Boram sedang melipat mukena yang baru saja digunakannya saat melihat ke arah luar Musala di mana Samudra sedang duduk di salah satu bangku sekolah sambil merokok. Boram menghela napas, mengambil tasnya dan keluar. Samudra yang melihatnya langsung berdiri, mematikan rokoknya dan menghampirinya.
"Sudah,Mbak?""Kamu muslim? Nggak sholat?"Samudra tersenyum, "Gue jarang sholat mbak. Gue akan sholat kalau niat bukan untuk pencitraan di depan mbak."Boram menggelengkan kepala, berjalan keluar dari area Musala melewati deretan pohon teduh hijau yang ada di sepanjang koridor diikuti oleh Samudra di sampingnya."Kenapa juga kamu harus melakukan pencitraan seperti itu?"Samudra menoleh, "Memangnya apalagi, selain ingin di pandang sebagai cowok taat beragama sama perempuan."Boram tertawa sesaat sebelum kembali diam. Mereka melewati aula sekolah untuk mencapai tempat parkir dan keluar melewati gerbang yang sudah sepi menuju ke halte."Maaf ya mbak, gue nggak punya motor. Jadi kita naik bus aja.""Memangnya siapa yang mau naik motor sama kamu. Ibu biasa naik bus dan kamu nggak punya kewajiban untuk mengantar saya pulang. Kalau arah rumah kita berbeda, mending nggak usah memaksakan diri."Samudra tertawa. Tas hitamnya diselempangkan melingkar di salah satu bahunya. Mereka berjalan santai sampai halte bus dan duduk bersebelahan. Boram membuka tas, mengambil ikat rambut hitamnya lalu mengikat satu rambutnya. Siang ini lumayan terik dan membuat gerah."Cantikkan di urai,Mbak.""Ibu nggak butuh pendapat kamu.""Rumahnya mbak dimana?""Kamu kepo deh."Samudra berdecak, "Mbak ih gitu. Kalau jawabnya seperti itu terus gue ikutin sampai rumah lo."Boram menoleh heran, "Kamu mau jadi stalker?""Gue nggak pernah sih jadi stalker apalagi untuk perempuan tapi buat mbak gue mau."Boram menggeleng heran dengan sikap frontal Samudra. Tidak lama bus yang mereka tunggu muncul di kejauhan. Saat bus sempurna berhenti, Boram dan Samudra masuk ke dalam dan menemukan hanya satu kursi kosong yang tersedia. Boram duduk dan meletakkan tasnya di atas paha membiarkan Samudra berdiri bergelantungan di sebelahnya. Bus kembali berjalan di tengah teriknya matahari siang."Mbak nanti mau minum es kelapa dulu nggak sama gue. Cuacanya mendukung banget nih. Ada Mamang yang jualan es kelapa enak banget di dekat pasar sana."Boram mendongak dan menyimpitkan mata, "Kamu mau modusin gurumu sendiri ya?"Samudra tertawa, "Kalau boleh sih? Eh, tapi seriusan Mbak gue nawarin. Sepertinya arah rumah kita searah.""Tahu dari mana kamu?"Samudra cengengesan," Feeling."Boram mendengus tapi penasaran juga, "Aku ngontrak di perumahan Bumi Asih."Mata hitam itu berkilat terang memandanginya, "Wuih sepertinya kita jodoh deh mbak. Rumah gue di Gang Senggol.""Jodoh dari Hongkong! Di mana lagi itu Gang Senggol?" dengus Boram seraya mengibaskan tangannya ke area leher mengusir panas tapi sia-sia."Itu loh Gang Senggol dekat sama Gang Goyang.""Astaga itu nama gang kok gitu banget."Samudra tertawa, "Memang begitu mbak karena rata-rata yang tinggal di sana saban pagi hobinya nyetel musik dangdutan nyaring-nyaring. Apalagi kalau hari minggu mbak. Wuih ramai.""Terus memangnya sama kontrakanku dekat?""Lah, memangnya mbak nggak tahu?"Boram menggeleng, Samudra berdecak, "Di belakang perumahan Bumi Asih memang ada perumahan kampung. Nah Gang Senggol dan Gang Goyang ada di sana. Ada jalan penghubungnya. Gue biasanya nggak lewat perumahan situ sih tapi sepertinya setelah hari ini gue sudah fix ganti jalur pulang pergi ke sekolah lewat perumahannya mbak."Boram menggelengkan kepala, Samudra tersenyum. Tidak lama bus berhenti di halte dekat pasar sore. Boram dan Samudra turun langsung menuju kebagian pinggir pasar mengarah ke gerobak es kelapa yang mangkal tidak jauh dari pangkalan ojek. Setelah sempat di kepo-kepoin bapak penjual es kelapa, mereka berdua kembali berjalan melewati pasar ramai dan Boram bahkan sempat membeli cabe-cabean ditemani Samudra yang ternyata lebih ahli menawar dagangan. Katanya penjual-penjual di sana kenal sama dia dan bisa dikasih harga murah. Boram jadi mikir jangan-jangan Samudra juga punya bisnis sampingan jadi preman pasar. Sejak awal kenal tadi pagi sama cowok tengil itu, Boram memang sudah banyak dihinggapi keterkejutan. Tentang Samudra. Sedikit penasaran, bagaimana keseharian cowok yang di cap badboy dan berandalan itu tapi Boram tidak mau mencoba mencari tahu lebih jauh. Takut kebablasan."Ah sial!!" Langkah Boram terhenti ketika mendengar umpatan itu dan menoleh heran tapi dia malah menemukan tatapan Samudra terfokus jauh ke depan sana. Tiba-tiba Samudra berbalik dan menatapnya intens. "Itu anak-anak yang tadi pagi gue pukulin. Mbak pulang duluan aja ya. Gue masih ada urusan sama mereka.”"Terus kamu gimana?""Gue mau olahraga dulu sebentar,” balasnya dengan senyuman jahil.“Woii Samudra,” teriakan di belakang sana menggema.“Cepat sana,Mbak.”“Baru aja diobati eh mau berkelahi lagi.” Tanpa sadar Boram mengomel. “Seharusnya gak Ibu obatin lukamu itu,” decaknya kesal.Samudra terkekeh, “Nanti kalau gue babak belur lagi, boleh datang ke rumah mbak gak minta diobatin?” tanyanya dengan tatapan jahil.“Obatin sendiri sana!” sembur Boram dan berbalik pergi meninggalkan Sam yang tertawa.“Mbak ngegemesin,” teriaknya.“Gak urus sama kamu, Sam,” balas Boram dan berjalan agak cepat masuk ke dalam gang perumahan. Meskipun ada sedikit rasa khawatir tapi Boram memilih untuk tidak ikut campur karena sepertinya Sam sudah biasa berkelahi.Boram berjalan agak cepat karena matahari semakin terik, menoleh ke belakang untuk melihat apakah Sam mengikutinya tapi ternyata tidak ada.Hingga Boram sampai di jalanan besar perumahannya saat sebuah mobil mewah melintas dan langsung berhenti tidak jauh darinya membuat Boram was-was.
'Jangan sampai penculik.'
Seseorang keluar, Boram buru-buru pergi dengan langkah cepat sampai teriakan itu terdengar.
"Tunggu!"
Boram memeluk tasnya, berniat untuk berlari karena ketakutan. Merasa heran karena tiba-tiba ada orang yang manggil-manggil dia. Boram berharap jika Samudra masih ada bersamanya hingga bisa melawan jika memang orang yang memanggilnya berniat buruk.
"Tunggu! Hei!"
Boram takut, dia terus berlari dan menjauh dari orang yang mengejarnya itu. Hari ini dua kali dia harus lari dan itu membuatnya lelah. Dia akan langsung mandi saat sampai di rumah nanti.
Boram berbelok, sembunyi di dekat tanaman merambat sebuah rumah saat laki-laki yang mengejarnya itu lewat. Boram diam menunggu sembari komat-kamit dan menunggu keadaan aman
"Kanapa hari ini rasanya lelah sekali," desah Boram.
Andai saja suaminya masih ada, dia tidak akan hijrah dari desa tempat asalnya ke kota seorang diri seperti ini. Boram memejamkan mata, mencoba menahan kesedihannya. Mencoba ikhlas dengan takdirnya saat ini.
Boram bergerak pelan, melihat kanan dan kiri lalu lari secepat kilat sampai di rumah kontrakannya dan menutup pintunya rapat-rapat.
Di rumah Boram baru sadar jika bisa saja laki-laki yang memanggilnya tadi mengenal dirinya. Tapi dia sudah terlanjut takut dan memilih tidak menghiraukannya. Tiba-tiba dia teringat bocah sok jagoan itu.
"Mudahan Samudra baik-baik saja," gumamnya.
***
Sebulan kemudian,Area keberangkatan International Soekarno Hatta.“Tolong, berjanjilah pada kami untuk merawatnya dengan baik.”Boram menahan tangisannya saat meminta dengan sungguh-sungguh pada Nindy yang menggendong Mutia.Nindy tersenyum. “Aku berjanji,Boram. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kalian bisa mengunjungi kami kapanpun ke Rusia. Kami akan selalu menerima kalian dengan baik.”“Iya.”Boram mengamgguk. Nina dan suaminya yang seorang warga Rusia akhirnya mengajukan diri menjadi wali sah Mutia dan akan membesarkannya di tempat tinggal mereka seperti pesan yang ditinggalkan Nina. Boram yang sudah menganggap Mutia seperti anak kandungnya itu begitu berat melepas Mutia.“Mama..” Mutia mengulurkan tangan ingin di gendong Boram yang langsung mengambil alih. Boram memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya dengan sayang. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan Boram merasa sangat sedih, Setelah Boram gantian Sam yang memberikan pelukan terakhir untuk Mutia dan kemudian mengem
Sam dan Boram saling berangkulan di depan makan Nina yang satu jam lalu baru saja dikuburkan. Boram masih tidak percaya bahwa takdir Nina akan jadi seperti ini padahal dia adalah orang yang baik. Tadi pagi mereka mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan kalau Nina kembali kritis dan Sam langsung buru-buru ke sana sementara Boram harus menunggu Mbak Ina dulu. Sampai sana ternyata Sam sudah terkulai sedih dan mengatakan kalau Nina tidak bisa diselamatkan lagi karena pendarahan di otaknya. Boram langsung menangis histeris karena dia teringat dengan Mutia yang dia tinggalkan dengan buru-buru tadi.Meskipun dia masih memiliki ayah, tapi Reno tidak bisa menjaga anaknya sendiri karena saat ini berada di penjara."Sayang..."Sam menarik lamunan Boram membuatnya menoleh. "Ayo,kita pulang dan lihat keadaan Mutia."Boram mengangguk, teringat lagi dengan tangisan Mutia saat memeluk Ibunya untuk terakhir kalinya tadi sebelum dikuburkan. Kakak kandung Nina juga belum bisa ditemuk
"Sam..." Sam menoleh saat mendengar panggilan dari balik punggungnya dan menemukan Boram menghampirinya dengan wajah panik dan khawatir. "Apa yang terjadi sebenarnya?""Rumit,sayang." Sam memeluk Boram dengan erat, berdiri berdua tidak jauh dari ruang operasi."Kita fikir keadaan sudah menjadi lebih baik tapi ternyata masih ada yang mencoba untuk membahayakan Nina.""Apa maksudmu?"Sam menghela napas panjang, membawa Boram duduk di kursi tunggu dan mulai memberikan penjelasan."Istri kedua Reno sengaja menabrak mobil Nina hingga terpelanting dan terbalik menghantam pembatas jalan." Boram kaget seraya menutup mulutnya. "Anita, wanita itu sudah diamankan dan sekarang kita hanya bisa menunggu sambil berdoa. Bagaimana dengan Mutia?""Saat aku tinggalkan tadi dia sedang tidur dan dijaga sama Mbak Ina."Sam mengangguk, kembali menatap pintu ruang operasi karena luka yang di dapat Nina di kepala cukup serius. Sam berharap Nina bisa sembuh karena Mutia masih membutuhkannya."Semoga saja dia
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant