Share

Neraka untuk Adik Madu
Neraka untuk Adik Madu
Penulis: FK_Fahira

Bab 1

Suara derit pintu terdengar seiring daun pintu terbuka, membuatku menoleh ke arah sumber suara. Sedetik kemudian terlihatlah sosok lelaki tampan bertubuh tegap, dengan kumis tipis dan berahang tegas. 

Lelaki itu tersenyum lalu melangkah mendekatiku yang sedang duduk di tepi ranjang. Langkahnya terhenti lalu menimpa tubuhnya di sampingku.

"Jagoan Papa udah bobok ya ternyata. Padahal mau Papa ajak nonton bola," ucap Mas Pandu seraya mengelus pipi Daffa. 

"Tadi bangun Kemana-mana, aku kasih ASI terus dia tidur lagi, Mas," jawabku berbisik. Aku beringsut dari tidur dengan gerakan pelan, tak ingin mengganggu Daffa yang sedang nyaman. 

“Mau ditaruh kotak?” 

"Iya, Mas."

"Sini, biar Mas bantu." Mas Pandu mengambil alih Daffa dari gendonganku. Dengan pelan, ia membawa Daffa lalu meletakkannya di box bayi.

Kembali kurebahkan tubuhku dengan sandaran di kepala ranjang. Mas Pandu kembali mendekatiku lalu duduk tepat di sampingku. ia menghembuskan napas panjang berulang kali dengan pandangannya lurus ke depan. Aku tahu, pasti ada suatu hal penting yang ingin ia ciptakan.

"Kenapa, Mas? Ada yang mau bertanya?" pertanyaan memecah keheningan. Lelaki itu menoleh ke arahku, lalu mengangguk pelan.

"Ada apa?" bertanya

"Mas harap, kamu jangan marah. Dengarkan penjelasan Mas sampai akhir." 

"Tergantung."

"Tergantung?" tanyanya dengan kening berkerut dan alis yang saling bertautan. Aku mengangguk, "Tergantung apa yang ingin kamu hasilkan."

"Tapi janji, jangan menyela dan berkunjung ke Mas sampai selesai."

"Oke. Baiklah."

"Vit, Mas berencana untuk menikah lagi." 

Bagaikan dihantam palu godam. Tubuhku tersentak. Bibirku melongo sempurna dengan kedua bola mata yang melotot tak percaya. ekspresiku ekspresiku, kututup mulutku dengan telapak tangan yang mulai gemetar.

"Aku–menikah lagi?" pastikan, mungkin aku hanya salah dengar. Kalau pun tak salah dengar, berharap apa yang diucapkan Mas Pandu hanya sebatas gurauan.

"Iya." Terasa Mas Pandu meraih genggaman, lalu digenggamnya dengan erat. "Dengarkan penjelasanku dulu...," pintanya.

Aku bergeming. 

Keadaan menjadi hening, hanya terdengar detak jarum jam. Kutarik tangan dari genggaman Mas Pandu. 

"Aku kurang apa, Mas, hingga kamu berniat menikah lagi?" Dengan nada suara bergetar akhirnya satu pertanyaan lolos dari tenggorokanku. Lelaki itu berusaha lagi untuk menggenggam tanganku. Namun aku terus menghindari gerakan-gerakan itu.

"Empat puluh hari ke depan kamu tidak bisa melakukan kewajiban kamu selayaknya seorang istri, Vit."

"Kewajiban apa yang kamu maksud, Mas? kita sudah terikat untuk menyewa Seni, setidaknya sampai Daffa mulai? Oke. Jika kamu memintaku untuk memenuhi kewajibanku sebagaimana layaknya seorang istri, aku akan melakukannya, Mas. Biar kubilang sendiri sama Mbok Jum, supaya dia mencari pekerjaan yang lain," jawabku berusaha tenang meskipun dada bergemuruh tak karuan.

"Bukan. Bukan soal itu."

"Lalu apa? Urusan ranjang?" bertanya cepat dan Mas Pandu mengangguk. Untuk kesekian kali tubuhnya ini kembali tersentak kaget.

"Mas, bekas jahitan karena melahirkan putramu belum juga kering, tapi dengan entengnya kamu mengatakan ingin menikah lagi?" desisku terhenti. Kuhembuskan napas kasar. 

Kepalaku tak percaya, pandanganku semakin mengabur. "Dan karena urusan kepuasan kamu ingin menikah lagi. Benar-benar keterlaluan!" 

"Vit, latihan lebih baik aku menikah, daripada harus berzina dengan menyewa perempuan di luar sana? Memilih aku untuk berselingkuh?" ucap Mas Pandu penuh penekanan. Aku benar-benar tak habis pikir dibuatnya.

Aku tersenyum miris. "Mas, bukan hanya kamu saja yang merasakan hal seperti ini. Bahkan banyak lelaki di luar sana yang menahan hasratnya karena istri takut melakukan hubungan pasca jalan lahir mereka dijahit. Bukan hanya sebulan dua bulan, Mas. Tapi berbulan-bulan. Suaminya mengerti akan ketakutan istri. Suaminya tak berani adalah istrinya. Suaminya rela menunggu wanitanya hingga rasa takut itu hilang sendirinya. Lantas, mengapa kamu tidak bisa menahan sebentar saja, Mas?" 

"Jangan samakan aku dengan lelaki lain!"

"Aku tidak menyamakanmu dengan orang lain. Aku hanya memberikan contoh!" geramku.

"Jadi kamu lebih memilih aku berselingkuh hingga akhirnya berzina?" Nada suara Mas Pandu mulai meninggi. Kuhembuskan napas panjang. berharap mampu melihat sedikit emosi yang mulai terbakar.

Andai bekas jahitan pasca melahirkan ini sudah kering, pasti kuhajar lelaki yang ada di depanku saat ini. 

"Meskipun aku menikah lagi, kamu masih memiliki hak. Semua orang hanya akan tahu kamu satu-satunya istriku. Kamu yang memegang aset-asetku." Nada suaranya sedikit melemah.

"Untuk apa mereka mengetahui kalau aku satu-satunya istrimu, sedangkan kenyataanya kau berikan madu untukku? Untuk apa kupegang aset-aset itu, jika sebenarnya harus kubagi suamiku?"

"Vit!" 

"Dan parahnya lagi, kau berikan madu untukku sebagai hadiah setelah melahirkan putramu. Benar-benar hadiah yang mengejutkan." Kali ini kutatap dengan tajam wajah lelaki itu. Sorot matanya yang dipenuhi binar cinta, kali ini hanya kutemukan sorot mata yang ... entah.

"Apapun keputusanmu, tak akan bisa mengurungkan niatku!" katanya.

Cairan bening itu kini telah berubah menjadi buliran-buliran yang mulai berdesakan untuk mencari jalan keluarnya.

Kuusap sudut pandang kasar, sebelum butiran itu terjatuh dari tempatnya. Aku beringsut dari ranjang tidur, lalu melangkah. Pandanganku membocorkan ke luar jendela. Air mata mulai berderai dengan begitu derasnya, seiring dengan sesak di dada yang kian mendera.

Sakit. 

Sakit sekali rasanya. 

Bahkan, jauh lebih dibandingkan dibandingkan saat bertaruh nyawa untuk melahirkan anak dari seorang lelaki yang telah menorehkan luka. Jauh lebih perih dan nyeri dibandingkan saat dokter mulai menjahit bekas luka.

"Apa perempuan itu juga mau untuk kamu nikahi?" bertanya tanpa menoleh ke arah Mas Pandu. 

"Ya," pelan, sontak aku menoleh ke arahnya.

"Jadi yang kedua?" bertanya lagi, dan Mas Pandu mengangguk. 

"Dia perempuan baik, Vit. Aku yakin, dia bisa menjadi madu yang baik untukmu." Aku melangkah mendekati Mas Pandu. Tak ada fakta kutemukan rasa bersalah dari wajahnya. Bahkan sorot matanya penuh dengan permintaan.

"Mas, wanita baik-baik itu tak akan mengambil alih milik perempuan lain. Perempuan baik-baik itu tidak akan menjadi badai untuk menghancurkan istana orang lain. Kau tahu, wanita yang kau sebut akan menjadi yang baik untukku itu tak ubahnya seperti pencuri !" 

"Lidya bukan pencuri, Vit. Dia tidak mengambilku dari kamu. Kau hanya berbagi. Itu saja. Lalu, apa susahnya?!"

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di wajah lelaki yang selama ini begitu kuhormati, kusegani, dan kusayangi. Kini, lelaki yang sudah kucintai dengan teganya menorehkan luka di hati. Tega menghancurkan cinta yang suci. 

"Beraninya kau hadiahku?!" 

"Hatiku jauh lebih sakit daripada tamparan yang kuberikan, Mas!" teriakku kesetanan, kedua tanganku terkepal dengan kuat. Namun tiba-tiba Daffa menangis kencang. Kuhembuskan napas kasar, lalu menuju ke mana Daffa berada. 

Dengan pelan kuambil bayi mungil itu lalu kegendong. Aku duduk di tepi ranjang, di seberang di mana Mas Pandu berada. Kulepas doa kancing bajuku, lalu kuberikan Asi untuk Daffa, berharap segera berhenti menangisnya. Namun daffa menolak untuk kuberikan ASI. 

Aku kembali beranjak, kutimang-timang. Namun Daffa semakin meronta hingga tangisnya semakin kencang. 

"Jangan menangis, Sayang...." Terus kutimang bayi mungil itu. Namun tangisnya tak kunjung reda.

"Diamkan Daffa, baru kita bicara lagi!" Terlihat Mas Pandu beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah pintu.

rem!

Suara dentuman yang kencang akibat beradunya daun pintu dan tembok akibat dari Mas Pandu menutup pintu dengan kencang, hingga membuat tangisan Daffa semakin tak terkendalikan.

"Diam dong, Sayang. Jangan nangis." Saya semakin bingung dibuatnya. Perasaan kesal yang belum reda karena Mas Pandu, kini ditambah Daffa yang terus meronta dan menangis. Membuat kepala ini semakin berdenyut sakit.

"Apasih maumu? Dikasih ASI nggak mau. Ditimang tangismu tak kunjung reda. Jangan bikin Mama kesal, Daf ...." Kuletakkan Daffa di atas kasur, hingga tangisnya semakin menggema memenuhi ruangan. Aku duduk frustasi di tepi ranjang. Kuusap. aku menoleh ke arah bayi mungil yang tak henti-hentinya mengeluarkan suara yang membuat diri ini kesal.

berikut akan pesan Mama, 'Bayi itu sensitif akan perasaan Ibunya. Jika anak menangis dalam gendongan ibunya sendiri. Mungkin dia merasa tak nyaman. Itu bisa jadi pikiran dan hati ibunya sedang kacau. Sering-sering ber-istighfar, supaya pikiran kamu tenang dan bayi nyaman di pelukan kamu. Kelak ... jangan terlalu larut dalam pikiran sampai stres, karena tak bisa dipungkiri bayi pun akan menikmati pula itu.'

Kupejamkan kedua mataku, "Astagfirullah...," lirihku berulang kali. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Terkesan membuat saya merasa sedikit emosi. Kuulangi beberapa kali hingga rasa sesak itu sedikit berkurang. 

Kuangkat kembali Daffa, kutimang-timang dia dengan kukecup pipinya.

Beberapa saat kemudian, Daffa mulai sedikit tenang. Kuberikan ASI untuknya dan dia pun menerimanya. Ternyata memang benar yang dikatakan oleh Mama. Kutatap wajah mungil itu yang sempat kujadikan pelampiasan keinginan, ada rasa sesal karena sempat membentaknya.

Setelah Daffa mulai kembali terpejam, kuletakkan kembali ia tidak seperti semula. Kubelai pipinya, namun tiba-tiba bibir mungil itu tersenyum. Senyum yang dianggap sebagai sisa amarah dan gemuruh di dalam dada. 

Bersambung ya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Anton Setiawan
banyak yg salah thor
goodnovel comment avatar
nenkgeulis
kok bhsax gitu yh
goodnovel comment avatar
Fahmi
Daffa mulai terpejam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status