Ayu tampak serius dengan seseorang di seberang sana. Beruntung, mesin uang yang dibelikan Mas Kinos ini mampu membuatku sedikit terhalangi. "Bu, ngapain?" Aku terkejut mendengar suara Mbok Minah, ia tengah berdiri tak jauh dariku dengan koyo yang sudah menempel di kepalanya. "Ssst, sini!" Aku pun menarik lengan Mbok Minah dan menyuruhnya duduk di kursi makan."Sepertinya, ada yang tak beres sama si Ayu. Dia lagi nelepon seseorang, tapi kaya bisik-bisik." "Oh, iya. Mbok juga pernah dengar, Bu. Kayaknya nyebut-nyebut anak, deh," ucap Mbok Minah. "Anak?" Aku mengerutkan kening. Apa yang mereka bahas sampai bawa-bawa anak? Bukankah Ayu ini lajang? "Sedang apa, Mbak?" Aku menoleh, kalu tersenyum kaku padanya. "Mbok, karena Kak Karina di sini, sebaiknya besok kita libur aja, ya? Saya sudah hubungi customer yang pesan besok, dan mengcancelnya. Meski nggak enak.""Siap, Bu Bos." Aku pun tersenyum, kemudian meminum teh yang disiapkan oleh Mbok Minah. "Mbak, kamu benci sama aku, ya?"
Aku melirik ke arah Ayu, ia tengah memasang wajah cemberut dengan tangan mengadah. Persis seperti anak kecil yang tengah meminta uang jajan. "Kamu sudah dapat suamiku, masa mau minta juga apa yang ia kasih untukku?" tanyaku pada Ayu. Seketika ia menunduk, lalu datanglah Kak Karina dari belakang. Kini, aku menatapnya bukan seperti teman lagi, namun sebagai saingan dan juga lawan. "Kamu jangan begitu, Rum. Biar bagaimana pun, Ayu itu istrinya Kinos juga. Sudah, kasihkan dulu jam-nya. Lagian kamu kan nggak ke mana-mana, kalau Ayu nanti bisa nemanin Kinos kalau ke berbagai acara." "Loh, Kak Karina lupa kalau perusahaan Mas Kinos nggak memperbolehkan karyawannya memiliki istri dua?" "Bilang aja kalau dia sudah cerai sama kamu. Beres, kan?" Mataku membeliak mendengar ucapan Kak Karina. Sungguh tak dapat dipercaya! "Kak!" Kak Karina terkesiap, aku dan Mas Kinos teriak bersamaan hingga Mbok Minah pun mendekat. "Kita ini sama-sama perempuan. Kok tega sekali Kakak bilang begitu? Apa ka
Tak kuhiraukan dering panggilan darinya. Namun, entah di panggilan yang ke berapa kali, kuputuskan untuk mematikan ponsel, karena takut supir taksi online merasa terganggu. Setelah tiga puluh menit, akhirnya kami sampai di rumah Ibu. Aku sempat tertegun sebentar, memantapkan hati untuk masuk ke dalam rumah. Masih pantas kah aku ke sini? Betulkah jalanku ini? Setelah banyak hal jahat yang kulakukan, pantaskah aku menerima kasih sayang keluarga ini lagi? "Ayo, Bu," ajak Mbok Minah. "Apa kita cari kontrakan aja, Mbok? Kayaknya, Rumi nggak pede mau masuk." "Yakin, Bu? Mau cari ke mana? Ibu memang tinggal di sini dulu, tapi apa paham daerah sini?" Benar. Karena keterbatasanku, aku jadi tak pernah berkeliling jauh. Hal ini menyebabkanku teringat pada Mas Kinos. Dasar lelaki tak tahu diri. Sudah dapat wanita sempurna, ia buang aku seenak hatinya. "Kita coba cari dulu, Mbok." Mbok Minah pun mengangguk dan mengajakku pergi. "Rumi!" Dorongan kursi rodaku terhenti, saat terdengar suara
Ibu dan Bapak keluar dari kamar, beliau menghampiri Mas Kinos yang langsung menyalami keduanya. Ibu menyuruhnya untuk masuk, meski bisa kulihat Ibu terlihat keberatan dengan kedatangan lelaki yang berstatus suamiku itu. "Ada apa, Nak Kinos?" tanya Ibu. "Saya ke sini, mau menjemput Rumi, Bu." Ibu dan Bapak menoleh ke arahku, sementara aku menggeleng. Tak ingin lagi rasanya, aku kembali ke rumah itu. Membayangkan serumah dengan Ayu dan Kak Karina, aku sungguh muak. "Kalau mau dijemput begini, kenapa tadi dibiarkan pergi?" tanya Bapak, tajam. Aku bersyukur, memiliki keluarga yang begitu melindungiku. Meski Bapak dulu tak menyukaiku, namun sekarang semua berbeda. "Maaf, Pak. Tadi, saya sedang khilaf." "Nak Kinos, andai tahu begini, dulu saya tak mengizinkan Nak Kinos menikahi Rumi. Dia sudah seperti anak saya sendiri. Kalau disakiti begini, kami juga ikut sakit.""Mohon maaf, Pak, Bu. Saya menyesal. Boleh saya bawa Rumi pulang?" tanya Mas Kinos. "Saya kembalikan ini pada Rumi. Baga
"Ayu hamil, bukankah lebih bagus jika aku pergi? Untuk apa aku di sana?" tanyaku menahan geram. "Tapi Ayu butuh kamu, Dek." "Apa yang bisa diharapkan dari aku? Aku cacat, Mas! Kamu jangan menghinaku, ya!" hardikku setengah berteriak. Tak berselang lama, Rumi datang dan membawaku masuk ke dalam, lalu ia segera keluar lagi. "Sebaiknya kamu pulang saja, Nos! Kamu tak dibutuhkan di sini. Ingat ya, Nos, sudah cukup kamu menyakitinya!" ucap Rumi. "Dia istriku, Rum! Kamu jangan ikut campur. Atau jangan-jangan, kamu masih suka sama aku?" "Cih! Jangan mimpi! Mas Haris jauh lebih baik dari kamu!" Mendengar ucapan Arum, aku tersenyum miris. Benar, Mas Haris jauh lebih baik ke mana-mana. Andai dulu tak ada kecelakaan itu, sudah pasti aku menikah dengan Mas Haris. Ah, mikir apa aku ini?! Mas Haris sudah menikah dengan Arum, sebaiknya aku tak memiliki pemikiran seperti ini! "Sebaiknya kamu pergi, Nos. Nggak ada yang menerimamu." Tak lama kemudian, terdengar deru mobil keluar dari pekarang
Setelah mengirim pesan pada Mas Kinos, aku membaca status-status di aplikasi chat itu. Banyak pelanggan kue yang memposting acara bahagia dan juga ada beberapa yang mungkin sedang patah hatinya. Sama denganku. Entah kenapa, akalku berpikir untuk berpisah, namun hatiku merasakan sakitnya. Apakah karena aku masih cinta? Sementara otakku berpikir untuk mengakhiri penderitaan? [Makan bertiga bersama kesayangan. Tahun depan mungkin sudah berempat. Nggak sabar. Semoga kita selamanya bersama.] Aku membaca status Ayu yang menampilkan foto Mas Kinos, Kak Karina, dan juga Ayu. Mereka tampak tersenyum bahagia. Saking bahagianya, aku sampai tak melihat raut penyesalan yang ditampakkan oleh Mas Kinos sekarang. "Bu, Mbok mau ke warung dulu, ya, beli sabun." "Oh, iya, Mbok. Ini uangnya." Kuambil uang dari dalam saku dan menyodorkannya pada Mbok Minah. Tapi perempuan paruh baya itu menolaknya. "Mbok masih ada. Tadi pagi dikasih sama Ibu pas belanja. Sama Ibu juga ngasih gaji Mbok, Bu."Aku sedi
"Ayu? Kenapa bisa Pak Hengki foto bareng Ayu?" Tak lama kemudian, Pak Hengki datang lagi dan menyerahkan tiga lembar uang seratus ribuan. "Sebentar, saya ambil dulu kembaliannya," ucapku. "Nggak perlu, Bu. Buat Ibu saja." "Nggak, Pak, saya ini jualan." "Iya, saya tahu. Tapi serius, ngga usah kembalian." Aku terdiam, bingung hendak menanyakan perihal wallpapernya, atau diam saja?"Terima kasih banyak, Pak. Semoga dilancarkan rezekinya." "Aamiin. Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu," ucapnya. Aku mengangguk. Yah, lebih baik aku tak terlalu kepo dengan urusan orang lain. Tapi, bukankah ini menyangkut Mas Kinos juga? Bagaimana kalau ternyata Pak Hengki adalah selingkuhannya Ayu? "Pak, sebentar!" panggilku. "Iya, Bu, kenapa? Ada yang bisa saya bantu?""Em, begini. Saya tadi tidak sengaja melihat wallpaper ponsel Bapak. Apa itu, keluarga?" tanyaku. "Oh, ini? Dia pacar saya, Mbak. Tapi, karena kami beda agama, tak dibolehkan oleh ayahnya yang seorang kyai." Deg! Pacar? Selingkuh
Dahiku berkerut saat mendengarnya. Apa maksudnya itu? Apakah Ayu menyembunyikan sesuatu dari Mas Kinos? Lantas, kenapa ia malah menghina suaminya sendiri dengan kata bodoh? "Rumi?" Aku menoleh, ternyata Kak Karina sudah berdiri di belakangku. Ia tersenyum sinis, sangat berbeda dengan Kak Karina yang dulu begitu menyayangiku. "Ada urusan apa ke sini? Kenapa bertamu tak ketuk pintu terlebih dahulu?" tanya Kak Karina. "Bertamu? Kak, aku masih nyonya di rumah ini, ya!" "Nyonya? Tapi kamu sendiri yang pergi, malah kabarnya kamu mau mengajukan gugatan cerai? Dasar wanita tak tahu diri! Sudah diangkat derajat oleh suamimu, kamu malah mencampakkannya? Benar-benar wanita cacat tak tahu diuntung!" Mendengar penghinaan itu, lantas aku tersenyum sini. Kulajukan roda mendekat ke arahnya. "Wanita cacat? Apa Kakak lupa, kalau yang membuatku jadi begini itu Mas Kinos? Andai adik Kakak nggak ngantuk, maka aku nggak akan berakhir seperti ini, Kak!" teriakku. Terdengar derap langkah mendekat. A