknya hanya karena mendengar suara mesin helikopter. "Maaf jika lancang, boleh aku tahu apa yang terjadi pada teman anda?" tanyanya."Pendengarannya sensitif, ia sering panik ketika mendengar suara - suara keras," jelas Hana. Mendengar penjelasan Hana, si awak hanya mengangguk paham tanpa bertanya lebih lanjut, takut salah bicara.Setelah menjalani sekitar dua puluh menit penerbangan, akhirnya tujuan pendaratan helikopter sudah mulai terlihat. "Bersiaplah, Nona-nona, sebentar lagi kita akan mendarat,"
Sementara itu di luar ruang makan, Hana mondar mandir di koridor, khawatir akan hal buruk terjadi pada temannya yang sedang berbincang dengan Sir Edric. Will juga sedang jongkok di pinggir koridor sembari menekuri ponselnya, menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Sir Edric. Salah satu pelayan sedang berjaga didepan pintu masuk ruang makan, mencegah orang lain masuk dan mengganggu perbincangan Elly dan Sir Edric, juga mencegah agar Will dan Hana bertengkar lagi."Temanmu disetubuhi!" ledek Will yang masih sibuk dengan ponselnya.Hana terbelalak, wajahnya berubah berang setelah mendengar hinaan Will pada temannya. "Apa maksud perkataan menjijikkanmu itu!" sergah Hana yang seketika berhenti mondar – mandir."Setiap orang punya cara sendiri untuk berdamai, dan mungkin ayahku memilih berdamai dengan cara menggagahi temanmu. Konglomerat biasa begitu," duga Will asal - asalan.Muak dengan perlakuan Will di Houndshill dan perkataannya saat ini terhadap Elly, Hana menderap kehadapan Will,
".........ly!"".......Elly!""........Tetaplah didalam Elly!"".........Aku ada bersamamu, Nak!""Tutup telingamu, percaya padaku!""ELEANOR!"Elly terkesiap dan kembali tersadar setelah mendapat secercah bayangan kejadian samar selama tidak sadarkan diri. Ia mendapati dirinya terbaring berbalut selimut diatas sofa.Sementara itu, Margaret sedang mencuci peralatan memasak di dapur Elly, sembari menunggu masakannya matang di dalam oven. Setelah peralatan memasak seperti wajan dan sutil bersih dan tersusun rapi di rak piring, Margaret mengambil piring dan sendok untuk menadah masakannya, serta menyeduh teh dalam cangkir.Mendengarkan suara riuh dapur dari Margaret yang tengah sibuk menyiapkan makanan, Elly mencoba bangkit dari tempatnya berbaring dan berniat membantu Margaret."Nyonya Margaret? Tidak usah repot rep-.""A! A! Ah! Jangan coba - coba turun dari tempatmu, Nona Muda!""Tidak usah khawatir, Aku bisa sendi-.""Diam dan tunggu wanita tua ini selesai memasak!"Elly yang tidak bi
Cahaya bulan bersinar menerangi laut timur Skotlandia. Sebuah kapal keruk besar tengah menepi di bibir pantai Aberdeen, dimana sudah terlihat komplotan bersenjata dengan empat mobil terparkir di belakang mereka, menunggu kedatangan kapal tersebut. Empat awak kapal bahu - membahu menurunkan dua buah sarkofagus berlumut dari atas kapal."Hanya ini yang bisa kami angkat! Kami kehabisan oksigen untuk melanjutkan pencarian di dalam!" seru salah seorang awak kapal kepada komplotan yang dipimpin seorang wanita itu.Setelah bersusah payah mengangkat sarkofagus dari kapal, para awak meletakkan keduanya dihadapan para komplotan. Dengan menggunakan linggis sarkofagus dibuka, memperlihatkan jasad yang menghitam kering setelah berabad - abad tersimpan dalam sarkofagus.Aroma busuk me