Suara Mbok Jum yang memanggilku dengan diiringi ketukan halus pada daun pintu membuatku tersadar dari lamunan.
"Masuk," ucapku datar dengan tubuh yang masih terduduk di ranjang dan bersandar di kepala ranjang. Sedetik kemudian terlihat tubuh Mbok Jum menyembul dari balik pintu.
Perempuan berbaju sederhana yang telah mengabdikan dirinya selama tujuh tahun menjadi ART di rumahku itu melangkah mendekat dengan membawa nampan di kedua tangannya. "Bu Vita sarapan dulu ya. Kasihan dari tadi pagi perutnya belum terisi," ucap Mbok Jum seraya menyerahkan sepiring masih goreng. "Bawa kembali, Mbok," jawabku pelan."Bu Vita makan dulu. Nanti kalau sakit gimana? Kasihan perutnya dari pagi belum ke isi."Aku diam, bergeming.
"Simbok taruh di sini ya. Membantu Bu Vita nanti mau makan," ucap Simbok. Aku melirik ke arah sekilas. Kini sepiring nasi goreng dan segelas susu tertata cantik di atas nakas."Saya permisi dulu, Bu," ucap Mbok Jum dengan sopan. Aku mengangguk lalu Mbok Jum berputar dan melangkah. Namun tiba-tiba dadaku terasa nyeri. Membuatku sangat bagus, mungkin akibat ASI yang melimpah dan sedari tadi belum terkeluarkan.
"Mbok." Panggilanku membuat langkah Mbok Jum terhenti, perempuan yang kini berusia setengah abad itu menoleh ke arahku."Iya Bu? Ada yang dibutuhkan? Atau mau dibikinin menu yang lain?" dia."Enggak, Mbok. Dadaku rasanya nyeri, mungkin karena ASI yang melimpah," ucapku sambil memegang dadaku. Ternyata bajuku bagian depan telah basah, karena ASI yang sedari tadi merembes. Ya, sejak pagi hingga kini hampir jam sepuluh siang, tak kuizinkan siapa pun membawa Daffa masuk, apalagi kuberikan ASI untuknya."Simbok bawa Den Daffa ke sini saja ya, Bu." Raut wajah itu terlihat... entah."Tidak usah, Mbok! Jangan pernah bawa Daffa masuk ke kamar ini!" jawabku cepat. Raut wajah Mbok Jum semakin terlihat bingung. Bahkan alisnya saling bertautan tajam dengan kening berkerut.
"Tolong belikan pompa ASI di apotek, minta yang bagus. Yang tidak menimbulkan rasa sakit," ucapku."Tapi, Bu....""Belikan saja apa yang kuminta, Mbok!" geramku. Lalu aku meraih dompet yang berada di atas nakas, dan kuambil beberapa lembar uang dan kuulurkan ke arah Mbok Jum. Perempuan setengah abad itu melangkah mendekat ke arahku."Minta yang nggak sakit saat digunakan, Mbok."
"Iya, Bu," dengan sedikit ragu. Mbok Jum meninggalkanku setelah menerima uang yang kuberikan, langkah-langkahnya terhenti sewaktu-waktu menoleh ke arahku kemudian melanjutkan kembali langkahnya kembali.Aku tahu Mbok Jum pasti heran dengan sikapku. Mbok Jum tahu sejak aku masih mengandung Daffa, aku berharap kalau Daffa hanya akan mendapatkan ASI eksklusif dariku. Aku tak mau jika Daffa diberikan susu formula. Entah semahal apa pun harganya. Namun kali ini semuanya berbeda. Takdir Tuhan mengubah alur yang sudah kurencanakan. Bagaimana mungkin bisa menyusui seorang bayi yang akan membagi membagi suamiku. Bahkan saat melihat wajah bayi itu, membuat rasa sakit dan sesak kembali menyeruak di dalam hatiku.Selang tiga puluh menit Mbok Jum telah kembali, membawakan pesanan yang kuminta. Kugunakan pompa ASI itu, hingga bengkak dan rasa nyeri di dadaku sudah tak kurasakan.Lagi-lagi ketukan pintu membuatku berhenti aktivitasku. Kuletakkan alat pompa ASI berikut dengan ASI yang tadi kutampung.
“Ada apa lagi, Mbok?” teriakku dari dalam."Ada Mbak Aulia, Bu." "Suruh masuk, Mbok!" jawabku cepat.. Tak ada lama pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan bergaun sebatas lutut berwarna biru itu. Perempuan yang begitu cantik. Wajahnya berbentuk oval, dengan hidung yang mancung dan bulu mata yang begitu lentik. Ditambah kulitnya yang begitu putih dan mulus tanpa cacat.Tingginya hampir 160cm dengan berat badan tidak lebih dari 50 kilo, membuat salah satu makhluk Tuhan terlihat begitu sempurna.
Aulia namanya, dia adalah angka sedari kecil. Lebih tepatnya sahabatku, dulu rumah kami saling bersebelahan. Hingga akhirnya kami tumbuh dewasa di tempat yang sama. Mulai dari sekolah dasar, hingga kuliah pun kami memutuskan untuk di satu universitas yang sama. Hanya beda jurusan. "Hai, Vit...," ucapnya setelah masuk ke kamarku lalu ia melangkah mendekat ke arahku. Senyum terlihat di bibir tipis berlipstik warna nude itu. "Hai. Sini, duduk," jawabku. Aulia mengangguk. Ia terus berjalan dan berhenti tepat di hadapanku. Aulia memelukku lalu kami saling beradu pipi, "maaf ya baru bisa jenguk," ucapnya.Pelukan itu terlepas lalu perempuan itu mendaratkan di tubuhnya di sampingku.
"Tidak apa-apa. Kamu kan wanita pebisnis sukses. Jadi pasti sibuk lah kalau hanya sekedar menjengukku." Candaku membuat sedikit mengerucut dengan wajah yang tertekuk, membuat siapa saja yang melihatnya pasti merasa gemas."Tidak gitu juga, Vit. Kemarin habis berkunjung ke rumah mertua. Ada kerabat nikahan. Ini tadi pagi aku baru balik, dan langsung ke sini.""Iya, aku bercanda kok. Jangan diambil hati gitu lah," jawabku tersenyum."Oh ya. Ini hadiah buat Si Tampan." Aulia menyerahkan kantong kertas ke arahku. Kuhembuskan napas panjang."Terima kasih. Seharusnya kamu tak serepot ini," ucapku sambil menerima pemberiannya lalu kuletakkan di sampingku."Ah, nggak repot. Eh, kamu ambil jasa baby sitter?" Pertanyaan Aulia membuatku bingung."Enggak," jawabku."Tadi ada embak-embak di bawah. Pakaian khas seorang baby sitter, gendong anak kamu. Aku tanya ke Mbok Jum katanya Baby sitter yang bantu kamu buat jaga Daffa."Aku tersenyum kecut, sekali cepat Mas Pandu mencarikan seorang baby sitter untuk anaknya. Tapi bagus juga sih, aku tidak perlu repot-repot mengurus anaknya. Baby sitter yang mau dicari dan diberikan susu formula pun aku tak peduli. Terserah."Hai?!""Eh, iya." Aku terkesiap."Kok ngelamun?" Aulia meraih sebotol ASI perah dari atas nakas. "Daffa kamu kasih ASI perah? Kenapa? Takut itu mu besar sebelah?" ucapnya dengan tawa terkikik seraya pandangannya mengarah ke dadaku.Kukibaskan tanganku lalu berkata, "apa sih kamu.""Tapi betul juga pilihanmu. Soalnya kadang ada tuh bayi yang maunya ngASI ibunya yang sebelah kiri aja, ada yang kanan aja. Alhasil jadi besar sebelah deh," ucap Aulia yang diiringi tawa membuatku tersenyum, lebih tepatnya terpaksa terpaksa tersenyum."Vit...." Kini Aulia menatap tajam."Kenapa?""Kamu habis nangis?" tebaknya dengan menyelidik. "Tidak.""Tidak mungkin! Tuh mata bengkak.""Enggak, Lia. Ini tuh tidur aku