Share

Bab 2

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 20.00 Wib. Sejak Mas Pandu ke luar karena tangisan Daffa, ia tak kunjung pulang. Aku beringsut dari sebelah ranjang, melihat Daffa sedang tertidur nyenyak. Lalu aku melangkah menuju jendela, kusibak tirai dan kubuka jendela. adalah angin yang menghambur ke tubuhku. 

Aku berdiri dengan tubuh bersandar, ucapan Mas Pandu saat ia mengatakan keinginannya terus terngiang di telingaku. Hingga membuat dada ini kembali terasa sesak. Seperti ada bongkahan batu yang menghimpit dadaku.

Kini, rasa sakit dan kecewa melebur menjadi satu. Hingga mampu menghancurkan duniaku.

"Ya Allah...sadarkan suamiku," lirihku. Tak pernah kusangka, lelaki yang telah kuperjuangkan di depan Papa kini tega menorehkan luka. Tega mengingkari janji yang pernah diucapkannya. 

Aku tahu betul bagaimana Mas Pandu, baginya kebutuhan biologi adalah hal nomor satu. Di saat aku tak mampu memberikan kepuasan di atas peraduan karena datang bulan, ia selalu berlagak dan berlagak. Namun jika ia memutuskan untuk memberikanku madu di saat tak bisa melayaninya setelah melahirkan, benar-benar keterlaluan itu suatu hal yang benar-benar terjadi?

Apakah yang diucapkannya itu hanya sebuah alasan? Atau dia sudah merencanakan semua ini sejak lama? Atau sebelumnya mereka memang sudah memiliki hubungan?

Jika semua itu baru sebuah rencana, tapi mengapa Mas Pandu sudah menyiapkan sebuah nama? Lidya....

Atau, atau dan atau.

Aarrgghh... aku benci dengan semua ini.

Kuremas rambut dengan kedua mata. Gigiku bergemelatuk, seiring gemuruh di dada semakin terasa. Air mata mulai menetes. Tetesan demi tetesan itu kini berubah menjadi deraian, hingga ciptakan suara tangisan yang terdengar begitu memilukan.

Ya Allah....

Apa yang harus kulakukan?

Aku kaget saat tiba-tiba kurasakan ada seseorang yang memeluk tubuhku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata Mas Pandu. Kuurai pelukannya dari tubuhku, "lepaskan, Mas."

"Vit...." Mas Pandu sudah berdiri di sampingku. Aku bergeming. Aku membocorkan ke arah luar. Tak kupedulikan kehadiran lelaki itu. Hati ini masih terasa sakit. Sakit sekali.

"Pikirkanlah yang mengatakan tadi. Kuharap kamu bisa menerima keputusanku," ucapnya tanpa rasa bersalah. Kehembuskan napas panjang, lalu aku menoleh ke arahnya.

"Jika aku tak menyetujuimu, Lalu apa kamu akan berani mencoba untuk menikahinya?" bertanya dengan mengungkapkan tajam pada iris hitam lelaki itu.

"Dengan atau tanpa persetujuan dari kamu, aku akan tetap menikah dengan Lidya," ucap Mas Pandu tegas. Aku tersenyum sungging, lalu kualihkan pandanganku. Sungguh, hati ini semakin terasa nyeri. Bahkan untuk meneguk ludah pun terasa begitu sulit.

"Lantas mengapa kau minta persetujuanku, jika bagaimana pun jawabanku, kau akan tetap pada pendirianmu," ucapku dengan berusaha setenang mungkin, meskipun dada bergemuruh tak karuan.

"Jangan menangis, Vit. Tahan! Tahan air matamu! Ingat janjimu pada Papamu!" batinku berusaha menguatkan. tidak bisa dipungkiri, saat ini hanya kurasakan rasa, perih, kecewa, dan sakit duniaku ... hancur.

"Seharusnya kamu bersyukur, jika aku meminta izinmu itu artinya aku masih menghargaimu." Ucapan Mas Pandu berhasil perhatianku. Kutatap wajah yang tanpa rasa bersalah itu dengan sorot mata tak percaya. sebelum kepala ini menggeleng. Bagaimana bisa lelaki itu muncul seperti itu? 

