Pada tahun 1998, di tengah krisis moneter yang mengguncang negeri yang sebelumnya tenteram, hidup seorang pemuda bernama Awan di Kota Bengawan. Awalnya, Awan adalah seorang pemuda yang tidak terlalu mempedulikan dunia politik yang seringkali terasa jauh dari kehidupan sehari-harinya. Ia hanya ingin hidup tenang bersama teman-temannya, menjalani hari-hari dengan canda dan tawa. Namun, nasib memutar halaman hidupnya dengan cara yang tak terduga. Suatu malam, saat berkumpul dengan teman-temannya di sekitar gedung pemerintah, langit tiba-tiba mendung dan aparat keamanan datang tanpa aba-aba. Mereka menuduh Awan sebagai otak di balik vandalisme pro demokrasi dan oposisi yang telah menghiasi dinding gedung pemerintah. Awan yang bingung berusaha menjelaskan bahwa ia tidak terlibat, tetapi aparat tak mendengarkan. Tanpa pengadilan, Awan ditahan di markas tentara yang suram. Di sana, ia bertemu para aktivis yang berjuang untuk reformasi, menceritakan pengorbanan dan perlakuan keras yang mereka alami di tangan pemerintah yang keras kepala. Setelah beberapa hari yang terasa seperti tahun di tahanan, Awan tiba-tiba dibebaskan oleh seorang penyelamat misterius. Kembali ke rumah dengan pertanyaan yang belum terjawab, Awan merasa bahwa ia harus terlibat dalam perjuangan untuk perubahan. Kisahnya yang diawali dengan ketidakpastian telah mengubah jalan hidupnya. Awan tumbuh menjadi pahlawan dalam perjuangan melawan tirani, menjadi suara bagi yang terpinggirkan, dan menjadi harapan bagi negeri yang terluka. Awan menemukan panggilannya dan menjadi pemberani dalam menghadapi tantangan yang datang.
View MoreNegeri Seribu Pulau kini dilanda krisis ekonomi dan politik. Kota Bengawan, yang menjadi simbol ketenangan dan kekayaan budaya, kini menghadapi cobaan sulit. Gelombang krisis merambah dari ibukota, memasuki setiap jalan dan gang, menggoyahkan kehidupan warganya.
Di tengah gejolak ini, aksi massa dan perlawanan anti-pemerintah muncul sebagai harapan. Di sudut warung di depan kantor pusat informasi, Awan duduk menikmati makan siangnya.
Beberapa orang tiba tiba muncul. Orang bertubuh kurus dan tinggi memanggil pelayan untuk memesan kopi.
“Hai pak, buatkan kami kopi!” serunya
Pelayan, dengan senyuman ramah, menjawab, “Siap, pak!”
Sayup-sayup terdengar percakapan, gedung pusat informasi menjadi target aktivis demokrasi. Dari pembicaraan tersebut, diketahui bahwa pria-pria ini agen intelijen.
Pertukaran pandang singkat antara Awan dan agen intelijen menciptakan konflik yang misterius. Setelah beberapa saat, rombongan itu meninggalkan tanpa meninggalkan jejak. Awan, yang terus mengamati, merenungkan situasi krisis tersebut.
Selesai makan, Awan pergi menuju basecamp Terax. Tepat didepan Gedung Pusat Informasi, kerumunan aparat sibuk dengan olah TKP mencuri perhatiannya. Awan sempat berhenti, namun diusir oleh petugas yang berjaga.
“Hai, bocah! Kenapa kamu berdiri di situ? Ayo, cepat pergi!” tegur petugas dengan keras.
“Iya, Pak. Saya akan pergi,” jawab Awan.
Awan tiba di sebuah bangunan tua yang kusam dan angker. Saat pintu terbuka, kejutan menghampirinya. Sejumlah anak muda membawa senjata seolah siap menyerangnya.
“Hai, apa yang kalian lakukan? Apakah kalian semua sudah gila?” bentak Awan kepada para pemuda tersebut.
“Kalian ingin bersama-sama menyerang aku?” tambah Awan.
“Maaf, Awan. Kami tidak bermaksud melawanmu,” nawab Trenggono.
“Lalu kenapa kalian seperti mau perang dan menyerang siapa pun yang masuk kemari?” tanya Awan.
“Maaf, Awan. Kami hanya waspada,” jelas Trenggono.
“Kenapa kalian harus waspada?” tanya Awan.
“Tadi pagi, kita diserang sekelompok orang yang tidak dikenal bersenjata tajam,” jelas Trenggono.
“Siapa yang melakukan ini?” tanya Awan dengan emosi.
“Kami tidak tahu,” jawab Okto, pria berperawakan tinggi.
Lalu kenapa kita diserang?” imbuh Awan.
“Kelihatannya orang- orang ini dari kelompok baru. Aku sama sekali tidak mengenalinya,” jawab Trenggono.
Awan menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa geng Terax akan diserang oleh kelompok baru.
“Baiklah, aku mengerti,” jawab Awan.
Trenggono menceritakan semua yang terjadi. Bahwa sekelompok orang tidak dikenal menyerang secara tiba-tiba dengan brutal. Awan merasa bahwa serangan ini tidak biasa.
“Apakah kalian melihat tanda atau lambang apa pun dari kelompok penyerang?” tanya Awan.
“Tidak ada, Awan. Mereka mengenakan pakaian hitam dan menutupi wajahya.” jawab Trenggono.
“Aku akan menyelidiki ini,” kata Awan.
“Jangan keluar membawa senjata. Di luar banyak aparat berpatroli.” perintah Awan.
“Kakimu tidak apa-apa, Trenggono?” tanya Awan, menunjukkan kepeduliannya.
“Tidak apa-apa, Awan. Hanya terkena sabetan parang, lukanya tidak serius,” jelas Trenggono.
“Baiklah, kalian beristirahat dahulu. Namun, kita tetap harus waspada. Aku takut jika malam mulai gelap, akan kembali terjadi serangan,” kata Awan.
Malam menghinggapi gedung tua tersebut, membawa kegelapan dan ketegangan. Anak buah Awan terlihat kelaparan setelah seharian terjadi konflik. Awan menyadari hal tersebut.
“Ayo, beberapa dari kalian pergi beli makanan,” kata Awan kepada sebagian anak buahnya. Jangan pergi sendirian, pergi berkelompok untuk keamanan kita."
Beberapa anak buahnya yang kelaparan setuju dengan antusias, bersama-sama meninggalkan basecamp. Beberapa saat kemudian, mereka kembali membawa aroma harum nasi goreng serta mie goreng.
“Segera bagi makanan untuk semua orang,” perintah Awan.
Saat sedang asyik makan, tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. Semua orang di basecamp segera bersiaga. Dengan hati-hati, Awan mendekati pintu memegang parang siap menyerang.
Dengan perlahan, Awan membuka pintu. Saat terbuka, terlihatlah Endi berdiri di depan pintu. Wajah Awan sedikit lega melihat yang datang adalah Endi.
“Awan, apa kabar?” sapa Endi.
“Aku baik, Endi. Masuklah,” jawab Awan.
Tanpa sengaja Endi melihat bungkusan makanan dan tak bisa menahan kelaparannya. Dengan penuh sopan, ia bertanya, “Adakah sisa untukku, Awan?”
“Iya, Endi. Kamu masih kami sisakan makanan. Silakan makan dulu,” jawab Awan. Sambil menikmati makanannya, Endi menceritakan keadaan teman-temannya yang telah mendapatkan perawatan.
Setelah menyelesaikan makan, Awan dan teman-temannya memutuskan untuk beristirahat. Awan tetap berusaha untuk terjaga, siap menghadapi segala kemungkinan malam ini. Trenggono, Okto, dan Endi tetap setia menemaninya.
Dari jauh, suara mobil semakin mendekat. Semakin lama, deru mesin terdengar semakin kuat hingga akhirnya berhenti di depan gedung. Awan segera memberi isyarat untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi.
Trenggono, dengan langkah hati-hati, mengendap-endap dan melihat keluar dari celah pintu. Namun, tiba-tiba dia tersentak kaget, tidak tahu apakah yang seharusnya dilakukannya.
Awan, melihat reaksi Trenggono, segera bertanya, “Ada apa?” Mata mereka bertemu, dan ekspresi kebingungan tergambar di wajah Trenggono.
“Ada beberapa pria membawa senjata berlaras panjang,” jawab Trenggono.
Awan tidak percaya dan membentak, “Apa maksudmu, Trenggono? Mereka mengintip dari celah pintu, melihat pemandangan di luar. Bukankah mereka pasukan khusus?” Trenggono.
Tiba-tiba pintu yang sudah terlihat reot rubuh tepat di hadapan keempatnya. Belum sempat mereka bergerak, rentetan tembakan peringatan menghujani. Dengan cepat pasukan tersebut menerjang masuk sambil berteriak, “Jangan bergerak! Semua tiarap!”
Sontak, mereka semua segera merebahkan tubuh untuk tiarap, tidak ada satupun yang bergerak. Komandan pasukan, dengan suara tegasnya, bertanya, “Siapa yang bernama Awan?”
Semua tetap diam, tidak ada yang menjawab. “Brengsek, kalian bisu!” tambah komandan dengan nada frustrasi. Sekali lagi, tembakan diletuskan, “Jika tidak ada yang bicara, saya habisi kalian!”
Dalam keadaan terpaksa, Awan akhirnya angkat bicara, “Saya Awan. Apa yang kalian inginkan?”
Komandan pasukan, dengan sinis, menyahut, “Ah, akhirnya dia bicara. Kami datang untuk membawa kamu.”
“Aku tidak melakukan apa pun, kenapa kalian menangkapku?”. Awan mencoba membela diri.
“Kamu ikut kami ke kantor, nanti akan dijelaskan di sana,” jawab komandan.
“Tapi, Pak, saya tidak melakukan apa-apa. Apakah Bapak punya surat perintah menangkap saya?” bantah Awan.
“Banyak bicara,” sahut salah satu pasukan sambil melayangkan pukulan senapan ke perut Awan. Sontak, Awan terhempas ke lantai dan memuntahkan seteguk darah.
Sementara itu, yang lain digiring ke tengah ruang. Ada yang ditendang, diseret, dan dilempar. “Kalian jangan macam-macam, atau kalian kami habisi,” gertak komandan.
Sejurus kemudian, komandan tersebut memberi perintah untuk membawa Awan. Pemuda ini terus berjuang, namun sia-sia. Awan diseret dan dilempar ke dalam mobil tentara. Pintu mobil ditutup dengan keras, menghilangkan Awan dengan cepat dari pandangan teman-temannya.
Kini, hanya keheningan malam yang menyelimuti basecamp, meninggalkan ketidakpastian akan nasib Awan.
Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A
Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum
Keesokan paginya, Kapten Haris memanggil seluruh timnya untuk rapat darurat. "Kita memiliki dua tugas. Menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian Bagas. Dan menyelidiki konspirasi yang mungkin terjadi di dalam penjara ini. Saya tidak ingin ada yang melanggar perintah untuk merahasiakan kasus ini," ucap Kapten Haris serius.Tim penyelidik mulai bergerak, memeriksa setiap sudut penjara dengan cermat. Mereka menggali informasi dari tahanan dan petugas, mencoba menyusun puzzle yang semakin kompleks.Sementara itu, Kapten Bagyo dari polisi militer kembali untuk memeriksa kemajuan penyelidikan."Waktu terus berjalan, Kapten Haris. Saya harap ada perkembangan positif," kata Kapten Bagyo tanpa basa-basi.Kapten Haris menatap Kapten Bagyo dengan tekad, "Kami sedang bekerja keras, Kapten Bagyo. Tapi ini bukan tugas yang mudah."Kapten Bagyo mengangguk dan pergi, meninggalkan Kapten Haris dengan beban yang semakin berat. Ia merasa tekanan dari dua arah. Tekanan untuk menjaga rahasia p
"Dia tampaknya terkejut saat saya bertanya mengenai tahanan lain yang mengetahui kasus ini," kata Kapten Bagyo.Ketika Kapten Bagyo berbicara secara tegas kepada Sersan Darto, terlihat pertemuan rahasia yang dilakukannya dengan salah seorang tahanan menjadi sorotan."Sersan Darto, saya butuh klarifikasi dari Anda. Pertemuan rahasia dengan narapidana bukan hal yang seharusnya terjadi," kata Kapten Bagyo.Sersan Darto terlihat semakin gelisah. "Ini hanya pembicaraan sepele, Kapten. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sersan Darto. Namun, Kapten Bagyo memutuskan untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai pertemuan tersebut.Selama penggalian kuburan Bagas dan otopsi, beberapa petunjuk muncul. Namun, sebagian dari petunjuk tersebut tampaknya sengaja dipalsukan atau diatur untuk mengalihkan perhatian.Saat Kapten Bagyo bersiap untuk pergi, ia memberikan ancaman terbuka kepada Kapten Haris dan para petugas penjara."Saya akan kembali, Kapten Haris. Jangan sampai ada yang berusaha menghalangi pe
Kapten Haris dengan wajah serius mengumpulkan seluruh personel membahas kasus misterius kematian Bagas. Ketegangan mewarnai udara, dan seluruh anggota tim tampak cemas. Dengan tegas, Kapten Haris melontarkan pertanyaan keras, "Siapa yang melakukan ini?" Suaranya memecah keheningan ruangan, namun tidak ada yang berani menjawab, menunduk dalam ketakutan. Pertanyaan berikutnya diarahkan kepada Letnan Teguh, perwira yang bertugas sebagai komandan piket malam. Kapten Haris ingin tahu mengapa Letnan Teguh berjaga di blok C tempat Bagas ditahan, sedangkan seharusnya ia bertanggung jawab di semua blok. "Letnan Teguh, saya ingin bertanya. Mengapa Anda berjaga di blok C malam itu? Bukankah Anda seharusnya bertanggung jawab di semua blok?" "Maaf, Kapten. Saya bertanggung jawab di semua blok. Namun, malam itu Sersan Jamal yang seharusnya berjaga sakit, jadi saya yang menggantikannya." "Apakah Sersan Jamal sudah memberikan surat izin dari dokter?" Kapten Haris tampak heran dan langsung memer
