LOGINRania Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya karena diterima bekerja di perusahaan ternama milik Arsen Dirgantara — seorang CEO muda yang terkenal dingin, perfeksionis, dan tanpa belas kasihan. Di mata semua orang, Arsen adalah mimpi buruk dalam balutan jas mahal. Tatapannya tajam, tutur katanya menusuk, dan setiap perintahnya adalah hukum. Namun, di balik sikap kejamnya, tersimpan luka masa lalu yang tak pernah disembuhkan siapa pun. Rania hanya ingin bekerja dengan tenang dan membuktikan kemampuannya. Tapi sejak hari pertama, ia justru menjadi sasaran amarah sang bos. Setiap kesalahan kecil berujung pada teguran, setiap tatapan pria itu membuatnya gugup—dan anehnya, hatinya mulai bergetar tanpa alasan. Hubungan mereka semakin rumit saat Arsen mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya: perhatian yang terselubung di balik kemarahan, dan tatapan yang seolah ingin melindunginya, bukan menyakitinya. Ketika rahasia besar masa lalu Arsen terungkap, Rania harus memilih—melarikan diri dari cinta yang menyakitkan, atau tetap tinggal dan mencoba menyembuhkan hati seorang pria yang bahkan tak percaya pada cinta. Dalam dunia di mana kekuasaan dan perasaan saling bertabrakan, mampukah cinta mereka bertahan? Atau justru hancur di tangan sang bos yang tak pernah mengenal kata “maaf”?
View MorePagi itu, udara Ardan City rasanya berat banget, atau mungkin cuma aku aja yang ngos-ngosan—antara gugup dan excited. Hari ini hari pertamaku di Dirgantara Corp. Katanya, perusahaan ini jadi incaran semua orang. Tempat yang katanya cuma orang “sempurna” yang bisa bertahan.
Aku sendiri? Masih sibuk ngatur langkah supaya nggak jatuh gara-gara sepatu hak baruku yang licin parah. Jam tanganku udah nunjuk 07.57. Tiga menit lagi masuk. Kedengeran sebentar, tapi di tempat kayak Dirgantara Corp, telat semenit aja bisa jadi masalah. Aku tarik napas, makin ngebut nyebrang jalan. Kendaraan padat—bus, mobil, motor—semuanya rebutan jalan. Gedung-gedung tinggi ngebatesin langit, bikin suasana makin sempit. Tapi di antara semua gedung, satu yang paling menonjol—Dirgantara Tower. Gedungnya mantul kena cahaya pagi, seolah pamer, “Cuma yang kuat yang pantas di sini.” Aku sempat cek bayanganku di pintu kaca lobi. Muka pucat, rambut agak berantakan. Seragam putih sama rok pensil abu-abu harusnya bikin kelihatan profesional, tapi yang ke kaca cuma cewek gugup yang masih belajar berdiri tegak. Aku tarik napas dalam, lurusin bahu, lalu masuk. Lantai marmernya licin, kinclong banget, bisa ngaca di situ. Beberapa karyawan lewat buru-buru, rapi semua, kelihatan sibuk. Aku jalan ke meja resepsionis. “Selamat pagi, saya Rania Putri Azzahra, sekretaris baru Pak Arseniel Dirgantara.” Resepsionis cuma lihat sebentar, senyum tipis. “Silakan ke lantai 45, Nona Rania. Ruang CEO.” Aku angguk, langsung menuju lift. Tapi waktu aku pencet tombol, jam tanganku udah loncat ke 08.03. Tiga menit lewat. “Aduh, nggak…” Aku panik, lari-lari kecil sambil nenteng map dokumen. Lift hampir nutup. Aku spontan lari, nggak mikir panjang. Tapi sebelum sempat masuk— Brak! Aku nabrak seseorang. Keras juga. Map jatuh, kertas-kertas terbang, dan kopi yang baru aku beli tumpah kena jas hitam pria di depanku. Aku bengong, kaget setengah mati. “Astaga... maaf! Saya benar-benar—” Suara yang nyautin bikin aku langsung membeku. “Lain kali, kalau terburu-buru, pastikan tahu siapa yang kamu tabrak.” Nadanya datar, dingin banget. Aku pelan-pelan mendongak. Jantungku kayak berhenti. Dia berdiri tegak, jas hitamnya rapi, wajahnya kalem, rahangnya tegas, kulitnya mulus, dan mata abu-abunya dingin, kayak lagi menilai barang gagal produksi. Aku tahu dia siapa. Semua orang tahu. Arseniel Dirgantara. CEO Dirgantara Corp. Bos baruku. Tanganku gemetaran waktu buru-buru ngumpulin kertas di lantai. “Maaf, Pak, saya nggak sengaja—” Dia melirik noda kopi di jasnya. “Nama kamu?” suaranya tetap datar. “Rania, Pak. Rania Putri Azzahra. Sekretaris baru Anda.” Sudut bibirnya naik sedikit, jelas bukan senyum. “Sekretaris baru yang telat... tiga menit.” Dia lihat jam tangannya—arloji hitam mengilap di bawah lampu lobi. “Awal yang buruk, Nona Rania.” Aku pengen jawab, tapi tenggorokan rasanya kering. Arseniel masuk ke lift. Sebelum pintu nutup, dia sempat menatap aku sekali lagi. Tatapannya bikin seluruh badanku kaku. “Pastikan kamu nggak ngulangin,” katanya pelan. Klik. Pintu lift ketutup. Aku cuma bisa diam di tempat. Dunia kayak nge-freeze. Orang-orang lalu-lalang, tapi aku cuma bengong liat noda kopi di lantai sambil suara dia masih muter di kepala. “Sekretaris baru yang telat… tiga menit.” Aku buang napas panjang, liat pantulan diri di lantai marmer yang kinclong. Muka merah, pipi panas banget. “Bagus, Rania,” bisikku. “Baru mulai kerja, udah berhasil nyiram kopi ke jas bos sendiri. Keren.” Aku coba tarik napas lagi, ngeredain deg-degan. Tapi jujur, ada sesuatu dari pria itu yang susah banget hilang dari pikiran. Bukan cuma soal dia ganteng, atau soal dia CEO, tapi tatapan itu... tajam, dingin, dan kayak ada yang tersembunyi di baliknya. Aku sendiri nggak ngerti apa. Bikin takut. Tapi juga bikin penasaran. Aku pencet tombol lift lagi. Begitu pintu kebuka, aku masuk pelan-pelan. Di kaca lift, mukaku masih kelihatan gugup, tapi mata aku nggak bisa bohong—ada sesuatu di situ. Perasaan yang bahkan aku sendiri nggak tahu namanya. Panel lift naik. 20... 30... 40... sampai 45. Begitu pintu terbuka, aku sadar satu hal: Hari pertamaku bener-bener baru mulai. Dan kayaknya, aku baru aja masuk ke dunia seorang pria yang entah bakal hancurin hidupku... atau malah ngerubah semuanya.Aku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang
Aku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S
Malam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”
Aku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.