Beruntung? Menghargai ku? Dengan cara berkhianat dan menikah lagi? 

"Menghargaiku, kau bilang? Mas, apa seperti itu bentuk yang layak kuterima setelah melahirkanmu? Anda tahu melahirkan rasa sakitnya, kerasnya perjuanganku saat putramu, apa kau masih membayangkan hal itu?!"

"Jaga ucapanmu, Vit!" Raut wajah itu kini terlihat merah padam. Bahkan rahangnya mulai mengeras dengan napas yang terlihat terlihat.

"Apa salah menikah yang kukatakan, Mas? Kau ingin lagi hanya karena aku tak bisa melayanimu untuk sementara waktu. Apa jangan-jangan sebenarnya kau sudah bermain di belakangku?" Kupandang dihadapi dengan menyelidik.

"Kenapa sekarang kau malah menuduhku?!" desisnya tak terima.

"Mas ... apa susahnya kau tahan hasratmu selama empat puluh hari saja? Nggak lama, Mas. Hanya Kemana-mana!" 

"Vit... setelah punya anak, waktumu akan habis untuk merawat Daffa. Tak mungkin kamu bisa mengurusku setiap waktu. Dan kupikir ini yang terbaik. Setidaknya aku tidak akan bermain di belakangmu."

"Kupikir kamu akan menikah, dan akan menceraikannya setelah masa nifasku habis," gumamku.

"Vit...."

"Sudahlah, Mas. Aku lelah. Jangan membahas tentang ini lagi. Pikirkan dulu keinginanmu itu. Jika kamu kekeh dengan keinginanmu, cinta pada kegagalan, kamu siap kehilanganku dan juga Daffa," ucapku namun penuh penekanan. Tujuanku hanya ingin memberikan sedikit ancaman. Saya tersenyum agar lelaki itu berpikir lagi dan mengurungkan niatnya.

Mas Pandu meraih kedua tanganku, lalu digenggam dengan sedikit meremasnya. "Aku tak akan menceraikan mu, Vit. Aku meminjam."

"Ck, kau pikir ada perempuan yang rela dimadu?" Kutarik kedua tanganku dari genggamannya dengan kasar. 

"Keluarlah, Mas!" 

"Vit...."

"Keluar!" 

"Baik. Oke. Tapi tahu yang tadi kukatakan."

"Keluaarr!" Mas Pandu melangkah pelan menuju pintu, ia berhenti lalu menoleh ke arahku. Kualihkan pandanganku darinya.

Ya Allah. Rasanya sakit sekali.

surga air mata mengalir begitu derasnya. Kududukkan di bibir ranjang. Kuremas sprei dengan kerasnya, sebagai bentuk luapan rasa sakit dan rapuhnya hati ini. 

Suara tangisakan mulai terdengar, seiring kedua bahuku yang mulai terguncang.

Tuhan .... nikmatnya rasa sakit yang kurasakan malam ini. Baru sesaat kukecap kebahagiaan, seketika tergantikan oleh kekecewaan.

"Mama... Papa... Vita hancur...."

Tuhan, langkah apa yang harus kuambil? 

Mahligai rumah tangga yang sudah kubangun tujuh tahun haruskah hancur begitu saja karena orang ketiga?

Ya, aku dan Mas Pandu sudah menikah tujuh tahun. Di usia pernikahan tujuh tahun ini lah baru kudapatkan sosok malaikat kecil yang baru saja kulahirkan tiga hari yang lalu.

Selama penantian seorang buah hati, Mas Pandu selalu setia denganku. Berkali-kali kuminta ia menceraikanku, dan menikahi perempuan lain yang mampu memberikan keturunan dengan cepat, ia selalu menolaknya. Bahkan di saat aku membahas tentang itu, Mas Pandu selalu marah dan marah. Memang lelaki itu teguh dengan pendiriannya, tak ada seorang pun yang bisa membelokkan apa yang terbesit dalam angannya, aku tahu itu.