Matahari semakin menunjukkan taringnya dengan panas terik yang menyengat. Sel di dalam penjara terasa semakin pengap. Membuat Awan dan kedua seniornya, Purwo dan Ermono, merasa tidak nyaman. Mereka mondar-mandir di sel karena kepanasan."Aduh, pengap banget ya. Apa akan turun hujan?" tanya Awan."Tidak, cuaca memang panas akhir-akhir ini," jawab Ermono.Waktu makan siang sudah lewat, namun jatah makanan dari penjaga belum kunjung datang. Purwo bertanya, "Kenapa penjaga belum mengirimkan jatah makan?"Awan mencoba mengintip dari pintu sel. Berharap bisa melihat apakah Pak Darto, penjaga yang biasanya mengantar makanan, sudah datang. Saat kepala Awan menempel di pintu sel, tiba-tiba ia terkejut dan berteriak kaget."Hai, ngapain kamu ngintip kaya gitu, Awan?" tanya Darto sambil tertawa."Maaf Pak Darto, saya mengintip karena mencari Bapak. Tumben sudah siang Bapak belum datang," jawab Awan."Wah, baru kali ini kamu merindukanku Awan?" canda Darto."Iya, Pak, saya sudah kelaparan," jawab
Di sudut sel yang redup, Awan dan Bagas duduk bersama. Tiba-tiba, Awan merasa bosan dan berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. "Ayo, Mas Bagas, mari kita bernyanyi sambil main gitar," ajak Awan. "Darimana kita bisa dapat gitarnya, Awan?" tanya Bagas. "Pak Purwo punya gitar tua," jawab Awan. "Oh, benarkah?" Bagas kaget mendengarnya. "Iya, ayo, aku akan meminjamkan gitar Pak Purwo," kata Awan. Awan mendekati Purwo dan menyampaikan maksudnya. "Pak Purwo, boleh kita pinjam gitar Anda? Izinkan Mas Bagas bermain gitar dan menyanyi bersama kita," pinta Awan. "Tentu, Awan. Saya bahkan senang jika Bagas bersedia. Sudah lama saya tidak mendapatkan hiburan," jawab Purwo sambil memberikan gitarnya ke Awan. Awan menerima gitarnya dengan senyuman dan segera memanggil Bagas. "Mas, mari kita bernyanyi bersama di sini," ajak Awan. Bagas mendekat, memainkan beberapa lagu dengan cakap. Tiba-tiba, Bagas diam, membuat yang lain kaget. "Awan, aku ingin membuatkanmu sebuah puisi. Apa
Awan sudah sembuh dan kembali ke sel utama bersama Purwo dan Ermono. Dia tidak lagi mengalami penyiksaan, tetapi Sersan Jamal masih saja mengintimidasinya. Suatu hari, Sersan Jamal berjalan melewati sel Awan. Dia berhenti dan menatap Awan dengan penuh kebencian. "Kau pikir kau bisa lolos begitu saja?" kata Sersan Jamal. "Aku akan selalu mengawasimu." Awan menatap balik Sersan Jamal dengan berani. "Aku tidak takut padamu," katanya. "Aku akan terus berjuang untuk apa yang kuyakini." Sersan Jamal menggeram marah. Dia kemudian meninggalkan sel Awan dengan langkah yang berat. Purwo dan Ermono menghampiri Awan. Mereka bangga dengan keberanian Awan. "Kau adalah seorang pejuang sejati, Awan," kata Purwo. "Ya," kata Ermono. "Kau akan selalu menjadi inspirasi bagi kami." Awan tersenyum. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Dia memiliki teman-teman yang akan selalu mendukungnya. Awan dan Purwo sedang duduk di sel mereka. Mereka sedang berbincang-bincang tentang perjua
Purwo bersama Ermono sedang membersihkan ruang makan. Mereka berdua cukup disegani oleh tahanan lain. Mereka pemimpin tahanan politik terkemuka di Kota Bengawan. Saat keduanya sedang asyik membersihkan sambil bernyanyi dangdut, tampak Sersan Jamal berjalan mendekat. Purwo berbisik ke Ermono, "Tak biasanya iblis ini datang kemari." "Iya, Pak," jawab Ermono singkat. "Kedatangannya pasti membawa masalah. Kita harus bersiap," tambah Purwo. "Saya juga khawatir ada hubungannya dengan Awan," sahut Ermono. "Iya, Ermono. Mudah-mudahan anak itu selamat," jawab Purwo dengan keprihatinan. Namun, ketegangan terasa di udara seiring kedatangan Sersan Jamal. Mereka berdua tahu bahwa kedatangan penjaga sadis ini mungkin membawa masalah. "Pak, ada yang bisa kami bantu?" tanya Purwo dengan ramah saat Sersan Jamal semakin mendekat. Sersan Jamal terlihat serius. "Purwo, Ermono, kita butuh bantuan kalian terkait Awan." Ermono saling pandang dengan Purwo, menyadari bahwa pasti masalah sedang mener
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments