Share

Bab 4

Suara Mbok Jum yang memanggilku dengan diiringi ketukan halus pada daun pintu membuatku tersadar dari lamunan.

"Masuk," ucapku datar dengan tubuh yang masih terduduk di ranjang dan bersandar di kepala ranjang. Sedetik kemudian terlihat tubuh Mbok Jum menyembul dari balik pintu. 

Perempuan berbaju sederhana yang telah mengabdikan dirinya selama tujuh tahun menjadi ART di rumahku itu melangkah mendekat dengan membawa nampan di kedua tangannya. 

"Bu Vita sarapan dulu ya. Kasihan dari tadi pagi perutnya belum terisi," ucap Mbok Jum seraya menyerahkan sepiring masih goreng. "Bawa kembali, Mbok," jawabku pelan.

"Bu Vita makan dulu. Nanti kalau sakit gimana? Kasihan perutnya dari pagi belum ke isi."

Aku diam, bergeming. 

"Simbok taruh di sini ya. Membantu Bu Vita nanti mau makan," ucap Simbok. Aku melirik ke arah sekilas. Kini sepiring nasi goreng dan segelas susu tertata cantik di atas nakas.

"Saya permisi dulu, Bu," ucap Mbok Jum dengan sopan. Aku mengangguk lalu Mbok Jum berputar dan melangkah. Namun tiba-tiba dadaku terasa nyeri. Membuatku sangat bagus, mungkin akibat ASI yang melimpah dan sedari tadi belum terkeluarkan.

"Mbok." Panggilanku membuat langkah Mbok Jum terhenti, perempuan yang kini berusia setengah abad itu menoleh ke arahku.

"Iya Bu? Ada yang dibutuhkan? Atau mau dibikinin menu yang lain?" dia.

"Enggak, Mbok. Dadaku rasanya nyeri, mungkin karena ASI yang melimpah," ucapku sambil memegang dadaku. Ternyata bajuku bagian depan telah basah, karena ASI yang sedari tadi merembes. Ya, sejak pagi hingga kini hampir jam sepuluh siang, tak kuizinkan siapa pun membawa Daffa masuk, apalagi kuberikan ASI untuknya.

"Simbok bawa Den Daffa ke sini saja ya, Bu." Raut wajah itu terlihat... entah. 

"Tidak usah, Mbok! Jangan pernah bawa Daffa masuk ke kamar ini!" jawabku cepat. Raut wajah Mbok Jum semakin terlihat bingung. Bahkan alisnya saling bertautan tajam dengan kening berkerut. 

"Tolong belikan pompa ASI di apotek, minta yang bagus. Yang tidak menimbulkan rasa sakit," ucapku.

"Tapi, Bu...."

"Belikan saja apa yang kuminta, Mbok!" geramku. Lalu aku meraih dompet yang berada di atas nakas, dan kuambil beberapa lembar uang dan kuulurkan ke arah Mbok Jum. Perempuan setengah abad itu melangkah mendekat ke arahku.

"Minta yang nggak sakit saat digunakan, Mbok." 

"Iya, Bu," dengan sedikit ragu. Mbok Jum meninggalkanku setelah menerima uang yang kuberikan, langkah-langkahnya terhenti sewaktu-waktu menoleh ke arahku kemudian melanjutkan kembali langkahnya kembali.

Aku tahu Mbok Jum pasti heran dengan sikapku. Mbok Jum tahu sejak aku masih mengandung Daffa, aku berharap kalau Daffa hanya akan mendapatkan ASI eksklusif dariku. Aku tak mau jika Daffa diberikan susu formula. Entah semahal apa pun harganya. 

Namun kali ini semuanya berbeda. Takdir Tuhan mengubah alur yang sudah kurencanakan. Bagaimana mungkin bisa menyusui seorang bayi yang akan membagi membagi suamiku. Bahkan saat melihat wajah bayi itu, membuat rasa sakit dan sesak kembali menyeruak di dalam hatiku.

Selang tiga puluh menit Mbok Jum telah kembali, membawakan pesanan yang kuminta. Kugunakan pompa ASI itu, hingga bengkak dan rasa nyeri di dadaku sudah tak kurasakan.

Lagi-lagi ketukan pintu membuatku berhenti aktivitasku. Kuletakkan alat pompa ASI berikut dengan ASI yang tadi kutampung.

“Ada apa lagi, Mbok?” teriakku dari dalam.

"Ada Mbak Aulia, Bu." 

"Suruh masuk, Mbok!" jawabku cepat.. 

Tak ada lama pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan bergaun sebatas lutut berwarna biru itu. Perempuan yang begitu cantik. Wajahnya berbentuk oval, dengan hidung yang mancung dan bulu mata yang begitu lentik. Ditambah kulitnya yang begitu putih dan mulus tanpa cacat.

Tingginya hampir 160cm dengan berat badan tidak lebih dari 50 kilo, membuat salah satu makhluk Tuhan terlihat begitu sempurna.

Aulia namanya, dia adalah angka sedari kecil. Lebih tepatnya sahabatku, dulu rumah kami saling bersebelahan. Hingga akhirnya kami tumbuh dewasa di tempat yang sama. Mulai dari sekolah dasar, hingga kuliah pun kami memutuskan untuk di satu universitas yang sama. Hanya beda jurusan. 

"Hai, Vit...," ucapnya setelah masuk ke kamarku lalu ia melangkah mendekat ke arahku. Senyum terlihat di bibir tipis berlipstik warna nude itu. 

"Hai. Sini, duduk," jawabku. Aulia mengangguk. Ia terus berjalan dan berhenti tepat di hadapanku. Aulia memelukku lalu kami saling beradu pipi, "maaf ya baru bisa jenguk," ucapnya.

Pelukan itu terlepas lalu perempuan itu mendaratkan di tubuhnya di sampingku.

"Tidak apa-apa. Kamu kan wanita pebisnis sukses. Jadi pasti sibuk lah kalau hanya sekedar menjengukku." Candaku membuat sedikit mengerucut dengan wajah yang tertekuk, membuat siapa saja yang melihatnya pasti merasa gemas.

"Tidak gitu juga, Vit. Kemarin habis berkunjung ke rumah mertua. Ada kerabat nikahan. Ini tadi pagi aku baru balik, dan langsung ke sini."

"Iya, aku bercanda kok. Jangan diambil hati gitu lah," jawabku tersenyum.

"Oh ya. Ini hadiah buat Si Tampan." Aulia menyerahkan kantong kertas ke arahku. Kuhembuskan napas panjang.

"Terima kasih. Seharusnya kamu tak serepot ini," ucapku sambil menerima pemberiannya lalu kuletakkan di sampingku.

"Ah, nggak repot. Eh, kamu ambil jasa baby sitter?" Pertanyaan Aulia membuatku bingung.

"Enggak," jawabku.

"Tadi ada embak-embak di bawah. Pakaian khas seorang baby sitter, gendong anak kamu. Aku tanya ke Mbok Jum katanya Baby sitter yang bantu kamu buat jaga Daffa."

Aku tersenyum kecut, sekali cepat Mas Pandu mencarikan seorang baby sitter untuk anaknya. Tapi bagus juga sih, aku tidak perlu repot-repot mengurus anaknya. Baby sitter yang mau dicari dan diberikan susu formula pun aku tak peduli. Terserah.

"Hai?!"

"Eh, iya." Aku terkesiap.

"Kok ngelamun?" Aulia meraih sebotol ASI perah dari atas nakas. 

"Daffa kamu kasih ASI perah? Kenapa? Takut itu mu besar sebelah?" ucapnya dengan tawa terkikik seraya pandangannya mengarah ke dadaku.

Kukibaskan tanganku lalu berkata, "apa sih kamu."

"Tapi betul juga pilihanmu. Soalnya kadang ada tuh bayi yang maunya ngASI ibunya yang sebelah kiri aja, ada yang kanan aja. Alhasil jadi besar sebelah deh," ucap Aulia yang diiringi tawa membuatku tersenyum, lebih tepatnya terpaksa terpaksa tersenyum.

"Vit...." Kini Aulia menatap tajam.

"Kenapa?"

"Kamu habis nangis?" tebaknya dengan menyelidik. 

"Tidak."

"Tidak mungkin! Tuh mata bengkak."

"Enggak, Lia. Ini tuh tidur aku bergadang. Daffa kalau malam maunya digendong," ucapku mengelak. Untung saja kamar ini sudah dibersihkan oleh Mbok Jum.

"Yakin?" 

"Iya!" jawabku dengan mengangguk yakin.

"Kamu menganggap aku apa?"

"Sahabat."

"Sahabat? Yakin?" tanyanya yang bikin bingung. Aku mengangguk, membenarkan ucapannya.

"Cerita sama aku. Jangan kamu pendam sendiri."

"Apasih, Lia. Aku tuh nggak ada apa-apa." Aku terus berusaha mengelak, membuang pandanganku ke arah lain, menontonnya yang tajam. Setajam seperti seekor elang yang sedang mencari mangsa.

"Vit...,"

"Aku nggak apa-apa Aulia, beneran."

"Aku sudah mengenalmu sejak kecil. Bahkan sejak kita masih dalam kandungan pun telah memberikan takdir kalau kita akan bersahabat. Saat ini wajahmu terlihat begitu luas." Aulia menghembuskan napas berat. 

"Bahkan sorot matamu tak seperti biasanya. Hanya menyorotkan suatu duka dan pikiran. Sedikitpun aku tidak menemukan binar kebahagiaan di wajahmu. Padahal ini adalah momen yang telah lama kamu Nantikan, menyandang gelar menjadi seorang ibu."

 Ucapan Aulia membuatku mengulas senyum. Kini Aulia mengamati pandangan saya. Menyiratkan suatu permintaan. Permohonan agar aku mengatakan dan bercerita. Selama itu kami bersahabat, aku yakin ia pasti menyadari ada sesuatu yang kusembunyikan.

"Aku tahu saat ini ada masalah. Tidak disimpan seorang diri. Tidak baik untuk psikis kamu. Apalagi kamu baru saja melahirkan, rawan baby blues. Berbagilah masalahmu denganku. Sedikit beban dan sesak dapat berkurang. Walau hanya sedikit." 

"Aku nggak apa-apa, Lia...," ucapku dengan nada suara serak. Area kedua mataku terasa menghangat, seiring pandanganku yang mulai memburam. Cepat kualihkan pandanganku, kuhapus buliran bening yang ada di sudut pandang yang dekat dengannya, jatuh. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. membuat saya mampu melihat sedikitkan rasa sesak yang mendera.

"Vit...," 

"Tidak apa. Aku baik-baik saja, Kok!" Aku kembali menoleh ke arahnya, memberikan senyuman yang memuji kalau aku baik-baik saja. Meskipun kurasakan saat ini aku sedang tidak baik-baik saja.

Terasa Aulia memegang tangan, menggenggamnya dengan sedikit meremasnya. "Aku tahu kamu seperti apa, Vit. Aku tahu saat ini kamu sedang berbohong. 

Kuhamburkan dia memeluk Aulia. Air mata kembali berderai tanpa sanggup kutahan lagi. Aku yakin, Aulia tidak mengerti dan memahami bagaimana keadaanku saat ini, seiring tangisan yang terdengar memilukan yang diiringi oleh air mata yang bercucuran.

Lambat tangis sudah tak ada suara Isak tangis yang keluar dari bibirku. Rasa sesak yang sempat menyeruak dengan begitu hebatnya kini sedikit berkurang. Seoalah-olah beban itu telah berpindah tempat. Seolah-olah beban itu ikut keluar bersamaan dengan air mata yang bercucuran. 

Bersambung ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status