Bahkan, saat Mama mertua memaksa Mas Pandu untuk menikah lagi, dengan tegas menolak. Masih kuingat dengan jelas apa yang dikatakan olehnya, "Jika aku memiliki seorang anak, Vita lah yang harus menjadi ibunya. Harus dari vita-lah anakku dilahirkan, bukan dari rahim perempuan lain."

Sekarang keinginan kami sudah terwujud, Tuhan telah menganugerahkan sosok malaikat kecil sebagai pelengkap kebahagiaan kami. Bayi kecil yang begitu tampan. Tuhan telah mewujudkan impian kami, lalu mengapa di saat Tuhan mengabulkan do'a yang selalu kupanjatkan di setiap sujudku, niatan untuk lagi malah terbersit dalam pikiran Mas Pandu?

Tuhan ... Aku tak tahu rencana apa yang akan Engkau berikan. Aku tak tahu, takdir apa yang akan kuterima. Satu harapanku, berikanlah aku kekuatan jika kelak takdir-Mu tak sesuai dengan anganku.

Sungguh... malam ini dipenuhi dengan derai air mata. Aku menoleh ke arah jam di dinding, ternyata sudah larut malam. Aku terlalu rapuh, hancur hingga membuatku terlarut dalam tangisan dan tangisan. Membuatku menyadari selama itu pula aku terisak dalam tangisku.

Kurebahkan tubuhku, kucari posisi tidur ternyamanku dan berusaha kupejamkan kedua mataku. Namun usahaku sia-sia. Mata ini masih terjaga.

Kembali kuubah posisiku, kusandarkan tubuhku di kepala ranjang saat terlintas nama sosok perempuan yang telah beberapa kali disebut oleh Mas Pandu dalam kami malam ini.

"Lidya. Siapa dia?" bertanya pada diri sendiri.

Aku mencoba mengingat-ingat nama itu. Kukorek rekaman ingatanku. Namun saya tidak memperhatikan mengingat sosok orang yang memiliki nama tersebut.

"Aku harus cari tahu siapa dia," tekadku.

Satu prinsipku, aku tak akan memaafkan seorang suami yang berselingkuh dan melakukan KDRT.

Andai saja kutemukan fakta kalau Mas Pandu memang tidak pernah bermain di belakangku dalam artian 'selingkuh', mungkin bertahan adalah pilihanku. Perlahan akan kubuat Mas Pandu melupakan sosok perempuan itu. Pastinya agar pernikahan itu tak akan pernah terjadi.

Sungguh... Mas Pandu adalah sosok lelaki yang begitu sempurna, menurutku. Ia tak pernah berlaku kasar, apalagi lelaki yang bertanggung jawab. Selama ini pun ia juga menjadi sosok suami yang baik. Berat jika harus melepaskan dia begitu saja. Apalagi saat ini ada Daffa di antara kita. 

Namun jika kutemukan fakta sebaliknya, maka berpisahlah jalan yang akan kuambil. 

Mas ... mudah-mudahan kau tak melakukan hal yang sedari dulu begitu kubenci. -mudahan tak pernah kau nodai Mudah cinta yang suci.

Malam ini bagaikan mimpi yang buruk. Buruk sekali. Bahkan tak pernah terbayangkan aku berada di dalam situasi yang seperti ini.

tempat aku tak menoleh ke arah Daffa, terlihat tidurnya malam ini begitu nyaman. Mungkinkah bayi kecil itu merasakan apa yang dia rasakan?

Bahkan bibir mungil itu mengeluarkan suara seperti tangisan.

Kuelus tubuh Daffa agar ia kembali terbuai dalam mimpinya. 

Bersambung ya. 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Kacau nh bahasanya bikin bingung ndak ngerti
goodnovel comment avatar
Evy Kikih
bahasanya di awal2 bab membingungkan ...
goodnovel comment avatar
Ciah Msglow
bahasa nya gak jelas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status