bergadang. Daffa kalau malam maunya digendong," ucapku mengelak. Untung saja kamar ini sudah dibersihkan oleh Mbok Jum."Yakin?" "Iya!" jawabku dengan mengangguk yakin."Kamu menganggap aku apa?""Sahabat.""Sahabat? Yakin?" tanyanya yang bikin bingung. Aku mengangguk, membenarkan ucapannya."Cerita sama aku. Jangan kamu pendam sendiri.""Apasih, Lia. Aku tuh nggak ada apa-apa." Aku terus berusaha mengelak, membuang pandanganku ke arah lain, menontonnya yang tajam. Setajam seperti seekor elang yang sedang mencari mangsa."Vit...,""Aku nggak apa-apa Aulia, beneran.""Aku sudah mengenalmu sejak kecil. Bahkan sejak kita masih dalam kandungan pun telah memberikan takdir kalau kita akan bersahabat. Saat ini wajahmu terlihat begitu luas." Aulia menghembuskan napas berat."Bahkan sorot matamu tak seperti biasanya. Hanya menyorotkan suatu duka dan pikiran. Sedikitpun aku tidak menemukan binar kebahagiaan di wajahmu. Padahal ini adalah momen yang telah lama kamu Nantikan, menyandang gelar menjadi seorang ibu."
Ucapan Aulia membuatku mengulas senyum. Kini Aulia mengamati pandangan saya. Menyiratkan suatu permintaan. Permohonan agar aku mengatakan dan bercerita. Selama itu kami bersahabat, aku yakin ia pasti menyadari ada sesuatu yang kusembunyikan.
"Aku tahu saat ini ada masalah. Tidak disimpan seorang diri. Tidak baik untuk psikis kamu. Apalagi kamu baru saja melahirkan, rawan baby blues. Berbagilah masalahmu denganku. Sedikit beban dan sesak dapat berkurang. Walau hanya sedikit." "Aku nggak apa-apa, Lia...," ucapku dengan nada suara serak. Area kedua mataku terasa menghangat, seiring pandanganku yang mulai memburam. Cepat kualihkan pandanganku, kuhapus buliran bening yang ada di sudut pandang yang dekat dengannya, jatuh. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. membuat saya mampu melihat sedikitkan rasa sesak yang mendera."Vit...," "Tidak apa. Aku baik-baik saja, Kok!" Aku kembali menoleh ke arahnya, memberikan senyuman yang memuji kalau aku baik-baik saja. Meskipun kurasakan saat ini aku sedang tidak baik-baik saja.Terasa Aulia memegang tangan, menggenggamnya dengan sedikit meremasnya. "Aku tahu kamu seperti apa, Vit. Aku tahu saat ini kamu sedang berbohong.Kuhamburkan dia memeluk Aulia. Air mata kembali berderai tanpa sanggup kutahan lagi. Aku yakin, Aulia tidak mengerti dan memahami bagaimana keadaanku saat ini, seiring tangisan yang terdengar memilukan yang diiringi oleh air mata yang bercucuran.
Lambat tangis sudah tak ada suara Isak tangis yang keluar dari bibirku. Rasa sesak yang sempat menyeruak dengan begitu hebatnya kini sedikit berkurang. Seoalah-olah beban itu telah berpindah tempat. Seolah-olah beban itu ikut keluar bersamaan dengan air mata yang bercucuran.Bersambung ya.
Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa
Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb
Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan
Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin
Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya
Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai