Share

Bab 3

Mataku mengerjap pelan saat terasa ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku dan memanggil namaku dengan pelan.

"Ada apa, Mbok?" bertanya saat lamat-lamat terlihat Mbok Jum sedang berdiri di samping sampingku. Kedua mataku kembali menutup, sungguh kedua mata ini masih ingin terpejam. Enggan untuk terbuka.

"Den Daffa nangis, Bu. Mungkin dia haus," jawab Mbok Jum dengan posisi berdiri seraya menimang Daffa.

Kuusap dengan kedua telapak tangan, kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Pelan kuubah posisiku. "Sini'in Mbok, Daffa nya," pintaku saat aku sudah duduk dengan bersandar pada kepala tempat tidur. Pelan mbok Jum menyerahkan Daffa ke tanganku. Tangis itu sudah mulai reda, sewaktu-waktu kemudian terdengar saat bibir mungil itu sudah mendapatkan apa yang ia cari tadi. 

“Mbok, kok Mbok Jum ada di sini?” bertanya

"Iya, Bu. Tadi waktu mau ambil air wudhu, ketemu Bapak lagi ambil air minum. Bapak minta Simbok buat lihatin Ibu, ternyata saat di depan pintu, Simbok dengar Den Daffa nangis terus. Simbok ketuk pintunya berkali-kali, tapi Ibu nggak nyahut . Karena khawatir, Simbok langsung masuk. Maaf jika Simbok sudah lancang," ucapnya dengan kepala menunduk. 

Mendengaran Mbok Jum, mendengar suara kejadian kejadian. Rasa sakit ini kembali terasa. Serasa ada yang meremas tepat di ulu hati, hingga menimbulkan rasa perih dan nyeri yang amat luar biasa. Pandanganku beralih pada Daffa yang sedang kuberikan ASI. Pada sosok anak kecil yang membuat Mas Pandu–suamiku ingin menikah lagi. Gara-gara kulahirkan bayi ini, aku akan kehilangan lelaki yang begitu kusayangi dan kucintai. Melihat wajah mungil itu, seketika kejadian saat Mas Pandu mengatakan ingin menikah lagi langsung berkelebatan di kelopak mata. Ada yang bergemuruh di dalam sini.

Cepat kuletakkan Daffa di atas kasur. Bibir itu terbuka menemukan sesuatu yang baru terlepas dari mulutnya. Mulut itu mulai mengeluarkan rintihan, sewaktu-waktu kemudian rintihan berubah menjadi tangis yang terdengar meraung-raung. Entah karena ia belum kenyang mengASI namun kuhentikan paksa, atau karena dia terkejut sebagai akibat dari gerakanku.

"Astagfirullah ...." Terlihat Mbok Jum langsung mengambil Daffa yang sedang menangis lalu Mendekapnya dengan erat.

"Bawa dia pergi, Mbok!" teriakku dengan mengarah mengarah pada bayi yang akan membuatku kehilangan suamiku.

"Astagfirullah, Bu. Kenapa?" tanya Mbok Jum dengan terus berusaha menangisi bayi itu. Namun usahakan itu sia-sia. Tangisnya semakin tak terkendali, seiring teriakanku yang meminta bayi itu agar dibawa pergi. Paling Mbok Jum ingin melangkah mendekatiku. Kuangkat sebelah tangan, memintanya untuk berhenti melangkah. Langkahnya terhenti, namun terlihat dengan jelas wajah tua itu terlihat begitu khawatir. Tubuh itu bergerak-gerak karena menimang bayi kecil itu agar suara tangisnya mereda.

"Nyebut, Bu... nyebut." Kali ini nada suara Mbok Jum terdengar serak. Bahkan kedua netranya terlihat berkaca-kaca.

"Bawa ke luar dari kamar ini, Mbok! Aku tidak mau melihat dia. Karena melahirkan dia, aku akan kehilangan Mas Pandu!" teriakku ketanan. Tak hentinya Mbok Jum memintaku untuk beristighfar. Namun tetap kuabaikan.

"Bawa pergi!" bentakku. Melihat mbok Jum yang tak kunjung pergi ke luar. Membuatku semakin murka. Kutarik selimut lalu kulempar ke arahnya. Namun sial, Mbok Jum berhasil menghidarinya. Lagi-lagi tangis bayi itu semakin meraung-raung, menambah kekesalanku. Kali ini Mbok Jum berdiri dengan kaki gemetar. Namun tak kupedulikan.

Kulempar ke tembok semua barang yang bisa kuraih, hingga menimbulkan suara di sekelilingnya. melihatku yang tak terkendali, mbok Jum membawa bayi itu berlari.

Mala!

Suara kaca menggema, akibat kulempar jam di atas nakas tepat mengenai kaca besar yang terpasang di tembok kamar. Serpihan-serpihan kaca itu menggambarkan hatiku yang saat ini dalam keadaan hancur.

Ucapan-ucapan Mas Pandu semalam kembali terngiang di telingaku, seperti sebuah rekaman yang ulang, membuat emosiku tak terkendalikan. 

"Arrggghh... mengapa Tuhan membuatku menjadi seorang Ibu, jika itu kehilangan suamiku!"

Mala!

Kali ini vas bunga yang menjadi sasaranku.

Barang-barang berterbangan, membuat kamar ini hancur. Sehancur hati dan perasaanku.

Napasku terasa memburu. Kedua telapak tangan mengepal dengan begitu kuatnya, hingga menimbulkan rasa sakit akibat kuku-kuku yang menancap pada telapak tangan. Se kemudian detik genggamanku terasa basah seiring rasa perih yang kurasakan. 

Kuangkat kedua tanganku hingga sejejar dengan pandanganku. Perlahan kubuka kedua telapak tangan, darah segar terlihat di sana. Kepalanku terluka. Namun tak sebanding dengan luka yang ditorehkan oleh suamiku.

"Lihatlah, Mas ... bahkan rasa sakit di telapak tangan tak ada sepucuk kuku pun dibandingkan rasa sakit hatiku," desisku. 

Rasa sesak kian terasa, lambat laun kedua area mataku terasa menghangat. Sedetik kemudian pandanganku terasa mengabur seiring cairan bening yang mulai menggenang di pelupuk mata. 

Kini ... aku lemah.

Tubuhku terguncang seiring dengan air mata yang keluar, hingga terciptalah suara tangisan yang begitu memilukan.

Tuhan ... tidak adilnya takdir yang Kau berikan Butuh waktu lama untuk kudapatkan seorang putra, di saat Kau kabulkan permintaanku, namun Kau buat aku akan kehilangan suamiku.

untuk apa?

Untuk apa Kau kabulkan do'aku jika harus kubagi lelakiku?

Untuk apa Kau berikan hadiah-Mu jika pada akhirnya Kau juga berikan derita padaku?

Tuhan ....tidak adilnya takdir-Mu..

"Vita! Apa-apaan kamu!" Bentakan itu mengejutkanku, membuatku menoleh ke arah lelaki yang saat ini berdiri di ambang pintu. 

Kembali kualihkan pandanganku, kini aku menunduk dengan kedua bahu terguncang karena menahan isakan.

Derap langkah terdengar mulai mendekat. Lelaki itu duduk di sampingku.

"Jangan seperti ini." Kini ucapan itu terdengar lebih halus. Tak lama tangan Kokoh itu meraih pundakku dan menarikku dalam dekapannya. Terasa untuk mengelus pucuk. Aku bergeming. Hanya terdengar suara tangis yang masih lolos dari mulutku.

"Tenanglah." Lelaki itu mengecup pucuk. Perlakuan manisnya saat ini dianggap sedikitkan gemuruh yang sedang melanda hatiku. Apa Mas Pandu akan mengurungkan niatnya?

Mungkinkah ada secercah harapan untuk masa depan rumah tanggaku?

Beberapa saat keadaan terasa hening. Kami terlarut dalam pemikiran masing-masing. Tangisku pun sudah berhenti. Kuhapus air mata yang meninggalkan jejak di pipi.

"Sudah tenang?" tanya lelaki itu yang membuatku mendongak. Pandangan kami saling bertemu. Kini dapat ada suatu gambar pada sorot matanya. Lelaki itu mengurai pelukannya.

Jangan seperti ini. Bergegas ia membuka laci, lalu mengambil kapas dan diusap dengan pelan telapak tangan yang terluka. 

Aku bergeming.

darah lelaki itu melirikku dan kembali melanjutkan kegiatannya, membersihkan luka di tangan kami. sangat aku hargai karena luka itu terasa sedikit menyakitkan. 

"Lain kali jangan seperti ini lagi, ya," komentar dan aku pelan pelan. Lelaki itu terus membersihkan darah yang ada di telapak tangan.

"Apa kamu akan tetap menikah...,"

Wajah itu terangkat, memperhatikan. "Lidya?" sambungnya dan aku mengangguk.

"Jangan bahas ini. Kita bahas lain waktu." Jawaban Mas Pandu kembali membuat sedikit harapan itu hancur. Kutarik genggaman dari genggamannya. Mas Pandu menghembuskan napas panjang.

"Daffa dibawa ke sini? Tadi kata Mbok Jum minum ASInya be...."

"Tidak usah!" jawabku cepat, ucapannya.

"Kenapa Daffa menjadi korban dari emosimu? Jangan seperti ini Vit!" Nada suara Mas Pandu mulai sedikit meninggi. Aku beranjak, berdiri tegak di hadapannya.

"Kau yang membuatku seperti ini, Mas! Bawa anakmu itu! Suruh calon istri mudamu itu merawat Daffa!"

Mas Pandu berdiri. Kini kami saling berhadapan yang sama-sama sedang dikuasai oleh emosi.

"Jaga bicaramu, Vit! Dia anak kamu. Lahir dari rahimmu! Nggak ada sangkut pautnya dengan Lidya!"

"Ya. Dia memang anakku. Lebih tepatnya anak kita, dan karena kelahirannya lah kamu ingin menikah lagi, Mas!" bentakku tak terima.

"Melihatmu seperti ini membuatku yakin untuk menikahi Lidya. Dia jauh berbeda denganmu." kalimat itu terjeda. 

"Jika kau tak ingin merawat Daffa. Lidya akan melimpahkan kasih sayang untuknya," lanjut Mas Pandu seraya memutar tubuh lalu melenggang pergi dari hadapanku.

"Cari istri yang sempurna menurutmu itu!"

Tubuhku terasa begitu lemas, tulang-tulang persendianku serasa tak mampu lagi menahan bobot tubuhku. 

Aku terduduk di ranjang susun dengan perasaan hancur hancur.

Sakit.

Sakit sekali saat mendengar lelaki yang kucinta, membeda-bedakan dengan calon istri keduanya. Rasanya seolah-olah ia menaburkan garam di atas luka yang sedang menganga.

rem!

Pintu dihempaskannya dengan begitu kuat hingga menimbulkan dentuman akibat beradunya daun pintu dan tembok. Membuatku tersentak. Kembali 

Tanpa sadar kedua telapak tangan ini kembali terkepal. kuat. Area mataku kembali terasa hangat seiring dengan cairan bening yang mulai menggenang. Lambat laun, cairan bening itu berubah menjadi buliran-buliran yang akhirnya menetes dengan sendirinya. 

Air mata kembali berderai dengan derasnya, sebagai bentuk kalau hati ini terluka. Luka karena cinta.

Ya Allah. Hanya engkau-lah yang tahu bagaimana perasaanku saat ini....

Bersambung ya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sri Celik Haryani
kayaknya hasil terjemahan ini yaa..
goodnovel comment avatar
nenkgeulis
bukan typo lg, ky hasil terjemahan dr kamus yg blm di revisi bnyk kata2 yg terbalik2 dn jg bnyk kata yg g nymbung aq jd bgung. mcam bhsa dr negeri sebelah yg susah dmngerti
goodnovel comment avatar
Yuken Simi
terlalu berantakan kata2nya yg typo, bikin otak ku yg gk seberapa gk bisa cerna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status