Share

Bab 3

Author: FK_Fahira
last update Last Updated: 2022-04-20 09:41:55

Mataku mengerjap pelan saat terasa ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku dan memanggil namaku dengan pelan.

"Ada apa, Mbok?" bertanya saat lamat-lamat terlihat Mbok Jum sedang berdiri di samping sampingku. Kedua mataku kembali menutup, sungguh kedua mata ini masih ingin terpejam. Enggan untuk terbuka.

"Den Daffa nangis, Bu. Mungkin dia haus," jawab Mbok Jum dengan posisi berdiri seraya menimang Daffa.

Kuusap dengan kedua telapak tangan, kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Pelan kuubah posisiku. "Sini'in Mbok, Daffa nya," pintaku saat aku sudah duduk dengan bersandar pada kepala tempat tidur. Pelan mbok Jum menyerahkan Daffa ke tanganku. Tangis itu sudah mulai reda, sewaktu-waktu kemudian terdengar saat bibir mungil itu sudah mendapatkan apa yang ia cari tadi. 

“Mbok, kok Mbok Jum ada di sini?” bertanya

"Iya, Bu. Tadi waktu mau ambil air wudhu, ketemu Bapak lagi ambil air minum. Bapak minta Simbok buat lihatin Ibu, ternyata saat di depan pintu, Simbok dengar Den Daffa nangis terus. Simbok ketuk pintunya berkali-kali, tapi Ibu nggak nyahut . Karena khawatir, Simbok langsung masuk. Maaf jika Simbok sudah lancang," ucapnya dengan kepala menunduk. 

Mendengaran Mbok Jum, mendengar suara kejadian kejadian. Rasa sakit ini kembali terasa. Serasa ada yang meremas tepat di ulu hati, hingga menimbulkan rasa perih dan nyeri yang amat luar biasa. Pandanganku beralih pada Daffa yang sedang kuberikan ASI. Pada sosok anak kecil yang membuat Mas Pandu–suamiku ingin menikah lagi. Gara-gara kulahirkan bayi ini, aku akan kehilangan lelaki yang begitu kusayangi dan kucintai. Melihat wajah mungil itu, seketika kejadian saat Mas Pandu mengatakan ingin menikah lagi langsung berkelebatan di kelopak mata. Ada yang bergemuruh di dalam sini.

Cepat kuletakkan Daffa di atas kasur. Bibir itu terbuka menemukan sesuatu yang baru terlepas dari mulutnya. Mulut itu mulai mengeluarkan rintihan, sewaktu-waktu kemudian rintihan berubah menjadi tangis yang terdengar meraung-raung. Entah karena ia belum kenyang mengASI namun kuhentikan paksa, atau karena dia terkejut sebagai akibat dari gerakanku.

"Astagfirullah ...." Terlihat Mbok Jum langsung mengambil Daffa yang sedang menangis lalu Mendekapnya dengan erat.

"Bawa dia pergi, Mbok!" teriakku dengan mengarah mengarah pada bayi yang akan membuatku kehilangan suamiku.

"Astagfirullah, Bu. Kenapa?" tanya Mbok Jum dengan terus berusaha menangisi bayi itu. Namun usahakan itu sia-sia. Tangisnya semakin tak terkendali, seiring teriakanku yang meminta bayi itu agar dibawa pergi. Paling Mbok Jum ingin melangkah mendekatiku. Kuangkat sebelah tangan, memintanya untuk berhenti melangkah. Langkahnya terhenti, namun terlihat dengan jelas wajah tua itu terlihat begitu khawatir. Tubuh itu bergerak-gerak karena menimang bayi kecil itu agar suara tangisnya mereda.

"Nyebut, Bu... nyebut." Kali ini nada suara Mbok Jum terdengar serak. Bahkan kedua netranya terlihat berkaca-kaca.

"Bawa ke luar dari kamar ini, Mbok! Aku tidak mau melihat dia. Karena melahirkan dia, aku akan kehilangan Mas Pandu!" teriakku ketanan. Tak hentinya Mbok Jum memintaku untuk beristighfar. Namun tetap kuabaikan.

"Bawa pergi!" bentakku. Melihat mbok Jum yang tak kunjung pergi ke luar. Membuatku semakin murka. Kutarik selimut lalu kulempar ke arahnya. Namun sial, Mbok Jum berhasil menghidarinya. Lagi-lagi tangis bayi itu semakin meraung-raung, menambah kekesalanku. Kali ini Mbok Jum berdiri dengan kaki gemetar. Namun tak kupedulikan.

Kulempar ke tembok semua barang yang bisa kuraih, hingga menimbulkan suara di sekelilingnya. melihatku yang tak terkendali, mbok Jum membawa bayi itu berlari.

Mala!

Suara kaca menggema, akibat kulempar jam di atas nakas tepat mengenai kaca besar yang terpasang di tembok kamar. Serpihan-serpihan kaca itu menggambarkan hatiku yang saat ini dalam keadaan hancur.

Ucapan-ucapan Mas Pandu semalam kembali terngiang di telingaku, seperti sebuah rekaman yang ulang, membuat emosiku tak terkendalikan. 

"Arrggghh... mengapa Tuhan membuatku menjadi seorang Ibu, jika itu kehilangan suamiku!"

Mala!

Kali ini vas bunga yang menjadi sasaranku.

Barang-barang berterbangan, membuat kamar ini hancur. Sehancur hati dan perasaanku.

Napasku terasa memburu. Kedua telapak tangan mengepal dengan begitu kuatnya, hingga menimbulkan rasa sakit akibat kuku-kuku yang menancap pada telapak tangan. Se kemudian detik genggamanku terasa basah seiring rasa perih yang kurasakan. 

Kuangkat kedua tanganku hingga sejejar dengan pandanganku. Perlahan kubuka kedua telapak tangan, darah segar terlihat di sana. Kepalanku terluka. Namun tak sebanding dengan luka yang ditorehkan oleh suamiku.

"Lihatlah, Mas ... bahkan rasa sakit di telapak tangan tak ada sepucuk kuku pun dibandingkan rasa sakit hatiku," desisku. 

Rasa sesak kian terasa, lambat laun kedua area mataku terasa menghangat. Sedetik kemudian pandanganku terasa mengabur seiring cairan bening yang mulai menggenang di pelupuk mata. 

Kini ... aku lemah.

Tubuhku terguncang seiring dengan air mata yang keluar, hingga terciptalah suara tangisan yang begitu memilukan.

Tuhan ... tidak adilnya takdir yang Kau berikan Butuh waktu lama untuk kudapatkan seorang putra, di saat Kau kabulkan permintaanku, namun Kau buat aku akan kehilangan suamiku.

untuk apa?

Untuk apa Kau kabulkan do'aku jika harus kubagi lelakiku?

Untuk apa Kau berikan hadiah-Mu jika pada akhirnya Kau juga berikan derita padaku?

Tuhan ....tidak adilnya takdir-Mu..

"Vita! Apa-apaan kamu!" Bentakan itu mengejutkanku, membuatku menoleh ke arah lelaki yang saat ini berdiri di ambang pintu. 

Kembali kualihkan pandanganku, kini aku menunduk dengan kedua bahu terguncang karena menahan isakan.

Derap langkah terdengar mulai mendekat. Lelaki itu duduk di sampingku.

"Jangan seperti ini." Kini ucapan itu terdengar lebih halus. Tak lama tangan Kokoh itu meraih pundakku dan menarikku dalam dekapannya. Terasa untuk mengelus pucuk. Aku bergeming. Hanya terdengar suara tangis yang masih lolos dari mulutku.

"Tenanglah." Lelaki itu mengecup pucuk. Perlakuan manisnya saat ini dianggap sedikitkan gemuruh yang sedang melanda hatiku. Apa Mas Pandu akan mengurungkan niatnya?

Mungkinkah ada secercah harapan untuk masa depan rumah tanggaku?

Beberapa saat keadaan terasa hening. Kami terlarut dalam pemikiran masing-masing. Tangisku pun sudah berhenti. Kuhapus air mata yang meninggalkan jejak di pipi.

"Sudah tenang?" tanya lelaki itu yang membuatku mendongak. Pandangan kami saling bertemu. Kini dapat ada suatu gambar pada sorot matanya. Lelaki itu mengurai pelukannya.

Jangan seperti ini. Bergegas ia membuka laci, lalu mengambil kapas dan diusap dengan pelan telapak tangan yang terluka. 

Aku bergeming.

darah lelaki itu melirikku dan kembali melanjutkan kegiatannya, membersihkan luka di tangan kami. sangat aku hargai karena luka itu terasa sedikit menyakitkan. 

"Lain kali jangan seperti ini lagi, ya," komentar dan aku pelan pelan. Lelaki itu terus membersihkan darah yang ada di telapak tangan.

"Apa kamu akan tetap menikah...,"

Wajah itu terangkat, memperhatikan. "Lidya?" sambungnya dan aku mengangguk.

"Jangan bahas ini. Kita bahas lain waktu." Jawaban Mas Pandu kembali membuat sedikit harapan itu hancur. Kutarik genggaman dari genggamannya. Mas Pandu menghembuskan napas panjang.

"Daffa dibawa ke sini? Tadi kata Mbok Jum minum ASInya be...."

"Tidak usah!" jawabku cepat, ucapannya.

"Kenapa Daffa menjadi korban dari emosimu? Jangan seperti ini Vit!" Nada suara Mas Pandu mulai sedikit meninggi. Aku beranjak, berdiri tegak di hadapannya.

"Kau yang membuatku seperti ini, Mas! Bawa anakmu itu! Suruh calon istri mudamu itu merawat Daffa!"

Mas Pandu berdiri. Kini kami saling berhadapan yang sama-sama sedang dikuasai oleh emosi.

"Jaga bicaramu, Vit! Dia anak kamu. Lahir dari rahimmu! Nggak ada sangkut pautnya dengan Lidya!"

"Ya. Dia memang anakku. Lebih tepatnya anak kita, dan karena kelahirannya lah kamu ingin menikah lagi, Mas!" bentakku tak terima.

"Melihatmu seperti ini membuatku yakin untuk menikahi Lidya. Dia jauh berbeda denganmu." kalimat itu terjeda. 

"Jika kau tak ingin merawat Daffa. Lidya akan melimpahkan kasih sayang untuknya," lanjut Mas Pandu seraya memutar tubuh lalu melenggang pergi dari hadapanku.

"Cari istri yang sempurna menurutmu itu!"

Tubuhku terasa begitu lemas, tulang-tulang persendianku serasa tak mampu lagi menahan bobot tubuhku. 

Aku terduduk di ranjang susun dengan perasaan hancur hancur.

Sakit.

Sakit sekali saat mendengar lelaki yang kucinta, membeda-bedakan dengan calon istri keduanya. Rasanya seolah-olah ia menaburkan garam di atas luka yang sedang menganga.

rem!

Pintu dihempaskannya dengan begitu kuat hingga menimbulkan dentuman akibat beradunya daun pintu dan tembok. Membuatku tersentak. Kembali 

Tanpa sadar kedua telapak tangan ini kembali terkepal. kuat. Area mataku kembali terasa hangat seiring dengan cairan bening yang mulai menggenang. Lambat laun, cairan bening itu berubah menjadi buliran-buliran yang akhirnya menetes dengan sendirinya. 

Air mata kembali berderai dengan derasnya, sebagai bentuk kalau hati ini terluka. Luka karena cinta.

Ya Allah. Hanya engkau-lah yang tahu bagaimana perasaanku saat ini....

Bersambung ya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sri Celik Haryani
kayaknya hasil terjemahan ini yaa..
goodnovel comment avatar
nenkgeulis
bukan typo lg, ky hasil terjemahan dr kamus yg blm di revisi bnyk kata2 yg terbalik2 dn jg bnyk kata yg g nymbung aq jd bgung. mcam bhsa dr negeri sebelah yg susah dmngerti
goodnovel comment avatar
Yuken Simi
terlalu berantakan kata2nya yg typo, bikin otak ku yg gk seberapa gk bisa cerna
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Neraka untuk Adik Madu   Ending

    Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa

  • Neraka untuk Adik Madu   Bab 89

    Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb

  • Neraka untuk Adik Madu   Bab 88

    Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan

  • Neraka untuk Adik Madu   Bab 87

    Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin

  • Neraka untuk Adik Madu   Bab 86

    Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya

  • Neraka untuk Adik Madu   Bab 85

    Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status