Mataku mengerjap pelan saat terasa ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku dan memanggil namaku dengan pelan.
"Ada apa, Mbok?" bertanya saat lamat-lamat terlihat Mbok Jum sedang berdiri di samping sampingku. Kedua mataku kembali menutup, sungguh kedua mata ini masih ingin terpejam. Enggan untuk terbuka.
"Den Daffa nangis, Bu. Mungkin dia haus," jawab Mbok Jum dengan posisi berdiri seraya menimang Daffa.
Kuusap dengan kedua telapak tangan, kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Pelan kuubah posisiku. "Sini'in Mbok, Daffa nya," pintaku saat aku sudah duduk dengan bersandar pada kepala tempat tidur. Pelan mbok Jum menyerahkan Daffa ke tanganku. Tangis itu sudah mulai reda, sewaktu-waktu kemudian terdengar saat bibir mungil itu sudah mendapatkan apa yang ia cari tadi.
“Mbok, kok Mbok Jum ada di sini?” bertanya
"Iya, Bu. Tadi waktu mau ambil air wudhu, ketemu Bapak lagi ambil air minum. Bapak minta Simbok buat lihatin Ibu, ternyata saat di depan pintu, Simbok dengar Den Daffa nangis terus. Simbok ketuk pintunya berkali-kali, tapi Ibu nggak nyahut . Karena khawatir, Simbok langsung masuk. Maaf jika Simbok sudah lancang," ucapnya dengan kepala menunduk.
Mendengaran Mbok Jum, mendengar suara kejadian kejadian. Rasa sakit ini kembali terasa. Serasa ada yang meremas tepat di ulu hati, hingga menimbulkan rasa perih dan nyeri yang amat luar biasa. Pandanganku beralih pada Daffa yang sedang kuberikan ASI. Pada sosok anak kecil yang membuat Mas Pandu–suamiku ingin menikah lagi. Gara-gara kulahirkan bayi ini, aku akan kehilangan lelaki yang begitu kusayangi dan kucintai. Melihat wajah mungil itu, seketika kejadian saat Mas Pandu mengatakan ingin menikah lagi langsung berkelebatan di kelopak mata. Ada yang bergemuruh di dalam sini.
Cepat kuletakkan Daffa di atas kasur. Bibir itu terbuka menemukan sesuatu yang baru terlepas dari mulutnya. Mulut itu mulai mengeluarkan rintihan, sewaktu-waktu kemudian rintihan berubah menjadi tangis yang terdengar meraung-raung. Entah karena ia belum kenyang mengASI namun kuhentikan paksa, atau karena dia terkejut sebagai akibat dari gerakanku.
"Astagfirullah ...." Terlihat Mbok Jum langsung mengambil Daffa yang sedang menangis lalu Mendekapnya dengan erat.
"Bawa dia pergi, Mbok!" teriakku dengan mengarah mengarah pada bayi yang akan membuatku kehilangan suamiku.
"Astagfirullah, Bu. Kenapa?" tanya Mbok Jum dengan terus berusaha menangisi bayi itu. Namun usahakan itu sia-sia. Tangisnya semakin tak terkendali, seiring teriakanku yang meminta bayi itu agar dibawa pergi. Paling Mbok Jum ingin melangkah mendekatiku. Kuangkat sebelah tangan, memintanya untuk berhenti melangkah. Langkahnya terhenti, namun terlihat dengan jelas wajah tua itu terlihat begitu khawatir. Tubuh itu bergerak-gerak karena menimang bayi kecil itu agar suara tangisnya mereda.
"Nyebut, Bu... nyebut." Kali ini nada suara Mbok Jum terdengar serak. Bahkan kedua netranya terlihat berkaca-kaca.
"Bawa ke luar dari kamar ini, Mbok! Aku tidak mau melihat dia. Karena melahirkan dia, aku akan kehilangan Mas Pandu!" teriakku ketanan. Tak hentinya Mbok Jum memintaku untuk beristighfar. Namun tetap kuabaikan.
"Bawa pergi!" bentakku. Melihat mbok Jum yang tak kunjung pergi ke luar. Membuatku semakin murka. Kutarik selimut lalu kulempar ke arahnya. Namun sial, Mbok Jum berhasil menghidarinya. Lagi-lagi tangis bayi itu semakin meraung-raung, menambah kekesalanku. Kali ini Mbok Jum berdiri dengan kaki gemetar. Namun tak kupedulikan.
Kulempar ke tembok semua barang yang bisa kuraih, hingga menimbulkan suara di sekelilingnya. melihatku yang tak terkendali, mbok Jum membawa bayi itu berlari.
Mala!
Suara kaca menggema, akibat kulempar jam di atas nakas tepat mengenai kaca besar yang terpasang di tembok kamar. Serpihan-serpihan kaca itu menggambarkan hatiku yang saat ini dalam keadaan hancur.
Ucapan-ucapan Mas Pandu semalam kembali terngiang di telingaku, seperti sebuah rekaman yang ulang, membuat emosiku tak terkendalikan.
"Arrggghh... mengapa Tuhan membuatku menjadi seorang Ibu, jika itu kehilangan suamiku!"
Mala!
Kali ini vas bunga yang menjadi sasaranku.
Barang-barang berterbangan, membuat kamar ini hancur. Sehancur hati dan perasaanku.
Napasku terasa memburu. Kedua telapak tangan mengepal dengan begitu kuatnya, hingga menimbulkan rasa sakit akibat kuku-kuku yang menancap pada telapak tangan. Se kemudian detik genggamanku terasa basah seiring rasa perih yang kurasakan.
Kuangkat kedua tanganku hingga sejejar dengan pandanganku. Perlahan kubuka kedua telapak tangan, darah segar terlihat di sana. Kepalanku terluka. Namun tak sebanding dengan luka yang ditorehkan oleh suamiku.
"Lihatlah, Mas ... bahkan rasa sakit di telapak tangan tak ada sepucuk kuku pun dibandingkan rasa sakit hatiku," desisku.
Rasa sesak kian terasa, lambat laun kedua area mataku terasa menghangat. Sedetik kemudian pandanganku terasa mengabur seiring cairan bening yang mulai menggenang di pelupuk mata.
Kini ... aku lemah.
Tubuhku terguncang seiring dengan air mata yang keluar, hingga terciptalah suara tangisan yang begitu memilukan.
Tuhan ... tidak adilnya takdir yang Kau berikan Butuh waktu lama untuk kudapatkan seorang putra, di saat Kau kabulkan permintaanku, namun Kau buat aku akan kehilangan suamiku.
untuk apa?
Untuk apa Kau kabulkan do'aku jika harus kubagi lelakiku?
Untuk apa Kau berikan hadiah-Mu jika pada akhirnya Kau juga berikan derita padaku?
Tuhan ....tidak adilnya takdir-Mu..
"Vita! Apa-apaan kamu!" Bentakan itu mengejutkanku, membuatku menoleh ke arah lelaki yang saat ini berdiri di ambang pintu.
Kembali kualihkan pandanganku, kini aku menunduk dengan kedua bahu terguncang karena menahan isakan.
Derap langkah terdengar mulai mendekat. Lelaki itu duduk di sampingku.
"Jangan seperti ini." Kini ucapan itu terdengar lebih halus. Tak lama tangan Kokoh itu meraih pundakku dan menarikku dalam dekapannya. Terasa untuk mengelus pucuk. Aku bergeming. Hanya terdengar suara tangis yang masih lolos dari mulutku.
"Tenanglah." Lelaki itu mengecup pucuk. Perlakuan manisnya saat ini dianggap sedikitkan gemuruh yang sedang melanda hatiku. Apa Mas Pandu akan mengurungkan niatnya?
Mungkinkah ada secercah harapan untuk masa depan rumah tanggaku?
Beberapa saat keadaan terasa hening. Kami terlarut dalam pemikiran masing-masing. Tangisku pun sudah berhenti. Kuhapus air mata yang meninggalkan jejak di pipi.
"Sudah tenang?" tanya lelaki itu yang membuatku mendongak. Pandangan kami saling bertemu. Kini dapat ada suatu gambar pada sorot matanya. Lelaki itu mengurai pelukannya.
Jangan seperti ini. Bergegas ia membuka laci, lalu mengambil kapas dan diusap dengan pelan telapak tangan yang terluka.
Aku bergeming.
darah lelaki itu melirikku dan kembali melanjutkan kegiatannya, membersihkan luka di tangan kami. sangat aku hargai karena luka itu terasa sedikit menyakitkan.
"Lain kali jangan seperti ini lagi, ya," komentar dan aku pelan pelan. Lelaki itu terus membersihkan darah yang ada di telapak tangan.
"Apa kamu akan tetap menikah...,"
Wajah itu terangkat, memperhatikan. "Lidya?" sambungnya dan aku mengangguk.
"Jangan bahas ini. Kita bahas lain waktu." Jawaban Mas Pandu kembali membuat sedikit harapan itu hancur. Kutarik genggaman dari genggamannya. Mas Pandu menghembuskan napas panjang.
"Daffa dibawa ke sini? Tadi kata Mbok Jum minum ASInya be...."
"Tidak usah!" jawabku cepat, ucapannya.
"Kenapa Daffa menjadi korban dari emosimu? Jangan seperti ini Vit!" Nada suara Mas Pandu mulai sedikit meninggi. Aku beranjak, berdiri tegak di hadapannya.
"Kau yang membuatku seperti ini, Mas! Bawa anakmu itu! Suruh calon istri mudamu itu merawat Daffa!"
Mas Pandu berdiri. Kini kami saling berhadapan yang sama-sama sedang dikuasai oleh emosi.
"Jaga bicaramu, Vit! Dia anak kamu. Lahir dari rahimmu! Nggak ada sangkut pautnya dengan Lidya!"
"Ya. Dia memang anakku. Lebih tepatnya anak kita, dan karena kelahirannya lah kamu ingin menikah lagi, Mas!" bentakku tak terima.
"Melihatmu seperti ini membuatku yakin untuk menikahi Lidya. Dia jauh berbeda denganmu." kalimat itu terjeda.
"Jika kau tak ingin merawat Daffa. Lidya akan melimpahkan kasih sayang untuknya," lanjut Mas Pandu seraya memutar tubuh lalu melenggang pergi dari hadapanku.
"Cari istri yang sempurna menurutmu itu!"
Tubuhku terasa begitu lemas, tulang-tulang persendianku serasa tak mampu lagi menahan bobot tubuhku.
Aku terduduk di ranjang susun dengan perasaan hancur hancur.
Sakit.
Sakit sekali saat mendengar lelaki yang kucinta, membeda-bedakan dengan calon istri keduanya. Rasanya seolah-olah ia menaburkan garam di atas luka yang sedang menganga.
rem!
Pintu dihempaskannya dengan begitu kuat hingga menimbulkan dentuman akibat beradunya daun pintu dan tembok. Membuatku tersentak. Kembali
Tanpa sadar kedua telapak tangan ini kembali terkepal. kuat. Area mataku kembali terasa hangat seiring dengan cairan bening yang mulai menggenang. Lambat laun, cairan bening itu berubah menjadi buliran-buliran yang akhirnya menetes dengan sendirinya.
Air mata kembali berderai dengan derasnya, sebagai bentuk kalau hati ini terluka. Luka karena cinta.
Ya Allah. Hanya engkau-lah yang tahu bagaimana perasaanku saat ini....
Bersambung ya.
Suara Mbok Jum yang memanggilku dengan diiringi ketukan halus pada daun pintu membuatku tersadar dari lamunan."Masuk," ucapku datar dengan tubuh yang masih terduduk di ranjang dan bersandar di kepala ranjang. Sedetik kemudian terlihat tubuh Mbok Jum menyembul dari balik pintu.Perempuan berbaju sederhana yang telah mengabdikan dirinya selama tujuh tahun menjadi ART di rumahku itu melangkah mendekat dengan membawa nampan di kedua tangannya."Bu Vita sarapan dulu ya. Kasihan dari tadi pagi perutnya belum terisi," ucap Mbok Jum seraya menyerahkan s
"Sudah tenang?" ucap Aulia sewaktu-waktu setelah tangisku mereda. Kuurai pelukan itu, setelah kutumpahkan sesak, kecewa dan sakit hati yang ada di dadaku bersamaan dengan air mata yang keluar.Aku mengangguk. Terasa tangan meremas genggaman tangan."Ceritalah. Akan kudengarkan segala beban yang ada di dalam benakmu." Aku mengangguk mendengar ucapan Aulia. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan sebelum kumu
"Mbok." Panggilanku membuat tubuh Mbok Jum terlonjak kaget, cepat ia menoleh ke arahku. Lalu terlihat Mbok Jum meletakkan serbet yang tadi ia gunakan untuk membersihkan guci di ruangan keluarga. Tepat di depan kamarku."Maaf, Bu. Simbok kaget," ucapnya dengan tubuh sedikit membungkuk."Daffa di mana, Mbok?""Den Daffa?" tanya Mbok Jum seperti tidak percaya, aku mengangguk. Sedetik kemudian terlihat cairan bening menggenang di kedua pelupuk matanya."Mbok?!" "Eh, iya, Bu. Ibu sudah baikan?""Ya. Saya baik-baik saja, Mbok."Cepat Mbok Jum menghapus buliran bening yang hampir saja terjatuh dari tempatnya."Simbok nangis?""Enggak, Bu. Sebentar, Bu. Tadi Bu Vita tanya di mana Den Daffa kan? Bu Vita istirahat di kamar saja. Biar Simbok bawa Den Daffa ke kamar Bu Vita."
"Sekuat apapun kalian membujukku, tak akan bisa mengurungkan niatku. Vit, percayalah Lidya itu perempuan yang baik. Kamu hanya perlu sedikit beradaptasi, seiring berjalannya waktu kamu akan terbiasa dengan posisimu. Kamu hanya perlu belajar untuk sedikit berbagi."Mendengar ucapan Mas Pandu membuat hati ini terasa nyeri, serasa ada yang meremasnya, kuat. Satu ucapan tapi mampu memporak-porandakan cinta ini. Satu ucapan tapi membuatku seperti terhempas dengan begitu kerasnya.Apa dia pikir semudah itu membagi seorang suami?Kukira dengan kedatangan Mama mertua bisa merubah segalanya. Namun semua hanya angan-angan belaka. Ucapan dan kemarahan Mama mertua tidak ada artinya.Hanya air mata sebagai bentuk betapa sakit dan kecewa nya diri ini."Sudah. Tidak perlu berdebat lagi. Sama sekali t
"Assalamualaikum, Ma...," ucapku setelah kuangkat panggilan itu. Jantung ini terpacu jauh lebih kencang."Waalaikum salam. Vit kamu tahu foto suami kamu yang tersebar di dunia maya?"Deg.Sesaat kupejamkan kedua mataku. Benar dugaanku, soal itulah yang membuat Mama menghubungiku."Fo–foto mana, Ma? Vita nggak tahu," ucapku berbohong."Lihatlah akun faceb**k bernama Senja Mentari, dia memposting beberapa foto suami kamu dengan perempuan lain. Sekarang di mana Pandu?" Terdengar sekali nada suara Mama seperti orang menahan amarah."Mas Pandu sedang bekerja, Ma. Biar nanti kutanyakan sama Mas Pandu sial itu.""Jika suami kamu terbukti selingkuh, tinggalkan dia! Kau mengerti?!""I–iya, Ma. Sudah ya Ma,
Wajah itu terlihat bingung menatapku. Keningnya berkerut dengan alis yang saling bertautan.Kututup mulutku dengan telapak tanganku agar tawa ini bisa terhenti.Bagaimana aku tak menertawakan dirinya, saat ini ia menggunakan dalih agama untuk mendukung niatnya memperistri perempuan lain, sedangkan sebelumnya Mas Pandu telah mencicipi tubuh perempuan yang belum halal untuk disentuhnya?"Kenapa kamu tertawa? Bukankah yang kukatakan itu benar adanya? Bahkan Tuhan menjanjikan surga untuk perempuan yang rela dan ikhlas untuk di madu."Aku mengangguk seraya menahan bibir agar tak lagi menyemburkan tawa. Mas Pandu mengangkat sebelah alisnya."Memang poligami itu diizinkan dalam agama," ucapku terjeda. Mas Pandu mengangguk."Aku pun juga mendukung seorang lelaki diperbolehkan untuk poligami. Bahkan aku jug
"Hai, selamat pagi," sapaku yang membuat Lidya terkesiap. Lidya melihat uluran tanganku yang menggantung di udara. Dengan cepat dia menerima uluran tanganku."Pagi juga, Mbak Vita," ucapnya dengan suara yang dibuat-buat. Aku tersenyum, paksa."Silahkan duduk," ucapku dengan tenang, meskipun gemuruh di dada terasa tak beraturan.Aku berjalan menuju sofa single, lalu menghempaskan tubuhku di sana. Sebenarnya ingin sekali kuhajar perempuan itu, kucakar wajahnya dan kurobek mulutnya itu.Namun sepertinya aku tidak sekejam itu. Aku masih memiliki hati, tidak seperti dirinya.Entah memang mati atau dipaksa mati nurani pada diri Mas Pandu, tanpa memikirkan perasaanku dia duduk tepat di samping Lidya, selingkuhannya itu. Bahkan sesekali mereka saling melirik lalu tersenyum. Aku tahu itu."Seperti permintaan kamu, Vit, aku memba
"Bu ... ini ponsel milik siapa?" Tiba-tiba Mbak Ratih berucap seraya menyerahkan benda pipih yang begitu asing di penglihatanku ke arahku.Kuletakkan sendok yang kugunakan untuk menyuap makanan. Kuterima ponsel itu.Dahiku mengernyit saat kubolak-balik ponsel itu namun tetap tak kukenali siapa pemilik ponsel yang ada di tanganku ini. Ponsel berukuran lima inchi dengan warna putih. Akhirnya kutekan tombol power."Tidak dikunci," lirihku.Saat kuusap layar ponsel itu, foto perempuan yang baru saja bertamu ke rumahku langsung terpampang dengan jelas di layar pipih itu.Ya, aku yakin ini ponsel milik Lidya. Tidak salah lagi. Karena wallpaper tersebut bergambar foto Lidya.Lalu ponsel ini ada di tangan Mbak Ratih?"Apakah ponsel ini tertinggal atau memang sengaja ditinggal?" lirihku.&